MUHAMMADIYAH
TIDAK IDENTIK DENGAN WAHABI
Oleh: Prof. Dr. H. A. Athaillah, M.Ag
I.
Pendahuluan
Kita selaku umat Islam patut bersyukur kepada Allah Swt. yang
telah memberikan kemampuan kepada organisasi Islam yang bernama Muhammadiyah
untuk memelihara kemurnian ajaran Islam dan sekaligus melaksanakan pembaruan di
kalangan masyarakat Muslim Indonesia. Selama 100 tahun atau satu abad sejak
didirikannya oleh KH. Ahmad Dahlan pada tahun 1912 yang lalu, Muhammadiyah
tidak pernah absen memberikan kontribusinya kepada umat Islam pada khususnya
dan kepada bangsa Indonesia pada umumnya. Kontribusi tersebut, baik yang
berkenaan dengan kemaslahatan untuk agama dan dakwah maupun yang berkenaan
dengan kemaslahatan untuk pendidikan dan sosial. Hal itu dapat disaksikan
realitasnya dengan jelas dari waktu ke waktu.
Meskipun demikian, tidak berarti Muhammadiyah sunyi dari
isu-isu yang dapat merugikan nama baik dan citranya. Karena sejak awal berdiri
hingga sekarang ini, Muhammadiyah telah dituduh Wahabi dalam arti negatif oleh
para pesaingnya. Lebih daripada itu lagi, Wahabi itu sendiri telah dituduh
menjadi dasar ideologi terorisme, terutama di Indonesia. Dengan demikian, logikanya
adalah Muhammadiyah sama dengan terorisme.
Tuduhan tersebut perlu diklarifiksi dan dijawab sebagaimana
mestinya, karena tuduhan tersebut disamping merugikan Muhammadiyah, juga tidak
berdasarkan fakta, tetapi hanya berdasarkan opini dan dugaan semata. Untuk
klarifikasi dan jawaban tersebut, Penerbit Suara Muhammadiyah telah menerbitkan
buku yang berjudul Muhammadiyah dan Wahanisme yang sekaligus merupakan kumpulan
makalah yang disampaikan oleh para pakarnya dalam sebuah seminar dengan tema
Kupas Tuntas gerakan Wahabi pada tanggal 10 Desember 2012.
Apa yang telah dipaparkan dalam buku tersebut dapat diterima
dan sudah cukup untuk menjawab tuduhan yang dialamatkan kepada Muhammadiyah.
Meskipun demikian, dalam kesempatan bedah buku Muhammadiyah dan Wahabisme ini,
akan disampaikan juga beberapa hal yang mendukung apa yang telah dipaparkan
dalam buku tersebut sesuai dengan permintaan Majelis Pustaka dan Informasi
Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Kalimantan Selatan. Untuk itu, maka paparannya
mencakup (a) Sekilas tentang kelahiran Wahhabiyyah, gerakan, dan
ajaran-ajarannya, (b) Sekilas tentang Muhammadiyah, persamaan dan perbedaannya
dengan Wahabi, (c) Muhammadiyah tidak dipengaruhi oleh Wahabi, tetapi oleh
gerakan dan pemikiran pembaruan yang diusung oleh Muhammad Abduh dan Rasyid
Ridla, (d) Penutup.
II.
Sekilas tentang Kelahiran Wahabi, Gerakan dan
Ajaran-Ajarannya
Sebelum melakukan analisis tentang hubungan Muhammadiyah
dengan Wahabi, terlebih dahulu kita perlu mengetahui latar belakang kelahiran
Wahabi, gerakan, dan ajaran-ajarannya.
Wahabi atau Wahhabiyyah adalah salah satu aliran dalam Islam
yang lahir di Nejd (Saudi Arabia). Aliran tersebut didirikan oleh Muhammad ibn
Abd al-Wahhāb (1115 H-1206 H/1703-1787 H) di desa ‘Uyaynah yang terletak di
Nejd.
Setelah menimba ilmu pengetahuan agama di Madinah, ia pergi
merantau ke Basrah dan tinggal di kota itu selama empat tahun. Setelah itu, ia
pindah ke Baghdad dan kawin dengan seorang wanita kaya. Lima tahun kemudian,
setelah isterinya meninggal dunia, ia pindah ke Kurdistan dan menetap di sana
selama satu tahun. Setelah itu ia pindah ke Hamażan dan menetap di sana selama
dua tahun.
