Home » » MUHAMMADIYAH TIDAK IDENTIK DENGAN WAHABI

MUHAMMADIYAH TIDAK IDENTIK DENGAN WAHABI

Written By MuslimMN on Jumat, 18 Januari 2013 | 12.58



MUHAMMADIYAH TIDAK IDENTIK DENGAN WAHABI

Oleh: Prof. Dr. H. A. Athaillah, M.Ag

I.            Pendahuluan

Kita selaku umat Islam patut bersyukur kepada Allah Swt. yang telah memberikan kemampuan kepada organisasi Islam yang bernama Muhammadiyah untuk memelihara kemurnian ajaran Islam dan sekaligus melaksanakan pembaruan di kalangan masyarakat Muslim Indonesia. Selama 100 tahun atau satu abad sejak didirikannya oleh KH. Ahmad Dahlan pada tahun 1912 yang lalu, Muhammadiyah tidak pernah absen memberikan kontribusinya kepada umat Islam pada khususnya dan kepada bangsa Indonesia pada umumnya. Kontribusi tersebut, baik yang berkenaan dengan kemaslahatan untuk agama dan dakwah maupun yang berkenaan dengan kemaslahatan untuk pendidikan dan sosial. Hal itu dapat disaksikan realitasnya dengan jelas dari waktu ke waktu.

Meskipun demikian, tidak berarti Muhammadiyah sunyi dari isu-isu yang dapat merugikan nama baik dan citranya. Karena sejak awal berdiri hingga sekarang ini, Muhammadiyah telah dituduh Wahabi dalam arti negatif oleh para pesaingnya. Lebih daripada itu lagi, Wahabi itu sendiri telah dituduh menjadi dasar ideologi terorisme, terutama di Indonesia. Dengan demikian, logikanya adalah Muhammadiyah sama dengan terorisme.

Tuduhan tersebut perlu diklarifiksi dan dijawab sebagaimana mestinya, karena tuduhan tersebut disamping merugikan Muhammadiyah, juga tidak berdasarkan fakta, tetapi hanya berdasarkan opini dan dugaan semata. Untuk klarifikasi dan jawaban tersebut, Penerbit Suara Muhammadiyah telah menerbitkan buku yang berjudul Muhammadiyah dan Wahanisme yang sekaligus merupakan kumpulan makalah yang disampaikan oleh para pakarnya dalam sebuah seminar dengan tema Kupas Tuntas gerakan Wahabi pada tanggal 10 Desember 2012.

Apa yang telah dipaparkan dalam buku tersebut dapat diterima dan sudah cukup untuk menjawab tuduhan yang dialamatkan kepada Muhammadiyah. Meskipun demikian, dalam kesempatan bedah buku Muhammadiyah dan Wahabisme ini, akan disampaikan juga beberapa hal yang mendukung apa yang telah dipaparkan dalam buku tersebut sesuai dengan permintaan Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Kalimantan Selatan. Untuk itu, maka paparannya mencakup (a) Sekilas tentang kelahiran Wahhabiyyah, gerakan, dan ajaran-ajarannya, (b) Sekilas tentang Muhammadiyah, persamaan dan perbedaannya dengan Wahabi, (c) Muhammadiyah tidak dipengaruhi oleh Wahabi, tetapi oleh gerakan dan pemikiran pembaruan yang diusung oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla, (d) Penutup.

II.            Sekilas tentang Kelahiran Wahabi, Gerakan dan Ajaran-Ajarannya

Sebelum melakukan analisis tentang hubungan Muhammadiyah dengan Wahabi, terlebih dahulu kita perlu mengetahui latar belakang kelahiran Wahabi, gerakan, dan ajaran-ajarannya.

Wahabi atau Wahhabiyyah adalah salah satu aliran dalam Islam yang lahir di Nejd (Saudi Arabia). Aliran tersebut didirikan oleh Muhammad ibn Abd al-Wahhāb (1115 H-1206 H/1703-1787 H) di desa ‘Uyaynah yang terletak di Nejd. 

