Home » , , , » Pangeran Diponegoro, Ki Hajar Dewantara, H Mutahar, Adalah Seorang Santri

Pangeran Diponegoro, Ki Hajar Dewantara, H Mutahar, Adalah Seorang Santri

Written By MuslimMN on Senin, 12 Oktober 2015 | 14.33


Berikut adalah transkip berisi ceramah yang sangat penting untuk diketahui semua elemen bangsa, rakyat dan pejabat. Khususnya bagi para santri pondok pesantren. Disampaikan oleh KH. Achmad Chalwani Nawawi, Pengasuh Pondok Pesantren An-Nawawi, Mursyid Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah Berjan Purworejo dan Wakil Rais Syuriyah PWNU Jawa Tengah.

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله حمدا كثيرا طيبا مبارك فيه على كل حال، ونعوذ بالله من أحوال أهل الضلال، ونصلى ونسلم ونبارك على حبيبنا وشفيعنا ونور قلوبنا سيدنا ومولانا محمد صلى الله عليه وسلم أصلي الجمال ومنبع الكمال ومستودع الجلال، وعلى آله وصحبه بالغدو والآصال، أما بعد: 

Sa’adatal muhtaramin, poro alim ulama, poro sesepuh dalah kesepuha sedoyo. Siang ini, saya berterimakasih kepada masyarakat di sini, yang sudah mau mengundang saya untuk ikut mengaji dalam rangka Tahniatul ‘Ied Ikatan Santri Kebumen (Iktrimen). Semoga terimakasih saya termasuk syukur saya kepada Allah Swt. Nabi Saw. bersabda:

إن أشكر الناس لله تبارك وتعالى أشكرهم للناس

"Sesungguhnya orang yang paling bisa bersyukur kepada Allah yaitu orang yang bisa bersyukur kepada sesama manusia." Jika saya bersyukur kepada masyarakat di sini, itu artinya saya bersyukur kepada Gusti Allah.

Halal Bihalal yang Fiqhi

Nama acara kita hari ini adalah Tahniatul ‘Ied, atau yang masyhur di masyarakat dengan istilah Halal Bihalal. Dahulu pernah ada Halal Bihalal P4SK (Persatuan Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyyah Kaffah) se-Karesidenan Kedu di Watucongol, Muntilan, Magelang.

KH. Bisri Syansuri yang ketika itu hadir sebagai pembicara, menyarankan agar memakai istilah yang fiqhi, yaitu Tahniatul ‘Ied. Istilah ini lebih fiqhi, meski menggunakan istilah Halal Bihalal juga tidak masalah. Ini pesan dari Rais Amm PBNU ketika itu, al-Marhum al-Maghfurlah KH. Bisri Syansuri.

Tahniatul ‘Ied dari kata: hanna, yuhanni, tahnian, tahniatan, tahnaan, tihnaan, yang berarti mangayobagyo, ikut bersenang, bersukacita atas hari raya Idul Fitri.

Pondok Pesantren Adalah Pendidikan Terbaik di Zaman Akhir

Dahulu, ada tokoh pendidikan internasional, namanya al-Marhum Dr. Sudjatmoko[1], Rektor Universitas Perserikatan Bangsa-Bangsa. Beliau pernah berkata, "Pada zaman akhir ini, alternatif pendidikan terbaik adalah pondok pesantren, dengan catatan: memakai manageman modern[2]. Secara metode mengaji tetap memakai salafiyyah, namun dalam hal tata-kelola menggunakan manageman modern."

Metode salafiyyah tidak boleh ditinggal, karena sangat ampuh. Metode salafiyyah punya keyakinan bahwa ilmu dari guru tidak akan masuk ke hati murid atau santri jika tidak disertai dengan riyadhah, mujahadah, tirakat, lelaku, dll. Jika orang punya ilmu tidak diriyadhahi, maka hanya akan berhenti di otak. Dengan metode salafiyyah ini, ilmu tidak hanya singgah di otak, namun masuk ke hati. Kalau hanya di otak saja, itu namanya intelektual.

