PROFIL GURU MULIA AL-HABIB ALI BIN
ABDURRAHMAN AL-JUFRI
Penampilan
Fisik Al-Habib Ali Al-Jufri
Penampilan fisiknya mengagumkan: tampan, berkulit
putih, tinggi, besar, berjenggot tebal dan rapi tanpa kumis. Wajar jika
kehadirannya di suatu majelis selalu menonjol dan menyita perhatian orang.
Tetapi kelebihannya bukan hanya itu. Kalau sudah
berbicara di forum, orang akan terkagum-kagum lagi dengan
kelebihan-kelebihannya yang lain. Intonasi suaranya membuat orang tak ingin
berhenti mengikuti pembicaraannya. Pada saat tertentu, suara dan
ungkapan-ungkapannya menyejukkan hati pendengarnya. Tapi pada saat yang lain,
suaranya meninggi, menggelegar, bergetar, membuat mereka tertunduk, lalu
mengoreksi diri sendiri.
Namun jangan dikira kelebihannya hanya pada penampilan
fisik dan kemampuan bicara. Materi yang dibawakannya bukan bahan biasa yang
hanya mengandalkan retorika, melainkan penuh dengan pemahaman-pemahaman baru,
sarat dengan informasi penting, dan ditopang argumentasi-argumentasi yang
kukuh.
Wajar, karena ia memang memiliki penguasaan ilmu agama
yang mendalam dalam berbagai cabang keilmuan, ditambah pengetahuannya yang tak
kalah luas dalam ilmu-ilmu modern, juga kemampuannya menyentuh hati orang,
membuat para pendengarnya bukan hanya memperoleh tambahan ilmu dan wawasan,
melainkan juga mendapatkan semangat dan tekad yang baru untuk mengoreksi diri
dan melakukan perubahan.
Itulah sebagian gambaran al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Jufri,
sosok ulama dan dai muda yang nama dan kiprahnya sangat dikenal di berbagai
negeri muslim, bahkan juga di dunia Barat. Ia memang sosok yang
istimewa. Pribadinya memancarkan daya tarik yang kuat. Siapa yang duduk
dengannya sebentar saja akan tertarik hatinya dan terkesan dengan keadaannya.
Bukan hanya kalangan awam, para ulama pun mencintainya. Siapa sesungguhnya
tokoh ini dan dari mana ia berasal?
Kelahiran
dan Nasab Al-Habib Ali Al-Jufri
Al-Habib Ali al-Jufri lahir di kota
Jeddah, Arab Saudi, menjelang Fajar, pada hari Jum’at 16 April 1971 (20 Shafar
1391 H). Ayahnya adalah al-Habib Abdurrahman bin Ali bin Muhammad bin Alwi al-Jufri,
sedangkan ibundanya Syarifah Marumah binti Hasan bin Alwi binti Hasan bin Alwi
bin Ali al-Jufri.
Di masa kecil, ia mulai menimba ilmu kepada bibi dari
ibundanya, seorang alimah dan arifah billah, Hababah Shafiyah binti Alwi bin
Hasan al-Jufri. Wanita shalihah ini memberikan pengaruh yang sangat besar dalam
mengarahkannya ke jalur ilmu dan perjalanan menuju Allah.
Pendidikan
dan Guru-guru Al-Habib Ali Al-Jufri
Setelah itu ia tak henti-hentinya menimba ilmu dari
para tokoh besar. Al-Quthb al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf adalah salah
seorang guru utamanya. Kepadanya ia membaca dan mendengarkan pembacaan kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, Tajrid al-Bukhari, Ihya’
Ulumiddin, dan kitab-kitab penting lainnya. Cukup lama al-Habib Ali belajar
kepadanya, sejak usia 10 tahun hingga berusia 21 tahun.
Ia juga berguru kepada al-Habib Ahmad Masyhur bin
Thaha al-Haddad, ulama terkemuka dan penulis karya-karya terkenal. Diantara
kitab yang dibacanya kepadanya adalah Idhah
Asrar `Ulum al-Muqarrabin.
Prof. Dr. As-Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki juga
salah seorang gurunya. Kepadanya ia mempelajari kitab-kitab musthalah hadits,
ushul, dan sirah. Sedangkan kepada al-Habib Hamid bin Alwi bin Thahir al-Haddad,
ia membaca al-Mukhtashar al-Lathif
dan Bidayah al-Hidayah.
