Ceramah Prof DR KH. Said Aqil Sirajd dalam peringatan Karbala dan
Asyuro di Masjid Al-Mukhlisin Bojonegoro th 2002
Transkrip ceramah Prof. DR.
KH. Said Aqil Siradj (Ketua Umum PBNU saat ini) dalam acara Madrasah Karbala
dan Asyura di serambi Masjid al-Mukhlishin Bojonegoro Jatim tahun 2002. Acara ini berlangsung selama sepuluh hari berturut-turut yang pada
puncaknya yakni pada malam kesepuluh (Asyura) diadakan di lapangan sepakbola
Singonoyo Sukorejo Bojonegoro. inilah Madrasah Karbala dan Asyura pertama di
Indonesia yang diselenggarakan oleh masyarakat NU dan Syiah secara guyub,
harmonis dan terbuka untuk umum. Kami hadirkan Transkrip ini mudah-mudahan
bermanfaat.
Kita semua
telah mengetahui bahwa cucu Rasulullah Saw dari Sayyidah Fathimah az-Zahra
yaitu al-Hasan dan al-Husain,
keduanya akan menjadi pemimpin pemuda surga, dua orang pemuda yang sudah
dipastikan masuk surga. Hendaknya umat Islam mencontoh dan mengambil teladan
dari kedua tokoh tersebut, dari kedua pemimpin kita semua. Baik dilihat dari
nash al-Quran dan al-Hadits
maupun dilihat dari sejarah, kita seharusnya menghayati apa arti Asyura, apa
arti peristiwa Karbala ini sebagai mas’alatil
Islam wal muslimin, sebagai tragedi yang menimpa umat Islam dan ajaran
Islam itu sendiri.
Walaupun
ada beberapa pihak yang tidak senang dengan adanya acara ini, itu karena mereka
melihatnya dengan sepotong-sepotong, hanya melihat dari aspek politik saja.
Tetapi bagi kita yang masih memiliki hati nurani yang ikhlas dan iman yang
cukup ideal, kita mencintai hari ini, acara ini, bukan karena kepentingan,
politik, target, atau apapun yang bersifat duniawi, tapi kita betul-betul
melihat peristiwa Karbala sebagai peristiwa ’adzim,
salah satu peristiwa agama. Sama seperti peristiwa lahirnya Nabi Muhammad,
Nuzulul Quran, Lailatul Qadr, Yaumil Arafah, demikian pula peristiwa Karbala
merupakan peristiwa agama.
Syekh
Abdul Qadir Jailani, dalam kitabnya yang berjudul al-Ghunyah,
mengatakan bahwa Asyura itu termasuk 'Asyirul
Karomah (hari berkeramat yang ke-10). Peristiwa Asyura disejajarkan dengan
peristiwa Nuzulul Quran, Lailatul Qadr, Maulidil Rasul, Isra dan Mi'raj, Yaumil
Arafah, Lailatul 'Idain (Idul Fitri
dan Idul Adha), dan termasuk yang ke-10 adalah hari yang penuh keramat, penuh
kemuliaan bagi umat Islam, yaitu hari Karbala. Artinya, memperingati peristiwa
Karbala bukan milik kelompok tertentu, dalam hal ini Syiah, tetapi milik kita
semua sebagai umat Islam, terlebih lagi milik NU. NU seharusnya berada di
depan, menjadi pelopor dalam memperingati acara ini. Syiah merupakan kelompok
minoritas di negeri ini, sedangkan NU adalah kelompok terbesar, jadi seharusnya
merasa memiliki hari ini.
Kita
seharusnya berkewajiban dan merasa terpanggil untuk menghidupkan acara
Madrasatil Karbala, karena merupakan peristiwa besar dalam agama Islam. Cucu
Rasulullah Saw, yang ketika masih kecil selalu digendong dan diciumi oleh
beliau, bersama seluruh rombongannya, keluarganya, putra-putranya, laki-laki
dan perempuan, semuanya dibantai dan disembelih, dibunuh dengan sangat sadis di
padang Karbala. Yang selamat hanya dua orang, yaitu Sayyidah Zainab dan Imam
Ali Zainal Abidin. Itupun karena Imam Ali Zainal Abidin sedang sakit dan
ditunggui oleh Sayyidah Zainab, sehingga mereka tidak keluar dari kemah.
Seandainya beliau tidak sakit dan keluar dari kemah, tentulah Ahlul Bait sudah
habis.
Ini adalah
suatu kekejaman yang luar biasa, suatu peristiwa besar yang luar biasa, tidak
kalah dengan peristiwa agama Islam yang lain. Hendaknya kita sebagai masyarakat
Nahdatul Ulama, sebagai pengikut Ahlusunnah, yang arti sebenarnya adalah yang
selalu berjalan di atas garis Rasulullah, peduli dengan hari yang sangat
memilukan ini. Kita tidak perlu melihat dengan kaca mata politik, karena dalam
politik selalu ada dampak kepentingan yang nantinya akan menimbulkan fanatisme
kelompok, kemudian timbul fitnah, dan seterusnya.
Marilah
kita berkumpul dalam Madrasatil Karbala ini dengan tulus ikhlas, menghidupkan
hari pengorbanan yang besar dari cucu Rasulullah Saw. Tanpa ada pengorbanan,
agama apapun, perjuangan apapun, idealisme apapun, tidak akan terwujud.
Pengorbanan itu baik dalam bentuk jiwa, tenaga, maupun harta. Islam dibesarkan
oleh Allah melalui wasilah, perantara, darah-darah syuhada yang dikorbankan
dengan sangat murah, antara lain dalam perang Badar, Uhud, dan peperangan lain.
Dan juga yang sangat mengejutkan adalah darah Imam Husain yang dibantai di
padang Karbala. Hal ini harus menjadi catatan sejarah yang betul-betul masuk
dalam keimanan kita.
Oleh
karena itu, di Timur Tengah, seperti di Mesir yang mayoritasnya Ahlusunnah,
apalagi di Iran dan Irak, sudah menjadi budaya untuk memperingati hari ini
secara besar-besaran. Pengorbanan yang telah dicontohkan oleh Imam Husain,
hendaknya menjadi contoh bagi kita semua.
Agama
Islam sebenarnya merupakan amanat yang digantungkan pada leher kita semua.
Apabila kita tidak merasa demikian, maka kita tidak akan terpanggil, tidak akan
peduli, tidak akan semangat, tidak akan mempunyai motivasi dalam perjuangan
agama. Tentunya bukan berarti kita harus berperang, tetapi kita dalam
memperjuangkan kebenaran pasti ada tantangan. Jika ada tantangan pasti ada
upaya, perjuangan, rasa lelah, prinsip yang kuat, dan sikap yang tegar dalam
menghadapinya. Tanpa itu semua, jangan harap Islam bisa diperhitungkan. Yang
ada hanyalah Islam turunan, Islam KTP, Islam yang terbawa oleh lingkungannya.
Hal ini
berarti, bahwa setiap umat Islam harus mempunyai visi ingin mengubah atau ingin
melakukan sesuatu yang bisa mengubah keadaan yang tidak baik atau tidak benar.
Setiap kali kita melihat kejelekan atau kerusakan, kerusakan masyarakat atau
kerusakan sosial, kita harus terpanggil ingin mengubah hal itu menjadi baik.
Sudah tentu tidak harus dengan kasar atau kekerasan, tapi kita mempunyai tujuan
ingin mengubah keadaan yang buruk ini.
