Mengenal Asal Muasal Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Mulanya adalah sebuah hadits dengan
banyak redaksi, yang salah satunya diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan
Al-Baihaqi. Rasulullah Saw dikabarkan pernah bersabda; “inna bani israil
iftaraqat ila itsnain wa sab’iina millatan, wa satafruqu ummatii ‘ala
tsalaatsatin wa sab’iina millatan kulluha fin nar illa millatan wahidatan”,
“Sesungguhnya bani israil terberai menjadi 72 golongan, dan umatku akan
terpecah menjadi 73 kelompok. Semuanya masuk neraka kecuali satu golongan”.
Penasaran dengan pernyataan Nabi, para sahabat lantas bertanya, “man hiya,
ya Rasulallah?”, “Siapa kelompok itu?”. Rasul pun menjawab, “man kaana
‘ala mitslii ma ana ‘alaihi wa ashabii”, yakni “orang-orang yang berada di
suatu ‘jalur’ yang sama dengan apa yang dilampahi olehku dan sahabatku”.
Dan benar saja, din (agama)
yang dibawa oleh Muhammad ibn Abdillah
ini pun kemudian terbukti terpecah belah. Meskipun banyak pengamat yang
berspekulasi bahwa motif mendasar dari perpecahan Islam adalah bukan
semata-mata persoalan diniyah, dan mereka (para peneliti itu)
menyebutkan alasan politis, tetapi tidak lama sepeninggal Nabi Saw, benih-benih
perselisihan ini mulai muncul. Tidak berselang lama, aliran-aliran –sebagaimana
disebut dalam hadits riwayat at-Tirmidzi dan al-Baihaqi di atas sebagai millah–
itu pun lahir. Kita sendiri kemudian mengenal nama-nama Khawarij, Murji’ah,
Qadariyah, Jabariyah, dan masih banyak lagi.
Dalam risalahnya, al-ghunyah,
As-Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani bahkan telah menandai sekaligus
mengklasifikasi ke-73 jenis golongan tersebut. Belakangan kita diberi tahu,
dari puluhan golongan yang ada, memang hanya satu yang “menang” (baca: benar).
Dan sang pemenang tersebut lantas kita identifikasi dengan sebutan Ahlus
sunnah wal jama’ah.
Dus, dari sini kemudian muncul
persoalan yang sama sekali baru –masalah yang barangkali tidak atau belum
terprediksi oleh ulama-ulama seperti Tasy Kubra Zadah, Al-Syahrastani, dan
bahkan Al-Jailani (alias mereka yang telah merintis penulisan tentang
aliran-aliran ideologis di dalam Islam).
Pada zaman kita, tentu saja kita
amat menyadari kenyataan ini, bermunculan pola pikir dan pola keberagamaan yang
boleh jadi tidak memiliki afiliasi dengan golongan-golongan yang selama ini
dikenal. Kita misalnya, tidak lagi menemukan nama kelam kelompok Mu’tazilah; ia
telah lama dikubur sejarah. Hari ini, faksi-faksi ideologis di dalam agama
Islam kita temukan dengan perwajahan plus penamaan yang sama sekali lain, yang
acapkali tidak serupa dengan yang pernah ditulis para ulama klasik.
Naasnya, kalau dulu pola ideologis
setiap aliran langsung bisa dibedakan dari kubu Ahlus sunnah wal
jama’ah, maka sekarang setiap kelompok –kemungkinan terdorong oleh
keberadaan hadits di atas– mengklaim diri sebagai yang paling Sunny (penamaan
bagi para pengikut Ahlus sunnah wal jama’ah). Alhasil, Aswaja (akronim
dari Ahlus sunnah wal jama’ah) pun kini beralih menjadi raut muka
yang kabur. Kepada kalangan awam, setiap satu dari aliran-aliran baru ini
memperkenalkan diri sebagai Ahlus sunnah wal jama’ah. Namun pada
tempat dan waktu yang berbeda, kalangan awam yang sama menemukan kelompok yang
lain, yang juga mengkhutbahkan diri sebagai Ahlus sunnah wal jama’ah.