Ia pun selama lebih dari empat tahun menimba ilmu
kepada al-Habib Abu Bakar al-`Adni bin Ali al-Masyhur, dengan membaca dan
mendengarkan kitab Sunan Ibnu Majah, ar-Risalah
al-Jami`ah, Bidayah al-Hidayah, al-Muqaddimah al-Hadhramiyyah, Tafsir al-Jalalain,
Tanwir al-Aghlas, Lathaif al-Isyarat, Tafsir Ayat al-Ahkam, dan Tafsir al-Baghawi.
Pada tahun 1412 H (1991 M) al-Habib Ali mengikuti
kuliah di Fakultas Dirasat Islamiyyah Universitas Shan`a, Yaman, hingga tahun
1414 H (1993 M). Kemudian ia menetap di Tarim, Hadhramaut. Di sini ia
belajar dan juga mendampingi al-Habib Umar bin Hafidz sejak tahun 1993 hingga
2003. Kepadanya, al-Habib Ali membaca dan menghadiri pembacaan kitab-kitab Shahih al-Bukhari, Ihya’ Ulumiddin, Adab
Suluk al-Murid, Risalah al-Mu`awanah, Minhaj al-`Abidin, al-`Iqd an-Nabawi, ar-Risalah
al-Qusyairiyyah, al-Hikam, dan sebagainya.
Selain kepada mereka, ia pun menimba ilmu kepada para
tokoh ulama lainnya, seperti asy-Syaikh Umar bin Husain al-Khathib, asy-Syaikh as-Sayyid
Mutawalli asy-Sya`rawi, asy-Syaikh Ismail bin Shadiq al-Adawi di al-Jami` al-Husaini
dan di al-Azhar asy-Syarif, Mesir, juga asy-Syaikh Muhammad Zakiyuddin Ibrahim.
Disamping itu, al-Habib Ali juga mengambil ijazah dari 300-an orang syaikh
dalam berbagai cabang ilmu.
Dakwah
Al-Habib Ali Al-Jufriy
Berbekal berbagai ilmu yang diperolehnya, ditambah
pengalaman berkat tempaan para gurunya, ia pun mulai menjalankan misi
dakwahnya. Aktivitas dakwahnya dimulai pada tahun 1412 H/1991 di kota-kota dan
desa-desa di negeri Yaman. Ia kemudian berkelana dari satu negeri ke negeri
lain. Perjalanannya ke mancanegara dimulai pada tahun 1414 H/1993 dan terus
berlangsung hingga kini.
Berbagai kawasan negara dikunjunginya. Misalnya
negara-negara Arab, yakni Uni Emirat Arab, Yordania, Bahrain, Arab Saudi,
Sudan, Suriah, Oman, Qatar, Kuwait, Lebanon, Libya, Mesir, Maroko, Mauritania,
Jibouti.
Negara-negara non-Arab di Asia, diantaranya Indonesia,
Malaysia, Singapura, India, Bangladesh, Sri Lanka. Di Afrika, diantaranya ia
mengunjungi Kenya dan Tanzania. Sedangkan di Eropa, dakwahnya telah merambah
Inggris, Jerman, Prancis, Belgia, Belanda, Irlandia, Denmark, Bosnia
Herzegovina, dan Turki.
Ia pun setidaknya telah empat kali mengadakan
perjalanan dakwah ke Amerika Serikat; pertama tahun 1998, kedua tahun 2001,
ketiga tahun 2002, dan keempat tahun 2008. Disamping juga mengunjungi Kanada
Perjalanan dakwahnya ke berbagai negeri membawa kesan
tersendiri di hati para jama’ah yang mendengarkan penjelasan dan
pesan-pesannya. Di Jerman, ia membuat jama’ah masjid sebanyak tiga
lantai menangis tersedu-sedu mendengar taushiyahnya. Orang-orang yang tinggal
di Barat, yang cenderung keras hatinya, ternyata bisa lunak di tangan al-Habib
Ali.
Di Amerika ada yang merasa bahwa memandang dan
berkumpul bersama al-Habib Ali al-Jufri selama satu malam cukup untuk
memberinya tenaga dan semangat untuk beribadah selama tiga bulan. Di Inggris ia
terlibat pelaksanaan Maulid Nabi di stadion Wembley. Di Denmark ia
mengadakan jumpa pers dengan kalangan media massa.
Di Darul Musthafa, Tarim, Hadhramaut setiap tahun,
bulan Rajab-Sya`ban, ia menjadi pembicara rutin Daurah Internasional. Ia pun
merangkul para dai muda di Timur Tengah, serta membimbing dan memberikan
petunjuk kepada para pemuda yang berbakat. Ia suka duduk bersama para pemuda
dan mengadakan dialog terbuka secara bebas.