Jika
masyarakat sudah rusak, terjadi bentrok antar masyarakat, antar kelompok,
apalagi sesama umat Islam, pejabat melakukan KKN, para kyai bertengkar, kaum
mudanya terbawa arus entah kemana, kemungkaran merajalela, kebohongan dan
fitnah mudah sekali timbul sesama Islam, maka kita harus mempunyai niat untuk
mengubahnya. Hal seperti ini jangan sampai berlanjut dan harus kita ubah.
Caranya jangan dengan kekerasan, tapi harus dengan ketegasan. Itulah salah satu
pelajaran yang diambil dari peristiwa Karbala.
Imam
Husain meninggalkan Madinah dan Mekah pada musin haji yang ramai dengan orang
yang melaksanakan ibadah haji. Betapapun pentingnya ibadah haji, tetapi jika
hanya dipandang sebagai rutinitas, sebagai hal yang biasa, maka tidak ada
artinya, tidak akan mengubah sesuatu. Seseorang, asal memiliki uang, tiap tahun
dapat melaksanakan ibadah haji. Akan tetapi, adakah perubahan bagi diriya, bagi
lingkungannya, dan bagi masyarakatnya? Tidak ada sama sekali!
Sedangkan
Imam Husain meninggalkan umat Islam yang akan berhaji, dan berangkat menuju
Irak. Yang terlihat seolah-olah beliau meninggalkan kegiatan ibadah haji, salah
satu rukun Islam, bersama seluruh keluarga dan pengikutnya
Tetapi,
bagi orang yang mengerti, tujuannya adalah ingin mengubah, ingin melakukan
perubahan, jika perlu dengan berkorban, dan ternyata beliau betul-betul
berkorban. Inilah orang yang betul-betul memiliki spiritual quotient (kecerdasan spiritual).
Jika hanya
IQ (intelegent quation) saja yang dipedulikan, maka akibatnya seperti yang
sering terjadi di Jakarta, orang-orangnya ber-IQ tinggi, tetapi juga pandai
korupsi. Sedangkan di desa, orang-orangnya tidak pandai, IQ-nya rendah, tapi
akhlaknya lebih baik. Jika IQ-nya tinggi, cerdas, tapi moralnya bejat, maka
yang tejadi adalah kerusakan seperti situasi saat ini.
Yang bisa
mengubah keadaan ini adalah orang yang memiliki SQ (spiritual quotient) atau dzaka’irruh, dengan menggunakan salah
satu sel yang ada dalam saraf yang disebut God’s
Spot (titik Tuhan), atau istilah agamanya bil khusyu’ wal khudu’ wa tadhorru’. Bagaimana kita mengupayakan
titik Tuhan kita agar selalu “on”, selalu aktif, menyala, dan mempunyai daya
kekuatan yang tajam, sehingga kita mampu mengubah keadaan ini. Hal ini
dicontohkan oleh Imam Husain ra, yang ingin mengubah keadaan yang sudah sangat
parah dan tidak bisa ditolerir, walaupun beliau harus meninggalkan acara
seremonial besar yaitu ibadah haji.
Perubahan
yang dicita-citakan oleh al-Husain, bukan hanya perubahan politik (siyasah), tetapi yang paling penting dan
mendasar adalah inovasi atau meningkatkan kualitas iman dan akhlaqul karimah.
Bukan hanya ingin menjatuhkan Yazid, kemudian beliau menjadi khalifah, tetapi
cita-cita yang beliau inginkan adalah bagaimana umat Islam betul-betul menjalankan
sunnah Rasul Saw. Jika kita ingin menganggap diri kita Ahlusunnah wal jamaah,
maka masing-masing diri kita harus mempunyai visi demikian.
Oleh
karena itu, yang perlu kita tekankan dalam Madrasatil Karbala ini adalah,
aktivitas budaya, gerakan moral dan akhlak, gerakan tsaqafah tarbawiyyah, meningkatkan pendidikan, wacana, dan
intelektualitas kita. Selain itu juga gerakan moral, spiritual, rohani, dan
menunjukkan bahwa kita adalah kelompok yang memiliki akhlaqul karimah, yang
kepribadiannya tegar dan imannya besar, tidak mudah terombang-ambing oleh
pengaruh keadaan sekarang ini. Itulah yang kita harapkan dari Madrasatil
Karbala ini, dan sama sekali tidak mempunyai target politik, atau acara-acara
yang berbau politik.
Mari kita
tunjukkan kepada umat Islam yang lain, yang masih belum paham, apalagi yang
masih su’udzon kepada kita. Kita tunjukkan bahwa kita benar-benar murni dan
ikhlas, tidak memiliki target, bukan gerakan politik, tapi kita ingin membangun
kepribadian muslim sunni yang betul-betul sunnaturrasul
wa minhaajihi. Itulah yang kita harapkan.
Dari aspek
budaya, sebenarnya pesantren NU adalah orang-orang yang paling mencintai Ahlul
Bait, bahkan boleh dibilang “sudah menjadi Ahlul Bait”, hanya secara ilmiah
kita tidak mengetahuinya. Akan tetapi, tanpa terasa, kita para santri sudah
menjadi Ahlul Bait. Para sufi, para tarekat tasawuf, semuanya sudah menjadi
Ahlul Bait. Hal itu dilihat dari bacaan tawasul yang setiap hari dibacakan
dalam al-Fatihah, ila hadhrati Nabi Muhammad. Setelah itu
barulah para guru sufi, yang silsilah tasawufnya apa saja, kecuali
Naqsyabandiyah, pasti melalui Sayyid Tho’ifah, al-Imam Abul
Qasim Muhammad al-Junaidi al-Baghdadi yang wafat tahun 297 H. Imam Junaidi ini
murid dari Sirri as-Saqathi murid dari Ma’ruf al-Karhi yang
wafat tahun 200 H, yang masuk Islam di tangan imam ke delapan Ahlul Bait, Imam
Ali ar-Ridha bin Imam Musa al-Kadzim bin Imam Ja’far ash-Shadiq bin Imam
Muhammad al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Imam Husain bin Imam Ali bin
Abi Thalib.
Pertama
kali laqab sufi diberikan kepada Jabir bin Hayyan al-Azdi yang lahir tahun 100
H dan wafat tahun 160 H. Beliau adalah murid Imam Ja’far ash-Shadiq. Setiap
akan mengadakan eksperiman, Jabir bin Hayyan yang ahli kimia dan metematika
(beliau pencetus ilmu aljabar), pasti melakukan shalat malam terlebih dahulu,
kemudian pagi harinya isti’dzan
(permisi) dahulu kepada Imam Ja’far ash-Shadiq. Jadi, hubungan antara tasawuf
dan Ahlul Bait kental sekali.