Berkaca kepada perkembangan konteks
persoalan yang sedemikian rupa, menilik lagi, mendiskusikan kembali, dan
menjernihkan makna Ahlus sunnah wal jama’ah menjadi amat signifikan
–kalau bukan sangat mendesak. Dengan begini, semoga distorsi pemahaman atas
ideologi Ahlus sunnah wal jama’ah segera bisa diakhiri.
Terma Ahlus sunnah wal
jama’ah sebetulnya merupakan diksi baru, atau sekurang-kurangnya tidak
pernah digunakan sebelumnya di masa Nabi dan pada periode Sahabat.[i] Bahkan menurut catatan, kata ini
belum dipakai pada kurun tabi’in (masa sesudah periode
Sahabat) dan/atau tabi’ut tabi’in (masa sesudah periode tabi’in).
Pada masa Al-Imam Abu Hasan Al-Asy’ari (w. 324 H) umpamanya, orang yang
disebut-sebut sebagai pelopor madzhab Ahlus sunnah wal jama’ah itu,
istilah ini belum digunakan. Sebagai terminologi, Ahlus sunnah wal
jama’ah baru diperkenalkan hampir empat ratus tahun pasca meninggalnya
Nabi Saw, oleh para Ashab Asy’ari (pengikut Abu Hasan Al-Asy’ari)
seperti Al-Baqillani (w. 403 H), Al-Baghdadi (w. 429 H), Al-Juwaini (w. 478 H),
Al-Ghazali (w.505 H), Al-Syahrastani (w. 548 H), dan al-Razi (w. 606 H).
Memang jauh sebelum itu, kata-kata sunnah dan jama’ah sudah
lazim dipakai dalam tulisan-tulisan arab, meski bukan sebagai terminologi dan
bahkan sebagai sebutan bagi sebuah madzhab keyakinan. Ini misalnya terlihat
dalam surat-surat Al-Ma’mun kepada gubernurnya Ishaq ibn Ibrahim pada tahun 218
H, sebelum Al-Asy’ari sendiri lahir, tercantum kutipan kalimat wanasabu
anfusahum ilassunnah (mereka mempertalikan diri dengan sunnah),
dan kalimat ahlul haq waddin wal jama’ah (ahli kebenaran,
agama dan jama’ah).[ii]
Pemakaian Ahlus sunnah wal
jama’ah sebagai sebutan bagi kelompok keagamaan justru diketahui lebih
belakangan, sewaktu Az-Zabidi menyebutkan dalam Ithaf Sadatul Muttaqin,
penjelasan atau syarah dari Ihya Ulumiddinnya Al-Ghazali: idza
uthliqa uthliqa ahlus sunnah fal muradu bihi al-asya’irah wal maturidiyah (jika
disebutkan ahlussunnah, maka yang dimaksud adalah pengikut
Al-Asy’ari dan Al-Maturidi).[iii]
Istilah Ahlus sunnah wal
jama’ah memang tidak pernah secara eksplisit ditemukan di dalam Al-Quran
maupun Al-Hadits. Tetapi meskipun begitu, menurut sejumlah keterangan, nama
Aswaja digali dari hadits Nabi tentang 73 aliran. Bahwa pada hadits tersebut
Nabi menyebut kata “ma ana ‘alaihi wa ashabii”. Redaksi sunnah
diturunkan dari potongan “ma ana ‘alaih” (jalur yang aku
[Nabi] tempuh, yang juga biasa disebut dengan sunnah), dan jama’ah diambilkan
dari “ashabii” (jalur yang ditempuh oleh sekumpulan [jama’ah]
shabat).
Secara linguistik makna Ahlus
sunnah wal jama’ah dapat ditelusuri sebagai berikut:
1.
