NALAR SEHAT ALA SUNNY (non wahhabi)
Sebelum membaca risalah yang kecil
ini, ada baiknya Saudara-saudaraku mengheningkan hati sejenak dan membuang
doktrin-doktrin ta'ashubiyah
kemazhaban agar dapat membaca risalah ini nantinya dengan sikap yang netral dan
pikiran yang jernih.
Ada sebuah fenomena yang sangat pelik
telah mendorong saya untuk menulis sebuah risalah sederhana ini dimana sebagian orang telah
menjadikan tarku an-Nabi atau dalam
bahasa kita (hal-hal yang ditinggalkan atau tidak dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam) itu
sebagai hujjah (alasan hukum) untuk mengharamkan amal ibadah orang lain.
Pertanyaannya adalah apakah benar jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
meninggalkan atau tidak melakukan suatu perkara, lantas menjadi haram hukumnya
bagi kita untuk melakukan suatu perkara itu? Saya harap Saudara-saudaraku
sekalian memahami pertanyaan saya itu sebab di situlah inti dari pembahasan
kita ini.
Sebelum kita menjawab pertanyaan di atas ada baiknya
kita memahami dahulu sebuah pertanyaan yang lebih mendasar lagi, apakah benar
jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
tidak melakukan sesuatu, berarti Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam ingin memberitahukan kita bahwa sesuatu itu haram?
Jawabannya tentu saja tidak, karena di sana ada
sebab-sebab lain mengapa Rasulullah meninggalkan sesuatu yang berarti bukan
serta-merta sesuatu yang ditinggalkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam itu haram dilakukan oleh kaum
muslimin.
Diantaranya adalah:
Diantaranya adalah:
1. Terkadang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
meninggalkan sesuatu hanya karena adat atau kebiasaan saja, seperti yang pernah
terjadi ketika Nabi Shallallahu 'alaihi
wasallam dan para sahabat bertamu ke suatu kaum dimana mereka disuguhkan
daging dhob (biawak padang pasir)
panggang dan kemudian Nabi Shallallahu
'alaihi wasallam membentangkan tangannya yang mulia untuk mengambil daging
itu, dan serta merta sahabat mengatakan wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam itu adalah daging dhob. Langsung Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menarik
tangannya kembali dan tidak jadi mencicipi dhob
tersebut. Kemudian para sahabat bertanya, "Apakah
ianya haram wahai Rasulullah?"
Kemudian
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
menjawab, "Tidak, hanya saja daging
dhob ini tidak ada di tempatku maka aku merasa tidak suka untuk memakannya."
Kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam
menyuruh para sahabat untuk melahap daging itu dan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam melihat dan membiarkan mereka.
Dari riwayat
yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim di atas, sangat jelas bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam
meninggalkan memakan daging dhob
bukan karena ingin memberitahukan bahwa daging dhob itu haram, tetapi karena
sebab lain yaitu beliau tidak suka dengan daging dhob.
2. Terkadang Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam meninggalkan sesuatu karena takut
sesuatu itu diwajibkan kepada umatnya. Seperti Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam meninggalkan sholat tarawih justru
ketika para sahabat berkumpul untuk mengikuti tarawehnya dari belakang.
3. Terkadang pula Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam meninggalkan
sesuatu karena tidak terpikir atau terlintas dibenaknya untuk melakukan sesuatu
itu. Seperti dulu Nabi Shallallahu
'alaihi wasallam khutbah jum'at hanya di atas sebuah tunggul kurma dan
tidak pernah terlintas sebelumnya dalam benak Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam untuk membuat sebuah mimbar sebagai
tempat berdirinya ketika khutbah. Kemudian para sahabat mengusulkan untuk
membuat mimbar, Nabi Shallallahu 'alaihi
wasallam pun menyetujuinya sebab memang itu sebuah usulan yang baik dan
membuat semua jama'ah dapat mendengar suara Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam.
4. Terkadang Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam meninggalkan sesuatu karena sesuatu
itu bebas boleh dikerjakan dan boleh tidak dikerjakan semisal ibadah-ibadah tathowwu' seperti sedekah, zikir, sholat
dhuha, tilawah qur'an dan sebagainya. Ibadah-ibadah ini jika ditinggalkan tidak
mengapa dan jika dikerjakan sebanyak-banyaknya maka termasuk sebagaimana yang
dikatakan dalam keumuman ayat:...dan
lakukanlah kebajikan agar kamu beruntung. (Al-Hajj:77)
Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam tidak
melakukan sholat dhuha setiap hari. Bukan berarti Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam ingin memberitahukan kepada kita bahwa
sholat dhuha tiap hari itu haram. Begitu pula zikir selepas sholat, terkadang
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
meninggalkannya dengan berbagai alasan seperti perang, menunaikan hak kaum
muslimin dan sebagainya. Bukan berarti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam ingin memberitahukan kepada kita bahwa
melakukan zikir setiap kali selesai sholat adalah haram.
5. Pernah juga Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam meninggalkan
sesuatu karena sesuatu itu adalah perkara sensitif yang dikhawatirkan akan
menyinggung perasaan kaum Quraisy pada waktu itu sehingga berpengaruh akan
menggoyang keimanan mereka yang masih baru. Seperti Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam pernah meninggalkan untuk tidak merehab
kembali bangunan ka'bah kepada ukuran semula sebagaimana yang pernah dibangun
Nabi Ibrahim As sebab khawatir banyak kaum muslimin Quraisy yang masih baru
keislamannya pada waktu itu akan berubah hatinya kembali kepada kekafiran.
6. Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam juga meninggalkan untuk menulis
hadits-hadits beliau di masa hidupnya karena takut tercampur dengan ayat-ayat
Alquran yang juga sedang disuruh untuk menulisnya di daun-daun, tulang-tulang,
batu-batu dan pelepah kurma. Ini bukan berarti menulis hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam itu haram
hukumnya. Dan buktinya sepeninggal Nabi Shallallahu
'alaihi wasallam dan setelah Alquran dibukukan, kaum muslimin bersepakat
untuk menuliskan dan membukukan hadits-hadits Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam.
Dari sedikit contoh di atas dapat kita jawab
pertanyaan di awal risalah ini bahwa jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam meninggalkan atau tidak melakukan
suatu perkara maka tidak menjadi haram hukumnya bagi kita untuk melakukan suatu
perkara itu.
Berikut saya sertakan dalil dari Alquran dan sunnah
akan pernyataan saya di atas:
1. Biasanya untuk menunjukkan sesuatu
itu haram, Alquran dan sunnah menggunakan lafazh-lafazh larangan, tahrim atau ancaman siksa ('iqob), seperti:
...dan janganlah engkau dekati zina...(Al-Isra:32)
...dan janganlah kamu makan harta di antara
kamu dengan cara yang batil...(Al-Baqarah:188)
Diharamkan atasmu bangkai dan daging
babi...(Al-Maidah:3)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:"Siapa yang berdusta maka bukan
daripada golongan kita."
Dari nash-nash
di atas, para ulama mengistimbath hukum bahwasanya zina, memakan harta orang
lain secara batil, memakan bangkai dan babi serta berbohong adalah haram. Dan
tidak pernah di dalam istimbath hukum, para ulama kita menggunakan tark Nabi (sesuatu yang ditinggalkan
atau tidak dikerjakan Nabi Shallallahu
'alaihi wasallam) sebagai hujjah untuk mengharamkan sesuatu.
2. Coba perhatikan ayat dan hadits
berikut ini:
...dan apa-apa yang didatangkan
Rasul kepadamu maka ambillah dan apa-apa yang dilarang Rasul maka tinggalkanlah...(Al-Hasyr:7)
3. Bahwasanya para ulama ushul fiqih
mendefinisikan sunnah sebagai: perkataan perbuatan dan persetujuan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dan bukan tark-nya
Jadi
siapapun yang melakukan sesuatu dan sesuatu itu tidak pernah dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam tidak bisa
dikatakan dia telah bertentangan dengan sunnah, sebab tark bukan bagian dari sunnah.
4. Para ulama ushul fiqih telah
bersepakat semuanya bahwa landasan hukum (hujjah)
untuk menentukan sesuatu itu wajib, sunnah, mubah, haram dan makruh dengan
empat landasan hukum yaitu: Alquran, sunnah, ijma' dan qiyas. Dan tidak pernah at-tark dijadikan sebagai landasan hukum
(hujjah).
Begitulah cara para ulama kita mengetahui hukum dari
sesuatu perkara. Dan saya melihat hanya sebagian kecil saja ulama-ulama yang
menggunakan at-tark ini sebagai
hujjah.
Ulama yang pertama sekali menggunakan at-tark ini sebagai hujjah adalah Imam
Ibnu Taimiyah rahimahullah dan
sekarang diikuti manhaj ini oleh para ulama Arab Saudi dan cara seperti ini
tidak pernah dilakukan oleh ulama-ulama salaf sebelum beliau (Imam Ibnu
Taimiyah). Ini adalah sebuah kekhilafan yang sangat fatal sebab akan
menyebabkan banyak sekali perkara-perkara sunnah lagi baik digolongkan kepada
bid'ah hanya karena perkara-perkara itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam.
Ini akan menyempitkan ladang amal dan ibadah bagi kaum
muslimin, padahal kita semua sudah tahu bahwa ladang amal dan ibadah itu bagi
kaum muslimin sangat luas sampai- sampai seluruh perkara yang bernilai manfaat
dan diniatkan untuk Allah adalah ibadah dan seluruh hamparan bumi ini di anggap
sebagai tempat sujud oleh Islam.
Yah...begitulah manusia, terkadang benar dan terkadang
salah. Terlebih dalam ijtihad agama, benarnya diberi pahala dua dan salahnya
masih diberi pahala satu. Dan sebagaimana kata Imam Malik radhiyallahu 'anhu: "Setiap
kalam itu mungkin ditolak dan mungkin diterima kecuali kalam penghuni kubur ini
(mutlak dapat diterima)". Imam Malik sambil mengisyaratkan tangannya
kepada maqam Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam ketika berziarah ke maqam Rasul Shallallahu 'alaihi wasallam.
Wallahu
a'lam.
oleh Kaheel Baba Naheel
Disarikan dari kitab Husnut-Tafahumi wa Ad-Darki Limas'alatit-Tark lil imam Abdillah Shodiq
0 komentar:
Posting Komentar