Berikut ini
adalah sepenggal cerita yang ditulis langsung oleh cucunya, yaitu al-Habib Alwi
Shahab, salah satu wartawan senior yang kini aktif di Republika. Cerita tentang
percintaan dua insan beda agama, seorang habib dan gadis Belanda non Islam,
yang berlanjut ke jenjang pernikahan.
Berita
pernikahannya sempat membuat gempar tanah Betawi karna Jiddah Non adalah gadis
berkebangsaan Belanda dan beritanya sampai masuk sebuah surat kabar pada masa
itu dengan judul “Rane Rame di Kediaman Sayyid Ali al-Habsyi di Kwitang”.
a.
Maria
van Engels; Noni Belanda Menantu Habib Ali Kwitang
Noordwijk (Jl.
Juanda) dan Rijswijk (Jl. Veteran) diapit Ciliwung merupakan kawasan elit
Eropa. Di sini terdapat istana, toko-toko penjual produk dan busana Eropa. Ada
sejumlah hotel, teater, klab malam, dan tempat hiburan lainnya. Semua
dengan ciri-ciri Eropa modern. Lebih-lebih saat Raffles (1811-1816), letnan
jenderal Inggris, menjadikannya kawasan warga Eropa. Berdekatan dengan
Noordwijk terletak Jl. Pecenongan, Jakarta Pusat, yang juga banyak dihuni warga
Eropa. Diantaranya, keluarga Engels, warga Belanda.
Van Engels
beristri gadis Wonosobo, Jawa Tengah, saat dia bekerja di onderneming
(perkebunan) teh di kaki Gunung Dieng. Mungkin untuk mencari peruntungan yang
lebih baik, keluarga Van Engels penganut Katolik kemudian hijrah ke Batavia. Ia
pun dapat tugas turut membangun jalan kereta api dari Batavia ke Jawa Timur.
Dia punya dua orang gadis, Maria dan Lies van Engels. Sebagai gadis Indo
Belanda, Maria berkulit putih, cantik dan tinggi semampai. Dia bekerja di toko
penjahit di Noordwijk.
Di dekat Pecenongan,
terletak Gang Abu, yang banyak dihuni keturunan Arab, saat Belanda membolehkan
mereka tinggal di luar Kampung Arab, Pekojan, Jakarta Kota. Seorang habib,
Abdurahman al-Habsyi, putra sulung Habib Ali pendiri Majelis Taklim Kwitang,
Jakarta Pusat, sering mendatangi kawan-kawannya di Gang Abu, melewati tempat
Maria van Engels bekerja. Habib Ali, ayah Habib Abdurahman lahir 1867,
meninggal 1968 dalam usia 102 tahun.
Diperkirakan,
saat pertemuan antara pemuda keturunan Arab dengan gadis Indo itu terjadi sekitar
akhir 1880-an. Hampir tiap hari Habib Abdurahman menyambangi tempat Maria
bekerja. Mula-mula memang dicuekin. Tapi berkat kegigihan sang habib, akhirnya
kedua remaja berlainan agama itu saling terpikat. Maria pun terlebih dulu
menyatakan setuju menjadi muslimah dan mengganti nama jadi Mariam. Bahkan,
ibunya yang biasa disebut ‘Encang’, ikut bersama anak gadisnya. Konon,
menjelang pernikahan mereka di kediaman Habib Ali Kwitang (kini jadi majelis
taklim), tersiar isu serombongan tentara Belanda siap mendatangi kampung
Kwitang untuk menggagalkannya.
Namun, rupanya
jamaah Kwitang tak kalah gesit. Sejumlah jagoan dan jawaranya, seperti Haji
Sairin, Haji Saleh, dan banyak lagi, bersiap menyambut kedatangan mereka.
Mereka nongkrong di Warung Andil, perempatan Jalan Kramat II (dulu gang
Adjudant) dan Kembang I. Bersenjatakan golok sambil berkorodong kain sarung,
mereka siap menyambut kedatangan soldadoe Belanda yang akhirnya urung datang.
Setelah
pernikahan secara Islam, Mariam jadi menantu kesayangan Habib Ali dan tinggal
di samping rumah mertuanya. Ia cepat dapat bergaul dan berpartisipasi dengan
masyarakat sekitar. Orang-orang kampung Kwitang menyebutnya ‘Wan Enon’ atau
‘Ibu Enon’. Sedang cucu-cucunya memanggil ‘Jidah Non’. Jidah adalah sebutan
nenek dalam bahasa Arab.
Setelah
berkeluarga, Jidah Non oleh suaminya diminta untuk tidak keluar rumah selama
dua tahun. Dengan maksud melatih dan mendidik sang mualaf ajaran Islam. Sejak
saat itu dia tidak pernah melepaskan busana Muslim. Memakai kain dan kebaya,
serta berkerudung, dan hampir tidak pernah melepaskan tasbih. Sampai akhir
hayatnya dia pun berusaha untuk tidak menemui orang yang bukan muhrim. Sedang
ibunya yang juga tinggal bersama menantunya, menjadi seorang ibu salehah.
Bahkan ia diberangkatkan ke tanah suci.
b.
