PIAGAM MADINAH DALAM KONSEP UMMAH
Mukaddimah
Pada dasarnya, alur perjalanan sejarah Islam yang panjang itu bermula dari turunnya wahyu di gua Hira’. Sejak itulah nilai-nilai kemanusiaan yang di bawah bimbingan wahyu Ilahi menerobos arogansi kultur jahiliyah, merombak dan membenahi adat istiadat budaya jahiliyah yang tidak sesuai dengan fitrah manusia. Dengan seruan agama tauhid (monotheisme) yang gaungnya menggetarkan seluruh jazirah Arab, maka fitrah dan nilai kemanusiaan didudukkan ke dalam hakikat yang sebenarnya. Seruan agama tauhid inilah yang merubah wajah masyarakat jahiliyah menuju ke tatanan masyarakat yang harmonis, dinamis, di bawah bimbingan wahyu.
Kemudian, hijrah Rasulullah ke Madinah adalah suatu momentum bagi kecemerlangan Islam di saat-saat selanjutnya. Dalam waktu yang relatif singkat Rasulullah telah berhasil membina jalinan persaudaraan antara kaum Muhajirin sebagai imigran-imigran Makkah dengan kaum Anshar, penduduk asli Madinah. Beliau mendirikan Masjid, membuat perjanjian kerjasama dengan non muslim, serta meletakkan dasar-dasar politik, sosial dan ekonomi bagi masyarakat baru tersebut; suatu fenomena yang menakjubkan ahli-ahli sejarah dahulu dan masa kini. Adalah suatu kenyataan bahwa misi kerasulan Nabi Muhammad yang semakin nampak nyata menggoyahkan kedudukan Makkah dan menjadikan orang-orang Quraisy Makkah semakin bergetar.
Masyarakat muslim Madinah yang berhasil dibentuk Rasulullah oleh sebagian intelektual muslim masa kini disebut dengan negara kota (city state). Lalu, dengan dukungan kabilah-kabilah dari seluruh penjuru jazirah Arab yang masuk Islam, maka muncullah kemudian sosok negara bangsa (nation state). Walaupun sejak awal Islam tidak memberikan ketentuan yang pasti tentang bagaimana bentuk dan konsep negara yang dikehendaki, namun suatu kenyataan bahwa Islam adalah agama yang mengandung prinsip-prinsip dasar kehidupan termasuk politik dan negara.
Dalam masyarakat muslim yang terbentuk itulah Rasulullah menjadi pemimpin dalam arti yang luas, yaitu sebagai pemimpin agama dan juga sebagai pemimpin masyarakat. Konsepsi Rasulullah yang diilhami al-Qur’an ini kemudian menelorkan Piagam Madinah yang mencakup 47 pasal, yang antara lain berisikan hak-hak asasi manusia, hak-hak dan kewajiban bernegara, hak perlindungan hukum, sampai toleransi beragama yang oleh ahli-ahli politik modern disebut manifesto politik pertama dalam Islam.
Piagam Madinah dan Keotentikannya
Piagam Madinah ini secara lengkap diriwayatkan oleh Ibn Ishaq (w. 151 H) dan Ibn Hisyam (w. 213 H), dua penulis muslim yang mempunyai nama besar dalam bidangnya. Menurut penelitian Ahmad Ibrahim asy-Syarif, tidak ada periwayat lain sebelumnya selain kedua penulis di atas yang meriwayatkan dan menuliskannya secara sistematis dan lengkap. Meskipun demikian, tidak diragukan lagi kebenaran dan keotentikan piagam tersebut, mengingat gaya bahasa dan penyusunan redaksi yang digunakan dalam Piagam Madinah ini setaraf dan sejajar dengan gaya bahasa yang dipergunakan pada masanya. Demikian pula kandungan dan semangat piagam tersebut sesuai dengan kondisi sosiologis dan historis zaman itu.
Keotentikan Piagam Madinah ini diakui pula oleh William Montgomery Watt, yang menyatakan bahwa dokumen piagam tersebut, yang secara umum diakui keotentikannya, tidak mungkin dipalsukan dan ditulis pada masa Umayyah dan Abbasiyah yang dalam kandungannya memasukkan orang non muslim ke dalam kesatuan ummah.