Setelah itu, ia pindah lagi ke Isfahan. Di kota yang terakhir
ini ia sempat mempelajari filsafat dan tasawuf. Setelah beberapa tahun lamanya
merantau, ia akhirnya kembali ke ‘Uyaynah, tempat kelahirannya. (Harun
Nasution, 1975: 23)
Setelah beberapa bulan kembali ke desa ‘Uyaynah, Muhammad ibn
Abd al-Wahhab mulai melakukan gerakannya untuk memperbaiki kondisi umat Islam
di desa kelahirannya. Gerakan itu dilakukannya, bukan merupakan respon dan
reaksi terhadap suasana politik di Nejd seperti yang terdapat di Kerajaan
Utsmani dan Mughol, melainkan sebagai respon dan reaksi terhadap pemahaman
tauhid yang berkembang di masyarakat Muslim waktu itu; dan pemahaman mereka itu
menurutnya, sudah menyimpang dari paham tauhid yang sebenarnya. Menurutnya,
kemurnian tauhid mereka telah dirusak oleh ajaran-ajaran tarekat yang semenjak
abad ke-13 M telah tersebar luas di dunia Islam. (Harun Nasution, 1975: 23)
Pengrusakan kemurnian tauhid tersebut telah disaksikan oleh
Muhammad Abd al-Wahhab di setiap negeri Islam yang telah dikunjunginya. Di
setiap kota dan desa di negeri-negeri Islam tersebut terdapat kuburan-kuburan
syekh-syekh dan wali-wali tarekat yang dianggap keramat. Ke kuburan-kuburan
itulah umat Islam berziarah dan memohon pertolongan kepada syekh-syekh dan
wali-wali yang terbaring di dalamnya agar berkenan menyelesaikan
masalah-masalah yang mereka hadapi, baik yang berkenaan dengan keinginan untuk
mendapatkan anak, jodoh, harta kekayaan maupun yang berkenaan dengan
keselamatan dari bala dan kesembuhan dari penyakit yang diderita. Umat Islam
melakukan hal itu, karena menurut keyakinan mereka, syekh-syekh dan wali-wali
tarekat itu meskipun telah meninggal dunia dipandang dapat menyelesaikan segala
persoalan yang hadapi manusia di dunia ini. (Harun Nasution, 1975: 23)
Menurut Muhammad Abd al-Wahhab, karena pengaruh ajaran
tarekat tersebut, permohonan dan doa tidak lagi langsung dipanjatkan kepada
Allah Swt. sebagaimana yang diajarkan oleh Allah dan RasulNya, tetapi melalui
syafaat dari syekh-syekh dan wali-wali tarekat, yang diyakini sebagai
orang-orang yang dapat mendekati Allah dan mendapatkan rahmatNya. Menurut
keyakinan orang-orang yang berziarah ke kuburan-kuburan syekh-syekh dan
wali-wali tersebut, Allah tidak dapat didekati, kecuali melalui perantara.
Menurut Ahmad Amin, bagi mereka, Allah itu seperti seorang raja yang dzalim di
dunia, yang untuk memperoleh belas kasihan dan keampunannya harus didekati
melalui orang-orang besar dan berkuasa di sekiarnya. (Harun Nasution, 1975: 24)
Pada mulanya gerakan dan paham Muhammad Abd al-Wahhab
tersebut mendapat tantangan yang keras dari masyarakatnya, termasuk dari
keluarganya sendiri. Meskipun demikian, ia masih mendapatkan pengikut yang
banyak. Diantaranya, banyak pula yang berasal dari luar desanya. Namun, karena
paham dan gerakannya telah menimbulkan berbagai keributan di desanya, ia pun
diusir oleh penguasa setempat.
Karena itu, ia dan keluarganya terpaksa meninggalkan ‘Uyaynah
dan hijrah ke Dar’iyah, sebuah desa tempat tinggal Muhammad ibn Sa’ud, kepala
suku yang kelak menjadi nenek moyang raja-raja Kerajaan Sa’udi Arabia secara
turun termurun.
Kebetulan tokoh yang terakhir ini sudah mengikuti paham yang
dibawanya dan mendukung dan memberikan fasilitas untuk gerakan dan penebaran
pahamnya. Dengan hijrahnya Muhammad ibn Abd al-Wahhab dari ‘Uyaynah ke
Dar’iyah, telah membawa keberuntungan kepadanya. Karena dengan bergabungnya
kedua tokoh tersebut telah membuat paham Wahhabiyyah berkembang pesat di Saudi
Arabia, terlebih lagi setelah berdiri kerajaan Su’udiyah, tidak ada lagi yang
dapat menghalangi perkembangan gerakan dan paham Wahhabiyyah.
