Sikap
Bahtsul Masail NU terhadap Ucapan Natal dan Menjaga Gereja
Oleh
Muhammad Idrus Ramli Pengurus Lajnah Ta’lif wan Nasyr PWNU Jawa Timur
Umat Islam tentu
meyakini misi rahmatan lil-‘alamin, sebab istilah rahmatan lil-‘alamin telah
dinyatakan oleh al-Qur’an. Istilah rahmatan lil-‘alamin dipetik dari salah satu
ayat al-Qur’an;
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
“Ma maa arsalnaaka illaa rahmatan lil-‘aalamiin (Dan tiadalah
Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam).”
(QS al-Anbiya’ : 107).
Dalam ayat itu,
“rahmatan lil-‘alamin” secara tegas dikaitkan dengan kerasulan Nabi Muhammad
saw. Artinya, Allah tidaklah menjadikan Nabi saw sebagai rasul, kecuali karena
kerasulan beliau menjadi rahmat bagi semesta alam. Karena rahmat yang diberikan
Allah kepada semesta alam ini dikaitkan dengan kerasulan Nabi saw, maka umat
manusia dalam menerima bagian dari rahmat tersebut berbeda-beda. Ada yang
menerima rahmat tersebut dengan sempurna, dan ada pula yang menerima rahmat
tersebut tidak sempurna.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, sahabat Nabi Salallahu 'Alaihi Wa Sallam, pakar dalam
Ilmu Tafsir menyatakan: “Orang yang
beriman kepada Nabi saw, maka akan memperoleh rahmat Allah dengan sempurna di
dunia dan akhirat. Sedangkan orang yang tidak beriman kepada Nabi saw, maka
akan diselamatkan dari azab yang ditimpakan kepada umat-umat terdahulu ketika
masih di dunia seperti dirubah menjadi hewan atau dilemparkan batu dari langit.”
Demikian penafsiran
yang dinilai paling kuat oleh al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi dalam tafsirnya, al-Durr al-Mantsur.
Penafsiran di atas
diperkuat dengan hadits shahih yang menegaskan bahwa rahmatan lil-‘alamin telah menjadi karakteristik Nabi saw dalam
dakwahnya. Ketika sebagian sahabat mengusulkan kepada beliau, agar mendoakan
keburukan bagi orang-orang Musyrik, Nabi saw menjawab: “Aku diutus bukanlah sebagai pembawa kutukan, tetapi aku diutus sebagai
pembawa rahmat.” (HR. Muslim).
Penafsiran di atas
memberikan gambaran, bahwa karakter rahmatan
lil-‘alamin memiliki keterkaitan sangat erat dengan kerasulan Nabi saw.
Dalam kitab-kitab Tafsir, tidak ditemukan keterkaitan makna rahmatan lil-‘alamin dengan sikap
toleransi yang berlebih-lebihan dengan komunitas non-Muslim. Ini berangkat dari
kenyataan bahwa rahmatan lil-‘alamin
sangat erat kaitannya dengan kerasulan Nabi saw, yakni penyampaian ajaran Islam
kepada umatnya.
Maka seorang Muslim,
dalam menghayati dan menerapkan pesan Islam rahmatan
lil-‘alamin tidak boleh menghilangkan misi dakwah yang dibawa oleh Islam
itu sendiri. Misalnya, memberikan khotbah dalam acara kebaktian agama lain,
menjaga keamanan tempat ibadah agama lain dan acara ritual agama lain, atau doa
bersama lintas agama dengan alasan itu adalah “Islam rahmatan lil-‘alamin”. Kegiatan-kegiatan semacam itu justru
mengaburkan makna rahmatan lil-‘alamin
yang berkaitan erat dengan misi dakwah Islam.
Sebagaimana dimaklumi, selain sebagai rahmatan lil-‘alamin, Nabi saw diutus juga bertugas sebagai basyiiran wa nadziiran lil-‘aalamiin (pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan kepada seluruh alam).
Sebagaimana dimaklumi, selain sebagai rahmatan lil-‘alamin, Nabi saw diutus juga bertugas sebagai basyiiran wa nadziiran lil-‘aalamiin (pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan kepada seluruh alam).
“Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (Al Qur'an)
kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.”
(QS. al-Furqan : 1).
“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia
seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan
(basyiiran wa nadziiran), tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.”
(QS. Saba’ : 28).
Sebagai pengejawantahan
dari ayat-ayat ini, seorang Muslim dalam interaksinya dengan orang lain, selain
harus menerapkan watak rahmatan
lil-‘alamin, juga bertanggungjawab menyebarkan misi basyiran wa nadziran lil-‘alamin.
