LEGENDA SITU
LENGKONG (PANJALU)
Bermula dari Air
Sumur Zam-Zam
Situ Lengkong, di daerah Panjalu, Ciamis, adalah danau alam
yang indah dengan airnya yang bening. Namun, di balik keindahan itu, Situ
Lengkong bukan danau biasa. Air yang bening itu berasal dari percikan air Sumur
Zam-Zam Makkah. Pemerintah Kerajaan Panjalu pada masa lalu menetapkan larangan
mengotori telaga ini. Tujuannya agar rakyat Panjalu senantiasa bersih dan suci.
Roda pemerintahan Kerajaan Panjalu dikendalikan raja-raja yang arif dan
bijaksana.
Selain itu, raja-raja Panjalu dikenal memiliki kesaktian
yang tinggi. Riwayat Situ Lengkong sendiri terbentuk pada masa peralihan dari
Sang Prabu Sanghyang Cakradewa ke Prabu Sanghyang Borosngora. Dua raja tersebut
adalah paling termasyhur dalam sejarah Panjalu. Sewaktu di puncak tahta, Prabu
Cakradewa dikenal pula sebagai raja yang lebih mementingkan kerohanian daripada
keduniawian. Tak heran bila rakyat Panjalu hidup aman dan tenteram.
Prabu Cakradewa
Dalam hal mendidik anaknya, Prabu Cakradewa lebih
mementingkan pendidikan kerohanian. Raja menghendaki putra-putri dan rakyatnya
hidup rukun, saling sayang-menyayangi, dan jauh dari sifat iri dengki serta
sombong. Prabu Borosngora untuk melanjutkan tahta Kerajaan Panjalu, Prabu
Cakradewa menginginkan putra mahkota penggantinya adalah seorang yang sakti
dengan ilmu kesejatian. Maka, sebelum tahta diserahkan kepada putra mahkota
Prabu Borosngora, ia memerintahkan Prabu Borosngora untuk berkelana menuntut
ilmu sejati.
Setelah berpamitan, berangkatlah Prabu Borosngora memenuhi
perintah ayahnya. Bertahun-tahun ia mengembara mencari ilmu sejati. Selama
dalam pengembaraan, ia banyak bertemu dengan tokoh-tokoh sakti. Kepada
merekalah ia menuntut ilmu. Tapi sayang, Borosngora salah langkah. Ia bukan
mempelajari ilmu sejati seperti amanat ayahnya, melainkan ilmu kekebalan.
Setelah merasa cukup menguasai ilmu, kembalilah ia ke keraton untuk menemui
ayahnya. Atas kehadiran anakya itu Prabu Cakradewa sangat gembira. Maka
disambutlah ia dengan upacara kebesaran. Seluruh kerabat keraton serta para
bangsawan dan rakyat diundang menghadiri acara tersebut.
Sebagai hiburan, digelar kesenian Debus dan Tayub. Beberapa
kerabat keraton dan Prabu Borosngora turut menari. Di tengah keramaian itu,
Prabu Cakradewa terkejut ketika melihat kain yang dikenakan Prabu Borosngora
tersingkap. Di balik kain itu tampak jelas di betis kaki kirinya terdapat tanda
hitam berupa cap Ujung Kulon. Itu menandakan bahwa orang tersebut telah mempelajari
ilmu hitam dan kedugalan. Padahal Prabu Cakradewa mengharap Borosngora untuk
mempelajari ilmu sejati. Yakni ilmu kerahayuan dan keselamatan lahir batin
dunia dan akhirat. Melihat hal tersebut, Prabu Sanghiang Cakradewa
memerintahkan seorang patih untuk memanggilnya ke keraton.
Orang Berjubah
Putih
Sanghiang Cakradewa memberi petuah. Diungkap bahwa Sang
Prabu punya firasat buruk. Suatu saat akan lahir suatu ilmu baru yang akan
menguasai berbagai ilmu di belahan dunia. Lalu Sanghiang Prabu Cakradewa menyarankan
Borosngora untuk mempelajari ilmu sejati demi kepentingan kerajaan. Dalam
pencarian ilmu sejati inilah, Prabu Borosngora berkelana sampai ke Makkah. Di
sana ia bertemu seorang tua berjubah putih. Dialah Sayyidina Ali bin Abi Thalib
Ra.
Dalam pertemuan itu, Prabu Borosngora dan Sayyidina Ali
sempat menjajal kedigdayaan. Namun Prabu Borosngora takluk di hadapan Sayyidina
Ali. Sejak itu, ia memeluk Islam dan berguru ilmu sejati kepada Sayyidina Ali.
Setelah cukup, ia kembali ke tanah airnya dengan membawa segayung air Sumur
Zam-Zam. Air inilah yang menjadi cikal bakal terjadinya Situ Lengkong. Telaga
keramat ketika Prabu Borosngora naik tahta, pamor Kerajaan Panjalu semakin
terhormat.
Prabu Borosngora adalah raja yang tangguh, gagah dan
terampil mengelola pemerintahan. Selain ilmu kedigdayaan, ia pun menguasai ilmu
sejati. Ia begitu dicintai rakyat. Dan selama mengayomi rakyatnya, tak pernah
terdengar adanya perbuatan menyimpang. Selama menjadi raja, ia telah membangun
telaga indah yang disebut Situ Lengkong, yang airnya berasal dari Sumur
Zam-Zam. Di tengahnya ada sebuah pulau mungil bernama Nusa Gede. Di sanalah
keraton Kerajaan Panjalu berdiri.
Pemandangan yang indah itu mengesankan kenyamanan bagi
siapa pun yang tinggal di Panjalu. Sejalan perkembangan zaman, Kerajaan Panjalu
mengalami kemunduran. Hingga lama-kelamaan Panjalu hanya menjadi daerah
kecamatan di sebelah utara Ciamis. Namun kemasyhuran tinggalan masa lampau
masih tertanam. Pulau Nusa Gede yang dulunya keraton, kini adalah tempat dimakamkannya
beberapa raja Panjalu. Sebagai tokoh yang dihormati, tak heran bila banyak yang
menziarahi.
Tokoh-Tokoh Besar
Tokoh-tokoh besar seperti Gus Dur dan Megawati, pernah
berziarah ke makam tersebut. Bahkan Gus Dur sendiri menyebut tokoh yang dimakamkan
di Pulau Nusa Gede itu Kiai Panjalu, yakni Sayyid Ali bin Muhammad bin Umar.
Beliau adalah Mbah Buyut ke-19 Almaghfurlah KH. Mustaqim bin Husein, pendiri
Pondok Pesantren PETA Tulungagung, Jatim.
Cantolan sejarah yang berkait dengan Situ Lengkong hingga
kini masih ada di Panjalu. Selain makam keramat di Pulau Nusa Gede, terdapat
juga Bumi Alit (museum) tempat menyimpan benda-benda pusaka Kerajaan Panjalu,
serta Masjid Agung Panjalu. Menurut masyarakat setempat, berziarah ke makam
keramat di tengah Situ Lengkong itu tidak boleh sembarangan.
Pernah suatu ketika, Pakubuwono VIII masuk ke Pulau Nusa
Gede. Namun tiba-tiba terjadi angin puting beliung. Air danau yang tenang jadi
bergelombang. Karena cuaca buruk, akhirnya niat Pakubuwono diurungkan. Setelah reda
dicoba lagi. Tapi kembali cuaca mendadak menjadi buruk. Konon, Pakubuwono VIII
tak pernah bisa mencapai Pulau Nusa Gede.
Wallahu al-Musta’an
A’lam
0 komentar:
Posting Komentar