Sepeninggal Muhammad ibn Sa’ud, anak dan keturunannya yang
telah menjadi penguasa di Saudi Arabia terus memberikan dukungan dan ikut
mengembangkan paham Muhammad Abd al-Wahhab. Bahkan, meskipun kerajaan Saudi
Arabia telah mengalami pasang surut dan diantara para penguasanya telah dihukum
mati oleh kerajaan Usmani, paham Muhammad ibn Abd al-Wahhab tetap berjaya di
sana. Begitu pula setelah tokohnya sendiri wafat pada tahun 1206/1795 M), paham
tersebut telah memiliki kedudukan yang kuat di tanah suci, baik dari segi
penerimaan oleh masyarakat Muslim di sana maupun dari segi politik.
Paham dan gerakan yang berasal dari Muhammad ibn Abd
al-Wahhab ini dinamai Wahabi atau Wahhabiyyah. Namun, nama tersebut, bukan
berasal dari pendirinya atau para pengikutnya, melainkan dari pihak lain yang
telah menentangnya.
Sebenarnya nama Wahabi atau Wahhabiyyah tersebut tidak tepat,
karena nisbahnya bukan kepada pendirinya, tetapi kepada ayahnya yang tidak ada
terlibat dalam pengembangan ajaran-ajaran anaknya. Nama yang tepat adalah
Muhammadiyyah sesuai dengan nama pendirinya Muhammad ibn Abd al-Wahhab. Namun,
mereka sendiri menyebut paham dan gerakan mereka itu dengan Muwahhidin, Ahl
as-Sunnah wa al-Jamū’ah, dan Salafiyah. Alasan mereka mengatakan demikian,
karena mereka hanya menganut dan mengikuti apa yang telah dianut dan dilakukan
oleh Rasulullah Saw, para sahabat, dan para salafussaleh yang mengikutinya.
Sistem tarekat (metode) yang mereka ikuti adalah Muhammadan (kata ini dapat
menunjuk kepada Muhammad ibn Abd al-Wahhab, tetapi juga bisa mengisyaratkan
kepada Nabi Muhammad Saw).(Tim Penulis IAIN Syahid, 2002: 1242)
Muhammad ibn Abd al-Wahhab dan para pengikutnya mengaku bahwa
mereka adalah golongan Sunni, pengikut madzhab Ahmad ibn Hanbal versi Ibn
Taimiyah. Karena itu, pokok-pokok akidah menurut Wahabi pada dasarnya tidak
berbeda dengan yang telah dikemukakan Ibn Taimiyah. Perbedaannya hanya pada
cara melaksanakan dan menafsirkan beberapa masalah tertentu.
Disamping itu, kalau Ibn Taimiyah menanamkan paham-pahamnya
kepada orang lain dengan cara menulis buku, dialog, dan perdebatan, Muhammad
Abd al-Wahhab menanamkan paham dan ajaran-ajarannya dengan kekerasan sehingga
tanpa rasa risih menuduh orang yang menolaknya sebagai orang kafir dan syirik
yang boleh dibunuh aau membongkar kuburan dan meratakannya dengan tanah dan merusak
bangunan masjid kalau itu dianggapnya merupakan tempat yang membawa kepada
kemusyrikan.
Ajaran-ajaran Muhammad Abd al-Wahhab atau Wahhabiyyah
tersebut, antara lain:
1)
Orang
yang beribadah kepada selain Allah adalah kafir; karena itu boleh dibunuh.
2)
Oleh
karena Allah adalah Maha Esa dalam menerima ibadah, maka tidak boleh berdoa
kepada Allah melalui perantara (wasilah).
3)
Meminta
pertolongan kepada syekh-syekh atau wali-wali tarikat yang terbaring dalam
kuburan, baik untuk mendapatkan jodoh, anak, rizki, dan keselamatan adalah
syirik.
4)
Haram
berdzikir dan membaca wiirid dengan menggunakan tasbih, tetapi cukup dengan
menghitung keratan jari.