Dari Ibn Ishaq dan Ibn Hisyam inilah kemudian penulis-penulis berikutnya menukil dan mengomentarinya. Di antara penulis-penulis klasik yang menukil Piagam Madinah secara lengkap antara lain: Abu Ubaid Qasim Ibn Salam dalam Kitab Al-Amwal, Umar al-Maushili dalam Wasilah al-Muta’abbidin dan Ibn Sayyid dalam Sirah an-Nas.
Sementara itu, beberapa penulis klasik dan periwayat lainnya yang menulis tentang Piagam Madinah antara lain: Imam Ahmad Ibn Hambal (w. 241 H) dalam Al-Musnad, Darimi ( w. 255 H) dalam As-Sunan, Imam Bukhori (w. 256 H) dalam Shahihnya, Imam Muslim ( w.261 H) dalam Shahihnya. Tulisan-tulisan lain tentang piagam tersebut juga bisa dijumpai dalam Sunan Abu Dawud (w. 272 H), Sunan Ibn Majah (w. 273 H), Sunan Tirmidzi (w. 279 H), Sunan Nasa’i (w. 303 H), serta dalam Tarikh al-Umam wa al-Muluk oleh ath-Thabari.
Piagam Madinah ini telah diterjemahkan pula ke dalam bahasa asing, antara lain ke bahasa Perancis, Inggris, Itali, Jerman, Belanda dan Indonesia. Terjemahan dalam bahasa Perancis dilakukan pada tahun 1935 M oleh Muhammad Hamidullah, sedangkan dalam bahasa Inggris terdapat banyak versi, di antaranya seperti pernah dimuat dalam Islamic Culture No. IX Hederabat 1937, Islamic Review terbitan Agustus sampai dengan Nopember 1941 M (dengan topik The first written constitution of the world). Selain itu, Majid Khadduri juga menerjemahkannya dan memuatnya dalam karyanya "War and Pearce in the Law of Islam" (1955), kemudian diikuti oleh R. Levy dalam karyanya "The Social Structure of Islam" (1957) serta William Montgomery Watt dalam karyanya "Islamic Political Thought" (1968). Adapun terjemahan-terjemahan lainnya seperti dalam bahasa Jerman dilakukan oleh Wellhausen, bahasa Itali dilakukan oleh Leone Caetani, dan bahasa Belanda oleh A.J. Wensick serta bahasa Indonesia -untuk pertama kalinya- oleh Zainal Abidin Ahmad.
Menurut Muhammad Hamidullah yang telah melakukan penelitian terhadap beberapa karya tulis yang memuat Piagam Madinah, bahwa ada sebanyak 294 penulis dari berbagai bahasa. Yang terbanyak adalah dalam bahasa Arab, kemudian bahasa-bahasa Eropa. Hal ini menunjukkan betapa antusiasnya mereka dalam mengkaji dan melakukan studi terhadap piagam peninggalan Nabi.
Dalam teks aslinya, Piagam Madinah ini semula tidak terdapat pasal-pasal. Pemberian pasal-pasal sebanyak 47 itu baru kemudian dilakukan oleh A.J. Winsick dalam karyanya "Mohammed en de joden te Madina", tahun 1928 M yang ditulis untuk mencapai gelar doktornya dalam sastra Semit. Melalui karyanya itu, Winsick mempunyai andil besar dalam memasyarakatkan Piagam Madinah ke kalangan sarjana Barat yang menekuni studi Islam. Sedangkan pemberian bab-bab dari 47 pasal itu dilakukan oleh Zainal Abidin Ahmad yang membaginya menjadi 10 bab.
Menurut hipotesis Montgomery Watt, bahwa Piagam Madinah yang sampai ke tangan kita sebenarnya paling tidak terdiri dari dua dokumen, yang semula terpisah kemudian disatukan. Pada tahap berikutnya, piagam tersebut mengalami pengurangan dan perombakan di sana sini. Hipotesis Montgomery Watt ini muncul karena didapatinya pengulangan dalam beberapa pasalnya. Selanjutnya, Watt menyebut bahwa Piagam Madinah kemungkinan baru muncul setelah tahun 627 M, yaitu setelah pengusiran Yahudi bani Qainuqa’ dan Yahudi bani Nadir dari Madinah serta pembasmian terhadap bani Quraidhah berdasarkan keputusan Sa’ad Ibn Mu'adz, pemimpin kabilah 'Aus.