Setelah menimba ilmu pengetahuan agama di Madinah, ia pergi merantau ke Basrah dan tinggal di kota itu selama empat tahun. Setelah itu, ia pindah ke Baghdad dan kawin dengan seorang wanita kaya. Lima tahun kemudian, setelah isterinya meninggal dunia, ia pindah ke Kurdistan dan menetap di sana selama satu tahun. Setelah itu ia pindah ke Hamażan dan menetap di sana selama dua tahun. 

Setelah itu, ia pindah lagi ke Isfahan. Di kota yang terakhir ini ia sempat mempelajari filsafat dan tasawuf. Setelah beberapa tahun lamanya merantau, ia akhirnya kembali ke ‘Uyaynah, tempat kelahirannya. (Harun Nasution, 1975: 23)

Setelah beberapa bulan kembali ke desa ‘Uyaynah, Muhammad ibn Abd al-Wahhab mulai melakukan gerakannya untuk memperbaiki kondisi umat Islam di desa kelahirannya. Gerakan itu dilakukannya, bukan merupakan respon dan reaksi terhadap suasana politik di Nejd seperti yang terdapat di Kerajaan Utsmani dan Mughol, melainkan sebagai respon dan reaksi terhadap pemahaman tauhid yang berkembang di masyarakat Muslim waktu itu; dan pemahaman mereka itu menurutnya, sudah menyimpang dari paham tauhid yang sebenarnya. Menurutnya, kemurnian tauhid mereka telah dirusak oleh ajaran-ajaran tarekat yang semenjak abad ke-13 M telah tersebar luas di dunia Islam. (Harun Nasution, 1975: 23)

Pengrusakan kemurnian tauhid tersebut telah disaksikan oleh Muhammad Abd al-Wahhab di setiap negeri Islam yang telah dikunjunginya. Di setiap kota dan desa di negeri-negeri Islam tersebut terdapat kuburan-kuburan syekh-syekh dan wali-wali tarekat yang dianggap keramat. Ke kuburan-kuburan itulah umat Islam berziarah dan memohon pertolongan kepada syekh-syekh dan wali-wali yang terbaring di dalamnya agar berkenan menyelesaikan masalah-masalah yang mereka hadapi, baik yang berkenaan dengan keinginan untuk mendapatkan anak, jodoh, harta kekayaan maupun yang berkenaan dengan keselamatan dari bala dan kesembuhan dari penyakit yang diderita. Umat Islam melakukan hal itu, karena menurut keyakinan mereka, syekh-syekh dan wali-wali tarekat itu meskipun telah meninggal dunia dipandang dapat menyelesaikan segala persoalan yang hadapi manusia di dunia ini. (Harun Nasution, 1975: 23)

Menurut Muhammad Abd al-Wahhab, karena pengaruh ajaran tarekat tersebut, permohonan dan doa tidak lagi langsung dipanjatkan kepada Allah Swt. sebagaimana yang diajarkan oleh Allah dan RasulNya, tetapi melalui syafaat dari syekh-syekh dan wali-wali tarekat, yang diyakini sebagai orang-orang yang dapat mendekati Allah dan mendapatkan rahmatNya. Menurut keyakinan orang-orang yang berziarah ke kuburan-kuburan syekh-syekh dan wali-wali tersebut, Allah tidak dapat didekati, kecuali melalui perantara. Menurut Ahmad Amin, bagi mereka, Allah itu seperti seorang raja yang dzalim di dunia, yang untuk memperoleh belas kasihan dan keampunannya harus didekati melalui orang-orang besar dan berkuasa di sekiarnya. (Harun Nasution, 1975: 24)

Pada mulanya gerakan dan paham Muhammad Abd al-Wahhab tersebut mendapat tantangan yang keras dari masyarakatnya, termasuk dari keluarganya sendiri. Meskipun demikian, ia masih mendapatkan pengikut yang banyak. Diantaranya, banyak pula yang berasal dari luar desanya. Namun, karena paham dan gerakannya telah menimbulkan berbagai keributan di desanya, ia pun diusir oleh penguasa setempat. 

Karena itu, ia dan keluarganya terpaksa meninggalkan ‘Uyaynah dan hijrah ke Dar’iyah, sebuah desa tempat tinggal Muhammad ibn Sa’ud, kepala suku yang kelak menjadi nenek moyang raja-raja Kerajaan Sa’udi Arabia secara turun termurun. 