Ahl
Menurut Fairuzabadi dalam Al-Qamus
Al-Muhith, kata Ahl berarti “pemeluk aliran”. Sedangkan
menurut Ibrahim Anies dalam Al-Mu’jam Al-Wasith, kata Ahl bermakna
“pengikut madzhab”. Lebih jauh, dalam Dhurul Islam, Ahmad Amin
menjelaskan bahwa kata Ahl merupakan badal nisbah sehingga
jika dikaitkan dengan kata yang lain, misalnya kata As-sunnah,
mempunyai arti orang yang berpaham Sunni alias As-Sunniyun.
2. As-Sunnah
Dalam khazanah ilmu hadits, As-Sunnah biasanya
disejajarkan pengertiannya dengan Al-Hadits. Tetapi makna harfiyah
dari kata ini sebenarnya adalah At-Thariqah, atau jalan. Dengan
demikian, masih menurut Amin dalam buku yang sama, As-Sunnah
adalah jalan yang ditempuh oleh Sahabat Nabi dan Tabi’in.
3.
Al-Jama’ah
Menurut Ibrahim Anis, Al-Jama’ah berarti
sekelompok orang yang memiliki tujuan. Dalam At-Tabshir fid Din wa
Tamyizul Firqah An-Najiyah ‘anil Firaqil Halikin karya Al-Isfirayini
ditemukan penjelasan bahwa apabila kata Al-Jama’ah dikaitkan
dengan sekte-sekte Islam (Al-Madzhahib Al-Islamiyah), maka ia hanya
berlaku di kalangan Ahlus Sunnah karena di kalangan Khawarij
ataupun Rafidhah (Syi’ah) belum dikenal penggunaan kata Al-Jama’ah.
Sementara itu, di kalangan Mu’tazilah tidak menerima Ijma’ sebagai
suatu landasan hukum.[iv]
Dari eksplanasi linguistik terhadap
terma Ahlus sunnah wal jama’ah di atas kita dapat menyimpulkan
bahwa Aswaja adalah “Madzhab yang merujuk kepada thariqah Nabi,
yang kemudian dilembagakan (ditradisikan) oleh generasi Sahabat dan Tabi’in,
dan yang merupakan pegangan bagi mayoritas umat Islam”.
Pemaknaan seperti ini memiliki
kesejajaran dengan penjelasan para ulama’. Hadlratus Syaikh Hasyim
Asy’ari, dalam Risalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, menjelaskan bahwa
pengertian As-Sunnah menurut Syara’ adalah “jalan atau cara
yang diridhai dalam menempuh agama Allah sebagaimana yang telah ditempuh oleh
Rasululullah Saw atau selain beliau, yakni mereka yang memiliki otoritas
sebagai panutan di dalam masalah agama, seperti para Sahabat Radhiyallahu
‘anhum”. Ini didasarkan kepada hadits Nabi Saw yang berbunyi; “‘alaikum
bi sunnatii, wa sunnatil khulafa’ir rasyidina min ba’di”. Artinya,
“Tetaplah kalian untuk berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnahnya Al-Khulafaur
Rasyidin, setelahku”.
As-Sunnah, ditinjau dari sudut ‘Urf (pemakaian
secara umum), masih menurut sang Hadhratus Syaikh, berarti “pengetahuan
yang menjadi jalan atau pandangan hidup yang dipegangi secara konsisten oleh
tokoh yang menjadi panutan, apakah ia sebagai nabi ataupun wali”.[v]
Sementara itu, tidak berbeda dari
pemaknaannya secara linguistik, Al-Jama’ah berarti kelompok
mayoritas, atau yang dalam bahasa Islam disebut sebagai As-Sawad Al-A’dzam.