Dalam berdakwah, ia aktif menjalin hubungan dengan
berbagai kalangan masyarakat. Ia memasuki kalangan yang paling bawah, seperti
suku-suku di Afrika, hingga kalangan paling atas, seperti keluarga keamiran Abu
Dhabi. Ia berhubungan dengan kalangan awam hingga kalangan yang paling alim,
seperti asy-Syaikh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi (mufti de facto negeri
Syria), asy-Syaikh Ali Jum`ah (mufti Mesir), dan ulama-ulama besar lainnya.
Banyak sekali bintang film, artis dan aktris, para
seniman, di Mesir yang bertaubat di tangannya. Artis yang sebelumnya “terbuka”
jadi berhijab, yang dulunya aktor jadi berdakwah.
Kini ia pun secara rutin tampil di televisi.
Penyampaian dakwahnya menyentuh akal dan hati. Cara dakwahnya yang sejuk dan
simpatik, pandangan-pandangannya yang cerdas dan tajam, pembawaannya yang
menarik hati, membuatnya semakin berpengaruh dari waktu ke waktu.
Kemunculan al-Habib Ali di dunia dakwah membawa angin segar
bagi kaum muslimin, terutama kalangan Sunni. Cara dakwahnya berbeda dengan
dakwah kalangan yang cenderung keras, kasar, dan kering dari nilai-nilai
ruhani, serta cenderung menyerang orang lain, dan banyak menekankan pada model
konflik ketimbang harmoni dengan kalangan non-muslim. Bahkan mereka memandang
masyarakat muslim sekarang sebagai reinkarnasi dari masyarakat Jahiliyah.
Tragedi
Kartun Nabi
Beberapa waktu lalu koran Denmark kembali menampilkan
kartun Nabi. Berbeda dengan reaksi sebagian kalangan muslim yang penuh amarah
dan tindak kekerasan di dalam menanggapinya, al-Habib Ali al-Jufri dengan
kesejukan hatinya serta ketajaman pandangan, pikiran, akal, dan mata batinnya
telah melakukan serangkaian langkah yang bervisi jauh ke depan. Ia berharap,
langkah-langkahnya akan berdampak positif bagi kaum muslimin, terutama yang
tinggal di negara-negara Barat, serta akan menguntungkan dakwah Islam di masa
kini dan akan datang.
Bukannya melihat kasus ini sebagai ancaman dan bahaya
terhadap Islam dan muslimin, al-Habib Ali justru secara cerdas melihat hal ini
sebagai peluang dakwah yang besar untuk masuk ke negeri Eropa secara terbuka,
untuk menjelaskan secara bebas tentang Rasulullah Saw. dan berdialog dengan
penduduk serta kalangan pers di sana tentang agama ini dan tentang fenomena
muslimin. Singkatnya, ia justru melihat ini sebagai peluang dakwah yang besar.
Tentu saja cara pandang al-Habib Ali juga disebabkan
pemahamannya yang sangat dalam tentang karakter masyarakat Barat. Salah satu
karakter terbesar mereka adalah mempunyai rasa ingin tahu yang besar, berpikir
rasional, dan memiliki sikap siap mendengarkan. Karakter-karakter umum ini,
ditambah sorotan perhatian kepada Rasulullah Saw., merupakan peluang besar
untuk memberikan penjelasan. Mereka ingin tahu tentang Nabi Saw., berarti
mereka dalam kondisi siap mendengarkan. Mereka rasional, berarti siap untuk
mendapatkan penjelasan yang logis.
Apabila kita bisa menjelaskan tentang Nabi Saw. dan
agama ini kepada mereka dengan cara yang menyentuh akal dan hati mereka, maka
kita justru akan bisa mengubah mereka. Dari yang anti menjadi netral, yang
netral menjadi pro, yang pro menjadi muslim, yang antipati menjadi simpati,
yang keras menjadi lembut, yang marah menjadi dingin, yang acu menjadi
penasaran. Sekaligus pula mencegah simpatisan menjadi oposan, pro menjadi anti
dan seterusnya.
Karena karakter masyarakat Barat yang terbuka,
toleran, lebih bisa menerima keanekaragaman budaya, maka peluang dakwah terbuka
bebas. Inilah ranah ideal untuk dakwah Islamiyah. Tentu saja ini bagi para da`i
yang berfikiran terbuka, berakal lurus dan tajam, cerdas memahami situasi
kondisi, dan memiliki dada yang cukup lapang dalam menerima tanggapan negatif,
serta giat melakukan pendekatan yang konstruktif dan positif, serta memiliki
akhlak yang mulia. Di sinilah al-Habib Ali al-Jufri masuk dengan dakwahnya yang
dialogis.