Islam tidak melarang
umatnya berinteraksi dengan komunitas agama lain. Rahmat Allah yang diberikan
melalui Islam, tidak mungkin dapat disampaikan kepada umat lain, jika
komunikasi dengan mereka tidak berjalan baik.
Karena itu, para ulama
fuqaha dari berbagai madzhab membolehkan seorang Muslim memberikan sedekah
sunnah kepada non Muslim yang bukan kafir harbi. Demikian pula sebaliknya,
seorang Muslim diperbolehkan menerima bantuan dan hadiah yang diberikan oleh
non Muslim.
Para ulama fuqaha juga
mewajibkan seorang Muslim memberi nafkah kepada istri, orang tua dan anak-anak
yang non Muslim.
Di sisi lain, karena
seorang Muslim bertanggungjawab menerapkan basyiran
wa nadziran lil-‘alamin, Islam melarang umatnya berinteraksi dengan non
Muslim dalam hal-hal yang dapat menghapus misi dakwah Islam terhadap mereka.
Mayoritas ulama fuqaha
tidak memperbolehkan seorang Muslim menjadi pekerja tempat ibadah agama lain,
seperti menjadi tukang kayu, pekerja bangunan dan lain sebagainya, karena hal
itu termasuk menolong orang lain dalam hal kemaksiatan, ciri khas dan syiar
agama mereka yang salah dalam pandangan Islam.
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan
dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan
bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”
(QS. al-Ma’idah : 2).
Doa
Lintas Agama
Doa bersama lintas
agama, dewasa ini juga agak marak dilakukan. Sebagian beralasan Islam rahmatan lil-‘alamin. Padahal,
karakter rahmatan lil-‘alamin,
sebenarnya tidak ada kaitannya dengan doa bersama lintas agama. Sebagaimana
dimaklumi, doa merupakan inti daripada ibadah (mukhkhul ‘ibadah), yang dilakukan oleh seorang hamba kepada Tuhan.
Tidak jarang, seorang
Muslim berdoa kepada Allah, dengan harapan memperoleh pertolongan agar segera
keluar dari kesulitan yang sedang dihadapi. Tentu saja, ketika seseorang berharap
agar Allah segera mengabulkan doanya, ia harus lebih berhati-hati, memperbanyak
ibadah, bersedekah, bertaubat dan melakukan kebajikan-kebajikan lainnya. Dalam
hal ini, semakin baik jika ia memohon doa kepada orang-orang saleh yang dekat
kepada Allah. Hal ini sebagaimana telah dikupas secara mendalam oleh para ulama
fuqaha dalam bab shalat istisqa’
(mohon diturunkannya hujan) dalam kitab-kitab fiqih.
Ada dua pendapat di
kalangan ulama fuqaha, tentang hukum menghadirkan kaum non Muslim untuk doa
bersama dalam shalat istisqa’.
Pertama,
menurut mayoritas ulama (madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali), tidak dianjurkan
dan makruh menghadirkan non Muslim dalam doa bersama dalam shalat istisqa’. Hanya saja, seandainya mereka menghadiri acara
tersebut dengan inisiatif sendiri dan tempat mereka tidak berkumpul dengan umat
Islam, maka itu tidak berhak dilarang.
Kedua,
menurut madzhab Hanafi dan sebagian pengikut Maliki, bahwa non Muslim tidak
boleh dihadirkan atau hadir sendiri dalam acara doa bersama shalat istisqa’, karena mereka tidak
dapat mendekatkan diri kepada Allah dengan berdoa. Doa istisqa’ ditujukan untuk
memohon turunnya rahmat dari Allah, sedangkan rahmat Allah tidak akan turun
kepada mereka. Demikian kesimpulan pendapat ulama fuqaha dalam kitab-kitab
fiqih. Maka, jika doa diharapkan mendatangkan rahmat dari Allah, sebaiknya
didatangkan orang-orang saleh yang dekat kepada Allah, bukan mendatangkan
orang-orang yang yang jauh dari kebenaran.
Forum Bahtsul Masail al-Diniyah al-Waqi’iyyah Muktamar NU di
PP Lirboyo Kediri, 21-27 November 1999, menyatakan, bahwa “Doa Bersama Antar Umat Beragama” hukumnya haram. Diantara dalil
yang mendasarinya: Kitab Mughnil Muhtaj,
Juz I hal. 232: “Wa laa yajuuzu
an-yuammina ‘alaa du’aa-ihim kamaa qaalahu ar-Rauyani li-anna du’aal kaafiri
ghairul maqbuuli.” (Lebih jauh, lihat: Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika
Aktual Hukum Islam: Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama
(1926-2004), penerbit: Lajtah Ta’lif wan-Nasyr, NU Jatim, cet.ke-3, 2007, hal.
532-534).
Wallahu
a’lam.*
0 komentar:
Posting Komentar