PEWARIS PERJUANGAN
GURU MULIA
Al-Habib Umar bin
Muhammad bin Salim bin Hafidz BSA
Oleh: Al-Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa
Peristiwa agung itu terjadi ketika Guru Mulia Al-Habib Umar bin Hafidz berkunjung ke Indonesia pada tahun 1993.
Kepulangan beliau
merupakan ikatan janji untuk membawa santri-santri
buat menuntut ilmu kepada beliau di Tarim, Hadhramaut. Maka pada bulan Syawwal itu kami:
1. Ustadz
Muhammad al-Baiti (Sumenep), menantunya Al-habib Musthofa Ba’abud Kediri
2. Al-Habib Muhammad Haikal Khanamen (Jakarta),
3. Al-Habib Soleh al-Jufri (Solo),
4. Al-Habib Mahdi bin Muhammad al-Hiyed
(Tegal),
5. Ustadz
Munthohhar Ridho (Pontianak),
6. Ustadz Ahmad Idris (Palembang),
7. Ustadz Hamzah (Bekasi),
8. Ustadz Ridhwan al-Amri (Puncak,
Bogor),
9. Ustadz Nurhadi (Pasuruan),
10. Ustadz Mufti (Pasuruan),
11. Ustadz
Azmi at-Tamimi (Pontianak),
12. Ustadz
Ubaidillah (Jakarta),
13. Ustadz Yahya Rosyad (Purwodadi),
14. Ustadz Salim Nur (Malang),
15. Ustadz Ibrahim at-Tamimi (Pontianak),
16. Ustadz Junaidi (Pontianak),
17. Al-Habib Shadiq Hasan Baharun (Sumenep),
18. Al-Habib Quraisy Baharun (Bangil),
19. Al-Habib Abdul Bari bin Smith (Manado),
20. Al-Habib Ja’far Bagir al-Attas (Jakarta),
21. Al-Habib Hasan al-Muhdhor
(Samarinda),
22. Al-Habib Hasan bin Ismail al-Muhdhor (Purbalingga),
23. Al-Habib Hadi al-Aydrus (pasuruan),
24. Al-Habib Jindan bin Novel bin Jindan (Jakarta),
25. Al-Habib Sholeh bin Abdullah Al-Kaff (Jatibarang
Brebes)
26. Al-Habib Abdullah bin Hasan al-Haddad (Tegal),
27. Al-Habib Ali Zainal Abidin al-Hamid
(Jember),
28. Al-Habib Haidar al-Hinduan
(Situbondo),
29. Al-Habib Anis bin Husin al-Attas (Pekalongan),
30. Al-Habib Munzir bin Fuad al-Musawwa (Jakarta),
tiba di Tarim, disambut di kediaman Guru Mulia al-Habib Umar bin Hafidz.
Kami tinggal di kediaman Guru Mulia
al-Habib Umar bin Hafidz beberapa hari, lalu dipindahkan ke rumah kontrakan di belakang rumah beliau.
Rumah yang sangat sederhana, yang temboknya terbuat dari tanah dan lantainya dari
plester. Bila kami bersandar, tanah pasir
itu mencokelatkan baju kami.
Suasana yang sangat panas membuatbkami sangat sulit untuk bisa duduk
dengan tenang. Ditambah pula dalam beberapa waktu kemudian, berkecamuk perang saudara di Yaman, antara Yaman Utara dengan Yaman Selatan.
dengan tenang. Ditambah pula dalam beberapa waktu kemudian, berkecamuk perang saudara di Yaman, antara Yaman Utara dengan Yaman Selatan.
Kami tidak
terlibat dalam peperangan itu dan tidak terpengaruh
apa-apa, karena tempat belajar kami bukan
termasuk wilayah basis militer.
Kota Tarim tetap damai, tapi imbasnya adalah sulit mencari bahan pangan. Masya Allah.. beras
sulit, kami hanya dapat roti keras yang sudah membatu, tak bisa dimakan kecuali dibenamkan ke air agar lembut.
Listrik hanya menyala 6 jam setiap harinya, air minum pun sulit. Dan kami harus mengantri di masjid-masjid yang memang punya sumur sendiri.
Kami mngunjungi majelis-majelis di
kota Tarim stiap harinya dengan mobil Guru
Mulia al-Habib Umar bin Hafidz. Namun,
karena saat perang bensin tak ada, kami harus berjalan kaki sejauh kira-kira 2 km.