Maka di Pesantren An-Nawawi peninggalan ayah saya, tidak meninggalkan metode salafiyyah seperti ketika habis shalat santri membaca wirid tasbih, shalawat, tahlil, dll. termasuk membaca wirid Sunan Ampel 41x: يا حي يا قيوم لا إله إلا أنت. Sunan Ampel Raden Rahmatullah ketika babad (membuka) Tanah Jawa membaca kalimah ini. Jika kita sering membaca kalimah ini, "ya hayyu", menjadikan kita punya gagasan dan kreasi. Adapun "ya qayyum" menjadikan kita mandiri.

Selain itu juga membaca: الله حافظ لطيف قديم قدير عزلي حي قيوم لا ينام 
Setelah itu membaca: مولاي صل dan يا رب بالمصطفي dan هو الحبيب الذي ترجى
Ini  untuk menjaga agar ilmu melekat di hati.

Ada juga bacaan: هذه الدار دار الله,
Termasuk membaca 41X: إياك نعبد وإياك نستعين
Serta 9x: لقد جاءكم رسول من أنفسكم... الخ

Ini namanya metode salafiyyah, peninggalan ulama dahulu yang tidak boleh ditingggal. Termasuk juga (metode salafiyyah), ustadz-ustadz di pesantren tidak berani membaca kitab sebelum hadiah al-Fatihah terlebih dahulu kepada pengarang atau mushannifnya, Imam Shonhaji misalnya, pengarang kitab Jurumiyyah.

Imam Shonhaji pengarang kitab Jurumiyyah itu ampuh dan memiliki karamah. Usai menulis kitab Jurumiyyah, kitab itu dibawa ke laut dan dibuang sambil berkata: “Jika kitab ini bermanfaat ia tentu akan kembali." Benar saja, ketika Imam Shonhaji sampai rumah, kitab tersebut sudah tergeletak di atas mejanya. Beda dengan buku-buku sekarang, tanpa dibuang pun akan hilang sendiri karena tidak pernah dibaca.

Yang Paling Ditakuti Penjajah; Santri dan Thariqah (Diponegoro itu Santri)

Santri pondok pesantren itu ampuh. Di tanah Jawa ini, yang paling ditakuti (penjajah) Belanda adalah santri dan tarekat (thariqah). Ada seorang santri yang juga penganut thariqah, namanya Abdul Hamid. Ia lahir di Dusun Tegalrejo, Kecamatan Tegalrejo, Yogyakarta. Mondok pertama kali di Tegalsari, Jetis, Ponorogo kepada KH. Hasan Besari. Abdul Hamid ngaji kitab kuning kepada Kyai Taftazani Kertosuro. Ngaji Tafsir Jalalain kepada KH. Baidlowi Bagelen yang dikebumikan di Glodegan, Bantul, Jogjakarta. Terakhir Abdul Hamid ngaji ilmu hikmah kepada KH. Nur Muhammad Ngadiwongso, Salaman, Magelang.

Di daerah eks-Karesidenan Kedu (Temanggung, Magelang, Wonosobo, Purworejo, Kebumen), nama KH. Nur Muhammad yang masyhur ada dua, yang satu KH. Nur Muhammad Ngadiwongso, Salaman, Magelang dan satunya lagi KH. Nur Muhammad Alang-alang Ombo, Pituruh, yang banyak menurunkan kyai di Purworejo.

Abdul Hamid sangat berani dalam berperang melawan penjajah Belanda selama 5 tahun, 1825-1830 M. Abdul Hamid wafat dan dikebumikan di Makassar, dekat Pantai Losari. Abdul Hamid adalah putra Sultan Hamengkubuwono ke-III dari istri Pacitan, Jawa Timur. Abdul Hamid patungnya memakai jubah dipasang di Alun-alun kota Magelang. Menjadi nama di Kodam Jawa Tengah. Terkenal dengan nama Pangeran Diponegoro[3]. Belanda resah menghadapi perang Diponegoro. Dalam kurun 5 tahun itu, uang kas Hindia Belanda habis, bahkan punya banyak hutang luar negeri.

