BAB
6; MEMOHON PERTOLONGAN KEPADA ORANG YANG TELAH MATI
Pernyataan
Abdullah Bin Baz bahwa Berdoa dan Memohon Pertolongan kepada Orang yang Telah
Mati adalah Syirik:
Begitu
juga, melarang mereka berdoa dan memohon pertolongan kepada orang-orang yang telah
mati. Karena doa adalah ibadah yang hanya boleh dihadapkan kepada Allah semata,
Allah berfirman: “Maka janganlah kamu (di dalamnya) menyembah
seseorangpun disamping menyembah Allah,” (QS. al-Jin ayat 18). “Janganlah
kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak pula member
mudharat kepadamu selain Allah, sebab jika kamu berbuat yang demikian
itu maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang dzalim.”
(QS. Yunus ayat 106), artinya termasuk orang-orang yang musyrik.
Rasulullah Saw. bersabda: “Doa itu adalah ibadah. Apabila kamu memohon maka
mohonlah kepada Allah, apabila kamu minta pertolongan maka minta
pertolonganlah kepada Allah.”
Seseorang
yang meninggal telah terputus amalannya dari manusia lain, maka dia sangat
butuh sekali untuk didoakan dan dimohonkan keampunan dan rahmat baginya bukan
justru berdoa kepadanya selain Allah karena Nabi Saw. bersabda: “Apabila
manusia itu mati maka terputuslah semua amalannya kecuali tiga perkara;
sedekah jariyah (yang mengalir), ilmu yang bermanfaat dan anak
shaleh yang mendoakannya”. Allah Swt. berfirman: “Maka janganlah kamu
(di dalamnya) menyembah seseorangpun disamping menyembah Allah.” (QS.
al-Jin ayat 18).
Bagaimana
bisa berdoa kepadaNya selain Allah? Begitu pula berhala, kayu, batu, bulan,
matahari dan bintang-bintang tidak boleh sama sekali berdoa dan mohon
pertolongan kepada semua itu. Demikian pula kepada penghuni kubur, sekalipun
mereka adalah para Nabi atau orang-orang yang shaleh. Begitu pula para malaikat
dan jin, tidak boleh berdoa kepada mereka disamping berdoa kepada Allah. Allah
berfirman: “Janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi
manfaat dan tidak pula member mudharat kepadamu selain Allah, sebab jika
kamu berbuat yang demikian itu maka sesungguhnya kamu kalau begitu
termasuk orang-orang yang dzalim.” (QS. Yunus ayat 106).
Di
sini, Allah menghukum kafir bagi siapa saja yang menjadikan para malaikat dan
para nabi sebagai Tuhan-tuhan tempat berdoa dan mohon pertolongan. Padahal
Allah sama sekali tidak memerintahkan mereka berbuat demikian. Dalam Shahih
Muslim dari Jabir Ra.,beliau berkata: “Rasulullah Saw. melarang mangapur
(mengecat) kuburan, duduk dan membangun di atasnya.”
Hal
ini dilarang, dikarenakan ia membawa kepada syirik. Membangun di atas kuburan,
mengapu (mengecat), member pakaian (kelambu) dan mendirikan kubah di atasnya,
semua ini merupakan sarana yang membawa kepada pengagungan, pengkultusan serta
berdoa kepada penghuninya. Adapun duduk di atas kuburan tidak dibolehkan karena
kuburan itu terhormat, tidak boleh dihinakan. Oleh karena itu, tidak boleh
duduk, buang air kecil dan besar di atasnya, begitu juga bersandar kepadanya
dan menginjaknya. Semua ini dilarang, demi menghormati mayat seorang muslim.
Seorang
muslim itu terhormat di masa hidupnya dan juga setelah matinya. Oleh karena itu
tidak boleh diinjak kuburannya, tidak boleh dirusak tulang belulangnya. Begitu
pula tidak boleh duduk, buang air kecil dan membuang sampah di atasnya, semua
ini adalah terlarang. Mayat seorang muslim tidak boleh dihinakan dan tidak
boleh pula dikultuskan, seperti berdoa kepadanya selain Allah. Kuburannya tidak
boleh dilecehkan, diinjak, dijadikan tempat buang sampah dan berbagai macam
kotoran lainnya.