Belum lagi
puji-pujian yang dibaca orang-orang NU jika terjadi wabah seperti cacar atau
penyakit menular lain, mereka pasti bertawasul dengan ahli kisa. Sejarah ahli
kisa ini yaitu ketika Rasulullah mengadakan mubahalah
(saling melaknat dan yang salah akan binasa). Nabi menggelar sorbannya, dan di
dalamnya berkumpul lima orang yaitu Rasulullah, Sayyidina Ali, Sayyidah
Fathimah, al-Hasan dan al-Husain. Kaum Nasrani ternyata tidak berani melakukan
mubahalah, seperti terdapat dalam al-Quran surat Ali Imran. Kelima ahli kisa
ini, menurut para kyai, bisa menolak tho’un
yaitu menolak penyakit yang merajalela. Bunyinya: li khamsatun uthfi biha …
Jika kita
sudah biasa bertawasul seperti itu, mana mungkin tidak mengenal Ahlul Bait,
maupun peristiwa Karbala. Itulah kelemahan kita, para Nahdhiyin. Lain halnya
dengan pengikut ormas lain yang tidak pernah melakukan hal itu, wajar saja jika
tidak mengenal mereka. Jika sejak kecil tidak mengenal pesantren, tidak
mengenal wirid, dzikir, maulid diba’, dan barzanji, bisa dimaklumi. Sedangkan
kita yang sudah biasa melakukan hal itu, tidak pantas jika tidak mengenal Ahlul
Bait.
Salah satu
tradisi yang sering kita lakukan adalah membaca diba’ barzanji dalam acara
tasyakuran (selamatan), atau kegiatan lain yang bernafaskan Islam. Barzanji
merupakan karangan Abu Ja’far al-Barzanji dari Turki, yang mengirimkannya
kepada raja Islam di Aceh, dan ditukar dengan sebuah kapal bermuatan cengkeh.
Di dalam maulid barzanji tersebut terdapat kalimat yang menyebutkan bahwa Ahlul
Bait adalah amanul ardhi, yang
memelihara dan menciptakan stabilitas di muka bumi (yang dalam bahasa Jawa
disebut Paku Buwono, Hamengku Buwono, Mangku Bumi, atau Paku Alam), yang selalu
kita baca dan kita muliakan, serta kita cari barakah dan syafaatnya. Kita harus
benar-benar peduli dan bertanggung jawab atas perjuangan Ahlul Bait, jika kita
benar-benar mencintai Rasulullah Saw. Bacaannya sudah kita baca, tinggal
penghayatan, aplikasi, dan implementasinya belum mampu kita realisasikan.
Bagi NU,
tidak ada masalah dengan Madrasatil Karbala, justru sangat senang dan
menghormati, serta mendukung minimal dengan kata-kata. Acara ini sangat bagus
dan mulia, dan merupakan langkah pertama untuk membangkitkan kembali semangat
Islam yang sangat esensial, bukan hanya semangat Islam yang dilakukan dengan
kekerasan, tapi tujuan kita lebih dari itu, lebih bernilai dan mulia. Kita ingin
mencontoh dan mengambil hikmah, bahkan mengikuti apa yang telah dilakukan oleh
Sayyidina Husain bin Ali.
Kesimpulan
dari apa yang telah saya sampaikan adalah, pertama, bahwa Madrasatil Karbala
merupakan simbol perjuangan dan pengorbanan Ahlul Bait. Mari kita menjadikannya
sebagai hari yang mulia, seperi yang dikatakan Syekh Abdul Qadir al-Jailani, ‘Asyirul Karamah (hari berkeramat yang
ke-10), sejajar dengan hari-hari mulia lainnya. Kegiatan ini hendaknya kita
lanjutkan, karena langkah ini sangat baik sekali.
Kedua,
hendaknya pertemuan kita dalam Madrasatil Karbala ini menghasilkan upaya yang
sinergi, perjuangan yang menyatu, menjadi sentra persatuan bagi semua pihak.
Apapun latar belakangnya, dari pesantren, sekolah, pegawai, mandor, dan
lain-lain, semuanya hendaknya hadir dalam Madrasatil Karbala, tidak hanya
kelompok elit atau kelompok orang yang sudah bisa membaca al-Quran saja, tetapi
menyeluruh bagi semua lapisan masyarakat.
Itulah
salah satu perjuangan para auliya’ terutama Ahlul Bait, sehingga mencapai
keberhasilan. Sebagaimana para Wali Songo, mereka termasuk keturunan Ahlul
Bait. Kunci-kunci perjuangan Islam di pulau Jawa ada di tangan mereka, dengan
pendekatan budaya dan tangan terbuka, dengan pendekatan moral, bukan pendekatan
politik.
Kerajaaan
Majapahit yang awalnya dipertahankan oleh masyarakat Jawa akhirnya mereka
tinggalkan. Sewaktu Majapahit diserang oleh orang Islam, mereka bertahan,
sehingga menyebabkan gugurnya lima orang kyai di pintu gerbang Majapahit (Syekh
Abdul Qadir Assini, Syekh Ibrahim as-Samarkandi, Syekh Jumadil Qubra, Syekh
Utsman al-Hamadani, Syekh Marzuki). Mereka ingin menyerang Majapahit dengan
kekerasan, tetapi gagal karena rakyat mempertahankan Majapahit yang merupakan
simbol kebesaran Jawa. Tetapi, dengan pendekatan Ahlul Bait, dengan cara tsaqafah, pendidikan, moral, pergaulan
yang baik, akhlaqul karimah, bahkan melalui seni, akhirnya lama-kelamaan tanpa
paksaan masyarakat Majapahit berbondong-bondong masuk Islam.
Sampai-sampai
orang Jawa sendiri mengakui, “suro diro
joyoningrat lebur diningpangastuti”, keningratan orang Jawa hancur lebur oleh
kebersihannya orang santri.
“Sirno ilang kertaning bumi”, kebesaran
Jawa hilang ditelan bumi. Kerajaan Majapahit, imperium yang sangat besar bahkan
sampai ke Kolombo dan Philipina Selatan, kini tidak ada lagi, hanya sedikit
sekali peninggalannya Seluruh Jawa akhirnya masuk Islam. Sehingga Sunan Ampel
mengizinkan muridnya yaitu Raden Fatah mendirikan kerajaan Islam yang pertama
di Demak. Itulah hasil perjuangan dengan pendekatan moral, akhlak, dan
pendidikan, yang dilakukan oleh Ahlul Bait, dalam hal ini Wali Songo.
Coba
bandingkan dengan kerajaan Islam di Spanyol yang berkuasa selama 800 tahun dan
sudah melahirkan ulama-ulama besar seperti Ibnu Malik seorang pengarang
Alfiyah, Ibnu Arabi seorang sufi besar, Syathibi ahli qiraat, Ibnu Hazm, Ibnu
Zaidun seorang sastrawan, dan lain-lain. Kerajaan ini hilang dan tidak ada
bekasnya sama sekali, bahkan masjid yang terbesar, Cordoba, sudah kembali
menjadi gereja. Makam khalifah dan istrinya sudah digali dan tulang-tulangnya
dibakar oleh pasukan Isabela. Padahal kerajaan itu dahulu begitu besar dan
kuat, melahirkan suatu peradaban yang besar, bahkan menjadi pintu gerbang ke
Eropa, dan banyak kata-kata Arab yang masuk ke Eropa melalui Spanyol. Mengapa
demikian? Setelah dianalisa dan direnungkan, selama 800 tahun pemerintahan Bani
Umayyah di Spanyol, tidak pernah ada raja yang menghormati Ahlul Bait.
Sebaliknya,
di Indonesia, meskipun belum melahirkan ulama-ulama besar seperti di Spanyol,
tetapi Islamnya masih bertahan. Inilah bi
barakati Ahlul Bait, karena umat Islam di Indonesia masih menghormati Ahlul
Bait. Tentu ini hanyalah tinjauan spiritual. Analisa yang dilakukan bukan
analisa rasional, tetapi analisa metafisis. Islam saat ini sudah semakin mantap
dan menyatu dengan kehidupan masyarakat.
