DARI SEMA’AN AL-QURAN
HINGGA KE CLUB MALAM
“Sepenggal Kisah
Hidup Pendakwah Sejati nan Santun Al-Maghfurlah Gus Miek”
Sebuah Wajah
Kerinduan
KH. Hamim Djazuli, atau biasa
dipanggil Gus Miek, adalag sosok ulama multitalenta yang dikenal banyak
kalangan mulai dari kalangan guru sufi, seniman, birokrat, preman, bandar judi,
kiai-kiai NU dan para aktivis. Namanya begitu melegenda karena memiliki banyak
kekhasandan kekhususan. Ia berdakwah dengan cara yang nyentrik, tidak lazim,
karena teramat jarang mubaligh berdakwah seperti cara-cara yang ditempuh oleh
beliau.
Gus Miek dianggap oleh banyak orang
memiliki kemampuan supranatural. Banyak kesaktian ditempelkan pada reputasinya.
Banyak orang yang rela antre berlama-lama untuk bisa bertemu dengan Gus Miek
dengan berbagai keperluan. Kemampuan supranatural itu, dalam istilah pesantren,
dinamakan khariqul ‘adat. Kalangan
awam memandang kemampuan semacam itu sebagai suatu keanehan.
Namun, di mata Gus Dur, kenyentrikan
Gus Miek terletak pada kearifannya yang telah menembus batasan agama. Melalui
transendensi keimanannya, ia tidak lagi melihat kesalahan pada keyakinan orang
beragama atau berkepercayaan lain. Contohnya, Gus Miek bersikap membimbing
kepada Ayu Wedhayanti, seorang Hindu yang kini telah berpindah hati ke Islam,
seperti yang dilakukannya terhadap Machica Mochtar, penyanyi asal Ujungpandang
yang muslim.
Gus Miek, karena itu, tidak segan
melepas jubah kekiaiannya dan bercengkerama dengan para penikmat hiburan malam
di diskotek, club malam, bar dan coffee shop. Ibarat kata, di mata Gus Miek,
seorang bajingan dan seorang suci adalah sama; manusia. Dan manusia memiliki
potensi untuk memperbaiki diri.
“Kerinduannya kepada realisasi potensi kebaikan pada diri manusia inilah
yang menurut saya menjadikan Gus Miek supranatural,” kata Gus Dur dalam
buku Gus Dur Menjawab Tantangan Zaman, terbitan Kompas, Jakarta, 1999.
Masa Kecil Hingga ke
Pernikahan
Hamim Tohari Djazuli adalah nama
lengkapnya. Beliau dilahirkan pada 17 Agustus 1940 di Kediri dari pasangan KH.
Jazuli Utsman dan Nyai Radhiyah. Nyai Radhiyah ini memiliki jalur keturunan
sampai kepada Nabi Muhammad Saw., sebagai keturunan ke-32 dari Imam Hasan bin
Ali bin Abi Thalib Ra. dengan Siti Fathimah az-Zahra.
Sejak kecil, Gus Miek sudah tampak
unik. Dia tidak suka banyak bicara, suka menyendiri. Dan bila berjalan selalu
menundukkan kepala. Akan tetapi Gus Miek juga sering masuk ke pasar,
melihat-lihat penjual di pasar, sering melihat orang mancing di sungai. Bila
keluarganya berkumpul, Gus Miek selalu mengambil tempat paling jauh.
Pada awalnya Gus Miek disekolahkan
oleh KH. Jazuli Utsman di SR (Sekolah Rakyat), tetapi tidak selesai karena dia
sering membolos. Setelah itu Gus Miek belajar al-Quran kepada ibunya, kepada
Hamzah, Khoirudin, dan Hafidz. Ketika pelajaran belum selesai Gus Miek sudah
minta khataman. Para gurunya jadi geleng-geleng kepala.
Pada tahun 1960 Gus Miek menikah dengan
Lilik Suyati dari Setonogedong. Pernikahan ini atas saran dari KH. Dalhar dan
disetujui KH. Mubasyir Mundzir, salah satu guru Gus Miek. Gadis itulah yang
menurut gurunya akan sanggup mendampingi hidupnya, dengan melihat tradisi dan
kebiasaan Gus Miek untuk berdakwah keluar rumah.