Agama
Islam sangat adil, diperintahkannya kita menghormati kuburan, mendoakan dan
memohon ampunan bagi para penghuninya. Disamping itu, kita dilarang menyakiti
mereka seperti membuang berbagai kotoran, sampah dan duduk di atas kuburan
mereka. Mengenai masalah ini, dalam sebuah hadits shahih Rasulullah Saw.
bersabda: “Janganlah kamu sekalian duduk di atas kuburan dan
janganlah shalat dengan menghadapnya.”
Jadi,
tidak boleh menjadikannya sebagai kiblat shalat dan tidak boleh duduk di
atasnya. Dengan demikian, syari’at Islam memadukan antara dua perkara; larangan
pengkultusan terhadap penghuni kubur, duduk di atas kuburnya dan menginjak atau
bersandar kepadanya serta membuang kotoran di atasnya. Semua ini dilarang.
Dengan demikian, seorang mukmin tahu bahwa syari’at Islam adalah syari’at yang
adil, tidak membolehkan berbuat syirik dan juga tidak boleh menyakiti dan
mengina. Rasulullah Saw. dan orang shaleh boleh didoakan, dimohonkan ampun
baginya dan diucapkan salam kepadanya, ketika berziarah ke kuburan mereka.
Adapun
berdoa kepada selain Allah, tidak boleh. Kita tidak boleh mengatakan kepada
penghuni kubur: “Wahai tuanku, bantulah saya, bantulah saya!”, atau “Tolonglah
saya!” atau “Bantulah saya menyelesaikan ini!”. Semua ini hanya kita
minta kepada Allah. Dan juga tidak boleh menghina penghuni kubur dengan
membuang kotoran di atasnya atau menginjaknya. Semua itu tidak boleh.
Adapun
meminta bantuan kepada orang yang masih hidup, diperbolehkan. Karena secara
kongkrit dia mampu melakukan hal-hal yang diperbolehkan secara syara’.
Sebagaimana Allah firmankan sehubungan dengan kisah Musa: “Maka orang yang
dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang
yang dari musuhnya.” (QS. al-Qashash ayat 15). Musa ketika itu hidup dan
kepadanya seorang Bani Israil meminta bantuan agar ia mengalahkan musuhnya
yaitu seorang dari suku Qibhti.
Demikian
pula hubungan manusia dengan saudara dan kerabatnya, mereka tolong-menolong
ketika berada di sawah, ketika memperbaiki rumah, memperbaiki mobil dan
kebutuhan-kebutuhan lainnya. Mereka diperbolehkan tolong-menolong dalam masalah
kongkrit yang mampu mereka lakukan. Begitu juga lewat telefon, surat menyurat,
telegram, dan teleks, semua ini termasuk kerjasama dalam masalah kongkrit yang
mampu dikerjakan.
Tetapi
minta pertolongan yang sifatnya ibadah, tidak diperbolehkan. Kita tidak boleh
mengatakan kepada orang yang masih hidup maupun sudah mati: “Sembuhkan
penyakitku”, atau “Kembalikan barangku yang hilang” dengan keyakinan
bahwa ia mengetahui rahasia ghaib dalam masalah itu. Dan tidak boleh
mengatakan: “Tolonglah kami mengalahkan musuh kami”, maksudnya dengan
kekuatan ghaibnya.
Adapun
meminta bantuan kepada orang yang masih hidup dalam masalah kongkrit yang mampu
ia laksanakan seperti minta bantuan senjata atau hutang piutang, hal itu
diperbolehkan. Begitu pula, tidak masalah minta kepada seorang dokter agar ia
mengobati penyakit. Adapun dengan mengatakan : dengan keyakinan bahwa ia
memiliki ilmu ghaib dalam masalah ini, hal itu tidak diperbolehkan, sebagaimana
lazimnya dilakukan orang-orang sufi dan lainnya. Hal ini termasuk kufur. Karena
manusia tidak mampu mengatur alam ini. Ia hanya mampu melakukan hal-hal yang
kongkrit dan dokter berbuat sesuatu yang sifatnya kongkrit yaitu melalui
obat-obatan.