Terjalinnya
Silaturahim dan Bersatu dalam Mahabbah
Tentu saja untuk berani melakukan dialog dengan pers
Barat dibutuhkan kecerdasan dan keluasan berpikir serta pemahaman atas pola
berpikir masyarakat Barat. Al-Habib Ali dan para dai ini, selain sangat
memahami masyarakat Barat, juga memiliki tim khusus yang melakukan
penelitian-penelitian secara ilmiah dan mendetail tentang subyek apapun yang
dibutuhkan.
Ketika melihat berbagai reaksi yang ada atas kasus
kartun Nabi, al-Habib Ali menemukan satu benang merah: “Semua kelompok dalam masyarakat Islam marah”. Kemarahan yang
mencerminkan masih adanya sisa-sisa mahabbah kepada Nabi Saw. ini bersifat
lintas madzhab, lintas thariqah, lintas jama’ah, bahkan lintas aqidah.
Al-Habib Ali melihat ini sebagai peluang pula untuk
menyatukan visi kaum muslimin dan menyatukan barisan mereka. Kalau kaum
muslimin tak bisa bersatu dalam madzhab, thariqah, bahkan aqidah, mereka
ternyata bisa disatukan dalam mahabbah dan pembelaan terhadap Nabi Saw.
Langkah al-Habib Ali tidak berhenti di sini. Ia
membentuk sekelompok dai yang dikenal dengan akhlaqnya, keterbukaan pikiran dan
keluasan dadanya, serta kesiapannya untuk melakukan dialog secara intensif dan
bebas dengan masyarakat Barat. Kemudian ia bersama kelompok dai ini mengadakan
safari intensif keliling Eropa bertemu dengan kalangan pers dan berbagai
kalangan lainnya untuk memberikan penjelasan.
Al-Habib Ali dan para dai tersebut
mengambil momen ini untuk memupuk cinta muslimin kepada Rasulullah Saw., untuk
menghidupkan lagi tradisi-tradisi yang lama mati, dan untuk mengajak muslim
berakhlaq mulia sebagaimana akhlaq Nabinya, sambil mengingatkan kaum muslimin
yang berdemo agar menjaga adab dan akhlaq Nabi Saw.
Ia juga menyeru kepada kaum muslimin untuk
memanfaatkan momen ini dengan menghadiahkan buku-buku tentang Nabi Muhammad Saw.
kepada para tetangga dan kawan-kawan mereka yang non-muslim, serta untuk
membuka topik untuk menjelaskan kepada mereka tentang Rasulullah dan kedudukan
beliau di lubuk hati kaum muslimin.
Bukan hanya itu. Ia pun memanfaatkan momen ini untuk
menyatukan dai-dai sedunia dalam satu shaf dan mempelopori berdirinya organisasi
dai sedunia. Yang menarik, dalam semua tindakan dan langkahnya ini, ia
senantiasa menggandeng, berkoordinasi, dan bermusyawarah serta melibatkan para
ulama besar dunia, seperti asy-Syaikh Muhammad Sa`id Ramadhan al-Buthi, asy-Syaikh
Ali Jum`ah (mufti Mesir), dan ulama-ulama besar lainnya. Sehingga gerakan ini
menjadi gerakan kolektif, milik bersama, bukan milik al-Habib Ali saja.
Sebagai salah satu dampak dari gerakan ini adalah
terjalinnya silaturahim dan tersambungnya komunikasi yang sebelumnya terputus
atau kurang intensif di antara para ulama dan dai muslimin karena mereka
menjadi giat berkomunikasi lintas madzhab, pemikiran, kecenderungan pribadi,
bahkan lintas aqidah.
Gerakan yang dipelopori al-Habib Ali ternyata mampu
mengikat sejumlah besar pemuka Islam dari berbagai latar belakang yang berbeda
ke dalam satu shaf lurus yang panjang untuk bersama-sama menanggapi sebuah isu
internasional dengan satu suara bulat yang tidak terpecah-pecah. Kita
berharap, ini tidak akan berakhir, bahkan justru menjadi sebuah awal dari
persatuan ulama dan dai-dai muslimin. Aamiin
yaa Ilaahanaa Ilaahal Ma’buud.
Disadur dari
berbagai sumber
Sya’roni as-Samfuriy, Indramayu 10
Rabi’ul Awwal 1434 H
0 komentar:
Posting Komentar