Pada awalnya pernikahan Gus Miek
dengan gadis Setonogedong ditentang oleh kedua orangtuanya, KH. Jazuli Utsman
dan Nyai Radhiyah. Setelah melalui proses yang panjang akhirnya pernikahan itu
disetujui. Saat itu Gus Miek sudah berdakwah ke diskotek-diskotek, ke tempat
perjudian dan lain-lain.
Merintis Jamaah
Dzikrul Ghofilin
Dari berbagai perjalanan, riyadhah
dan tabarrukan, Gus Miek akhirnya menyusun kembali wirid-wirid secara
tersendiri yang didapatkan dari para gurunya. Pada awalnya Gus Miek mendirikan
Jamaah Mujahadah Lailiyah tahun 1962. Sampai tahun 1971 jamaah yang dirintis
Gus Miek ini sudah cukup luas.
Metamorfosis dari komunits yang
dibangun Gus Miek, semakin menampakkan bahwa ia mengembangkan tradisi wirid di
luar kelompok tarekat yang sudah mapan di kalangan NU. Jamaah Mujahadah
Lailiyah yang dibangunnya berkembang menjadi Dzikrul Ghafilin. Pada tahun
1971-1973 susunan wirid-wirid Dzikrul Ghafilin diusahakan untuk dicetak,
terutama setelah jangkauan dakwah Gus Miek telah menjangkau Jember.
Bersama-sama KH. Achmad Shidiq yang
awalnya sangat menentang, tetapi akhirnya menjadi sahabatnya, naskah wirid Dzikrul
Ghafilin berhasil dicetak. Naskah-naskah yang tercetak dibagikan kepada
jaringan jamaah Gus Miek; di Jember di bawah payung KH. Achmad Shidiq, di
Klaten di bawah payung KH. Rahmat Zuber, di Yogyakarta di bawah payung KH.
Daldiri Lempuyangan, dan di Jawa Tengah di bawah payung KH. Hamid Kajoran
Magelang.
Disamping mengorganisir Dzikrul
Ghafilin, Gus Miek pada tahun 1986 juga mengorganisir sema’an al-Quran.
Beberapa bulan kemudian sema’an ini dinamakan Jantiko. Tahun 1987 sema’an al-Quran
Jantiko mulai dilakukan di Jember. Saat itu KH. Achmad Shidiq sudah menjadi
Rais Am Syuriyah PBNU yang diangkat oleh Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun
1984.
Dibandingkan Dzikrul Ghafilin, jamaah
Jantiko ini lebih cepat berkembang. Pada tahun 1989, Jantiko kemudian diubah
namanya menjadi Jantiko Mantab atau Jantiko Man Taba. Ada juga yang mengartikan
Mantab sebagai Majelis Nawaitu Tapa Brata. Dikatakan juga Man Taba itu berarti siapa bertaubat. Jantiko Mantab ini kemudian
berkembang ke berbagi daerah.
Berdakwah ke Tempat-tempat
Maksiat
Suatau hari, Gus Miek dengan diikuti
Gus Farid masuk ketempat hiburan malam. Di tempat orang suka dugem dan mengkonsumsi
narkoba serta minum-minuman keras, Gus Farid coba menutupi identitas Gus Miek
agar tidak dilihat dan dikenali pengunjung.
“Gus, apakah sampean jamaahnya kurang banyak? Apakah Sampean kurang kaya?
Kok masuk tempat seperti ini?” tanya Gus Farid penasaran. Usai
melontarkan pertanyaan, Gus Farid langsung kaget karena tak menyangka Gus Miek
terlihat emosi mendengar pertanyaan itu.
“Biar nanti saya cemar di mata manusia, tetapi tenar di mata Allah. Apalah
arti sebuah nama. Paling mentok, nama Gus Miek hancur di mata ummat. Semua
orang yang di tempat ini juga menginginkan surga, bukan hanya jamaah saja yang
menginginkan. Tetapi, siapa yang berani masuk? Kiai mana yang berani masuk ke
sini?” kata Gus Miek dengan penuh emosi.