5)
Bid’ah,
takhayul, dan khurafat wajib dibasmi
6)
Termasuk
perbuatan bid’ah adalah memperingati maulid Nabi Saw., menyelenggarakan halaqah
zikir, membaca kitab-kitab manaqib, kitab-kitab tawassulat, dan Dalail
al-Khairat.
7)
Pintu
ijtihad tidak tertutup; karena itu siapa saja yang sudah memenuhi
syarat-syaratnya, boleh berijtihad.
8)
Tidak
boleh taklid dalam beragama
9)
Sumber
ajaran Islam hanya al-Quran dan as-Sunnah. Kalau masih diperlukan ijtihad untuk
menggali hukum yang tidak ada nasnya di dalam al-Quran dan as-Sunnah,
kedudukannya bukanlah sebagai sumber, melainkan sebagai metode saja, termasuk
di dalamnya Qiyas.
10)
Kalau
terdapat pertentangan antara pendapat Imam madzhab, seperti Ahmad ibn Hanbal
dengan al-Quran dan al-Hadits, pendapat Imam mereka, mereka tinggalkan dan
mereka ambil penegasan dari al-Quran atau as-Sunnah.
III.
Sekilas tentang Muhammadiyah,
Persamaan dan Perbedaannya dengan Wahhabi
Sebagaimana yang sudah diketahui Muhammadiyah adalah sebuah perserikatan Islam yang didirikan di Yogyakarta pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18 Nopember 1912 M. Pendiri pergerakan tersebut adalah KH. Ahmad Dahlan yang lahir pada 1869 di Yogyakarta dari keluarga ulama. Setelah belajar berbagai ilmu pengetahuan agama di berbagai pondok pesantren di Jawa, pada 1890 ia berangkat ke Mekkah untuk belajar lagi dengan berguru pada Syekh Ahmad Khatib, ulama Indonesia yang terkenal di Mekkah waktu itu. Namun, setelah setahun belajar di sana, ia kembali ke tanah air. Pada tahun 1903, ia berangkat lagi ke Mekkah, kemudian menetap di sana selama dua tahun.
Sebagaimana yang sudah diketahui Muhammadiyah adalah sebuah perserikatan Islam yang didirikan di Yogyakarta pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18 Nopember 1912 M. Pendiri pergerakan tersebut adalah KH. Ahmad Dahlan yang lahir pada 1869 di Yogyakarta dari keluarga ulama. Setelah belajar berbagai ilmu pengetahuan agama di berbagai pondok pesantren di Jawa, pada 1890 ia berangkat ke Mekkah untuk belajar lagi dengan berguru pada Syekh Ahmad Khatib, ulama Indonesia yang terkenal di Mekkah waktu itu. Namun, setelah setahun belajar di sana, ia kembali ke tanah air. Pada tahun 1903, ia berangkat lagi ke Mekkah, kemudian menetap di sana selama dua tahun.
Ketika menetap yang kedua kalinya di tanah suci inilah KH.
Ahmad Dahlan sempat bertemu dengan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, murid Syekh
Muhammad Abduh, tokoh pembaharuan Islam di Mesir yang terkenal itu. Sejak saat
itu, ia bercita-cita untuk melakukan pembaharuan di kalangan umat Islam di
tanah air (Tim Penulis IAIN Syahid, 2002: 770).
Apalagi kondisi umat Islam pada waktu itu sedang
terkebelakang, terpuruk, dan tidak berdaya dalam menghadapi kedijayaan dan
keserakahan kolonial Belanda. Ketika berhadapan dengan kebudayaan Barat yang
dibawa oleh kolonial Belanda, diantara mereka bersikap antipati dan menolaknya
secara mutlak; dan diantaranya lagi bersikap menerimanya secara mutlak pula.
Bahkan, mereka yang telah menerima kebudayaan Barat tersebut, sudah kehilangan
percaya diri dan rasa bangga beragama Islam. Mereka merasa malu kalau masuk ke
dalam masjid atau menunjukkan identitasnya sebagai seorang Muslim.
Realitas tersebut adalah akibat dari lemahnya keimanan dan
tercemarnya paham tauhid mereka dengan kemusyrikan, bid’ah, takhayul, dan
khurafat, disamping karena ketidaktahuan mereka terhadap ajaran-ajaran Islam
yang sebenarnya.
Mengingat hal itu, maka setelah kembali ke tanah air, KH.