Kebetulan tokoh yang terakhir ini sudah mengikuti paham yang dibawanya dan mendukung dan memberikan fasilitas untuk gerakan dan penebaran pahamnya. Dengan hijrahnya Muhammad ibn Abd al-Wahhab dari ‘Uyaynah ke Dar’iyah, telah membawa keberuntungan kepadanya. Karena dengan bergabungnya kedua tokoh tersebut telah membuat paham Wahhabiyyah berkembang pesat di Saudi Arabia, terlebih lagi setelah berdiri kerajaan Su’udiyah, tidak ada lagi yang dapat menghalangi perkembangan gerakan dan paham Wahhabiyyah.

Sepeninggal Muhammad ibn Sa’ud, anak dan keturunannya yang telah menjadi penguasa di Saudi Arabia terus memberikan dukungan dan ikut mengembangkan paham Muhammad Abd al-Wahhab. Bahkan, meskipun kerajaan Saudi Arabia telah mengalami pasang surut dan diantara para penguasanya telah dihukum mati oleh kerajaan Usmani, paham Muhammad ibn Abd al-Wahhab tetap berjaya di sana. Begitu pula setelah tokohnya sendiri wafat pada tahun 1206/1795 M), paham tersebut telah memiliki kedudukan yang kuat di tanah suci, baik dari segi penerimaan oleh masyarakat Muslim di sana maupun dari segi politik.

Paham dan gerakan yang berasal dari Muhammad ibn Abd al-Wahhab ini dinamai Wahabi atau Wahhabiyyah. Namun, nama tersebut, bukan berasal dari pendirinya atau para pengikutnya, melainkan dari pihak lain yang telah menentangnya. 

Sebenarnya nama Wahabi atau Wahhabiyyah tersebut tidak tepat, karena nisbahnya bukan kepada pendirinya, tetapi kepada ayahnya yang tidak ada terlibat dalam pengembangan ajaran-ajaran anaknya. Nama yang tepat adalah Muhammadiyyah sesuai dengan nama pendirinya Muhammad ibn Abd al-Wahhab. Namun, mereka sendiri menyebut paham dan gerakan mereka itu dengan Muwahhidin, Ahl as-Sunnah wa al-Jamū’ah, dan Salafiyah. Alasan mereka mengatakan demikian, karena mereka hanya menganut dan mengikuti apa yang telah dianut dan dilakukan oleh Rasulullah Saw, para sahabat, dan para salafussaleh yang mengikutinya. Sistem tarekat (metode) yang mereka ikuti adalah Muhammadan (kata ini dapat menunjuk kepada Muhammad ibn Abd al-Wahhab, tetapi juga bisa mengisyaratkan kepada Nabi Muhammad Saw).(Tim Penulis IAIN Syahid, 2002: 1242)

Muhammad ibn Abd al-Wahhab dan para pengikutnya mengaku bahwa mereka adalah golongan Sunni, pengikut madzhab Ahmad ibn Hanbal versi Ibn Taimiyah. Karena itu, pokok-pokok akidah menurut Wahabi pada dasarnya tidak berbeda dengan yang telah dikemukakan Ibn Taimiyah. Perbedaannya hanya pada cara melaksanakan dan menafsirkan beberapa masalah tertentu. 

Disamping itu, kalau Ibn Taimiyah menanamkan paham-pahamnya kepada orang lain dengan cara menulis buku, dialog, dan perdebatan, Muhammad Abd al-Wahhab menanamkan paham dan ajaran-ajarannya dengan kekerasan sehingga tanpa rasa risih menuduh orang yang menolaknya sebagai orang kafir dan syirik yang boleh dibunuh aau membongkar kuburan dan meratakannya dengan tanah dan merusak bangunan masjid kalau itu dianggapnya merupakan tempat yang membawa kepada kemusyrikan.