Pemaknaan seperti ini didasarkan kepada hadits Nabi Saw yang salah satunya
diriwayatkan oleh Ibnu Majah, beliau bersabda; “Inna ummati la tajtami’u
‘ala dhalalatin fa idza ra’aitumul ikhtilafa fa ‘alaikum bis sawadil a’zham”,
artinya “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada keburukan, maka
apabila kalian melihat gelagat perpecahan (pertentangan pendapat), berpeganglah
pada as-sawad al-a’zham (kelompok mayoritas)”.[vi]
Dari sini dapat diketahui bahwa
tidak semua kelompok keagamaan yang mengklaim diri sebagai Ahlus
sunnah wal jama’ah, adalah benar-benar Aswaja. Pola umum yang mendasari
penyebutan Ahlus sunnah wal jama’ah setidaknya dapat kita
catat di sini: “bersiteguh menjalankan ajaran Al-Kitab dan As-Sunnah, dengan
menjadikan umat/kelompok terdahulu (salaf), yang terdiri dari sahabat,
tabi’in dan para imam-imam pemuka (shudurul a’immah) atau yang kemudian
disebut sebagai as-sawad al- A’dzam (golongan mayoritas)
sebagai anutan”.
Barangkali tidak satu pun
aliran-aliran keagamaan yang lahir dari rahim Islam yang tidak menisbatkan diri
kepada Al-Quran dan Al-Sunnah. Khawarij mengaku sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunnah,
begitupun Murji’ah, Syi’ah, Mu’tazilah, dan lain sebagainya. Tetapi terbukti,
seperti ditegaskan oleh sejarah, aliran-aliran ini tumbang dikarenakan anomali
dari dalam tubuh mereka sendiri. As-sawad al- A’dzam (mayoritas
umat Islam), yang dijamin Nabi tidak akan menyeleweng itu, dan yang tentu saja
tidak mungkin keluar dari arahan Al-Quran dan As-Sunnah, kemudian menegaskan
pilihannya kepada paham Ahlus sunnah wal jama’ah.
Hal yang mendasari imunitas (daya
tahan) keberadaan paham Ahlus sunnah wal jama’ah adalah
sebagaimana dikutip oleh Said Aqil Siradj, bahwa Ahlus sunnah wal
jama’ah adalah “Ahlu minhajil fikri ad-dini al-musytamili ‘ala
syu’uunil hayati wa muqtadhayatiha al-qa’imi ‘ala asasit tawassuthu wat
tawazzuni wat ta’adduli wat tasamuh”, atau “orang-orang yang memiliki
metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan
atas dasar-dasar moderasi, menjaga keseimbangan dan toleransi”.[vii]
Prinsip dasar yang menjadi ciri khas
paham Ahlus sunnah wal jama’ah adalah tawassuth,
tawazzun wat ta’adul, dantasamuh; moderat, seimbang dan netral,
serta toleran. Sikap pertengahan seperti inilah yang dinilai paling selamat,
selain bahwa Allah telah menjelaskan bahwa umat Nabi Muhammad adalah ummat
wasath, umat pertengahan yang adil (QS. Al-Baqarah : 143).
Prinsip dasar seperti inilah yang
kemudian mengukuhkan pandangan Asy’ariyah dan Maturidiyah (paham-paham i’tiqadiyah yang
dirintis oleh Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturidi) sebagai paham Ahlus
sunnah wal jama’ah di bidang akidah. Tidak seperti pandangan Khawarij
yang menerapkan nash-nash keagamaan secara
tekstualistik ketat, dan bukan sama dengan Mu’tazilah yang cenderung mendewakan
akal, paham Ahlus sunnah wal jama’ah (dalam hal ini
direpresentasikan dalam Asy’ariyah dan Maturidiyah) menjembatani (bersikap
moderat atas) keduanya.
Sebelum mengemukakan pandangan
keagamaannya, Abu Hasan Al-Asy’ari adalah seorang mu’tazily (penganut
Mu’tazilah). Sebelum kemudian ia bermimpi bertemu dengan Nabi Saw, dimana dalam
mimpi tersebut sang Nabi bersabda: “Hai Ali (nama lengkapnya adalah Abu Hasan
Ali Al-Asy’ari), aku tidak memerintahkanmu meninggalkan ilmu kalam, namun aku
hanya menyuruhmu membela madzhab yang telah disampaikan dariku (al-madzahib
al-marwiyyah ‘annii), karena itulah yang haq”. Dengan demikian, seperti Abu
Hasan Al-Asy’ari sebenarnya hanya meneruskan madzhab-madzhab sebelumnya yang
bersumber dari Nabi Saw.[viii]
Tidak mengherankan apabila hampir
keseluruhan imam-imam besar, seperti Al-Ghazali, Al-Mahalli, As-Suyuthi, dan
lain-lain adalah sekaligus pembela Asy’ariyah. Dan berkat merekalah paham
Ahlus sunnah wal jama’ah ini sampai kepada kita sekarang.