Ahmad Dahlan langsung melakukan gerakan pemurnian akidah dan ibadah dengan
merujuk kepada al-Quran dan as-Sunnah dan sekaligus pula melakukan pembaharuan
di kalangan umat Islam secara bertahap dan mandiri di Yogyakarta.
Untuk mewujudkan upaya pemurnian dan pembaharuan tersebut,
tidak hanya melakukan dakwah bi al-lisān (dengan ucapan), tetapi juga dengan bi
al-hāl (dengan perbuatan), seperti mendirikan sekolah-sekolah modern,
menyantuni orang-orang miskin dan anak-anak yatim. Meskipun di satu sisi
gerakan yang dilakukan KH. Ahmad Dahlan tersebut mendapat tantangan dari
kalangan masyarakat Muslim yang tradisionalis, di sisi lain mendapat dukungan
dari masyarakat Muslim yang lain.
Dukungan tersebut semakin lama semakin besar sehingga pada
tahun 1912 dirasa perlu untuk membentuk dan mendirikan sebuah perserikatan atau
organisasi yang dapat mengkoordinasikan semua kegiatan dakwah pemurnian dan pembaharuan
tersebut agar dapat mendapatkan hasil yang maksimal. Perserikatan tersebut
dinamai Muhammadiyah dan diresmikan berdirinya oleh KH. Ahmad Dahlan pada
tanggal 8 Dzulhijjah 1330H/18 Nopember 1912.
Perserikatan Muhammadiyah ini dari tahun ke tahun mengalami
kemajuan yang pesat dan memiliki lembaga-lembaga pendidikan dari sekolah dasar
sampai perguruan tinggi dan universitas yang cukup banyak, rumah-rumah sakit,
lembaga-lembaga keuangan, dan sumber daya manusia (SDM) yang juga berjumlah
besar dan dibutuhkan umat Islam dan bangsa Indonesia.
Ajaran-ajaran Muhammadiyah, baik yang berkenaan dengan akidah
maupun fiqh (hukum Islam) merujuk kepada al-Quran dan as-Sunnah. Disamping itu
juga diperlukan ijtihad. Namun, ijtihad melalui qiyas, istihsan, masalih
al-mursalah, dan adz-dzari’ah, bukan merupakan sumber hukum melainkan metode
untuk menggali hukum yang tidak ada nasnya di dalam al-Quran dan as-Sunnah.
Khusus di bidang akidah, dalam memahaminya dari al-Quran dan
as-Sunnah, Muhammadiyah menganut metode dan paham Salafiyah. Hal itu telah
dinyatakan dalam Himpunan Putusan Tarjih. Menurut putusan tersebut,
Muhammadiyah menjelaskan pokok-pokok kepercayaan yang benar dengan merujuk
kepada kalangan umat terdahulu yang selamat (al-firqat an-nājiyah min
as-salaf). Gerakan ini ingin mengembalikan Islam pada ajaran yang murni, yang
tidak tercemar oleh tradisi atau ajaran lain dari luar sebagaimana yang berlaku
pada zaman Nabi dan generasi salaf yang saleh. Namun, dibanding dengan gerakan
Salafiyah yang lain, Muhammadiyah menunjukkan karakter yang moderat sehingga
dimasukkan dalam kategori Salafiyah Wāsithiyah, yaitu Salafiyah yang cenderung
di tengah-tengah dan moderat dan jauh berbeda dari Salafiyah Muhammad ibn Abd al-Wahhāb
dan Rasyid Ridha.(Haedar Nashir, 2007: 15)
Meskipun demikian, ada sebuah buku Kuliah Akidah Islam yang
telah ditulis oleh Prof. Dr. Yunahar Ilyas Lc, tokoh muda dan salah seorang
Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Buku ini identik dengan buku-buku akidah yang
ditulis oleh kalangan Wahabi. Kalau tulisan Yunahar ini dapat dianggap sebagai
pencerminan paham Muhammadiyah di bidang akidah, berarti tidak ada perbedaannya
dengan paham akidah Salafiyyah dan Wahabi.
Khusus di bidang fiqh, Muhammadiyah berbeda dengan Wahabi.