Ajaran-ajaran Muhammad Abd al-Wahhab atau Wahhabiyyah tersebut, antara lain:
1)      Orang yang beribadah kepada selain Allah adalah kafir; karena itu boleh dibunuh.
2)      Oleh karena Allah adalah Maha Esa dalam menerima ibadah, maka tidak boleh berdoa kepada Allah melalui perantara (wasilah).
3)      Meminta pertolongan kepada syekh-syekh atau wali-wali tarikat yang terbaring dalam kuburan, baik untuk mendapatkan jodoh, anak, rizki, dan keselamatan adalah syirik.
4)      Haram berdzikir dan membaca wiirid dengan menggunakan tasbih, tetapi cukup dengan menghitung keratan jari.
5)      Bid’ah, takhayul, dan khurafat wajib dibasmi
6)      Termasuk perbuatan bid’ah adalah memperingati maulid Nabi Saw., menyelenggarakan halaqah zikir, membaca kitab-kitab manaqib, kitab-kitab tawassulat, dan Dalail al-Khairat.
7)      Pintu ijtihad tidak tertutup; karena itu siapa saja yang sudah memenuhi syarat-syaratnya, boleh berijtihad.
8)      Tidak boleh taklid dalam beragama
9)      Sumber ajaran Islam hanya al-Quran dan as-Sunnah. Kalau masih diperlukan ijtihad untuk menggali hukum yang tidak ada nasnya di dalam al-Quran dan as-Sunnah, kedudukannya bukanlah sebagai sumber, melainkan sebagai metode saja, termasuk di dalamnya Qiyas.
10)  Kalau terdapat pertentangan antara pendapat Imam madzhab, seperti Ahmad ibn Hanbal dengan al-Quran dan al-Hadits, pendapat Imam mereka, mereka tinggalkan dan mereka ambil penegasan dari al-Quran atau as-Sunnah.

III.            Sekilas tentang Muhammadiyah, Persamaan dan Perbedaannya dengan Wahhabi

Sebagaimana yang sudah diketahui Muhammadiyah adalah sebuah perserikatan Islam yang didirikan di Yogyakarta pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18 Nopember 1912 M. Pendiri pergerakan tersebut adalah KH. Ahmad Dahlan yang lahir pada 1869 di Yogyakarta dari keluarga ulama. Setelah belajar berbagai ilmu pengetahuan agama di berbagai pondok pesantren di Jawa, pada 1890 ia berangkat ke Mekkah untuk belajar lagi dengan berguru pada Syekh Ahmad Khatib, ulama Indonesia yang terkenal di Mekkah waktu itu. Namun, setelah setahun belajar di sana, ia kembali ke tanah air. Pada tahun 1903, ia berangkat lagi ke Mekkah, kemudian menetap di sana selama dua tahun.

Ketika menetap yang kedua kalinya di tanah suci inilah KH. Ahmad Dahlan sempat bertemu dengan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, murid Syekh Muhammad Abduh, tokoh pembaharuan Islam di Mesir yang terkenal itu. Sejak saat itu, ia bercita-cita untuk melakukan pembaharuan di kalangan umat Islam di tanah air (Tim Penulis IAIN Syahid, 2002: 770).

Apalagi kondisi umat Islam pada waktu itu sedang terkebelakang, terpuruk, dan tidak berdaya dalam menghadapi kedijayaan dan keserakahan kolonial Belanda. Ketika berhadapan dengan kebudayaan Barat yang dibawa oleh kolonial Belanda, diantara mereka bersikap antipati dan menolaknya secara mutlak; dan diantaranya lagi bersikap menerimanya secara mutlak pula. Bahkan, mereka yang telah menerima kebudayaan Barat tersebut, sudah kehilangan percaya diri dan rasa bangga beragama Islam. Mereka merasa malu kalau masuk ke dalam masjid atau menunjukkan identitasnya sebagai seorang Muslim.

Realitas tersebut adalah akibat dari lemahnya keimanan dan tercemarnya paham tauhid mereka dengan kemusyrikan, bid’ah, takhayul, dan khurafat, disamping karena ketidaktahuan mereka terhadap ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. 

Mengingat hal itu, maka setelah kembali ke tanah air, KH. Ahmad Dahlan langsung melakukan gerakan pemurnian akidah dan ibadah dengan merujuk kepada al-Quran dan as-Sunnah dan sekaligus pula melakukan pembaharuan di kalangan umat Islam secara bertahap dan mandiri di Yogyakarta. 