Kita
ketahui bahwa Dinasti Bani Umayyah yang sudah begitu banyak merekayasa sejarah
hanya berkuasa selama 70 tahun, berakhir tahun 112 H dan diganti dengan dinasti
Bani Abbasiyah. Dalam masalah seperti ini, orang-orang yang rasional terkadang
tidak percaya bahwa ada barakah, ada faktor x yang bersifat metafisis dan
supranatural, yang tidak bisa dilihat dengan mata kasat. Hal itu tidak bisa
dilihat dengan bashar tapi harus
dengan bashirah, tidak bisa
dipikirkan tapi harus ditafakuri, tidak bisa dengan akal tapi dengan ta’aqqul, tidak bisa dengan manthiq tapi dengan dzauq, tidak bisa dengan logika tapi dengan intuisi. Kita harus
memahami itu semua.
Mudah-mudahan,
dengan berkumpulnya kita di tempat ini dengan niat yang tulus ikhlas, bukan
karena kepentingan apapun, kita semua mendapatkan barakah dan syafaat dari
Ahlul Bait.
========================================
TANYA JAWAB TERMIN 1
MASALAH 1:
Kita tidak
pernah mengenal Madrasah Karbala, Imam Husain, maupun keturunan Rasulullah
lainnya yang menjadi panutan para pencinta Ahlul Bait. Hal ini tidak terlepas
dari proses sejarah, ketika Dinasti Bani Umayyah selama 90 tahun melakukan
rekayasa informasi terhadap masyarakat Islam internasional, dengan memasukkan
salah satu rukun khutbah adalah mencaci maki Ahlul Bait. Dilanjutkan dengan
Dinasti Abassiyah selama 500 tahun yang juga membenci Ahlul Bait.
Di
Indonesia kita mengenal salah satu institusi yang sangat mengagungkan
Rasulullah dan keluarganya, yaitu Nahdhatul Ulama. Tetapi NU secara jam’iyah
(keorganisasian) tidak pernah melakukan revisi terhadap sejarah yang dibangun
di madrasah-madrasahnya. Sejarah yang diajarkan kepada kita tidak pernah
sedikitpun menyangkut persoalan Ahlul Bait. Kita hanya diajarkan tentang
sejarah kekhalifahan, sejarah Rasulullah dan sejarah lain yang sama sekali
tidak menguatkan emosi kita. Oleh karena itu, diharapkan NU mengadakan
perombakan secara total terhadap visinya, karena Ahlul Bait sangat berkaitan
dengan kehidupan sehari-hari, berupa tawasul, wirid, dan doa-doa.
Mengapa
Ahlul Bait dikucilkan di mata masyarakat Islam di Indonesia dan tidak mendapat
tempat secara formal dalam organisasi Islam?
JAWABAN 1:
Kecemburuan,
ketakutan, dan kekhawatiran penguasa terhadap kelompok militan yang memegang
Islam secara disiplin, aqidah, sikap, pola pikir, dan perilaku sehari-hari,
senantiasa terjadi sepanjang sejarah. Dinasti Bani Umayyah memang merebut hak
dari Ahlul Bait secara dzalim, sedangkan Dinasti Bani Abbasiyah sebenarnya
berasal dari Ahlul Bait. Mereka melakukan kampanye untuk menggulingkan Bani
Umayyah, dan seorang tokoh Persia yang berjasa besar mengkampanyekan Ahlul Bait
adalah Abu Muslim al-Khurasani. Jadi, Dinasti Bani Abbasiyah berdiri karena
mengatasnamakan Ahlul Bait.
Muawiyah
ketika berkuasa, karena khawatir masyarakat akan memberontak, kemudian
menyebarkan dan mengharuskan ajaran Jabariyah (fatalisme). Para ulama
diperintahkan untuk menyebarkan ajaran tersebut, yaitu bahwa apa yang terjadi
adalah kehendak Allah. Kematian Sayyidina Ali dan keluarganya, berkuasanya
Muawiyah, semua itu merupakan kehendak Allah dan atas ridha Allah. Untuk
meredam gejolak dalam masyarakat, diajarkan khairihi
wa syar’ihi minallah, baik dan buruk itu adalah dari Allah.
Tidak ada
satupun ulama yang berani menentangnya, kecuali Muhammad al- Hanafiah, putra
Sayyidina Ali dari istri yang bernama Haulah binti Ja’far dari suku Bani Hanifah.
Beliau yang saat itu masih berusia 19 tahun, mengadakan majelis di masjid
Madinah, dan mengatakan bahwa perbuatan hamba Allah terhadap sesamanya tidak
tergantung qadha’ dan qodar. Apa yang terjadi adalah perbuatan Muawiyah, tidak
ada campur tangan Allah. Ajaran itu hanya merupakan manipulasi aqidah.
Pengikut
Muhammad al-Hanafiah cukup banyak, terutama orang Persia, salah satunya adalah
Ma’bad al-Juhani. Dia bahkan mengatakan bahwa tidak ada qadha’ dan qadar, baik
buruk manusia adalah dari manusia sendiri, tidak ada intervensi dari Allah.
Bahkan Allah baru mengetahuinya setelah suatu kejadian terjadi.
Pengikut
Muhammad al-Hanafiah yang lain adalah Wasil bin Atha’, seorang sastrawan yang
cerdas. Dia adalah pendiri mu’tazilah, yang rukunnya ada lima yaitu at-tauhid wal ‘adl, wa’du wal wa’id, assulhu
wal ashlah, al-manzilah bil manzilatain, al-amru anil ma’ruf wannahyu ‘anil
munkar. Dia mengatakan, perbuatan hamba Allah terhadap sesamanya tidak
tergantung qadha’ dan qadar, tetapi Allah mengetahuinya.
Wasil bin
Atha kemudian berguru kepada putra Muhammad al-Hanafi yang bernama Abu Hasyim,
yang memegang surat-surat rahasia berisi nama-nama yang memperjuangkan nasib
Ahlul Bait. Abu Hasyim meninggal dalam perjalanan, di rumah Ali bin Abdullah
bin Abbas. Di dalam tas beliau terdapat daftar nama-nama tokoh dari Khurasan,
Persia, yang akan memperjuangkan nasib Ahlul Bait. Surat tersebut dibawa oleh
Ali bin Abdullah bin Abbas, dan beliau menghubungi orang-orang tersebut untuk
melanjutkan perjuangan Ahlul Bait didukung oleh masyarakat Persia sehingga
memperoleh kemenangan. Akhirnya lahirlah Bani Abbasiyah yang raja pertamanya
adalah Abu Abbas as-Saffah. Seluruh keluarga Bani Umayyah dibantai kecuali satu
yang lari ke Spanyol, Abdurrahman ad-Dakhili. Jadi, sebenarnya Dinasti
Abbasiyah lahir karena menggunakan Ahlul Bait.
Menurut
sejarah, ada keinginan dari Khalifah Ma’mun bin Harun ar-Rasyid pada saat
pengangkatannya untuk menyerahkan kursi kekuasaannya kepada Imam Ali ar-Ridha.
Akan tetapi, para penasehatnya menganjurkan agar beliau dijadikan sebagai
penasehat saja, karena apabila Imam Ali ar-Ridha menjadi khalifah, tidak akan
ada yang menasehati beliau ketika melakukan kesalahan. Semua itu merupakan
kepentingan politik.
