BURDAH
KA'AB BIN ZUHAIR RA
Memetakan hak-hak Allah
dan RasulNya adalah satu diantara tujuan penting dalam aqidah ahlussunnah wal
jama’ah. Tidak heran jika beberapa orang dengan intuisi sastra transcendent (sufi) menuangkan buah
tulisannya perihal hubungan dirinya dengan Allah dan RasulNya. Jika saja kita
dapat merangkai sebuah tema sentral mengenai tujuan hidup kita, tak lain
mencerna serta memahami perilaku salik
(orang yang menuju ridlo Allah) untuk mencapai Akhlaqul Karimah. Lewat
karya-karya sastra merekalah kita bisa meneguhkan aqidah kita.
Memuji Rasulullah
adalah sebuah hal terpuji. Para sahabat Rasulullah seringkali mengungkapkan
pujian kepada Rasulullah dalam gubahan syair di depan beliau, bahkan
menyampaikannya ketika sedang berada di masjid. Rasulullah pun senang dengan
pujian syair yang mereka lantunkan. Terdapat beberapa sahabat yang dikenal sebagai
penyair di era nabi, diantaranya adalah Hasan bin Tsabit, Abdullah bin Rowahah,
dan Ka'ab bin Zuhair. Sebuah syair yang terkenal dalam memuji Rasulullah adalah
syi'ir Ka'ab bin Zuhair yang dikenal dengan "banat su'ad".
Syair ini secara keseluruhan berjumlah 34 bait.
Ka’ab bin Zuhair adalah
seorang penyair. Sebelum memeluk Islam, ia pernah membuat tiga bait syair yang
membuat nabi murka dan menghalalkan darahnya. Dalam syair itu, ia mencela
kakaknya, Bujair bin Ka’ab yang telah masuk islam setelah bertemu nabi termasuk
celaan kepada Abu Bakar as-Shiddiq. Ketika syair ini sampai ke telinga
Rasulullah, beliau berkata, “siapa yang
bertemu Ka’ab, maka bunuhlah dia”. Mendengar nabi saw murka, Bujair
mengirimkan sebuah surat kepada adiknya tentang sabda Nabi tersebut dan
mengajaknya untuk masuk Islam. Maka ia pun datang ke kota Madinah untuk
menyatakan Islamnya dan menemui nabi yang ketika itu sedang berada di masjid.
Ia pun menyatakan keislamannya di depan nabi dan merubah isi syair yang mencela
Abu Bakar lalu melantunkan sebuah syair yang keindahannya diakui oleh para
pakar bahasa, yang diawali dengan bait banat su’adu fa qolbil yauma matbulu.
بانت سعاد فقلبي اليوم متبول
متيم إثرها لم يفد مكبو ل.
ان الرسول لسيف يستضاء به
مهند بسيف من سيوف الله مسلول
Ketika Ka’ab sedang
melantunkan syairnya tersebut, Rasulullah memberi isyarat kepada sahabatnya
untuk mendengarkan, bahkan Rasulullah lalu memberikan hadiah berupa sebuah
burdah. Cerita tentang Ka’ab bin Zuhair diriwayatkan selengkapnya oleh al-Hakim
dalam al-mustadrok ala ash-shohihain, juga disebutkan dalam al-ishobah karangan
Ibnu Hajar al-Asqollani dan usdul ghobah
karya Ibnul Atsir.
Dari cerita di atas,
dapat kita lihat bahwa bersyair yang berisi pujian untuk Rasulullah bukan
merupakan hal tercela. Rasulullah sendiri senang dengan pujian yang ditujukan
padanya dan menyuruh para sahabat untuk menyimaknya meskipun syair itu
disampaikan di dalam masjid. Tidak berhenti di situ, Rasulullah pun memberikan
hadiah untuk sang penggubah syair Ka’ab bin Zuhair.
Tentang syirik yang
dituduhkan mereka kepada al-Imam al-Bushiri karena menyifati makhluknya (baca:
Rasulullah) dengan sifat Allah dan menisbahkan pekerjaan yang hak Allah.
Seperti Rasulullah sebagai makhluk disifati sebagai pemberi hidayah, syafa’at
dan semisalnya, justifikasi syirik tersebut disebabkan kesalahan mereka dalam
memahami bait-bait pujian tidak dengan proporsional.
Mereka menggunakan dalil
sebuah hadits, “jangan berlebihan dalam
memujiku seperti orang nashrani memuji Isa putra Maryam”. Hadits ini
bukanlah larangan dalam berlebihan memuji nabi, tetapi larangan untuk
menuhankan Rasulullah sebagaimana kaum nashrani menuhankan nabi Isa alaihis salam. Bukankah Allah sendiri
telah menyebut hambanya tersebut dengan sebutan ro’uf dan rohim dalam
al-Qur’an, padahal Allah pemilik sifat rohim
seperti tersebut dalam basmalah?
Diantara kesesatan
nalar itu adalah menyalahkan saudara seiman karena membaca syair meskipun
bacaan tersebut berisi pujian untuk nabi Muhammad saw. Pujian kepada Rasulullah
dianggap oleh kaum extremist terlalu berlebihan dan fakta di lapangan telah
diclaim ke dalam kekafiran atau syirik karena menyekutukan Allah, mencampur aduk
sifat Allah atau menisbahkan sebuah pekerjaan yang hanya merupakan pekerjaanNya
kepada makhluknya. Al-Imam al-Bushiri, pengarang qasidah yang dikenal dengan
nama burdah, sering menjadi sasaran kritik dalam masalah ini. Mereka bahkan
mengatakan bahwa burdah adalah qasidah syirik, tidak lain hanya nalar yang
sesat.
Mereka juga salah dalam
mengartikan tawassul sebagai syirik karena meminta kepada selain Allah. Ini
merupakan problem klasik yang telah diulas, dibantah dan dijawab berulang kali
oleh ulama ahlussunnah melalui berbagai tulisan mereka. Trancendent berarti ada pemahaman di luar akal yang sifatnya ta’abudi, sedangkan pemusyrikan terjadi
karena ranah nalar dipaksakan memahami ranah tauhid yang hanya dimiliki Allah
dan Rasulullah saw. Ahlussunnah menjaga betul keserasian nalar dalam menjangkau
perihal yang trancendent, salah satu
kitab yang membahasnya syawahidul haq
karangan Yusuf an-Nabhani dan Mafahim
yajibu an tushohhah karangan al-Musnid Assayyid Muhammad al-Maliky.
0 komentar:
Posting Komentar