Demikian
juga sesorang yang masih hidup dapat melakukan usaha-usaha kongkrit, membantumu
dengan tangannya, menolongmu, meminjamkan sejumlah harta kepadamu atau bantuan
untuk membangun atau memberimu suku cadang mobil, atau membantu dengan
rekomendasi kepada orang yang akan menolongmu. Semua ini adalah masalah-masalah
kongkrit yang diperbolehkan dan tidak termasuk kategori beribadah atau meminta
bantuan kepada mayit dan sejenisnya.
Kebanyakan
para pelaku syirik, samar bagi mereka masalah-masalah ini. Padahal
permasalahannya jelas sekali, tidak samar kecuali bagi orang yang benar-benar
jahil. Tolong-menolong dengan orang yang masih hidup diperbolehkan dengan
syarat-syarat yang telah dikemukakan tadi. Sedangkan berdoa meminta bantuan
kepada orang mati dan bernadzar untuknya, tidak diperbolehkan. Masalah ini
tidak asing lagi di kalangan ulama, dan mereka sepakat bahwa perbuatan ini
termasuk syirik akbar. Tidak ada pertentangan antara ulama di masa sahabat,
tabi’in dan generasi seterusnya.
Demikian
juga membangun masjid di atas kuburan bukan suatu hal yang asing lagi di
kalangan ulama, karena Islam secara tegas melarangnya. Maka hal ini tidak boleh
samar bagi seorang ulama. Maka sekali lagi, hendaklah para ulama senantiasa
agar bertakwa kepada Allah di mana saja mereka berada dan hendaklah mereka
menasehati sesama manusia dan mengajarkan syari’at Allah kepada mereka tanpa
basa-basi dan tanpa memilah-milah, baik penguasa, orang kecil ataupun pejabat.
Semua mereka diingatkan dengan perkara-perkara yang diharamkan Allah dan mereka
dibimbing kepada syari’at Allah. Inilah kewajban para ulama di mana saja mereka
berada baik melalui lisan, tulisan, buku, ceramah umum dan lain-lain. Termasuk
juga lewat telefon, teleks dan sarana-sarana lain yang ada dewasa ini yang
dapat digunakan untuk penyebaran dakwah dan menasehati umat. Kami mohon hidayah
kepada Allah bagi semua, tiada daya dan upaya melainkan dengan izin Allah.
Tanggapan
Al-Habib Munzir Al-Musawa Mengenai Berdoa dan Memohon Pertolongan kepada Orang
yang Telah Mati adalah Syirik:
Jelas
bahwa larangan Allah Swt. adalah menyembah pada selain Allah Swt., bukan melarang
tawassul atau minta bantuan pada manusia, berbeda dengan yang dijelaskan Bin
Baz dalam hal ini, ia membelokkan makna sangat jauh dari tujuan ayat, alangkah
bodohnya jika pendapat semacam ini disebut fatwa.
Perbuatan
sunnah Rasul Saw. dibelokkan menjadi perbuatan musyrik. Bukankah anak-anak Nabi
Ya’qub As. (kakak-kakak Nabi Yusuf As.) meminta pada ayahnya agar ayahnya
beristighfar untuk mereka?: “Wahai ayah kami tolong mintakan pengampunan
pada Allah untuk kami, sungguh kami telah berbuat salah, maka ia (Ya’qub
As.) berkata: “Aku akan mohonkan pengampunan pada Allah untuk
kalian, sungguh Tuhanku Maha Pengampun dan Berkasih saying.” (QS.
Yusuf ayat 97-98).
Apakah
Nabi Ya’qub As. ini membenarkan kemusyrikan anak-anaknya? Kenapa mereka minta
diistighfari oleh ayahnya? Kenapa berperantara pada ayahnya? Kenapa tidak
langsung saja pada Allah? Kenapa Allah menyebut ayat ini dalam al-Qur’an?
Bukankah perbuatan ini ditiru oleh para sahabat radhiyallahu‘anhum lalu
Allah Swt. memuji mereka?: “Ketika mereka telah berbuat dzalim atas diri
mereka sendiri lalu mereka datang padamu (wahai Muhammad), lalu mereka
beristighfar pada Allah di depanmu, lalu Rasul (Saw.) beristighfar untuk
mereka, maka mereka akan dapati Allah Maha Menerima taubat mereka dan
Berkasih Sayang.” (QS. an-Nisa ayat 64).
