Manaqib
Singkat KH. Miftah Talang, Tegal
Beliau
dilahirkan di Tegal pada tahun 1920 M dan wafat di Tegal pada tanggal 3 Jumadil
Akhir 1414 H/ 1994 M. Jasad beliau dimakamkan di desa Kajen, Kecamatan Talang, Kabupaten
Tegal.
Pengembaraan
menuntul ilmunya dimulai di Pondok milik kakaknya di Pekalongan pada usia sekitar
8 tahun. Dalam usia tersebut beliau telah mampu menghafal beberapa kitab matan
klasik seperti matan al-Ajrumiyyah, Nadzam
Maqshud dan al-’Imrithiy.
Setelah 2 tahun
beliau mondok kepada kakaknya, beliau meneruskan ke Pondok Pesantren Kempek
Cirebon selama 4 tahun. Usai dari Kempek beliau mulai melanjutkan pengembaraan
menuntut ilmunya ke daerah timur.
Beliau sempat
mondok di Watucongol walau sebentar saja hanya sekitar 2 bulan. Kemudian beliau
memutuskan untuk mondok di Mbah Manaf Romo KH. Abdul Karim Pondok Pesantren Lirboyo
Kediri selama 25 tahun.
Pengembaraannya
yang cukup lama. kurang lebih 31 tahun, membuahkan hasil. Jadilah beliau seorang
yang alim dan mengamalkan ilmunya. Kepulangannya ke kampung halaman disambut
dengan suka cita warga setempat sehingga akhirya beliapun menjadi tokoh panutan
warga NU dan khususnya warga Tegal.
Berdasarkan
penuturan dari anak-anak beliau, mengenai nasab KH. Miftah, tak ada yang
mengetahui dengan jelas keturunan siapakah sebenarnya sang abah. Setelah dicari dari berbagai sumber terpercaya
ternyata KH. Miftah adalah keturunan dari Sunan Amangkurat yang bersambung
kepada Raja Mataram hingga kepada Raja Brawijaya.
Perjuangan beliau
tidak diragukan lagi. Seperti halnya para tokoh-tokoh ulama lainnya dalam
memperjuangkan agama islam, beliau tak setengah-setengah menyerahkan jiwa dan
raganya demi tegaknya aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah di bumi Indonesia
khususnya di Kota Tegal.
Dalam struktural
NU beliau pernah menjabat sebagai:
1.
Rois Syuriyah PC
NU Kab. Tegal
2.
Syuriyah PWNU
Jawa Tengah
3.
Tim 9 Lajnah Falakiyah
PBNU.
4.
Dan termasuk dalam
Tim Itsbat Departemen Agama RI.
Diantara wasiat atau pesan-pesan yang diberikan oleh KH. Miftah yaitu:
“Tawadhu’,
andap asor, rendah hati, sedikit bicara, dan menghargai waktu.”
“Hargailah
waktu, orang yang tidak bisa dan tidak mau menghargai waktu, pertanda orang
tersebut tidak mengerti harga dan mahalnya waktu.”
Koleksi foto:
Sya’roni
as-Samfuriy, 16 Muharram 1434 H
0 komentar:
Posting Komentar