Kalau Wahabi menolak taklid dan menyerukan ijtihad, tetapi masih menyatakan
diri mengikuti madzhab Hanbali meskipun tidak fanatik. Sebaliknya, Muhammadiyah
disamping menolak taklid dan menyerukan ijtihad, juga tidak mengikuti madzhab
tertentu, baik dari madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali maupun madzhab
lainnya. Namun, warga Muhammadiyah diarahkan untuk mengikuti keputusan Majelis
Tarjih Muhammadiyah dalam hal apa saja. Keputusan itu, kadang-kadang ada yang
serasi dengan salah satu dari madzhab yang empat dan kadang-kadang serasi
dengan madzhab yang lain.
Karena itu, tidaklah mengherankan jika keputusan Majelis
Tarjih, ada yang sama dengan fiqh Wahhabiyyah dan ada pula yang berbeda dan
tidak sama. Keputusan Majelis Tarjih yang sama dengan fiqh Wahhabiyyah, antara
lain cara berwudhu, sholat Shubuh tidak menyertakan doa Qunut, membaca surat
al-Fatihah dalam sholat tanpa membaca bismillahirrahmanirrahim dengan nyaring,
dan hukum merokok adalah haram.
Sebaliknya, keputusan Majelis Tarjih yang berbeda dengan fiqh
Wahhabiyyah, antara lain:
1)
Sholat
Tarawih sebanyak delapan rakaat, sedang menurut amaliah Wahabi sebanyak 20
rakaat.
2)
Sholat
‘Ied al-Fithri dan Salat ‘Ied al-Adhha dilaksanakan di lapangan, bukan di
masjid, sedang menurut Wahhabiyyah di masjid.
3)
Penentuan
awal Ramadhan dan awal Syawwal melalui hisab, sedang menurut Wahhabiyyah harus
melalui ru’yah.
4)
Zakat
fithrah bisa berupa uang, sedang menurut Wahhabiyyah, tidak boleh berupa uang,
tetapi harus berupa makanan pokok.
5)
Zakat
boleh diberikan kepada panitia masjid, sedang menurut Wahhabiyyah tidak boleh
diberikan kepada pihak-pihak yang tidak termasuk ashnaf yang berjumlah delapan.
Selain perbedaan-perbedaan tersebut, dalam melaksanakan
dakwah dan amar ma’ruf dan nahi munkar, juga terdapat perbedaan yang mencolok
dengan Wahabi. Kalau Muhammadiyyah dalam melaksanakannya dengan cara yang
bijaksana, toleran, dan tidak menimbulkan keributan. Sebaliknya, Wahabi,
terutama pada masa-masa yang telah silam dengan cara kekerasan dan memandang
setiap orang yang tidak mengikuti ajaran-ajarannya dipandang sebagai orang yang
harus diperangi, sesuai dengan prinsip amar ma’ruf dan nahi mungkar.
IV.
Muhammadiyah tidak Dipengaruh oleh
Wahabi, tetapi dipengaruh oleh Gerakan dan Pemikiran Pembaruan yang Diusung
oleh Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha.
Menurut Dr. Shalih ibn Abdullah dan Dr. Muhammad Kamil Dlahir
dalam buku masing-masing, dakwah dan paham Wahabi atau pendirinya, Muhammad ibn
al-Wahhab tidak hanya telah mempengaruhi pemikiran umat Islam di jazirah Arab,
tetapi juga telah mempengaruhi pemikiran umat Islam di berbagai negara Islam,
seperti Yaman, Syam (Siria, Yordania, Palestina, Iraq, Maroko, Sudan, Mesir,
dan India. Namun, keduanya tidak menyebutkan bahwa dakwah dan paham Wahhabiyyah
itu telah juga mempengaruhi pemikiran umat Islam di Indonesia. (Shalih ibn
Abdillah, 1408: 631-697 dan Muhammad Kāmil Dlāhir, 1414/1993: 199-208)
Ini menunjukkan bahwa Muhammadiyyah, terutama pendirinya, KH.
Ahmad Dahlan, baik paham maupun dakwahnya tidak pernah terpengaruh oleh
Wahhabiyyah atau pendirinya. Sebab meskipun pernah belajar dan menetap beberapa
tahun di Mekkah, ia tidak pernah belajar dan berguru kepada para ulama dari
kalangan Wahhabiyyah dan tidak pula pernah membaca karya-karya tulis mereka.
Apalagi apabila dilihat dari aspek pembaruan yang dilakukan oleh Muhammadiyyah,
baik di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi, dll, tidak ada hubungan kausal
antara keduanya. Karena, di kalangan Wahabi, terutama pada masa silam tidak
pernah dilaksanakan hal tersebut. Mereka hanya terfokus pada pemurnian ajaran
agama, khususnya di bidang akidah dan ibadah mahdhah.