Untuk mewujudkan upaya pemurnian dan pembaharuan tersebut, tidak hanya melakukan dakwah bi al-lisān (dengan ucapan), tetapi juga dengan bi al-hāl (dengan perbuatan), seperti mendirikan sekolah-sekolah modern, menyantuni orang-orang miskin dan anak-anak yatim. Meskipun di satu sisi gerakan yang dilakukan KH. Ahmad Dahlan tersebut mendapat tantangan dari kalangan masyarakat Muslim yang tradisionalis, di sisi lain mendapat dukungan dari masyarakat Muslim yang lain.

Dukungan tersebut semakin lama semakin besar sehingga pada tahun 1912 dirasa perlu untuk membentuk dan mendirikan sebuah perserikatan atau organisasi yang dapat mengkoordinasikan semua kegiatan dakwah pemurnian dan pembaharuan tersebut agar dapat mendapatkan hasil yang maksimal. Perserikatan tersebut dinamai Muhammadiyah dan diresmikan berdirinya oleh KH. Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330H/18 Nopember 1912. 

Perserikatan Muhammadiyah ini dari tahun ke tahun mengalami kemajuan yang pesat dan memiliki lembaga-lembaga pendidikan dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi dan universitas yang cukup banyak, rumah-rumah sakit, lembaga-lembaga keuangan, dan sumber daya manusia (SDM) yang juga berjumlah besar dan dibutuhkan umat Islam dan bangsa Indonesia.

Ajaran-ajaran Muhammadiyah, baik yang berkenaan dengan akidah maupun fiqh (hukum Islam) merujuk kepada al-Quran dan as-Sunnah. Disamping itu juga diperlukan ijtihad. Namun, ijtihad melalui qiyas, istihsan, masalih al-mursalah, dan adz-dzari’ah, bukan merupakan sumber hukum melainkan metode untuk menggali hukum yang tidak ada nasnya di dalam al-Quran dan as-Sunnah.

Khusus di bidang akidah, dalam memahaminya dari al-Quran dan as-Sunnah, Muhammadiyah menganut metode dan paham Salafiyah. Hal itu telah dinyatakan dalam Himpunan Putusan Tarjih. Menurut putusan tersebut, Muhammadiyah menjelaskan pokok-pokok kepercayaan yang benar dengan merujuk kepada kalangan umat terdahulu yang selamat (al-firqat an-nājiyah min as-salaf). Gerakan ini ingin mengembalikan Islam pada ajaran yang murni, yang tidak tercemar oleh tradisi atau ajaran lain dari luar sebagaimana yang berlaku pada zaman Nabi dan generasi salaf yang saleh. Namun, dibanding dengan gerakan Salafiyah yang lain, Muhammadiyah menunjukkan karakter yang moderat sehingga dimasukkan dalam kategori Salafiyah Wāsithiyah, yaitu Salafiyah yang cenderung di tengah-tengah dan moderat dan jauh berbeda dari Salafiyah Muhammad ibn Abd al-Wahhāb dan Rasyid Ridha.(Haedar Nashir, 2007: 15)

Meskipun demikian, ada sebuah buku Kuliah Akidah Islam yang telah ditulis oleh Prof. Dr. Yunahar Ilyas Lc, tokoh muda dan salah seorang Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Buku ini identik dengan buku-buku akidah yang ditulis oleh kalangan Wahabi. Kalau tulisan Yunahar ini dapat dianggap sebagai pencerminan paham Muhammadiyah di bidang akidah, berarti tidak ada perbedaannya dengan paham akidah Salafiyyah dan Wahabi.

Khusus di bidang fiqh, Muhammadiyah berbeda dengan Wahabi. Kalau Wahabi menolak taklid dan menyerukan ijtihad, tetapi masih menyatakan diri mengikuti madzhab Hanbali meskipun tidak fanatik. Sebaliknya, Muhammadiyah disamping menolak taklid dan menyerukan ijtihad, juga tidak mengikuti madzhab tertentu, baik dari madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali maupun madzhab lainnya. Namun, warga Muhammadiyah diarahkan untuk mengikuti keputusan Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam hal apa saja. Keputusan itu, kadang-kadang ada yang serasi dengan salah satu dari madzhab yang empat dan kadang-kadang serasi dengan madzhab yang lain. 