Demikianlah pandangan Ahlus
sunnah wal jama’ah pada ranah akidah. Di bidang furu’ (fiqh),
ciri khas moderasi yang sama juga dicerminkan dengan baik oleh keempat imam
mujtahid (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ibn Hanbal) berikut para ashhab mereka. As-sawad
al-a’dzam kemudian melestarikan madzhab fiqh mereka hingga sampai
kepada kita di zaman ini. Demikian pula di bidang tasawuf, moderasi ala
Al-Ghazali dan Al-Junaid Al-Baghdadi dipilih.
Di sinilah kenapa taqlid (mengikuti)
kepada imam-imam tersebut di atas menjadi sangat urgens. Qaul-qaul para
imam ini telah disepakati oleh as-sawad al- a’dzam (golongan
mayoritas), dan apabila hal ini dikaitkan dengan penjelasan Nabi tentang sifat as-sawad
al- a’dzam di atas, maka secara otomatis kelompok yang paling selamat
adalah mereka yang mengikuti as-sawad al- a’dzam, alias mereka yang
secara akidah berkaca kepada madzhab Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur
Al-Maturidi, dan secara fiqh berkiblat kepada salah satu dari madzahib
arba’ah (madzhab empat).
Barangkali karena hal inilah,
orang-orang dengan kapasitas intelektual yang hebat, seperti Al-Ghazali dan As-Suyuthi,
yang kecerdasannya sebetulnya telah mampu mengantarkan mereka menjadi Mujtahid
(penggali hukum dari nash-nya langsung), tetap memilih untuk bermadzhab
secara fiqh kepada Asy-Syafi’i dan secara akidah kepada Abu Hasan Al-Asy’ari
dan Abu Manshur Al-Maturidi.
Pendeknya, dapat disimpulkan
sekarang, bahwa paham Ahlus sunnah wal jama’ah adalah pandangan
Islam yang secara akidah mengikuti Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur
Al-Maturidi, secara Fiqh mengikuti salah satu dari keempat Imam Madzhab yakni
Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ibnu Hanbal, dan secara tasawuf mengikuti
Al-Ghazali dan Al-Junaid Al-Baghdadi. Kelompok inilah yang dinilai oleh jumhur (mayoritas
ulama’) sebagai mu’tabar (valid), yang melestarikan hingga
sampai ke hadapan kita saat ini, laku salaful ummah yang
bersumber pada Al-Quran dan As-Sunnah.
Paham Ahlus sunnah wal jama’ah sampai
ke hadapan kita, umat muslim kontemporer, dengan susah payah. Sepanjang
sejarah, ia dihadapkan kepada pelbagai jenis aliran, yang terbukti tidak
dinukil dari as-sawad al-a’dzam.
Beberapa diantaranya muncul
belakangan dengan mengumandangkan jargon yang amat menarik; kembali pada
Al-Quran dan As-Sunnah. Tetapi pada saat yang sama kelompok ini menolak sikap
bermadzhab dan bahkan tidak jarang mengajarkan kebencian yang berlebihan kepada
para imam madzhab.
Lepas dari siapa yang benar dan
siapa yang salah, sikap keberagamaan kelompok Ahlus sunnah wal jama’ah sangat
jelas; seperti diajarkan oleh Nabi, ketika terjadi pertikaian pendapat, maka
yang harus dipegang adalah pandangan as-sawad al- a’dzam. Dalam
pada itu, pandangan as-sawad al-a’dzam ini terejawantah dalam
wujud tradisi bermadzhab, yang secara muttashil bersambung
kepada tradisi (sunnah) para salaf, dengan bukti kodifikasi
paham-paham keagamaan yang rapi seperti dalam wujud al-kutub al-qadimah (kitab-kitab
klasik) atau biasa disebut al-kutub as-shafra’ (kitab kuning).