Yang
penting, saat ini Ahlul Bait menjadi simbol penguasa jiwa dan hati umat Islam
di seluruh dunia. Imam Hasan Basri mengatakan bahwa Imam Ali adalah rabbaniyul ummah, guru spiritualitas
dari semua umat Islam. Kita tidak memahami semua itu karena kita tidak membaca
sejarah, karena sejarah itu banyak sekali contohnya al-Kamil 13 jilid, Ta’rifil
umam wal mulk Imam Thabari 14 jilid, atau Ahmad Salabi 10 jilid yang
semuanya menulis seluruh perjalanan umat.
Apa yang
sudah dilakukan NU untuk meluruskan sejarah? NU berdiri pada tahun1914,
dicetuskan oleh Kyai Wahab dari Surabaya, dengan nama Taswirul Afqar (membangun format berpikir). Beliau meminta izin
dari Kyai Hasyim, dan setelah mendapat izin maka tiap malam diadakan diskusi.
Lama-kelamaan dibentuk madrasah yang dinamakan Nahdhatul Wathan (kebangkitan bangsa). Seorang pengusaha yang
bernama H. Hasan Dipo turut bergabung dan membangun Nahdhatul Tujjar (kebangkitan pedagang santri).
Pada tahun
1926, Kerajaan Saudi Arabia dengan rajanya Abdul Aziz yang bermadzhab Wahabi
dan sangat anti terhadap Ahlul Bait, meluaskan wilayah kekuasaannya yang semula
hanya di Najd, Saudi Timur (sekarang Riyadh dan sekitarnya), ke barat dan
utara.
Di Thaif,
makam Ibnu Abbas diratakan dengan tanah. Di Mekkah, makam Sayyidah Khadijah dan
para sahabat di Ma’la juga diratakan, bahkan nisan-nisannya dibongkar. Rumah
Sayyidina Ali dijadikan WC, rumah Syekh Abdul Muthalib tempat kelahiran Rasul
dijadikan kandang keledai, dan rumah Sayyidah Khadijah al-Qubra tempat Rasul
tinggal disatukan dengan pasar. Di Madinah, makam lima belas ribu sahabat di
Baqi termasuk Ummahatil Mu’minin, Sayyidina Hasan, Shafiyah, dan lainnya juga
rata dengan tanah. Yang tersisa hanya makam Rasulullah, Abubakar, dan Umar yang
ada di Masjid Nabi, itupun semula akan dibongkar dan diratakan.
Kyai Wahab
merasa terpanggil, kemudian membentuk suatu utusan yang dinamakan Komite Hijaz.
Pada tahun 1926, komite yang terdiri dari Kyai Wahab, Kyai Zainal Arifin, dan
H. Hasan berangkat ke Jeddah menemui raja Abdul Aziz dan menyampaikan dua
permohonan atas nama umat Islam negeri Jawi. Yang pertama, memohon agar makam
Rasul dan kedua sahabat tidak dibongkar. Yang kedua, memohon agar jamaah haji
dari berbagai negara diperbolehkan beribadah sesuai madzhab masing-masing.
Kedua permohonan tersebut dikabulkan.
Itulah
jasa NU terhadap sejarah. Secara kasar, menurut logika yang mudah, jika dahulu
tidak ada Komite Hijaz, tidak ada usulan dari umat Islam negeri Jawi,
barangkali saat ini sudah tidak ada lagi makam Rasulullah.
Sampai
sekarang makam Rasul masih ada, hanya sayangnya sejak kaum Wahabi berkuasa,
kelambunya tidak pernah diganti, di dalamnya gelap, tidak pernah dibersihkan
dan diberi minyak wangi. Sebelumnya, pada masa pemerintahan Syariful Husein,
tiap tahun kelambu Ka’bah dan kelambu makam Rasul diganti. Kelambu Ka’bah
berwarna hitam, sedangkan kelambu makam Rasul berwarna hijau. Tetapi sekarang
hanya kelambu Ka’bah saja yang diganti setiap tahun.
NU hanya
menghormati Ahlul Bait sebatas puji-pujian, tidak secara jam’iyah. Yang
penting, bagaimana NU memanfaatkan semua potensi yang ada di Ahlul Bait dan NU.
Jika kita bisa lepas dari semua kepentingan sesaat, Insya Allah barakahnya
lebih besar daripada jika kita menjadikan Ahlul Bait sebagai simbol NU,
misalnya. Kita hendaknya meneladani aqidah, sikap, pola pikir, dan amal
sehari-hari Ahlul Bait., tidak perlu membangun fanatisme. Tetapi, fanatisme
kita terhadap al-Quran dan Sunnah diaplikasikan kepada Ahlul Bait.
Mengapa
Ahlul Bait tidak pernah mendapat tempat secara formal? Hal itu disebabkan
karena Ahlul Bait ingin berbaur dan menyatu dengan masyarakat Jawa. Sebenarnya,
para ulama jika ditelusuri silsilahnya adalah keturunan Ahlul Bait, bahkan
menurut kabar, Gus Dur juga demikian. Tetapi semuanya dihilangkan, tidak
ditonjolkan, agar bisa berbaur dengan semua lapisan masyarakat. Banyak sekali
ulama yang menyembunyikan identitas mereka, seperti Assegaf, al-Habsyi, dan
lain-lain. Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Gresik, dan Sunan Kudus juga
merupakan keturunan Ahlul Bait.
MASALAH 2:
Mengenai
kemunduran Islam di Spanyol dibandingkan Islam di Indonesia, selain karena di Spanyol
yang dipimpin oleh Bani Umayyah tidak memiliki penghormatan terhadap Ahlul
Bait, tetapi juga karena pendekatan yang berbeda. Salah satu khalifah Bani
Umayyah, Umar bin Abdul Aziz, adalah seorang tokoh yang jauh berbeda dengan
khalifah lainnya. Kebanyakan penguasa di Spanyol menggunakan cara ekspansi dan
kekerasan, sedangkan di Indonesia para Wali Songo menggunakan pendekatan
budaya, sehingga lebih langgeng. Apakah hal itu tidak ikut mempengaruhi
kemunduran Bani Umayyah?
Di
lingkungan NU kita tidak pernah mengenal definisi Ahlul Bait secara detail,
tapi hanya mengenal sekilas mengenai fikih, tasawuf dan aliran-aliran. Konotasi
yang muncul adalah bahwa Ahlul Bait identik dengan kaum syiah. Konsep apa yang
dibangun oleh NU untuk mencoba memperkenalkan Ahlul Bait?
JAWABAN 2:
Khalifah
Umar bin Abdul Aziz dari Bani Umayyah memang khalifah yang bijak dan adil,
salah satu yang bisa kita banggakan. Beliau sangat zuhud dan sederhana. Pada
masa itu partai-partai politik bersatu. Beliau juga mengembalikan harta-harta
yang dirampas dari raja-raja sebelumnya. Sayang masa kekuasaannya tidak lama,
hanya dua setengah tahun, antara tahun 99 – 101 H.
Pernah
anaknya menemui beliau ketika sedang mengerjakan urusan negara. Beliau
bertanya, yang akan dibicarakan urusan keluarga atau urusan negara? Ketika
dijawab urusan keluarga, beliau mematikan lampu, karena urusan keluarga tidak
boleh dibicarakan di bawah lampu yang dinyalakan dengan uang rakyat. Bandingkan
dengan saat ini, ketika para pejabat selalu menggunakan uang dan fasilitas
negara untuk semua keperluannya.