Al-Imam
Ibn Katsir dalam Tafsirnya menukil syarah ayat ini yang diriwayatkan oleh
al-Utbiy bahwa ia sedang duduk dimakam Rasul Saw., lalu dating seseorang dan
berkata: “Salam sejahtera wahai Rasulullah, aku dengan firman Allah
Swt. yang berbunyi: “Ketika mereka telah berbuat dzalim atas diri
mereka sendiri lalu mereka datang padamu (wahai Muhammad), lalu mereka
beristighfar pada Allah di depanmu, lalu Rasul (Saw.) beristighfar untuk
mereka, maka mereka akan dapati Allah Maha Menerima taubat mereka
dan Berkasih Sayang”, dan kini aku datang padamu wahai Nabi,
beristighfar di hadapanmu atas dosa-dosaku, dan minta syafaat padamu
kepada Tuhanku.” Lalu pria itu pergi dan aku (al-Utbiy) tertidur, dan aku
bermimpi Rasul Saw. dan berkata: “Wahai Utbiy, kejar orang itu,
katakan padanya bahwa Allah Swt. sudah mengampuninya.” (Tafsir Imam
Ibn Katsir pada QS. an-Nisa ayat 64). Riwayat ini juga diriwayatkan oleh
al-Imam an-Nawawi dalam kitabnya al-Majmu’.
Tentunya
mimpi tak bisa dipakai dalil, namun tentuya yang kita bahas adalah perbuatan
meminta pada kubur Nabi Saw. yang terjadi sebelum mimpi tersebut, jika
perbuatan itu syirik maka Imam al-Utbiy akan menegurnya, dan Imam Ibn Katsir
akan menjelaskan bahwa minta di kuburan itu syirik, dan demikian pula Imam
an-Nawawi.
Sebagaimana
kita ketahui bahwa Imam Ibn Katsir adalah murid Ibn Taimiyah, dan fatwa Imam
Ibn Katsir sangat dipakai oleh para kalangan anti Maulid, namun lihat sendiri
bahwa Imam Ibn Katsir ini membolehkan minta pada ahli kubur, demikian pula
Hujjatul Islam al-Imam an-Nawawi, dan sama sekali tak menyebutkan bahwa
perbuatan itu syirik.
Mengenai
kuburan, berkata Imam Ibn Hajar: “Berkata Imam al-Baidhawiy: “Ketika orang
Yahudi dan Nasrani bersujud pada kubur para nabi mereka dan berkiblat
dan menghadap pada kubur mereka dan menyembahnya dan mereka membuat patung-patungnya,
maka Rasul Saw. melaknat mereka dan melarang muslimin berbuat itu. Tapi
kalau menjadikan masjid di dekat kuburan orang shalih dengan niat
bertabarruk dengan kedekatan pada mereka tanpa penyembahan dengan merubah
kiblat kepadanya maka tidak termasuk pada ucapan yang dimaksud hadits
itu.” (Fath al-Bari al-Masyhur juz 1 halaman 525).
Berkata
Imam al-Baidhawiy: “Bahwa Kubur nabi Ismail As. adalah di Hathiim (di
samping Miizab di Ka’bah dan di dalam Masjidil Haram) dan tempat
itu justru afdhal shalat padanya, dan larangan shalat di kuburan adalah
kuburan yang sudah tergali.” (Faidh al-Qadiir juz 5 halaman 251).
Jelaslah
bahwa yang dimaksud shalat menghadap kuburan adalah yang langsung berhadapan
dengan kuburan yang telah digali, bukan kuburan yang tertutup tembok atau
terhalang dinding. Dan Rasul Saw. menyalatkan seseorang yang telah dikuburkan,
beliau shalat ghaib menghadap kuburannya tanpa dinding atau penghalang, yaitu
langsung menghadap kuburan. (Lihat dalam Shahih Muslim).
Mengenai
membangun kubur dengan tabut, bangunan, hal ini dilarang untuk umum, dan
diperbolehkan untuk kubur para Nabi, ulama dan shalihin, untuk menghidupkan
ziarah dan tabarruk pada mereka. (lihat dalam I’anat ath-Thalibin juz 3 halaman
236, Tuhfat al-Muhtaj bi Syarh al-Minhaj juz 11 halaman 424, Mughniy al-Muhtaj
bi Syarh al-Minhaj juz 4 halaman 365, Nihayat al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj juz
8 halaman 395 dan lain-lain).
0 komentar:
Posting Komentar