Karena itu, tidaklah mengherankan jika keputusan Majelis Tarjih, ada yang sama dengan fiqh Wahhabiyyah dan ada pula yang berbeda dan tidak sama. Keputusan Majelis Tarjih yang sama dengan fiqh Wahhabiyyah, antara lain cara berwudhu, sholat Shubuh tidak menyertakan doa Qunut, membaca surat al-Fatihah dalam sholat tanpa membaca bismillahirrahmanirrahim dengan nyaring, dan hukum merokok adalah haram.

Sebaliknya, keputusan Majelis Tarjih yang berbeda dengan fiqh Wahhabiyyah, antara lain:
1)      Sholat Tarawih sebanyak delapan rakaat, sedang menurut amaliah Wahabi sebanyak 20 rakaat.
2)      Sholat ‘Ied al-Fithri dan Salat ‘Ied al-Adhha dilaksanakan di lapangan, bukan di masjid, sedang menurut Wahhabiyyah di masjid.
3)      Penentuan awal Ramadhan dan awal Syawwal melalui hisab, sedang menurut Wahhabiyyah harus melalui ru’yah.
4)      Zakat fithrah bisa berupa uang, sedang menurut Wahhabiyyah, tidak boleh berupa uang, tetapi harus berupa makanan pokok.
5)      Zakat boleh diberikan kepada panitia masjid, sedang menurut Wahhabiyyah tidak boleh diberikan kepada pihak-pihak yang tidak termasuk ashnaf yang berjumlah delapan.

Selain perbedaan-perbedaan tersebut, dalam melaksanakan dakwah dan amar ma’ruf dan nahi munkar, juga terdapat perbedaan yang mencolok dengan Wahabi. Kalau Muhammadiyyah dalam melaksanakannya dengan cara yang bijaksana, toleran, dan tidak menimbulkan keributan. Sebaliknya, Wahabi, terutama pada masa-masa yang telah silam dengan cara kekerasan dan memandang setiap orang yang tidak mengikuti ajaran-ajarannya dipandang sebagai orang yang harus diperangi, sesuai dengan prinsip amar ma’ruf dan nahi mungkar.

IV.            Muhammadiyah tidak Dipengaruh oleh Wahabi, tetapi dipengaruh oleh Gerakan dan Pemikiran Pembaruan yang Diusung oleh Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha.

Menurut Dr. Shalih ibn Abdullah dan Dr. Muhammad Kamil Dlahir dalam buku masing-masing, dakwah dan paham Wahabi atau pendirinya, Muhammad ibn al-Wahhab tidak hanya telah mempengaruhi pemikiran umat Islam di jazirah Arab, tetapi juga telah mempengaruhi pemikiran umat Islam di berbagai negara Islam, seperti Yaman, Syam (Siria, Yordania, Palestina, Iraq, Maroko, Sudan, Mesir, dan India. Namun, keduanya tidak menyebutkan bahwa dakwah dan paham Wahhabiyyah itu telah juga mempengaruhi pemikiran umat Islam di Indonesia. (Shalih ibn Abdillah, 1408: 631-697 dan Muhammad Kāmil Dlāhir, 1414/1993: 199-208) 

Ini menunjukkan bahwa Muhammadiyyah, terutama pendirinya, KH. Ahmad Dahlan, baik paham maupun dakwahnya tidak pernah terpengaruh oleh Wahhabiyyah atau pendirinya. Sebab meskipun pernah belajar dan menetap beberapa tahun di Mekkah, ia tidak pernah belajar dan berguru kepada para ulama dari kalangan Wahhabiyyah dan tidak pula pernah membaca karya-karya tulis mereka. Apalagi apabila dilihat dari aspek pembaruan yang dilakukan oleh Muhammadiyyah, baik di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi, dll, tidak ada hubungan kausal antara keduanya. Karena, di kalangan Wahabi, terutama pada masa silam tidak pernah dilaksanakan hal tersebut. Mereka hanya terfokus pada pemurnian ajaran agama, khususnya di bidang akidah dan ibadah mahdhah.