MASALAH 3:
Kita hanya
menginginkan suatu konsep mengenai Ahlul Bait untuk diiplementasikan dalam
kehidupan sehari-hari. Jika Ahlul Bait hanya menjadi suatu wacana saja, hal itu
tidak diperlukan. Tetapi, jika menjadi sebuah implementasi kehidupan, maka
sangat diperlukan sebuah manual atau referensi yang bisa dilakukan. Selama ini
Ahlusunnah wal Jamaah mempunyai konsep yang jelas dalam kehidupan
bermasyarakat, untuk menjadi umat yang terbaik, sementara di sisi lain tidak
pernah diajarkan secara riil bagaimana Ahlul Bait itu.
JAWABAN 3:
Bagaimana
konsep NU terhadap Ahlul Bait? Hal ini sudah jelas, di NU mulai dari bawah
sampai ke atas, dari pengurus ranting sampai pengurus pusat, semua mencintai
Ahlul Bait. Semua ihtirab dengan
Ahlul Bait, tawasul, dan puji-pujian setiap hari. Kita marah dan tersinggung
jika Ahlul Bait tidak dihormati, dianggap remeh, kecil, dihina, dan kita akan
membela Ahlul Bait.
Jika ada
tamu Ahlul Bait yang datang ke pesantren, pasti semua santri menghormati,
menyalami dan mencium tangan mereka. Mulai dari anak kecil sampai kyai besar,
semua mengenal siapa Rasulullah, Sayyidina Ali, Sayyidah Fathimah, al-Hasan dan
al-Husain, meskipun hanya secara global. Mereka belum tentu mengenal Muawiyah.
Bahkan ada dongeng di kalangan anak-anak santri bahwa Imam Ali tidak mati, dan
kuburannya dipindahkan ke bulan. Warna-warna gelap di bulan adalah Imam Ali.
Selain itu, jika ada dua kuburan yang berdampingan, maka disebut kuburan Hasan
Husain.
TANYA JAWAB TERMIN 2
MASALAH 1 :
Ada cerita
yang berkembang di pondok, bahwa Sayyidah Fathimah az-Zahra tidak mau menikah
jika nasabnya tidak bersambung dekat dengan Rasulullah. Apakah hal itu merupakan
pernyataan saja atau ada hadits mengenai masalah tersebut?
Dahulu ada
mamlakatul hijaz wa ma haulaha
beserta raja-rajanya, tetapi kemudian hancur, dan Arab Saudi dikuasai keluarga
Ibnu Sa’ud. Mengapa hanya keluarga Ibnu Sa’ud saja yang berkuasa?
Mengapa
Sayyidah Fathimah dijuluki az-Zahra?
JAWABAN 1:
Saudi
Arabia adalah kerajaan pertama yang memisahkan diri dari kekhalifahan Turki.
Ketika pemerintahan Turki berkuasa, wilayah kekuasaannya yang luas berada
dibawah kekhalifahan di Istambul. Kaum Nasrani (Katolik) melakukan perang suci
yang disebut perang salib dan menyerang pusat-pusat Islam di Syria, Mesir, dan
Palestina. Umat Islam bersatu mempertahankan wilayah mereka dan memperoleh
kemenangan di bawah pimpinan Salahudin al-Ayubi.
Mereka
kemudian mengganti strategi, tidak menyerang pusat-pusatnya, tetapi menyerang
daerah-daerah pinggiran secara perlahan-lahan. Kemudian mereka mulai mengirim
mata-mata.
Vasco da
Gama mengelilingi Afrika dari Portugis. Di Afrika Selatan hampir mati, lalu
menemukan Tanjung Harapan dan selamat. Di sana ia bertemu dengan pelaut muslim
Majid bin Ahmad dan belajar bagaimana berlayar dengan benar. Ia diberi alat
yang dinamakan ghaslah (kompas),
sehingga berhasil tiba di India yang waktu itu merupakan kerajaan Islam. Di
kota Kalkuta ia mendirikan perusahaan yang akhirnya berkembang menjadi
kapitalisme.
Snouck
Hurgronje dikirim ke negeri Jawa dan mengirimkan laporan ke Belanda. Akhirnya
pada tahun 1611 datanglah rombongan perahu Belanda mendarat di Banten.
Magellans berangkat dari Portugis ke Philipina yang dulu merupakan kepulauan
Melayu. Nama Philipina itu diambil dari nama raja Portugis, Philip. Selain itu,
Marco Polo juga berkeliling dunia untuk tujuan yang sama.
Setelah
rencana siap dan matang, masuklah kaum Nasrani untuk menguasai. Indonesia
dikuasai oleh Belanda, India dan Sudan dikuasai oleh Inggris, Libia dikuasai
oleh Itali, sementara Aljazair, Syria, Libanon, dan Irak dikuasai oleh
Perancis. Mereka melakukan adu domba, sehingga terjadilah fitnah kubra. Di
dalam negeri terjadi pemberontakan, sehingga situasi sangat kacau. Umatnya
banyak, tetapi tidak mempunyai simbol persatuan yang bisa menyatukan secara
moralitas dan spiritual. Umat Islam sudah rusak. Kerajaan Turki wilayahnya
direbut satu persatu, sehingga oleh orang barat dijuluki arrajul maridh, laki-laki yang sedang sakit parah.
Sedangkan
kerajaan Turki sendiri tidak dijajah, melainkan dikuasai dengan cara lain.
Mereka mencari orang yang cerdas untuk disekolahkan dan dicuci otaknya. Lalu
setelah siap ia dikembalikan ke Turki, nantinya pasti akan melakukan hal yang
luar biasa. Setelah dicari akhirnya ditemukan seorang pemuda bernama Mustafa
Kemal. Ia dibawa ke Eropa dan dijejali ajaran sekuler agar dapat membubarkan
kekhalifahan Islam. Setelah pandai, Mustafa Kemal dikembalikan ke Turki, dan
pada tahun 1924 berhasil menggulingkan Khalifah Islam terakhir, Abdul Majid al-Utsmani.
Dengan demikian, berakhir sudah perjalanan sejarah kekhalifahan Islam. Yang
tertinggal adalah nasionalisme kebangsaan yang terkotak-kotak.
Bahkan
sampai sekarang, perbatasan antar negara tidak ada yang beres karena itu
merupakan rekayasa penjajah. Mesir dan Libia, Libanon dan Syria, Palestina dan
negara-negara kecil di teluk. Di Malaysia, Pattani yang penduduknya Islam
dimasukkan ke Thailand, supaya menjadi minoritas. Sedangkan Perlis yang
penduduknya Kristen dimasukkan ke Malaysia, supaya di negara tersebut ada orang
Kristennya. Philipina selatan yang penduduknya Islam dimasukkan ke Philipina
utara yang penduduknya Kristen semua. Semua itu adalah cara orang barat untuk
menghancurkan Islam.
Di
Indonesia, penduduk muslim yang kuat Islamnya dilarang bersekolah, sementara
yang Islamnya abangan dan orang Kristen boleh bersekolah. Begitu Indonesia
merdeka pada tahun 1945, yang menjadi kaum intelektual, teknokrat, dan sarjana,
mayoritas non muslim atau orang yang Islamnya tidak kuat.