Guru Mulia al-Habib Umar bin Hafidz selalu menyejukkan hati kami. Beliaulah yang membuat ht kami tenang, walau kami tak punya uang lagi karena pengiriman uang dari luar negeri terputus. Bahkan telepon pun terputus dan kop surat ditutup.
Sisa-sisa
Roti
Meski sulit, beliau memberikan persediaan pangan untuk kami sebelum diri Guru Mulia al-Habib Umar bin Hafidz dan keluarga beliau.
Kami ingat, suatu malam, ketika kami selesai makan roti keras yang dicelup dengan kuah sone (kuah sayur), tinggallah potongan-potongan kecil yang akan dibuang. Tiba-tiba datanglah putra Guru Mulia, Salim namanya. Saat ptu usia Salim sekitar 5 tahun. Ia berkata: “Ayah, apakah
masih ada sisa roti dan kuah sone? Kami sekeluarga
belum asya (makan malam).”
Kami kaget, Masya Allah..!! tidak ada makanan.
Itu hanya potongan-potongan kecil
bekas kami makan. Salim memaksa untuk membawanya ke rumah, maka kami carikan dan kami pilihkan sisa-sisa yang masih baik, lalu dikumpulkan dan dibawa ke dapur beliau.
bekas kami makan. Salim memaksa untuk membawanya ke rumah, maka kami carikan dan kami pilihkan sisa-sisa yang masih baik, lalu dikumpulkan dan dibawa ke dapur beliau.
Demikian perjuangan kami, yang sangat sulit, dan lebih-lebih lagi perjuangan Guru Mulia al-Habib Umar bin Hafidz, karena terbebani tanggungan puluhan santri
Warga Negara Asing di rumah beliau.
Tahun demi tahun dakwah semakin berkembang. Kami sempat tinggal di kota Syihr dekat Mukalla, lalu kembali ke Tarim dan tinggal di
masjid Attaqwa. Kami hanya mendengar
bahwa ada bangunan untuk pesantren yang
sedang dibangun oleh Guru Mulia al-Habib Umar
bin Hafidz.
Kami tak tahu di mana persisnya hingga tahun 1998 Darul Musthafa diresmikan. Ancar-ancarnya sekitar 2 km dari pusat kota Tarim. Guru-gurunya diantaranya yaitu; Al-Habib Masyhur bin Hafidz (Mufti Tarim), juga Guru Mulia al-Habib Umar bin Hafidz, dan ada guru-guru dari Mesir.
Kami tinggal di Darul Musthafa hanya beberapa bulan sebelum pulang ke Indonesia. Tempat itu sangat mewah, dilengkapi AC, bus-busnya ber-AC juga, klinik, swimming pool, karpet tebal yang dikirim dari Inggris, bangunan mewah, Masya Allah...
Kami ingat, dulu kami membasahi baju dengan air agar bisa tidur, karena kipas tidak berjalan disebabkan ketiadaan
aliran listrik.
Kami ingat, dulu bila berangkat untuk ta’lim kami berjalan kaki di atas tanah yang berdebu di tengah teriknya matahari.
Kami ingat, dulu kami hanya bisa duduk di atas lantai bersemen dan tanah.
Kami ingat, dulu pakaian kami berwarna cokelat
karena jarang dicuci dengan sabun, sebab
harga sabun mahal, ditambah lagi air pun
sulit didapat.
Tahun 1998 kami kembali ke Tanah Air, dan angkatan baru terus berdatangan ke Darul Musthafa. Para alumnus itu kembali ke Tanah Air kelompok demi kelompok.
Semoga para santri ini mewarisi semangat juang Guru Mulia al-Habib Umar bin Hafidz.
Semoga cahaya sanubari beliau berpijar membimbing murid-muridnya, juga umumnya untuk seluruh muslimin, dalam kemuliaan dan keluhuran. Aamiin...
Sebagai pungkasan kami sertakan kalam Guru
Mulia Al-Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa:
“Sampaikan
semua yang engkau dengar dan kau fahami dari keluhuran sunnah Nabi Muhammad Saw.
Kepada temanmu, keluargamu, kerabatmu
dan siapa pun yang bisa disampaikan baik dengan ucapan, lewat surat, email,
sms, facebook, dan dengan apa saja yang bisa menjadi perantara untuk kau menyampaikan.”
0 komentar:
Posting Komentar