Dengan demikian, yang mempengaruhi Muhammadiyyah, bukan gerakan Wahabi, tetapi gerakan lain. Menurut, Prof. Dr. Harun Nasution, KH. Ahmad Dahlan dan para pemuka Muhammadiyah banyak dipengaruhi oleh gerakan pembaruan di Mesir yang diusung oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Namun, dari segi pemikiran, pemikiran Rasyid Ridha lebih banyak daripada pemikiran gurunya, Muhammad Abduh dalam mempengaruhi pemikiran mereka dan Muhammadiyah. Sebab, Muhammad Abduh lebih liberal daripada Rasyid Ridha. Kalau Abduh lebih cenderung kepada Mu’tazilah, Rasyid Ridha lebih cenderung kepada Salafiyah. (Harun Nasution, 1415 /1995: 155-156) 

Selain itu, Rasyid Ridha sendiri mengklain dirinya bahwa ia hidup dan akan mati mengikuti Salaf dalam masalah-masalah esotoris, seperti yang berkenaan dengan keimanan kepada Allah, sifat-sifatNya, para malaikatNya, hari kiamat, surga dan neraka. (Muhammad Abdullah as-Salman, 1345: 50) 

Meskipun demikian, tidak berarti tidak pernah berbeda pendapat dengan pendirian Salafiyah Wahabi. Misalnya, Kalangan Wahabi mengatakan haram melaksanakan peringatan Maulid Rasulullah Saw. Namun, menurut Rasyid Ridha, tidak ada salahnya, kalau hal itu membawa kebaikan kepada umat, terutama dalam meneladani kehidupan Rasulullah Saw. Untuk itu, ia telah menulis sebuah buku dengan judul Fī Dzikrāal-Maulid an-Nabiy. Dalam majalah al-Manar dan Tafsir al-Manar, terdapat pandangan-panangan dan pembelaannya terhadap paham Salafiyah dan tokoh-tokohnya. (Muhammad Abdullah as-Salman, 1345: 83-84)

Kecenderungan Rasyid Ridha kepada Salafiyah, tampak sekali di dalam Tafsir al-Manar ketika membahas dua hal yang sangat penting. Pertama, pemurnian tauhid dan membersihkan Allah Swt. dari hal-hal yang menafikan keesaanNya dari berbagai kemusyrikan dan pentaqdisan syekh-syekh dan wali-wali tarikat atau meminta pertolongan kepada mereka yang telah meninggal dunia. Kedua, perlunya ijtihad dan pintunya masih terbuka. Disamping itu mencela taklid buta dan menekankan perlunya berpegang teguh pada al-Quran, as-Sunnah, dan Atsar Salaf ash-Shalih. (Muhammad Abdullah as-Salman, 1345: 69)

Karena itu, tidaklah berlebihan jika pengaruh itu muncul berkat majalah al-Manar dan Tafsir al-Manar yang beredar di seluruh dunia Islam, termasuk di Indonesia. Di negeri ini, majalah al-Manar telah beredar sejak tahun pertama penerbitannya melalui para pelanggan dan pembacanya. Karena itu, mereka telah menjalin hubungan yang kuat dengan majalah al-Manar melalui sejumlah pertanyaan yang ditujukan kepada Rasyid Ridha untuk dijawab. Rasyid Ridha kemudian menjawabnya dan mempublikasikannya melalui majalah al-Manar. Keba-nyakan pertanyaan itu seputar masalah yang berkenaan dengan cara memerangi berbagai macam bid’ah dan khurafat yang telah merebak di kalangan umat Islam Indonesia. Umumnya, pertanyaan-pertanyaan tersebut berasal dari Jawa dan Sumatera. (Rasyid Ridha, 14091988: 571)