Kehidupan
Maria van Engels Pasca Ditinggal Wafat Sang Suami
Setelah Habib
Abdurahman wafat 1940, Jidah Non tetap menjalankan kehidupannya dengan penuh
takwa. Untuk membantu keluarga – yang sebagian sudah menikah – dia berdagang
jamu. Mulai jamu beranak sampai jamu nafsu makan. Dia memiliki keahlian dalam
pengobatan herbal dan memiliki sebuah buku tentang pengobatan dan obat-obatan
tradisional dalam bahasan Belanda. Dia juga berjiwa sosial. Sering memberikan
pertolongan bila yang sakit orang tidak berpunya, dan memberikan jamu secara
gratis. Sayangnya setelah almarhum wafat awal 1961, buku yang sangat berharga
itu raib begitu saja.
Sekalipun
berbeda agama, tapi hubungan dengan adiknya Lies van Engels, tetap mesra. Kalau
mereka bertemu saling mencium pipi. Pada 1957, hubungan Indonesia– Belanda
putus akibat soal Irian Barat (Papua). Sementara Bung Karno menasionalisasi
perusahaan-perusahaan milik Belanda, sambil menyerukan pada pekerjanya untuk
mengambil alih. Lies pun pulang ke Nederland bersama puterinya dan tinggal di
Wesp, dekat Amsterdam.
Suatu malam di
tahun 1961, Wan Non, yang sedang sakit, menginginkan semua keluarga berada di dekatnya.
Dan di malam itu juga ia wafat. Jenazahnya dibaringkan di dekat kamar
mertuanya, Habib Ali Kwitang. Sejumlah ulama terkemuka Jakarta, seperti KH.
Abdullah Syafi’i, KH. Tohir Rohili, KH Nur Ali, hadir diantara ribuan pelayat.
Wan Non, yang meski terlahir dari keluarga Non Muslim, menjadi satu contoh
keberhasilan didikan agama yang ketat dari seorang suami dan kepala rumah
tangga. Meski suaminya kemudian wafat lebih dulu (1941), Wan Non tetap
menjalankan kehidupannya dengan penuh taqwa, hingga akhir hayatnya.
c.
Sosok
Suami, Habib Abdurrahman Al-Habsyi
Nah, lalu
bagaimana sosok Habib Abdurrahman suami Maria van Engels ini? Beliau adalah
putra seorang ulama masyhur Betawi keturunnan Hadhramaut, Habib Ali al-Habsyi.
Habib Abdurrahman lahir sekitar tahun 1890 di kampung Kwitang, Jakarta.
Anak sulung dari Habib Ali al-Habsyi. Ayahnya adalah guru yang pertama baginya.
Memang, Sosok putra sulung Habib Ali Kwitang ini tidak banyak diketahui orang.
Mungkin karena ia wafat selagi muda, jauh sebelum wafatnya Habib Ali Kwitang
sendiri.
Selain kepada
ayahnya, ia juga menyempatkan diri untuk berguru kepada Habib Abdullah bin
Muhsin al-Attas Bogor dan Habib Ahmad bin abdullah Al-Attas Pekalongan. Meski
tidak sempat lama, ia pernah pula menuntut ilmu di negeri leluhurnya,
Hadramaut. Di sana ia berguru kepada sejumlah ulama besar Hadramaut di masa
itu.
Habib Abdurrahman
aktif mengikuti berita-berita pergerakan yang tengah marak pada saat itu. Diantara
kawan akrabnya adalah H. Agus Salim, seorang tokoh pergerakan nasional yang
terkenal. Sewaktu terjadi ikhtilaf antara Jami’at Kheir dan al-Irsyad, ia
mengkliping berita-berita dari berbagai surat kabar dan tulisan-tulisan yang
terkait dengan itu. Ia memang seorang yang gemar membaca.
Sementara itu,
akhlak mulia Habib Abdurrahman kepada orangtuanya menjadi faktor utama yang di
kemudian hari menempatkannya di maqam yang tinggi. Bila menjumpai ayahnya, ia
selalu bertutur kata dengan halus. Sewaktu berpisah pun ia berjalan mundur,
karena tidak ingin membelakangi ayahnya. Bila ia dibelikan baju baru oleh
ayahnya, ia terima sepenuh hati hadiah itu dengan wajah berseri-seri. Tapi baju
baru itu tidak segera dikenakannya. Tidak berapa lama, ia berikan baju itu
kepada orang lain.
Beberapa kali
kejadian itu terjadi, hingga suatu saat Habib Ali bertanya kepadanya: “Wahai
Abdurrahman, mana baju yang baru kuberikan kepadamu kemarin?”
Habib
Abdurrahman menjawab: “Abah, alangkah lebih senangnya lagi hatiku bila baju
yang kukenakan adalah baju yang bekas abah pakai.”
Selain
mencerminkan rasa ta’dzimnya yang begitu besar kepada sang ayah, kisah di atas
juga menunjukkan hatinya yang pemurah kepada sesama.
d.