Dengan demikian, yang mempengaruhi Muhammadiyyah, bukan
gerakan Wahabi, tetapi gerakan lain. Menurut, Prof. Dr. Harun Nasution, KH.
Ahmad Dahlan dan para pemuka Muhammadiyah banyak dipengaruhi oleh gerakan
pembaruan di Mesir yang diusung oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Namun,
dari segi pemikiran, pemikiran Rasyid Ridha lebih banyak daripada pemikiran
gurunya, Muhammad Abduh dalam mempengaruhi pemikiran mereka dan Muhammadiyah.
Sebab, Muhammad Abduh lebih liberal daripada Rasyid Ridha. Kalau Abduh lebih
cenderung kepada Mu’tazilah, Rasyid Ridha lebih cenderung kepada Salafiyah.
(Harun Nasution, 1415 /1995: 155-156)
Selain itu, Rasyid Ridha sendiri mengklain dirinya bahwa ia
hidup dan akan mati mengikuti Salaf dalam masalah-masalah esotoris, seperti
yang berkenaan dengan keimanan kepada Allah, sifat-sifatNya, para malaikatNya,
hari kiamat, surga dan neraka. (Muhammad Abdullah as-Salman, 1345: 50)
Meskipun demikian, tidak berarti tidak pernah berbeda
pendapat dengan pendirian Salafiyah Wahabi. Misalnya, Kalangan Wahabi
mengatakan haram melaksanakan peringatan Maulid Rasulullah Saw. Namun, menurut
Rasyid Ridha, tidak ada salahnya, kalau hal itu membawa kebaikan kepada umat,
terutama dalam meneladani kehidupan Rasulullah Saw. Untuk itu, ia telah menulis
sebuah buku dengan judul Fī Dzikrāal-Maulid an-Nabiy. Dalam majalah al-Manar
dan Tafsir al-Manar, terdapat pandangan-panangan dan pembelaannya terhadap
paham Salafiyah dan tokoh-tokohnya. (Muhammad Abdullah as-Salman, 1345: 83-84)
Kecenderungan Rasyid Ridha kepada Salafiyah, tampak sekali di
dalam Tafsir al-Manar ketika membahas dua hal yang sangat penting. Pertama,
pemurnian tauhid dan membersihkan Allah Swt. dari hal-hal yang menafikan
keesaanNya dari berbagai kemusyrikan dan pentaqdisan syekh-syekh dan wali-wali
tarikat atau meminta pertolongan kepada mereka yang telah meninggal dunia.
Kedua, perlunya ijtihad dan pintunya masih terbuka. Disamping itu mencela
taklid buta dan menekankan perlunya berpegang teguh pada al-Quran, as-Sunnah,
dan Atsar Salaf ash-Shalih. (Muhammad Abdullah as-Salman, 1345: 69)
Karena itu, tidaklah berlebihan jika pengaruh itu muncul
berkat majalah al-Manar dan Tafsir al-Manar yang beredar di seluruh dunia
Islam, termasuk di Indonesia. Di negeri ini, majalah al-Manar telah beredar
sejak tahun pertama penerbitannya melalui para pelanggan dan pembacanya. Karena
itu, mereka telah menjalin hubungan yang kuat dengan majalah al-Manar melalui
sejumlah pertanyaan yang ditujukan kepada Rasyid Ridha untuk dijawab. Rasyid
Ridha kemudian menjawabnya dan mempublikasikannya melalui majalah al-Manar.
Keba-nyakan pertanyaan itu seputar masalah yang berkenaan dengan cara memerangi
berbagai macam bid’ah dan khurafat yang telah merebak di kalangan umat Islam
Indonesia. Umumnya, pertanyaan-pertanyaan tersebut berasal dari Jawa dan
Sumatera. (Rasyid Ridha, 14091988: 571)
Selain itu, ada pula pertanyaan-pertanyan yang menyangkut
masalah kegiatan Kristenisasi di pelosok-peloosok Indonesia oleh para
misionaris yang dibantu oleh kolonial Balanda. Karena pertanyaan-pertanyaan
itulah yang telah mendorong Rasyid Ridha untuk mendirikan Madrasah ad-Da’wah wa
al-Irsyād di Kairo, sebagai solusi untuk menghadapinya melalui para alumninya.