Pada saat
itu santri tidak ada yang bersekolah. Anak kyai yang lulus SD baru ada sekitar
tahun 1956, yang lulus SMA tahun 1964, yang bergelar BA tahun 1965-1966, dan
yang bergelar doktorandus tahun 1969. Kita sebenarnya sangat terbelakang
sekali.
Di Arab
sendiri, Inggris menyusupkan seorang yang bernama Lawrence ke pedalaman Badui.
Ia berpakaian seperti orang Arab, berbahasa Arab, hidup di padang pasir di
dalam kemah, naik unta, kepanasan dan kehausan, untuk mempelajari dan mencatat
watak-watak Arab, kelemahan dan kekuatannya, serta ciri-ciri orang Arab.
Ia
kemudian memprovokasi gubernur Najd (Riyadh dan sekitarnya), Muhammad bin Su’ud
agar memisahkan diri dari Turki. Ia juga menemui Syarif Husein yang menguasai
Mekah dan Madinah (Hijaz), dan membujuknya agar memproklamirkan diri menjadi
khalifah menggantikan khalifah Turki yang sudah tidak ada. Terjadilah perang
saudara dan Syarif Husen mengalami kekalahan. Inggris lalu memindahkannya ke
Palestina timur, yaitu sebelah timur sungai Yordan. Palestina timur sekarang
menjadi negara Yordania, sementara Palestina barat adalah wilayah yang terdapat
Masjid al-Aqsha. Palestina timur tersebut dahulu dinamakan al-Mamlakah al-Hasyimiyah
al-Urduniyah. Itulah rekayasa orang barat. Sebenarnya, saat ini jika diungkap,
ada rasa cemburu antara Yordan dan Palestina. Orang Palestina menganggap bahwa
tanah Yordan adalah milik mereka. Kaum Nasrani memang pandai sekali menimbulkan
penyakit di dalam.
MASALAH 2 :
Imam
Husain pada saat pelaksaan ibadah haji, beserta rombongannya malah pergi
melakukan perjuangan demi menegakkan Islam. Apakah pada saat itu ibadah haji
atau kegiatan formal Islam sudah porak-poranda oleh kaum yang menyingkirkan al-Husain?
Selain
itu, di mana posisi Imam Hasan, karena yang ditonjolkan selalu Imam Husain?
Apakah mereka selalu bersama-sama atau berjalan sendiri-sendiri?
Ahlul Bait
di Indonesia dulu dikenal dengan Wali Songo yang barakahnya besar sekali, dan
sudah masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Jawa. Kita mengetahui
orang Jawa sampai saat ini masih memperhitungkan hari baik dan hari jelek, yang
terdapat dalam kitab Mujarabat. Bagaimana kevalidan kitab tersebut, karena
perhitungannya tidak lepas dari kejadian-kejadian Islam di masa lalu?
JAWABAN 2:
Ibadah
syariat itu merupakan simbol seremonial Islam dan akan benilai jika didasari
dengan hakikat, dilandasi dengan nilai-nilai ‘ubudiyah. Jika hanya formalitas
dan simbol saja, contohnya masjid yang megah, jamaahnya banyak, tetapi Islamnya
kosong dari hati setiap jamaah, maka itu percuma saja. Bukan berarti ini
meremehkan yang ada.
Masjid
Surabaya, misalnya, dibangun dengan biaya 54 miliar, apa artinya? Nilai apa
yang didapat? Jamaah haji setiap tahun bertambah, jumlahnya mencapai dua ratus
ribu orang, perubahan apa yang kita rasakan? Apakah orang-orang semakin baik,
semakin peduli kepada fakir miskin, semakin jujur, korupsi semakin berkurang,
dan pendidikan semakin maju? Artinya, apalah arti sebuah seremonial formal atau
simbol, kalau tidak didasari dengan ibadah yang betul-betul ‘ubudiyah. Menurut
Imam Husain saat itu, yang memperjuangkan Islam sebenarnya adalah, bukan
melakukan ibadah haji, tetapi menyuarakan kebenaran (shautul haq).
Ada empat
macam keadaan umat Islam, secara formal dan kultural. Pertama, orang yang namanya sangat Islami, pekerjaannya di
lingkungan Islami, akhlaknya pun baik. Kedua,
orang yang namanya tidak Islami, pekerjaannya bukan di lingkungan Islami,
tetapi akhlaknya baik. Ketiga, orang
yang namanya Islami, pekerjaannya di lingkungan Islami, tetapi akhlaknya buruk.
Keempat, orang yang namanya tidak
seluruhnya Islami, pekerjaannya di lingkungan Islami dan juga di luar
lingkungan Islami, akhlaknya pun ada yang baik dan ada yang buruk. Itulah
keadaan umat islam dari dulu sampai sekarang.
Para ulama
sufi menulis kitab-kitab, bagaimana mencari ibadah yang betul-betul ‘ubudiyah.
Salah satunya Imam al-Ghazali, menulis kitab Minhajjul ‘abidin, mengenai metode
meningkatkan ibadah. Bukan menambah rakaat shalat, shalat tetap 17 rakaat, tapi
berkualitas. Puasa tetap satu bulan, tapi berkualitas.
Jadi,
ibadah yang bersifat seremonial itu kering, dangkal, dan tidak bernilai apa-apa
terhadap kehidupan masyarakat. Padahal, yang kita baca dalam shalat,
masing-masing mempunyai arti tersendiri. Takbir, artinya mengakui bahwa yang
mutlak hanya Allah, the absolute one
existence. Mengangkat kedua tangan, artinya mengucapkan selamat tinggal
kepada dunia ghadhabiyah maupun syahwatiyah, kepada hawa nafsu.
Sementara kita, mengangkat tangan tetapi hati kita memikirkan jabatan,
kekayaan, wanita, dan lain-lain. Hamdalah,
artinya kita harus positif dengan alam ini. Salam,
artinya selesai shalat kita harus memperjuangkan perdamaian, bukannya malah
berbuat kejahatan, seperti mencuri, korupsi, dan lain-lain. Contohnya kotak
infak Masjid Istiqlal, dulu setiap Jumat hanya terkumpul dana 5-6 juta, tetapi
setelah pengurusnya diganti oleh Menteri Said Aqil al-Munawar, bisa mencapai 15
juta. Itulah pencuri yang berkedok malaikat.
Ada sebuah
kisah mengenai seorang yang pulang dari menunaikan ibadah haji. Pada hari
Jumat, ia memakai gamis putih dan bersorban. Di tengah jalan, gamisnya digigit
oleh seekor anjing, dan ia memukulnya. Anjing itu kesakitan, lalu mengadu
kepada Allah. “Ya Allah, saya kesakitan
dipukul oleh Pak Haji!” Allah bertanya kepada orang itu, “Mengapa kau memukul anjing itu?” Ia
menjawab, “Saya memukulnya karena ia
menggigit gamis saya sehingga menjadi kotor!” Allah pun bertanya kepada
anjing, “Mengapa kau menggigit gamisnya?”
Anjing menjawab, “Saya pikir, orang
yang berpakaian seperti itu, bersorban dan bergamis putih, tidak lagi memiliki
rasa marah. Saya coba menggigitnya, ternyata marah juga.”
Jadi,
tidak ada bedanya antara orang yang memakai kaos atau gamis. Agama itu bukan
pakaiannya, bukan formalitas, bukan amal lahir saja. Orang-orang Saudi dan
Kuwait pun, yang berpakaian gamis, banyak yang perilakunya tidak baik. Ibadah
seremonial yang formal tidak ada nilainya sama sekali jika tidak disertai
esensi ‘ubudiyah.