Nama aslinya Abdul Hamid. Nama populernya Diponegoro. Adapun nama lengkapnya adalah Kyai Haji (KH) Bendoro Raden Mas Abdul Hamid Ontowiryo Mustahar Herucokro Senopati Ing Alogo Sayyidin Pranotogomo Amirul Mu’minin Khalifatullah Tanah Jawi Pangeran Diponegoro Pahlawan Goa Selarong. Maka jika Anda pergi ke Magelang dan melihat kamar Diponegoro di eks-Karesidenan Kedu, istilah sekarang di Bakorwil, ada 3 peningalan Diponegoro: al-Quran, tasbeh dan Taqrib (kitab Fath al-Qarib).

Kenapa al-Quran? Diponegoro adalah seorang Muslim. Kenapa tasbih? Diponegoro sorang ahli dzikir, dan bahkan penganut thariqah. Habib Luthfi bin Ali bin Yahya Pekalongan mengatakan bahwa Diponegoro seorang mursyid Thariqah Qadiriyyah. Selanjutnya yang ketiga, Taqrib matan Abu Syuja’, yaitu kitab kuning yang dipakai di pesantren bermadzhab Syafi'i. Jadi Pangeran Diponegoro bermadzhab Syafi’i. Maka, karena bermadhab Syafi’i, Diponegoro shalat Tarawih 20 rakaat, shalat Shubuh memakai doa Qunut, Jum’atan adzan dua kali, termasuk shalat Ied-nya di Masjid, bukan di Tegalan (lapangan).

Saya sangat menghormati dan menghargai orang yang berbeda madzhab dan pendapat. Akan tetapi, tolong, sejarah sampaikan apa adanya. Jangan ditutup-tutupi bahwa Pangeran Diponegoro bermadzhab Syafi’i. Maka 3 tinggalan Pangeran Diponegoro ini tercermin dalam pondok-pondok pesantren.

Douwes Dekker (Danudirja Setiabudi), Tokoh Pendidikan Nasional

Dulu ada tokoh pendidikan nasional bernama Douwes Dekker. Siapa itu Douwes Dekker? Danudirja Setiabudi[4]. Mereka yang belajar sejarah, semuanya kenal. (Leluhur) Douwes Dekker itu seorang Belanda yang dikirim ke Indonesia untuk merusak bangsa kita. Namun ketika Douwes Dekker berhubungan dengan para kyai dan santri, mindset-nya berubah, yang semula ingin merusak kita justeru bergabung dengan pergerakan bangsa kita. Bahkan kadang-kadang Douwes Dekker, semangat kebangsaannya melebihi bangsa kita sendiri.

Douwes Dekker pernah berkata dalam bukunya: “Kalau tidak ada kyiai dan pondok pesantren, maka patriotisme bangsa Indonesia sudah hancur berantakan.”

Siapa yang berbicara? Douwes Dekker, orang yang belum pernah nyantri di pondok pesantren. Seumpanya yang berbicara saya, pasti ada yang berkomentar: "Hanya biar pondok pesantren laku." Tapi kalau yang berbicara orang “luar”, ini temuan apa adanya, tidak dibuat-buat. Maka, kembalilah ke pesantren.

Pentingnya Dzikir

Seperti (disebut) di atas, dzikir itu penting. Allah Swt. berfirman:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

"Bertanyalah kepada ahli dzikir jika kamu tidak tahu." (QS. an-Nahl Ayat 43).

Allah tidak berfirman: فَاسْأَلُوا أَهْلَ العلم إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Ini artinya, ilmu itu tidak jaminan. Orang yang punya ilmu itu dzikir apa tidak? Orang punya ilmu banyak namun tak mau dzikir, ilmunya akan diungkrek (diringkas) oleh Allah, kemudian mengkeret (menyusut) dan jadi tidak manarik. Orang yang punya ilmu sedikit namun rajin dzikir, ilmunya dikembangkan oleh Allah. Kenapa?