Habib
Abdurrahman Wali Allah
Sekali waktu,
pernah Habib Muhammad, adiknya, terlambat pulang ke rumah, sedang hari sudah
larut malam. Dari kejauhan Habib Muhammad melihat kakaknya sedang berdiri di
depan rumah. Karena pulang agak larut, ia sungkan kepada sang kakak. Maka ia
ambil jalan memutar ke pintu samping. Ternyata di pintu samping rumahnya itupun
ada Habib Abdurrahman, yang tengah berdiri. Ia memutar lagi lewat pintu
belakang.
Aneh, lagi-lagi
di pintu belakang rumahnya itu ia lihat sang kakak. Habib Abdurrahman kemudian
memanggilnya dengan lembut dan berkata: “Ya Muhammad, jangan takut kepadaku.
Sekarang masuklah, ini waktunya sudah malam. Nanti ente sakit, masuk angin.
Lain kali jangan pulang terlalu larut. Jangan sampai Abah yang membukakan
pintu. Kasihan, Abah sudah sepuh.”
Suatu saat,
ketika dirinya tengah sakit, kebetulan sang ayah hendak mengunjungi Habib
Abdullah bin Muhsin al-Attas Bogor, gurunya sekaligus guru ayahnya pula. “Ya
Abdurrahman, Abah mau ke Habib Abdullah, nanti sekalian Abah minta air untuk
didoakan Habib Abdullah agar sakitmu lekas sembuh.”
Sesampainya di
Bogor, Habib Ali mengutarakan hajatnya terkait dengan kondisi putranya kepada
Habib Abdullah. Sambil menunjuk secangkir kopi di hadapannya, Habib Abdullah
mengatakan: “Ini kopi anakmu.”
Rupanya Habib
Abdurrahman baru saja beranjak pulang dari tempat Habib Abdullah. Aneh memang,
padahal tadi Habib Ali meninggalkan Habib Abdurrahman yang tengah berbaring
sakit. Habib Ali pun memahami bahwa putranya ini memiliki kedudukan khusus di
sisi Allah. Banyak orang yang menyakininya sebagai salah satu seorang
waliyullah. Entah kenapa, bila sedang datangnya hal-nya (keadaaan
tertentu yang biasa dialami seorang wali), ia merokok dengan mengisap sebatang
lisong.
Suatu hari di
tahun 1941, Habib Abdurrahman mengundang sejumlah orang untuk membaca tahlil
bersama pada suatu malam yang ia telah tentukan. Beberapa hari kemudian, ia
juga mendatangi seorang penggali kubur di kompleks pekuburan Tanah Abang. Saat
itu ia memesan sebuah kuburan dengan ukuran tertentu, seraya mengatakan kepada
si penggali kubur bahwa kuburan itu dipesan untuk seorang putra Habib Ali
Kwitang yang wafat, yang bernama Abdurrahman.
Pada hari acara
tahlil yang telah ditentukan, pada hari itu pula Habib Abdurrahman wafat.
Ternyata Habib Abdurrahman sendiri. Begitu pula saat si penggali kubur hendak
berta’ziyah ke Habib Ali Kwitang, betapa kagetnya ia melihat jenazah. Ternyata
orang yang memesan lahan kuburan itu adalah Habib Abdurrahman sendiri. Rupanya
Habib Abdurrahman sudah beroleh kabar terlebih dulu dari Allah tentang akhir
hidupnya.
e.
Tidak
Masyhur di Dalam, Tapi Terkenal di Luar
Meski orang
sekarang tidak banyak yang mengenalnya, namanya ternyata termasyhur bagi
sejumlah pihak. Ketika seorang mursyid Tarekat Naqsyabandiyah dari Cyprus, Syaikh
Nadzim al-Haqqani (wafat 8 Mei 2014) pertama datang ke Indonesia, diantara yang
ditanyakan adalah makam Habib Abdurrahman bin Ali al-Habsyi. Syaikh Nadzim
mengatakan, ia mengetahui sosok Habib Abdurrahman sebagai seorang sufi besar
yang menjadi mursyid dalam tarekat Naqsyabandiyah. Orang banyak pun takjub
mendengar informasi dari syaikh tersebut.
Habib
Abdurrahman dimakamkan di pekuburan Tanah Abang. Sayang kini, makamnya sudah
tidak ada lagi, terkena bongkaran di zaman Gubernur Ali Sadikin. Saat makamnya
dibongkar, sebagaimana halnya pada makam Habib Utsman Mufti Betawi, jasadnya
tidak ditemukan sama sekali. Namun, secara simbolis tanah bekas kuburannya pun
dipindahkan ke Jeruk Purut. Keanehan lagi-lagi terjadi, beberapa hari setelah
dipindahkan, makamnya menghilang tanpa bekas. (Sumber: Buku Maria van
Engels Menantu Habib Kwitang karya Alwi Shahab dan Majalah Alkisah).
Selengkapnya bisa Anda baca buku “Maria van Engels Menantu Habib
Kwitang” di sini: Maria
van Engeles Menantu Habib Ali Kwitang
Dan baca sosok penulis buku tersebut di sini: http://alwishahab.wordpress.com/about/
Sya’roni As-Samfuriy, Cilangkap Jaktim 13 Mei 2014
0 komentar:
Posting Komentar