Hipotesa terakhir ini dikemukakan oleh Montgomery Watt karena tiga suku Yahudi terkemuka dimaksud tidak tercantum dalam Piagam Madinah. Akan tetapi, kalau demikian halnya, berarti relevansi serta bobot politiknya sudah sangat berkurang, karena isi piagam tersebut sangat diperlukan untuk mempersatukan masyarakat Madinah yang heterogen. Ini berarti bahwa Piagam Madinah disusun Rasulullah sejak awal kedatangannya di Madinah, yaitu sekitar tahun 622 M. Dengan demikian, boleh jadi Piagam Madinah hanya satu dokumen dan ditujukan kepada seluruh penduduk Madinah, yang kemudian mengalami revisi setelah tiga suku Yahudi tersebut mengingkari perjanjian secara sepihak dan melakukan gerakan separatis terhadap pemerintahan Madinah yang telah disetujui bersama.
Berbagai Komentar Terhadap Isi Piagam Madinah
Ada berbagai komentar mengenai isi Piagam Madinah, baik yang datang dari para sarjana Barat maupun dari penulis-penulis muslim sendiri. Di antaranya dikemukakan oleh A. Guillaume, seorang guru besar bahasa Arab dan penulis "The Life of Muhammad". Ia menyatakan bahwa Piagam yang telah dibuat Muhammad itu adalah suatu dokumen yang menekankan hidup berdampingan antara orang-orang Muhajirin di satu pihak dan orang-orang Yahudi di pihak lain. Masing-masing saling menghargai agama mereka, saling melindungi hak milik mereka dan masing-masing mempunyai kewajiban yang sama dalam mempertahankan Madinah.
Sedangkan H.R. Gibb dalam komentarnya menyatakan bahwa isi Piagam Madinah pada prinsipnya telah meletakkan dasar-dasar sosial politik bagi masyarakat Madinah yang juga berfungsi sebagai undang-undang, dan merupakan hasil pemikiran serta inisiatif Muhammad sendiri.
Sementara itu, Montgomery Watt lebih tepat lagi menyatakan bahwa Piagam Madinah tidak lain adalah suatu konstitusi yang menggambarkan bahwa warga Madinah saat itu bisa dianggap telah membentuk satu kesatuan politik dan satu persekutuan yang diikat oleh perjanjian yang luhur di antara para warganya.
Di kalangan penulis Islam yang mengulas isi Piagam ini antara lain Jamaluddin Sarur, seorang guru besar Sejarah Islam di Universitas Kairo, yang menyatakan bahwa peraturan yang terangkum dalam Piagam Madinah adalah menjadi sendi utama bagi terbentuknya persatuan bagi segenap warga Madinah yang memberikan hak dan kewajiban yang sama antara kaum Muhajirin, Anshar dan kaum Yahudi.
Muhammad Khalid, seorang penulis sejarah Nabi menegaskan bahwa isi yang paling prinsip dari Piagam Madinah adalah membentuk suatu masyarakat yang harmonis, mengatur suatu ummat serta menegakkan pemerintahan atas dasar persamaan hak.
Ulasan lebih terperinci lagi disimpulkan oleh Hasan Ibrahim Hasan, bahwa Piagam Madinah secara resmi menandakan berdirinya suatu negara, yang isinya bisa disimpulkan menjadi 4 pokok: Pertama, mempersatukan segenap kaum muslimin dari berbagai suku menjadi satu ikatan. Kedua, menghidupkan semangat gotong royong, hidup berdampingan, saling menjamin di antara sesama warga. Ketiga, menetapkan bahwa setiap warga masyarakat mempunyai kewajiban memanggul senjata, mempertahankan keamanan dan melindungi Madinah dari serbuan luar. Keempat, menjamin persamaan dan kebebasan bagi kaum Yahudi dan pemeluk-pemeluk agama lain dalam mengurus kepentingan mereka.
Sesungguhnya masih banyak lagi ulasan dan komentar yang dikemukakan oleh para penulis Piagam Madinah. Mereka menggunakan berbagai retorika dan redaksi yang berbeda, namun pada dasarnya mempunyai nada sama, yaitu berintikan bahwa piagam tersebut telah mempersatukan warga Madinah yang heterogen itu menjadi satu kesatuan masyarakat, yang warganya mempunyai hak dan kewajiban yang sama, saling menghormati walaupun berbeda suku dan agamanya. Piagam tersebut dianggap merupakan suatu pandangan jauh ke depan dan suatu kebijaksanaan politik yang luar biasa dari Nabi Muhammad dalam mengantisipasi masyarakat yang beraneka ragam backgroundnya, dengan membentuk komunitas baru yang disebut ummah.