Banyak para pelajar dari Indonesia yang mengikuti pendidikan di lembaga
pendidikan tersebut. Setelah mereka menamatkan studinya, mereka kembali ke
tanah air mereka dan menjadi pendidik bagi saudara-saudara mereka dan menjadi
juru dakwah yang sangat baik.(Rasyid Ridha, 14091988: 572)
Disamping itu, para pengikut dan simpatisan aliran al-Manar
di Indonesia ini telah pula berperan menyebarluaskan paham Salafiyah di sana.
Itulah sebabnya banyak orang mengatakan bahwa majalah al-Manar berperan sekali
dalam mengenalkan dan menyebarluaskan paham Syekh Abd al-Wahhab di Indonesia.
(Rasyid Ridla, 14091988: 572)
Menurut Charles Adams sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad
ibn Abdillah as-Salman, di Indonesia pengajian-pengajian terhadap Tafsir
al-Manar telah dilaksanakan di kalangan umat Islam. Bahkan, untuk keperluan
itu, Tafsir al-Manar pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Nashir
Abdul Wahid sebanyak beberapa juz dengan edisi khusus. Adams juga mengatakan bahwa
organisasi-organisasi Islam telah berperan melakukan usaha semacam itu,
khususnya perserikatan Muhammadiyah. (Rasyid Ridha, 14091988: 573)
Menurut Kiyai Hajid, KH. Ahmad Dahlan disamping banyak
membaca kitab-kitab klasik, juga membaca kitab-kitab kontemporer. Bahkan, dia
adalah orang yang paling menonjol mempelajari Tafsir Juz ‘Amma oleh Muhammad
Abduh, Tafsir al-Manar, majalah al-Manar, dan majalah al-‘Urwat al-Wutsqa yang
dikelola Jamalauddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. (Haedar Nashir, 2007: 29)
Begitu antusiasnya KH. Ahmad Dahlan dalam membaca dan
mempelajari Tafsir al-Manar, sedang berada di gerbong kereta api saja sempat
membacanya. Diceriterakan bahwa pada suatu hari secara kebetulan KH. Ahmad
Dahlan dan Ahmad Surkati duduk berhadapan di dalam sebuah gerbong kereta api di
Jawa, tanpa mengenal satu sama lain. Untuk menghabiskan waktunya KH. Ahmad
Dahlan membaca Tafsir al-Manar. Hal itu menarik perhatian Ahmad Surkati yang
tidak menduga orang pribumi dapat membaca kitab ilmiah tersebut. Dari situ kemudian,
terbukalah percakapan dan kesepakatan antara keduanya untuk bekerjasama
menyebarkan pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha di masyarakat
masing-masing. (A. Mukti Ali, 1411/1990: 18)
V.
Penutup
Dari paparan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa Muhammadiyah tidak identik dengan Wahhabiyyah, karena disamping ada persamaan antara keduanya, juga ada perbedaan-perbedaannya. Munculnya gerakan pemurnian akidah dan ibadah dari syirik, khurafat, takhayul, dan bid’ah, bukan karena terpengaruh oleh paham dan gerakan Wahhabiyyah, tetapi karena terpengaruh oleh gerakan dan pemikiran pembaharuan yang diusung oleh Muhammad Abduh, khusunya Rasyid Ridha.
Dari paparan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa Muhammadiyah tidak identik dengan Wahhabiyyah, karena disamping ada persamaan antara keduanya, juga ada perbedaan-perbedaannya. Munculnya gerakan pemurnian akidah dan ibadah dari syirik, khurafat, takhayul, dan bid’ah, bukan karena terpengaruh oleh paham dan gerakan Wahhabiyyah, tetapi karena terpengaruh oleh gerakan dan pemikiran pembaharuan yang diusung oleh Muhammad Abduh, khusunya Rasyid Ridha.
Demikian paparan yang dapat disampaikan, salah dan khilaf,
mohon maaf, dan terima kasih.
Sumber:
Diedit ulang
oleh: Sya’roni As-Samfuriy, Indramayu 5 Rabi’ul Awwal 1434 H
Sejarah
Berdirinya Muhammadiyah Lihat di sini:
Rekonstruksi
Pemikiran KH Ahmad Dahlan Lihat di sini:
http://cinta-syamsudin.blogspot.com/2008/11/rekonstruksi-pemikiran-kh-ahmad-dahlan.html
0 komentar:
Posting Komentar