Selain itu, ada pula pertanyaan-pertanyan yang menyangkut masalah kegiatan Kristenisasi di pelosok-peloosok Indonesia oleh para misionaris yang dibantu oleh kolonial Balanda. Karena pertanyaan-pertanyaan itulah yang telah mendorong Rasyid Ridha untuk mendirikan Madrasah ad-Da’wah wa al-Irsyād di Kairo, sebagai solusi untuk menghadapinya melalui para alumninya. Banyak para pelajar dari Indonesia yang mengikuti pendidikan di lembaga pendidikan tersebut. Setelah mereka menamatkan studinya, mereka kembali ke tanah air mereka dan menjadi pendidik bagi saudara-saudara mereka dan menjadi juru dakwah yang sangat baik.(Rasyid Ridha, 14091988: 572)

Disamping itu, para pengikut dan simpatisan aliran al-Manar di Indonesia ini telah pula berperan menyebarluaskan paham Salafiyah di sana. Itulah sebabnya banyak orang mengatakan bahwa majalah al-Manar berperan sekali dalam mengenalkan dan menyebarluaskan paham Syekh Abd al-Wahhab di Indonesia. (Rasyid Ridla, 14091988: 572)

Menurut Charles Adams sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad ibn Abdillah as-Salman, di Indonesia pengajian-pengajian terhadap Tafsir al-Manar telah dilaksanakan di kalangan umat Islam. Bahkan, untuk keperluan itu, Tafsir al-Manar pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Nashir Abdul Wahid sebanyak beberapa juz dengan edisi khusus. Adams juga mengatakan bahwa organisasi-organisasi Islam telah berperan melakukan usaha semacam itu, khususnya perserikatan Muhammadiyah. (Rasyid Ridha, 14091988: 573)

Menurut Kiyai Hajid, KH. Ahmad Dahlan disamping banyak membaca kitab-kitab klasik, juga membaca kitab-kitab kontemporer. Bahkan, dia adalah orang yang paling menonjol mempelajari Tafsir Juz ‘Amma oleh Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar, majalah al-Manar, dan majalah al-‘Urwat al-Wutsqa yang dikelola Jamalauddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. (Haedar Nashir, 2007: 29)

Begitu antusiasnya KH. Ahmad Dahlan dalam membaca dan mempelajari Tafsir al-Manar, sedang berada di gerbong kereta api saja sempat membacanya. Diceriterakan bahwa pada suatu hari secara kebetulan KH. Ahmad Dahlan dan Ahmad Surkati duduk berhadapan di dalam sebuah gerbong kereta api di Jawa, tanpa mengenal satu sama lain. Untuk menghabiskan waktunya KH. Ahmad Dahlan membaca Tafsir al-Manar. Hal itu menarik perhatian Ahmad Surkati yang tidak menduga orang pribumi dapat membaca kitab ilmiah tersebut. Dari situ kemudian, terbukalah percakapan dan kesepakatan antara keduanya untuk bekerjasama menyebarkan pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha di masyarakat masing-masing. (A. Mukti Ali, 1411/1990: 18)

V.            Penutup

Dari paparan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa Muhammadiyah tidak identik dengan Wahhabiyyah, karena disamping ada persamaan antara keduanya, juga ada perbedaan-perbedaannya. Munculnya gerakan pemurnian akidah dan ibadah dari syirik, khurafat, takhayul, dan bid’ah, bukan karena terpengaruh oleh paham dan gerakan Wahhabiyyah, tetapi karena terpengaruh oleh gerakan dan pemikiran pembaharuan yang diusung oleh Muhammad Abduh, khusunya Rasyid Ridha.

Demikian paparan yang dapat disampaikan, salah dan khilaf, mohon maaf, dan terima kasih.


Sumber: 

Diedit ulang oleh: Sya’roni As-Samfuriy, Indramayu 5 Rabi’ul Awwal 1434 H


Sejarah Berdirinya Muhammadiyah Lihat di sini:

Rekonstruksi Pemikiran KH Ahmad Dahlan Lihat di sini:
http://cinta-syamsudin.blogspot.com/2008/11/rekonstruksi-pemikiran-kh-ahmad-dahlan.html
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Meningkatkan Cinta Kita pada Sang Nabi
Copyright © 2011. PUSTAKA MUHIBBIN - Web Para Pecinta - All Rights Reserved
PROUDLY POWERED BY IT ASWAJA DEVELOPER
Themes by Maskolis.com | Published by Mas Template