Dalam pada itu, patut untuk dicatat
di sini beberapa “peringatan” dari para ulama, diantaranya dalam sullamul
ushul syarhu nihayatis suul, yang artinya; “Rasulullah Saw bersabda;
‘ikutilah as-sawad al-a’dzam (golongan mayoritas)’.
Dan ketika madzhab-madzhab yang
benar telah punah dengan kematian para imam-imamnya kecuali empat madzhab yang
pengikutnya tersebar luas, maka mengikuti empat madzhab tersebut adalah
mengikuti as-sawad al- a’dzam dan keluar dari empat mazhab
tersebut, berarti keluar dari as-sawad al- a’dzam”.[ix] Pun As-Syaikh Amin Al-Kurdi dalam Tanwirul
Qulub menekankan, yang artinya; “dan barangsiapa yang tidak mengikuti
salah satu dari mereka (imam-imam madzhab) dan berkata: ‘saya beramal
berdasarkan Al-Quran dan Hadits’, serta mengaku telah mampu memahami
hukum-hukum Al-Quran dan Hadits, maka orang tersebut tidak bisa diterima,
bahkan termasuk orang yang bersalah, sesat dan menyesatkan, terutama pada masa
sekarang ini di mana kefasikan merajalela dan banyak tersebar dakwah-dakwah
yang salah, karena ia ingin mengungguli para pemimpin agama padahal ia di bawah
mereka dalam ilmu, amal, keadilan dan analisis”.
Pikirkan bahwa peringatan tersebut
di atas dikemukan puluhan dan bahkan ratusan tahun yang lalu. Bagaimana dengan
sekarang? Wallahu a’lam bis shawab.
Daftar Bacaan
·
Said Aqil
Siradj, 2008, Ahlussunnah wal Jama’ah; Sebuah Kritik Historis,
Jakarta: Pustaka Cendikia Muda.
·
Harun
Nasution, 2008, Teologi Islam; Aliran-Aliran, Sejarah Analisa
Perbandingan, Jakarta: UI Pres.
·
Asy-Syaikh
Hasyim Asy’ari, 2006, Qanun Asasi; Risalah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah,terjemah
oleh Zainul Hakim, Jember: Darus Sholah.
·
Al-Habib
Zainal Abidin Al-‘Alawi, tt, Al-Ajwibah Al-Ghaliyah fi ‘Aqidatil Firqah
An-Najiyah, Jakarta: Darul ‘ilmi wad Da’wah.
·
Sahal
Mahfudh, KH. M. A. (Peng.), 2007, Solusi Problematika Aktual Hukum
Islam, Surabaya: Khalista.
[i] Said Aqil Siradj, Ahlussunnah
wal Jama’ah; Sebuah Kritik Historis, Jakarta: Pustaka Cendikia Muda, 2008,
hlm. 6
[ii] Harun Nasution, Teologi
Islam; Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Pres, 2008,
hlm. 65
[iii] Siradj, Op.Cit.,
hlm. 7
[iv] Siradj, Ibid, hlm. 5
[v] As-Syaikh Hasyim Asy’ari, Qanun
Asasi; Risalah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah,terjemah oleh Zainul Hakim, Jember:
Darus Sholah, 2006.
[vi] Al-Habib Zainal Abidin Al-‘Alawi, Al-Ajwibah
Al-Ghaliyah fi ‘Aqidatil Firqah An-Najiyah, Jakarta: Darul ‘ilmi wad
Da’wah, tt, hlm. 40
[vii] Siradj, Op.Cit.,
hlm. 8
[viii] Siradj, Ibid, hlm.
6
[ix] Sahal Mahfudh (Peng.), Solusi
Problematika Aktual Hukum Islam, Surabaya: Khalista, 2007, hlm. 235
0 komentar:
Posting Komentar