Cakupan Pengertian Ummah Dalam Piagam Madinah
Menyadari pentingnya perkataan ummah, terlebih lagi perkataan tersebut tercantum jelas dalam Piagam Madinah, maka timbullah usaha para sarjana barat dalam melacak asal usul perkataan tersebut. Dalam Encyclopaedia of Islam dikemukakan bahwa perkataan ummah tidaklah asli dari bahasa Arab. Menurut Montgomery Watt, perkatan ummah berasal dan berakar dari bahasa Ibrani yang bisa berarti suku bangsa atau bisa juga berarti masyarakat.
Terlepas dari pelacakan asal-usul kata ummah ini, yang jelas dalam al-Qur’an dijumpai sebanyak 52 perkataan ummah yang terangkai dalam berbagai ayat.
Kata ummah terulang dua kali dalam Piagam Madinah, yakni dalam pasal 2 dan pasal 25. Namun, cakupan dari rumusan ummah itu sendiri terjabarkan dalam pasal-pasal selanjutnya, yakni:
Pasal 1:
Hadza kitabun min ‘indi an-Nabiyyi (Rasulillah) baina al-mu’minin wa al-Muslimin min quraisyin wa ahli yatsriba wa man tabi’ahum faltaqi bihim wa jahid ma’ahum.
Artinya: "Ini adalah naskah perjanjian dari Muhammad Nabi dan Rasul Allah, mewakili pihak kaum yang beriman dan memeluk Islam, yang terdiri dari warga Quraisy dan warga Yastrib, dan orang-orang yang mengikuti mereka serta yang berjuang bersama mereka."
Pasal 2:
Annahum ummatun wahidatun min duni an-Nasi.
Artinya: "Mereka adalah yang satu di hadapan kelompok manusia lain."
Pasal 25:
Wa anna Yahuda bani ‘Auf ummatun ma’a al-Mu’minin, li al-Yahudi dinuhum wa li al-Muslimin dinuhum, mawalihim wa anfusuhum illa man dzalama wa atsima, fa innahu la yuqi’u illa nafsahu wa ahla baitihi.
Artinya: "Kaum Yahudi Bani ‘Auf bersama dengan warga yang beriman adalah satu ummah. Kedua belah pihak, kaum Yahudi dan kaum Muslimin, bebas memeluk agama masing-masing. Demikian pula halnya dengan sekutu dan diri mereka sendiri. Bila di antara mereka ada yang melakukan aniaya dan dosa dalam hal ini, maka akibatnya akan ditanggung oleh diri dan warganya.
Pasal 26:
Wa anna li Yahuda bani an-Najjari mitsla ma li Yahuda bani ‘Auf.
Artinya: "Bagi kaum Yahudi Bani Najjar berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kaum Yahudi Bani ‘Auf."
Pasal 27:
Wa anna li Yahuda bani al-Haritsi mitsla ma li Yahuda bani ‘Auf.
Artinya: "Bagi kaum Yahudi Bani Harits, berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kaum Bani ‘Auf."
Pasal 28:
Wa anna li Yahuda bani Sa’adah mitsla ma li Yahuda bani ‘Auf.
Artinya: "Bagi kaum Yahudi Bani Sa’idah berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kaum Bani ‘Auf."
Pasal 29:
Anna li Yahuda bani Jusyam mitsla ma li Yahuda bani ‘Auf.
Artinya: "Bagi kaum Yahudi Bani Jusyam berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kaum Bani ‘Auf."
Pasal 30:
Wa anna li Yahuda bani al-Aus mitsla ma li Yahuda bani ‘Auf.
Artinya: "Bagi kaum Yahudi Bani ‘Aus berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kaum Yahudi Bani ‘Auf."
Pasal 31:
Wa anna li Yahuda bani Tsa’labah mitsla ma li Yahuda bani ‘Auf illa man dzalama wa atsima, fa innahu la yuqi’u illa nafsahu wa ahla baitihi.