لأن الذكر منبع العلم. بل ولأن الذكر أفضل من الجنة وما فيها

"Karena dzikir adalah sumber ilmu. Bahkan dzikir itu lebih utama daripada surga dan isinya."

Ngaji Al-Quran

(Dalam metode salafiyyah) juga mengaji al-Quran, yang ayatnya berjumlah 6.666. Saya ketika kecil dulu ngaji al-Quran dituntun guru saya, membaca syiir Ayat Quran[5]. Saya masih hafal sebagian:

Ayate Qur’an kabeh nem ewu # Punjul nem atus sewidak krungu.
Kang sewu nerangake perintah # Sekehe wajib fardhu lan sunnah.

يا رسول الله سلام عليك # يا رفيع الشان والدرج
عطفة يا جيرة العلم # يا أهيل الجود والكرم

Lan sewu nerangake larangan # Kang sewu nera ngake janjian.
Sewu pengancam ingkang medeni # Sewu cerito dongeng kang peni.

يا رسول الله سلام عليك # يا رفيع الشان والدرج
عطفة يا جيرة العلم # يا أهيل الجود والكرم

Ki Hajar Dewantara (Suwardi Suryaningrat) itu Santri

Tidak hanya Diponegoro anak bangsa yang dididik para ulama menjadi tokoh bangsa. Diantaranya, di Jogjakarta ada seorang kyai bernama Romo Kyai Sulaiman Zainudin di Kalasan Prambanan. Punya santri banyak, salah satunya bernama Suwardi Suryaningrat. Suwardi Suryaningrat ini kemudian oleh pemerintah diangkat menjadi Bapak Pendidikan Nasional yang terkenal dengan nama Ki Hajar Dewantara[6].

Jadi, Ki Hajar Dewantara itu santri, ngaji, murid seorang kyai. Sayangnya, sejarah Ki Hajar mengaji al-Quran tidak pernah diterangkan di sekolah-sekolah, yang diterangkan hanya Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Itu sudah baik, namun belum komplit. Belum utuh. Maka nantinya, untuk rekan-rekan guru, mohon diterangkan bahwa Ki Hajar Dewantara selain punya ajaran Tut Wuri Handayani, juga punya ajaran al-Quran al-Karim.

H Mutahar, Cucu Nabi yang Patriotis

Malah-malah, ketika Indonesia merdeka, ada sayyid warga Kauman Semarang yang mengajak bangsa kita untuk bersyukur. Sang Sayyid tersebut menyusun lagu Syukur. Dalam pelajaran Sekolah Dasar disebutkan H. Mutahar. H. Mutahar Itu bukan Haji Muthahar, namun Habib Husein Muthahar[7], yang menciptakan lagu Syukur. Beliau adalah Pakdenya Habib Umar Muthahar SH Semarang. Jadi, yang menciptakan lagu Syukur yang kita semua hafal adalah seorang sayyid, cucu baginda Nabi Saw. Mari kita nyanyikan bersama-sama: 

Dari yakinku teguh
Hati ikhlasku penuh
Akan karuniaMu
Tanah air pusaka
Indonesia merdeka
Syukur aku sembahkan
Ke hadiratMu tuhan.

Itu yang menyusun cucu Nabi, Sayyid Husein Muthahar, warga Kauman Semarang. Akhirnya oleh pemerintah waktu itu diangkat menjadi Dirjen Pemuda dan Olahraga. Terakhir oleh pemerintah dipercaya menjadi Duta Besar di Vatikan, negara yang berpenduduk Katholik. Di Vatikan, Habib Husein tidak larut dengan kondisi, malah justeru membangun masjid. Hebat.