Gus Farid terdiam. Tak lama setelah
itu Gus Miek pun kembali ceria seolah lupa dengan pertanyaan Gus Farid yang
baru saja disampaikan.
Kota Surabaya, salah satu kota yang
menjadi favorit Gus Miek, dan salah satu tempat yang paling sering beliau
singgahi adalah cafe di Hotel Elmi. Suasana malam khas cafe yang gaduh, dimana hentakan
musik menggebrak malam, dan di sudut-sudut ruangan penuh kepulan asap rokok
yang menyesakkan dada, berbaur bau alkohol yang menusuk hidung.
Di salah satu sudut pojok ruangan cafe
terlihat seorang lelaki berwajah teduh sedang mengobrol dikelilingi beberapa
orang. Tubuhnya sedang, rambutnya ikal dan di antara jemari tangannya terselip
sebatang rokok.
Terdengar kalimat-kalimat yang
menyejukkan dan sesekali terdengar tawa segar. Menurut orang-orang yang ada di sekelilingnya
tersebut, lelaki itu selain ada di cafe ini juga dikenal di beberapa diskotik
di Surabaya. Dan mereka semua memberikan julukan “Kyai Nyentrik”.
Gus Miek dan Al-Quran
Gus Miek seorang penghapal al-Quran.
Karena bagi Gus Miek, al-Quran adalah tempat mengadukan segala permasalahan
hidupnya yang tidak bisa dimengerti orang lain. Dengan mendengarkan dan membaca
al-Quran, Gus Miek merasakan ketenangan dan tampak dirinya berdialog dengan
Tuhan.
Jadi menurut Gus Miek, secara
batiniah sema’an al-Quran adalah hiburan yang hasanah, hiburan yang baik. Selain juga merupakan upaya pendekatan
diri kepada Allah dan sebagai tabungan di hari akhir.
Satu-satunya upaya untuk mengutarakan
sesuatu kepada Allah menurut beliau ialah lewat majelis sema’an al-Quran ini.
Karena berdasarkan sebuah hadits Nabi Saw.: “Barangsiapa
ingin berkomunikasi dengan Allah, maka beradalah di tengah-tengah suatu majelis
yang di dalamnya mengalun al-Quran.”
Gus Miek dan Kacamata
Hitam
Pernah suatu ketika Gus Farid (anak
KH. Ahmad Shiddiq yang sering menemani Gus Miek) mengajukan pertanyaan yang
sering mengganjal di hatinya, pertama bagaimana perasaan Gus Miek tentang wanita?
“Aku setiap kali bertemu wanita walaupun secantik apapun dia dalam
pandangan mataku yang terlihat hanya darah dan tulang saja. Jadi jalan untuk
syahwat tidak ada”, jawab Gus Miek.
Kedua, Gus Farid menayakan tentang
kebiasaan Gus Miek memakai kaca mata hitam baik itu di jalan maupun saat
bertemu dengan tamu. “Apabila aku bertemu
orang di jalan atau tamu aku diberi pengetahuaan tentang perjalanan hidupnya
sampai mati. Apabila aku bertemu dengan seseorang yang nasibnya buruk maka aku
menangis, maka aku memakai kaca mata hitam agar orang tidak tahu bahwa aku
sedang menagis”, jawab Gus Miek.
Wafatnya Gus Miek
Gus Miek wafat pada 5 Juni 1993. Jenazahnya
dimakamkan di Pemakaman Tambak Kediri, diiringi ratusan ribu kaum muslimin. Di
pemakaman ini pula KH. Achmad Shiddiq dimakamkan, di sebelah timur makam Gus
Miek. Di pemakaman ini pula terdapat tidak kurang dari 22 orang yang kebanyakan
menjadi guru sekaligus murid Gus Miek.
Mari ikhlaskan hati kita untuk
menghadiahkan surat al-Fatihah kepada beliau-beliau yang telah mendahului kita.
‘Ala kulli niyyatin shalihah wa ila hadhratin Nabiy Saw. al-Fatihah...
0 komentar:
Posting Komentar