Artinya: "Bagi Yahudi Bani Tsa’labah berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kaum Yahudi Bani 'Auf, kecuali orang yang melakukan aniaya dan dosa (dalam hubungan ini) maka akibatnya akan ditanggung oleh diri dan warganya."
Pasal 32:
Wa anna Jafnah bathnun ‘an Tsa’labah ka anfusihim.
Artinya: "Bagi warga Jafnah, sebagaimana anggota Bani Tsa’labah, berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi Bani Tsa’labah."
Pasal 33:
Wa anna li bani asy-Syuthaibah mitsla ma li Yahuda bani ‘Auf, wa anna al-Birra duna al-Itsmi.
Artinya: "Bagi Bani Syuthaibah berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kaum Yahudi Bani ‘Auf. Dan sesungguhnya yang kebajikan itu berbeda dengan perbuatan dosa."
Pasal 34:
Wa anna mawali Tsa’labah ka anfusihim.
Artinya: "Sekutu/hamba sahaya Bani Tsa’labah berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kaum Bani Tsa’labah itu sendiri."
Pasal 35:
Wa anna bithanata Yahuda ka anfusihim.
Artinya: "Kelompok-kelompok keturunan Yahudi berlaku ketentuan sama sebagaimana yang berlaku bagi Kaum Yahudi itu sendiri."
Pasal 37:
Wa anna ‘ala al-Yahudi nafaqatahum, wa ‘ala al-Muslimin nafaqatahum, wa anna bainahum an-Nashru ‘ala man haraba ahla hadzihi ash-Shahifah, wa anna bainahum an-Nushhu wa alnahihatu wa al-Birru duna al-Itsmi.
Artinya: "Kaum Yahudi dan kaum Muslimin membiayai pihaknya masing-masing. Kedua belah pihak akan membela satu dengan yang lain dalam menghadapi pihak yang memerangi kelompok-kelompok masyarakat yang menyetujui piagam ini. Kedua belah pihak juga saling memberikan saran dan nasehat dalam kebaikan, bukan dalam perbuatan dosa."
Pasal 44:
Wa anna bainahum an-Nashru ‘ala man hajama Yatsriba.
Artinya: "Semua warga akan saling bahu membahu dalam menghadapi agresor (pihak lain) yang melancarkan serangan terhadap Yatsrib."
Pasal 46:
Wa anna Yahuda al-Aus mawalihim wa anfusuhum ‘ala mitsli ma li ahli hadzihi ash-Shahifati ma’a al-Birri al-Mahdhi min ahli hadzihi ash-Shahifati, wa anna al-Birra duna al-Itsmi la yaksibu kasibun illa ‘ala nafsihi, wa anna Allaha ‘ala ashdaqi ma fi hadzihi ash-Shahifati wa abarrihi.
Artinya: "Kaum Yahudi Bani ‘Aus, sekutu/hamba sahaya dan diri mereka masing-masing mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana kelompok-kelompok lain yang menyetujui piagam ini, dengan perlakuan yang baik dan sesuai dengan semestinya dari perjanjian ini. Sesungguhnya kebajikan ini berbeda dengan perbuatan dosa. Setiap orang harus bertanggung jawab atas setiap perbuatan yang dilakukannya. Dan Allah memperhatikan isi perjanjian ini, dan membenarkannya."
Pasal 47:
Wa annahu la yahulu hadza al-Kitaba duna dzalimin au atsimin, wa annahu man kharaja amana wa man qa’ada amina bi al-Madinah illa man dzalama wa atsima, wa anna Allaha jara li man barra wa ittaqa. Muhammad rasulullah (saw).
Artinya: "Sesungguhnya perjanjian ini tidak membela orang-orang yang berbuat aniaya dan dosa. Setiap orang dijamin keamanannya, baik sedang berada di luar Madinah maupun sedang berada di Madinah, kecuali orang yang berbuat aniaya dan dosa. Dan sesungguhnya Allah pelindung orang yang berbuat kebajikan dan menghindari keburukan (bersikap taqwa). Muhammad Rasulullah saw."