Malah-malah, Habib Husein Muthahar menyusun lagu yang hampir se-Indonesia hafal semua. Suatu ketika Habib Husein Muthahar sedang duduk, lalu mendengar adzan shalat Dzuhur. Sampai pada kalimat hayya 'alasshalâh, terngiang suara adzan. Sampai sehabis shalat berjamaah, masih juga terngiang. Akhirnya hatinya terdorong untuk membuat lagu yang cengkoknya mirip adzan, ada “S”nya, “A”nya, “H”nya. Kemudian pena berjalan, tertulislah:

17 Agustus tahun 45
Itulah hari kemerdekaan kita
Hari merdeka Nusa dan Bangsa
Hari lahirnya Bangsa Indonesia
Merdeka
Sekali merdeka tertap merdeka
Selama hayat masih dikandung badan
Kita tetap setia, tetap setia
Mempertahankan Indonesia
Kita tetap setia, tetap setia
Membela Negara kita.

Maka peran para kyai dan para sayyid tidak sedikit dalam pembinaan patriotisme bangsa. Jadi, Anda jangan ragu jika hendak mengirim anak-anaknya ke pondok pesantren.

H. Moh. Hatta, Putra Seorang Kyai

Malahan, Bung Karno, ketika mau membaca teks proklamasi di Pegangsaan Timur Jakarta, minta didampingi putra kyai. Tampillah putra serang kyai, dari kampung Batuampar, Mayakumbung, Sumatera Barat. Siapa beliau? H. Mohammad Hatta[8]. Beliau putra kyai. Bung Hatta adala putra Ustadz Kiai Haji Jamil, Guru Thariqah Naqsyabandiyyah Kholidiyyah. Sayang, sejarah Bung Hatta adalah putra kyai dan putra penganut thariqah tidak pernah dijelaskan di sekolah, yang diterangkan hanya Bapak Koperasi.

Mulai sekarang, mari kita terangkan sejarah dengan utuh. Jangan sekali-kali memotong sejarah. Jika Anda memotong sejarah, suatu saat, sejarah Anda akan dipotong oleh Allah Swt. Akhirnya, Bung Hatta menjadi wakil presiden pertama.

Pesan Penting Bagi Santri, Belajar dari Mbah Mahrus Aly

Maka, jangan berkecil hati mengirim putra-putri Anda di pondok-pesantren. Santri-santri An-Nawawi di tempat saya, saya nasehati begini: “Kamu mondok di sini nggak usah berpikir macam-macam, yang penting ngaji dan sekolah. Tak usah berpikir besok jadi apa, yang akan menjadikan Gusti Allah."

Ketika saya dulu nyantri di Lirboyo, tak berpikir mau jadi apa, yang penting ngaji, nderes (baca al-Quran), menghafalkan nadzaman kitab dan shalat jamaah. Ternyata saya juga jadi manusia, malahan bisa melenggang ke gedung MPR di Senayan. Tidak usah dipikir, yang menjadikan Gusti Allah. Tugas kita ialah melaksanakan kewajiban dari Allah Swt. Allah mewajibkan kita untuk menuntut ilmu, kita menuntut ilmu. Jika kewajiban dari Allah sudah dilaksanakan, maka Allah yang akan menata. Jika Allah yang menata sudah pasti sip, begitu saja. Jika yang menata kita, belum tentu sip.

Perlu putra-putri Anda dalam menuntut ilmu, berpisah dengan orangtua. KH. Mahrus Aly Lirboyo pernah dawuh: “Nek ngaji kok nempel wongtuo, ora temuo-temuo.” (Jika mengaji masih bersama dengan orangtua, tidak akan cepat dewasa). Maka masukkanlah ke pesantren, biar cepat dewasa pikirannya. Itu yang ngendiko (berkata) Kyai Mahrus Lirboyo.

KH. Mahrus Aly itu ulama hebat, seorang kekasih Allah. Beliau sesepuh Kodam Brawijaya Jawa Timur. Salah satu kehebatannya, pernah beliau bersama mobilnya jatuh dan tenggelam di sungai lebih dari 5 jam, namun tidak kenapa-kenapa. Mobilnya ketika itu Holden 66. Orang yang di dalam mobil ada 4; Mbah Mahrus berserta istri beliau Ibu Nyai Zaenab, depan yang nyopir H. Syakur dari Pasuruan dan satu lagi sang penderek, KH. Hariri Turmudzi dari Brebes.

Mobil itu jatuh dan tenggelam di tengah Bengawan Solo, Langitan Tuban. Bingung rombongan yang di belakangnya, termasuk Bupati Gresik ketika itu. Bagaimana nasibnya? Akhirnya (mereka) mendatangkan derek dari Surabaya. Padahal dari Blabak sampai Surabaya memakan waktu 5 jam lebih.

Setelah derek sampai, ditariklah mobil yang tenggelam ke atas. Sampai atas mobil ditaruh di aspal, pintunya dibuka: Mbah Mahrus malah sedang merokok! "Ternyata merokok menghidupkanmu, tidak membunuhmu!" canda KH. Chalwani yang disambut gelak tawa dan tepuk tangan.

Sedikitpun tidak ada air yang masuk ke mobil Mbah Mahrus, semuanya segar bugar. Sampai-sampai dimuat di surat kabar, Jawa Pos memuat, Surabaya Pos dan televisi memuat: “Ada Kyai Waterproff: Anti Air”. Itulah Mbah Mbah Mahrus Lirboyo, luar biasa. Ini sejarah.

Hakekat Merdeka dan Pentingnya Berjam'iyyah

Sehubungan kita akan memperingati Hari Kemerdekaan, mari kita belajar, merdeka itu apa. Kanjeng Nabi Muhammad Saw. bersabda:

أنا مدينة العلوم وعلي بابها

"Aku kotanya ilmu dan Ali pintu gerbangnya."

Jika ingin memperoleh ridha Nabi, maka harus memperoleh ridha Sayyidina Ali. Maka, dawuh Sayyidina Ali mesti kita perhatikan. Sayyidina Ali berkata dalam lima baris. Seperti apa perkataannya?

Baris pertama: لا حرية إلا بالدين (tidak dikatakan merdeka jika tidak menggunakan agama).

Baris kedua: ولا دين إلا بالجماعة (tidak dikatakan menjalankan agama dengan sempurna jika tidak pernah ikut perkumpulan).

Baris ketiga: ولا جماعة إلا بالإمارة (tidak dikatakan perkumpulan yang sempurna jika tidak ada yang memimpin).

Baris keempat: ولا إمارة إلا بالطاعة (tidak dikatakan pemimpin yang sempurna jika tidak ditaati bersama-sama)

Baris kelima: ولا طاعة إلا بالعلم (tidak dikatakan taat yang sempurna kecuali dengan menggunakan ilmu).

Jika diteruskan, "tidak akan dapat ilmu jika tidak ngaji." Artinya, mengisi kemerdekaan harus dengan ilmu dan agama. Maka, seumpama ada orang memperingati kemerdekaan dengan ikut karnaval dan turnamen, namun belum shalat, berarti ia belum merdeka. Itu masih terjajah. Siapa yang menjajah? Yaitu Iblis dan setan.

Maksud kata “tidak ada paksaan dalam agama” itu, nggak ada paksaan masuk. Setelah masuk, wajib melaksanakan aturannya. Jika diibaratkan di terminal bus, sebelum masuk, kita bebas memilih bus yang akan kita tumpangi. Tak ada paksaan. Namun setelah masuk, kita wajib mengikuti aturan yang berlaku dalam bus tersebut. Jika ada orang diajak shalat atau puasa tidak mau dengan alasan: “tidak ada paksaan dalam agama”, itu salah. Tidak seperti itu pengertiannya. Makanya ngaji yang benar.