Imam Hasan
sudah wafat ketika tejadi peristiwa Karbala. Beliau berjasa besar dalam
menyatukan umat Islam yang hampir berlarut-larut dalam perang saudara. Melihat
situasi tersebut beliau mengambil sikap untuk menandatangani pengakuan terhadap
khalifah Muawiyah.
Masyarakat
Jawa masih mewarisi budaya leluhurnya yang menggunakan perhitungan hari-hari
seperti Pon, Kliwon, Legi, dan lain-lain. Hal itu tidak dilarang, asal tidak
disakralkan. Masyarakat Cina pun mengenal tahun macan, kerbau, naga, dan
lain-lain, juga Yunani mengenal zodiak seperti cancer, leo, dan lain-lain, itu
semua hanya merupakan budaya. Selama orang itu masih mengucap syahadat,
aqidahnya benar.
Sebagaimana
orang yang berziarah ke makam para sunan, misalnya Sunan Bonang, bukan untuk
meminta kepada beliau. Mereka tetap meminta kepada Allah, hanya melalui para
sunan tersebut. Demikian pula orang yang sakit, bukan meminta kesembuhan dari
dokter, tetapi meminta ilmu dan kemampuan dokter untuk mengusahakan
kesembuhannya. Yang menyembuhkan hanya Allah. Orang yang memiliki keris, batu,
atau tombak, juga tidak apa-apa, selama masih bersyahadat. Semua dari Allah,
yang berkuasa hanya Allah, the absolute
one existence.
Ilmu
semacam itu disebut ilmu awail, dan
bukan hanya terdapat di Jawa saja. Dahulu di Yunani, ada seorang bernama
Pythagoras. Jika ia memetik gitar di tepi pantai, ikan-ikan menghampiri, dan
jika ia memetik gitar di kebun, burung-burung berdatangan. Itu ada ilmunya. Di
India pun dikenal ilmu semacam itu, demikian pula di Mesir kuno, dikenal sihir
Mesir yang dikerjakan oleh Fir’aun. Ilmu-ilmu tersebut, seperti membaca telapak
tangan, firasah, ada benarnya, tetapi janganlah diyakini seratus persen benar.
Contoh
lain, presiden AS Ronald Reagan, setiap kali akan mengadakan perjalanan pasti
bertanya dulu kepada juru bintang, jam berapa harus berangkat, ke arah mana
pesawat harus menuju. PM Turki Najmudin Erbakan, yang sekarang ditahan, ketika
akan menyerang Cyprus Yunani, ia meminta bantuan Syekh Badruzzaman dan akhirnya
menang.
Kita
umpamakan, seorang ibu yang tertidur di stasiun, suara bising kereta api tidak
akan membangunkannya, tetapi jika anaknya menangis maka ia akan langsung
terbangun. Itulah rahasia hidup. Kita bisa membalik perumpamaan itu. Hidup di
tengah-tengah kota, misalnya Jakarta, yang penuh dengan wanita-wanita cantik,
apabila tidak dipikirkan, tidak diresapi, tidak dihayati, maka tidak akan
tergoda.
MASALAH 3 :
Ketiga,
seperti disebutkan sebelumnya, kita warga NU masih bodoh mengenai Ahlul Bait
karena tidak membaca sejarah. Sebenarnya pendidikan anak itu tergantung dari
orang tuanya, bagaimana orang tua bisa mengukir pendidikan anaknya. Demikian
pula warga NU, kebodohan dan kurangnya membaca sejarah Ahlul Bait ada kaitannya
dengan langkah-langkah pengurus NU untuk memasyarakatkan sejarah itu sendiri.
Sebagaimana Ahlul Bait yang belum dikenal sama sekali oleh warga Nahdhiyin,
sehingga selalu menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan
syiah. Apakah syiah itu membawa misi atau tidak, kita selalu mencurigai. Mana
yang harus disalahkan, apakah warga Nahdhiyin yang tidak membaca sejarah, atau
para pemimpin yang tidak membeberkan masalah sebenarnya?
Oleh sebab
itu, bagaimana para tokoh NU mencari jalan keluar agar warga NU mengenal
sejarah Ahlul Bait. Selain itu, diharapkan tokoh-tokoh NU dapat terjun langsung
jika diadakan kegiatan seperti Madrasah Karbala, bukan hanya Bapak Said Aqil
Sirodj saja. Karena, Habib Ali Assegaf dan lainnya belum dikenal identitasnya
sebagai warga NU, sehingga kurang mendapat simpati dan kepercayaan.
Kehadirannya selalu menimbulkan rasa was-was dan kecurigaan warga NU akan
adanya misi tertentu.
JAWABAN 3:
Bagaimana
upaya pengurus NU dalam meningkatkan pendidikan dan pemahaman warga NU terutama
anak-anak. Orang-orang NU latar belakangnya sama, yaitu dari pesantren. Mulai
dari ranting sampai pengurus besar, semua modelnya sama. Hanya kebetulan tempat
tinggalnya berbeda-beda. Yang tinggalnya di Jakarta menjadi pengurus besar,
yang di Surabaya menjadi pengurus wilayah, yang di kabupaten menjadi pengurus
cabang, yang di kecamatan menjadi pengurus anak cabang, dan yang di desa
menjadi pengurus ranting. Semuanya berasal dari pesantren. Latar belakangnya
sama, pendidikannya sama, cara hidupnya pun sama.
Persoalan
pendidikan di daerah dan di pusat, sama saja. Kekurangan dan kelebihannya sama.
Barangkali khazanah keilmuannya berbeda, tetapi kultur dan pola pikirnya sama.
Senakal-nakalnya pemuda NU, terhadap kyainya pasti mencium tangan dan tetap
menghormati.
Kekurangan
NU memang ada, seharusnya melalui lembaga ma’arif sudah banyak berbuat,
bagaimana memahami sejarah yang benar, terutama tarikh Islam yang menyangkut
Ahlul Bait.
Mengenai
kecurigaan warga NU terhadap Syiah, jangankan masalah Syiah ada buktinya, jika
kita mendengar sesuatu yang menyeramkan padahal belum ada bukti, misalnya
kuntilanak, santet, teluh, dan lain-lain, kita sudah merasa takut. Apalagi yang
sudah ditambah-tambah, misalnya Syiah itu ekstrim, masyarakat pasti merasa
takut. Oleh sebab itu, persoalan ini harus dihadapi secara perlahan-lahan.
DOA :
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang
Tuhanku,
Hatiku sudah tertutup
akalku betul-betul tumpul, ya Allah
Hawa nafsuku yang menang
diriku yang kalah, ya Allah
Lihatlah lidahku, sudah berlumuran dosa dan kesalahan
Ketaatanku padaMu sedikit, ya Allah
maksiatku yang banyak
Ya Allah, ampunilah dosa kami seluruhnya
Ya Allah, jika dosa dan kedurhakaan yang ada pada kami
tidak mampu mengangkat dan membuat ijabah doa ini,
ketahuilah bahwa kami memuliakan Muhammad dan keluarga Muhammad
Wahai Yang Maha Pengampun
Dengan rahmatMu
Wahai Yang Maha Pengasih dari segala yang mengasihi.
Disclaimer:
Panitia Madrasah
Karbala dan Peringatan Asyura, Masjid al-Mukhlishin Bojonegoro Jawa Timur,
2002.
0 komentar:
Posting Komentar