Dapatlah dipahami bahwa perkataan ummah dalam rangkaian pasal-pasal yang tercantum di atas mempunyai pengertian yang sangat dalam, yakni berubahnya paham kesukuan yang hidup di kalangan suku-suku Arab saat itu. Cakrawala wawasan sosial yang sangat sempit, dan kehidupan politik yang terbatas, karena fanatisme kabilah (kesukuan) dan ikatan darah yang dibatasi oleh tembok kelahiran, pelan-pelan mulai runtuh berganti dengan suatu masyarakat yang luas, di mana masing-masing dari warganya mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Dengan demikian, Nabi Muhammad telah menciptakan kondisi untuk terbinanya suatu masyarakat yang bersatu, yakni komunitas masyarakat Madinah yang utuh, tanpa membedakan agama, ikatan kesukuan dan ikatan darah. Hal itu jelas sekali tercantum dalam pasal 25 sampai dengan pasal 47 Piagam Madinah.
Dari perkataan ummah inilah tercermin paham kebangsaan dan negara. Walaupun secara historis istilah state dan nation timbul berabad-abad kemudian, tapi jiwa dan semangatnya telah tercermin dalam terminologi ummah, suatu istilah yang sangat tepat digunakan Rasulullah untuk mempersatukan masyarakat Madinah menjadi suatu komunitas dengan menekankan kerjasama seerat mungkin dari masing-masing warganya demi keamanan dan kesejahteraan mereka bersama. Mereka sangat menyadari perlunya hidup bersama di dalam koeksistensi yang damai. Realisasinya yang praktis dari tujuan ini meminta dasar konsepsi bersama yang dapat diterima oleh semua pihak dan di atas dasar ini dapat dibangun keselarasan hidup dan perdamaian.
Julius Welhausen mengomentari terminologi ummah dalam Piagam Madinah ini sebagaimana berikut: Bahwa pada umumnya pengertian ummah adalah suatu ikatan dalam komunitas keagamaan. Namun, terminologi ummah dalam piagam ini, mempunyai pengertian yang lebih luas lagi, mencakup seluruh wilayah Madinah, mengintegrasikan warga Anshar, Muhajirin dan kaum Yahudi serta kelompok-kelompok lain dalam satu ikatan persatuan dan perdamaian serta keselarasan hidup.
Sementara itu, Montgomery Watt menyatakan bahwa masalah yang menonjol dalam komunitas ini (ummah) adalah penciptaan kedamaian dan ketentraman di kalangan warga Madinah. Masalah tersebut bukan hanya terjadi di Madinah saja, tapi juga problem di seluruh jazirah Arabia saat itu. Namun demikian, Muhammad berhasil mengangkatnya dan menegakkannya dalam suatu sistem baru yang mengatasi paham kesukuan, golongan dan ikatan-ikatan lain. Memang, masing-masing kepala suku yang sebelumnya mempunyai kekuatan/kekuasaan politik dan hanya berhubungan dengan kepala suku lainnya, maka dalam bentuk bangunan masyarakat baru itu, suku-suku yang ada saat itu seakan membentuk suatu konfiderasi yang tergabung dalam suatu kesatuan yang dinamakan ummah dan di bawah pimpinan Nabi Muhammad saw.
Dengan demikian, tergambar bahwa pengertian ummah dalam piagam ini adalah adanya/timbulnya suatu paham politik baru di kalangan warganya, yakni kesadaran paham bernegara, walaupun dalam bentuk yang amat sederhana. Dapat pula dipahami bahwa kata ummah dalam Piagam Madinah ini, berbeda pengertiannya dengan makna yang selama ini lazim dipahami yang mengacu kepada komunitas agama. Dalam al-Qur’an kata ummah juga tidak selalu menunjuk kepada komunitas agama.
Ahmad Musthofa al-Maraghi mengemukakan batasan pengertian kata ummah dari berbagai ayat sebagaimana berikut:
1. Kata ummah dalam pengertian umat manusia seluruhnya (satu kelompok) yang hidup saling mengadakan interaksi antara satu dengan lainnya, seperti dalam firman Allah:
Kana an-Nasu ummatan wahidatan, fa ba’atsa Allahu an-Nabiyyina mubasysyirina wa mundzirina.
Artinya: "Manusia adalah umat yang satu, maka Allah mengutus para Nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan."
2. Kata ummah, dalam pengertian umat Islam, sebagaimana firman Allah:
Kuntum khaira ummatin ukhrijat li an-Nasi ta’muruna bi al-Ma’rufi wa tanhauna ‘an al-Munkari.