Tidak dikatakan merdeka jika tidak menggunakan agama. Jika sudah beragama, apa sudah cukup? Sayyidina Ali berkata: "Tidak dikatakan menjalankan agama dengan sempurna jika tidak pernah ikut perkumpulan." Kan ada orang berkata: “Aku sebagai orang Islam, yang penting waktunya shalat, shalat. Waktunya zakat, zakat. Waktunya haji, haji”. Orang tersebut tidak pernah ikut perkumpulan, entah Yasinan, Tahlilan, Mujahadah, Manaqiban, termasuk memasuki thariqah. Orang seperti ini, tidak bakal sempurna agamanya. Maka, perlu kita ikut Yasinan, Tahlilan, Mujahadah, Manaqiban, thariqah, termasuk ikut Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU)[9].

Ketika sudah ikut perkumpulan, apa sudah cukup? Belum. Sayyidina Ali berkata: "Tidak dikatakan perkumpulan yang sempurna jika tidak ada yang memimpin." Pemimpin itu penting. Jika ada pemimpin, semua bisa berjalan. Apa sebabnya grup hadhrah (rebana) ini enak didengar? Karena ada pemimpinnya. Coba kalau tidak ada pemimpinnya dan menabuh sesuai selera sendiri, pasti tidak enak didengar. Mari kita bershalawat dengan iringan rebana ini.

Maka Nabi Muhammad Saw. bersabda:

إذا خرج ثلاثة في سفر فاليؤمر أحدهم

"Jika ada 3 orang berjalan, salah satunya jadikanlah pimpinan." (HR. Abu Dawud).

Tiga saja harus ada yang memimpin apalagi sepuluh. Itulah mengapa dalam rombongan haji setiap sepuluh jamaah ada satu yang memimpin, namanya ketua regu. Jika orang sepuluh kok tidak ada yang memimpin, namanya: regudugan! Makanya ada kepala desa, termasuk bupati dan presiden yang dipilih melalui pilkada. Kita ikut dalam pilkada, dasarnya nderek (ikut) hadits Nabi ini.

Jika sudah ada pemimpin, apa sudah cukup? Belum. Sayyidina Ali berkata: "Tidak dikatakan pemimpin yang sempurna jika tidak ditaati bersama-sama."

Sudah taat, kata Sayyidina Ali, juga belum sempurna jika belum dengan ilmu. Kemudian tidak akan dapat ilmu jika tidak pernah mengaji. Berarti kesimpulannya, "Mengisi kemerdekaan harus dengan mengaji." Ngaji kalau bisa setiap hari. Sewaktu saya di pesantren, dididik untuk mengaji setiap hari, seperti yang diajarkan dalam syiir Alala[10] ini:

Onoho ngalap faidah saben dino ing tambah # Soko ngilmu lan ngelangi segarane faidah.

صلاة الله سلام الله على يس حبيب الله #. توسلنا ببسم الله بأهل البدر يا ألله

Sepertinya cukup sekian ceramah saya, semoga ada manfaatnya. Semoga masyarakat Binangun dan semua yang hadir bisa dikasih tentrem-ayem, wilujeng dunyanipun, wilujeng akhiratipun, sinembadan panyuwunipun, gampil sedoyo urusanipun. Sedoyo kalepatan nyuwun pangapunten.

هدانا الله وإياكم أجمعين، والله الموق إلى أقوم الطريق، والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

(Ceramah ini disampaikan pada acara Tahniatul ‘Ied ke-14 Ikatan Santri Kebumen (Iktrimen) Pondok Pesantren An-Nawawi Berjan, Gebang, Purworejo, bersama masyarakat Binangun, Jatimulyo, Kuwarasan, Kebumen, Jawa Tengah, 11 Agustus 2015/26 Syawwal 1436 H. Ceramah dialihtulisankan oleh Ahmad Naufa Khoirul Faizun, pengelola situs ahmadnaufa.wordpress.com dan santrinusantara.com. Diedit ulang oleh Sya'roni As-Samfuriy IBJ).
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Meningkatkan Cinta Kita pada Sang Nabi
Copyright © 2011. PUSTAKA MUHIBBIN - Web Para Pecinta - All Rights Reserved
PROUDLY POWERED BY IT ASWAJA DEVELOPER
Themes by Maskolis.com | Published by Mas Template