Artinya: "Kamu adalah ummah yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar."
3. Kata ummah, dalam pengertian segolongan dari umat Islam (tha’ifah min al-muslimin) sebagaimana firman Allah:
Waltakun minkum ummatun yad’una ila al-Khairi wa ya’muruna bi al-Ma’rufi wa yanhauna ‘an al-Munkari wa ulaika hum al-Muflihun.
Artinya: "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyeru kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung."
4. Kata ummah dalam pengertian imam (pemimpin) yang diteladani sebagaimana firman Allah:
Inna Ibrahima kana ummatan qanitan li Allahi hanifan wa lam yaku min al-Musyrikin.
Artinya: "Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah termasuk orang-orang yang menyekutukan (Tuhan)."
5. Kata ummah, dalam pengertian suatu periode waktu sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an:
Qala al-Ladzi naja minhuma wa id-Dakara ba’da ummatin ana unabbi’ukum bi ta’wilihi fa arsilun"
Artinya: "Dan berkatalah orang-orang yang selamat diantara mereka berdua dan teringat (kepada Yusuf) sesudah beberapa waktu lamanya; "Aku akan memberitakan kepadamu tentang (orang yang pandai) mentakwilkan mimpi itu, maka utuslah aku (kepadanya).
Kata ummah dalam pengertian suatu periode waktu dapat pula ditemukan dalam surat Hud ayat 8 :
Wa lain akhkharna ‘anhum al-‘Adzaba ila ummatin ma’dudatin"
Artinya: "Dan sesunggunnya jika Kami undurkan azab dari mereka sampai kepada suatu waktu yang ditentukan."
6. Kata ummah dalam pengertian millah (agama) sebagaimana yang terkandung dalam firman Allah:
Inna hadzihi ummatukum ummatan wahidatan wa ana Rabbukum fa’budun.
Artinya: "Sesungguhnya agama tauhid ini adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku."
Dari berbagai ayat yang dikemukakan oleh Ahmad Musthafa al-Maraghi di atas, terbukti bahwa pengertian kata ummah dalam al-Qur’an selalu sesuai dengan konteks di mana kata itu dipergunakan. Dengan kata lain, kata ummah tidak selalu menunjukkan pada suatu komunitas agama. Demikian pula terma-terma ummah yang digunakan Rasullah dalam Piagam Madinah tidak hanya eksklusif bagi kaum muslimin saja, namun mempunyai kandungan pengertian al-Jinsiyyah wa al-Wathaniyyah.
Dhafir al-Qasimi, dalam ulasannya mengenai kata ummah pada Piagam Madinah, memberikan padanan kata tersebut dengan al-Wathaniyyah, semacam wawasan kebangsaan. Sedangkan urgensi ideal yang terkandung dalam kata ummah pada piagam tersebut adalah untuk menghapus fanatisme etnis dan mengikis paham rasialisme diantara warga Madinah.
Piagam Madinah Suatu Konstitusi
Banyak di antara penulis muslim beranggapan bahwa Piagam Madinah adalah merupakan konstitusi negara Islam pertama. Namun, satu hal yang perlu dicatat bahwa dalam Piagam Madinah tidak pernah disebut-sebut agama negara. Persoalan penting yang meminta pemecahan mendesak adalah terbinanya kesatuan dan persatuan di kalangan warga Madinah yang heterogen itu. Semua warga Madinah saat itu meskipun mereka berasal dari berbagai suku adalah merupakan satu komunitas (ummah). Hubungan antara sesama warga yang muslim dan yang non muslim didasarkan atas prinsip-prinsip bertetangga yang baik, saling membantu dalam menghadapi agresi dari luar dan menghormati kebebasan beragama. Persyaratan sebuah negara, walaupun masih sederhana, telah terpenuhi, yakni ada wilayah, pemerintahan, negara, rakyat, kedaulatan dan ada konstitusi.
Penilaian Piagam Madinah sebagai suatu konstitusi pernah dikemukakan oleh Hamilton Alexander Rosskeem Gibb, mantan guru besar bahasa Arab di Oxford University, bahwa Piagam Madinah adalah merupakan hasil pemikiran yang cerdas dan inisiatif dari Nabi Muhammad dan bukanlah wahyu. Oleh karena itu, sifat konstitusinya dapat diubah dan diamandir.
Muhammad Marmaduke Pickthal, dalam mukaddimah terjemahannya terhadap al-Qur’an, mengatakan bahwa Nabi sebagai seorang pemimpin mempunyai perhatian yang besar untuk menstabilkan masyarakat Madinah dengan mencetuskan konstitusi. Konstitusi yang dimaksud Pickthal tak lain adalah Piagam Madinah.
Sementara itu, Montgomery Watt dalam uraiannya mengenai piagam dimaksud secara tegas juga menyebutnya sebagai konstitusi, yakni Konstitusi Madinah.
Terbinanya masyarakat Madinah menjadi suatu komunitas kuat yang selanjutnya juga disebut negara kota itu, karena dilandasi oleh adanya ikatan spiritual keimanan yang diungkapkan dalam nilai-nilai religius. Adalah tepat sekali teori Ibnu Khaldun yang menyatakan: "Sesungguhnya secara umum dapatlah dikatakan, bahwa bangsa Arab tidaklah mampu mendirikan suatu kerajaan melainkan atas dasar agama seperti wahyu seorang Nabi atau ajaran seorang wali".
Lebih lanjut, Ibnu Khaldun menjelaskan: Sebabnya ialah karena karakternya yang keras, angkuh dan iri hati satu sama lain, terutama dalam soal-soal politik (kekuasaan). Semua itu menyebabkan mereka manusia yang sulit diatur, karena keinginannya jarang sekali terpenuhi. Akan tetapi, jika mereka telah memeluk agama yang dibawa oleh seorang nabi atau mengikuti ajaran seorang wali, maka mereka akan mempunyai prinsip-prinsip yang tertanam dalam lubuk hati untuk menguasai hawa nafsu. Keangkuhan dan iri hati mereka bisa ditekan. Dengan demikian, mudahlah menyatukan dan membimbimbing mereka. Sebab, agama mengikis keangkuhan dan mengurangi iri hati dan persaingan.
Teori Ibnu Khaldun secara tepat disimpulkan oleh D.B. MacDonald bahwa orang Arab pada hakekatnya tidak mampu mendirikan suatu pemerintahan, kecuali bila disatukan dengan semangat keagamaan. Teori tersebut kiranya memang bisa diterapkan paling tidak di kalangan orang badui Arab pada awal-awal perkembangan Islam. Dengan kata lain, kebenaran teori Ibnu Khaldun tersebut juga bisa dicarikan buktinya melalui sejarah awal berdirinya kerajaan Arab Saudi oleh Muhammad Ibnu Saud (1702-1792 M) yang pergerakannya ditopang kuat dengan paham keagamaan dari Muhammad Ibnu Abd. al-Wahab (1703-1787 M), seorang ulama pelanjut paham ortodoks Ibnu Taimiyah (1263-1328 M).
Kesatuan umat yang dicetuskan Nabi melalui Piagam Madinah ini, substansinya jelas menunjukkan bahwa konstitusi kesukuan runtuh dengan sendirinya. Dalam perspektif ini, maka tegaknya suatu konstitusi mulai terwujud bagi masyarakat baru Madinah, yang sekaligus juga menunjukkan bahwa Nabi Muhammad mulai diakui sebagai pemimpin yang memiliki kekuasaan politik.
Sayangnya, dalam perkembangan selanjutnya ada beberapa kelompok Yahudi seperti Bani Qainuqa’, Bani Nadir dan Bani Quraidhah yang tidak setia terhadap konstitusi yang disetujui bersama. Ketidaksetiaan ini, mereka proyeksikan melalui sikap-sikap pemihakan kepada Quraisy Makkah.
Kesimpulan
Piagam Madinah adalah jawaban konstitusional terhadap realitas sosio-politik dari masyarakat Madinah yang heterogen.
Konsep ummah yang terkandung dalam Piagam Madinah meliputi penduduk Madinah secara keseluruhan dan merupakan suatu terobosan yang mempunyai nilai strategis untuk menggalang satu front dalam menghadapi kelompok-kelompok lain di luar Madinah.
Home »
ARTIKEL MUSLIM
» PIAGAM MADINAH DALAM KONSEP UMMAH
PIAGAM MADINAH DALAM KONSEP UMMAH
Written By MuslimMN on Rabu, 30 Maret 2011 | 02.00
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar