SIFAT-SIFAT
ALLAH
Analisa
Akidah 50 versi Asy’ariah
Dalam khazanah teologi Islam klasik,
diskursus mengenai sifat-sifat Allah Swt. cukup intens dibicarakan, baik sifat
Allah yang berjumlah empat puluh satu (wajib, mustahil, dan jawaz), maupun
sifat para rasul yang berjumlah sembilan. Diskursus mengenai sifat-sifat ini
biasa diistilahkan dengan akidah lima puluh.
Kecenderungan untuk mengetahui
sifat-sifat Allah Swt. umumnya dimotivasi oleh keinginan untuk menyucikan (taqdis)
Allah Swt. dari segala hal yang tidak layak dimiliki-Nya sebagaimana tuduhan
orang-orang musyrik, mengangkat tinggi-tinggi keagungan-Nya, dan demi
mengukuhkan keimanan umat manusia. Tujuan ini lebih didasarkan pada realitas
emosional dan psikologi manusia yang mudah terhipnotis oleh keahlian dan
kelebihan orang lain yang berada di luar daya nalarnya.
Disamping itu, analisa lain
menyatakan bahwa penyematan sifat-sifat itu juga didorong oleh faktor geofrafis
dan struktur sosial masyarakat Arab yang memang gemar memakai simbol-simbol
tertentu sebagai media mengungkapkan perasaan hati. Logika seperti ini juga
dapat ditemui pada motif pemberian mujizat kepada Nabi Saw. Allah Swt.
memberikan al-Quran dan mukjizat-mukjizat lainnya kepada Nabi Muhamad Saw.
adalah agar misi dakwahnya dapat diterima dan ajaran yang disampaikan
dibenarkan. Kepatuhan dan ketaatan tidak akan terwujud tanpa dibantu oleh
sebab-sebab berupa kelebihan dan keluarbiasaan yang dapat meluluhkan hati
masyarakat. Inilah salah satu bukti bahwa masyarakat Arab pada umumnya menyukai
simbol-simbol kelebihan dan keluarbiasaan, yang tetap melekat hingga
berabad-abad berikutnya. Simbolisasi itupun pada akhirnya merambah pada tataran
akidah ketuhanan; dimana bukti kemahakuasaan Allah Swt. dan kebenaran Nabi SAW.
perlu ”disimbolkan” melalui penyematan sifat-sifat tertentu, melalui apa yang
kita kenal dengan sebutan sifat 50 itu. Disamping perlu dicatat, sifat-sifat
tersebut telah terurai dalam al-Quran.
Mengenal Zat (Entitas) Tunggal
Penelusuran sifat-sifat ketuhanan
dimulai dengan bukti eksistensi konsep Tuhan sebagai Ada (dengan ”A” besar)
yang Niscaya (juga dengan ”N" besar) atau Niscaya Ada (Wajib al-Wujud).
Ada yang Niscaya adalah sesuatu yang tidak mungkin dipikirkan ketidakadaannya.
Coba pikirkan bagaiman sesuatu yang ada itu tidak ada, pastilah kita akan
menemui kontradiksi. Jadi, Niscaya Ada alias Wajib al-Wujud itu
adalah keber-Ada-an yang dipastikan wujudnya. Namun, ini hanya membuktikan
sebuah keber-Ada-an itu adalah ada yang semua orang tahu.
Kemutlakan Tunggal adalah inti
ajaran Islam. Tuhan adalah pencipta semua wujud yang lahir dan batin. Tuhan
adalah Wujud Mutlak, yang menjadi sumber dari semua wujud-wujud yang lain.
Dengan demikian, semua wujud yang lain adalah nisbi belaka, sebagai bandingan
dari Wujud Hakiki atau Zat yang Mutlak. Karena itu, Eksistensi Tuhan bukan
untuk dilihat tapi untuk diketahui, sebab melihat Tuhan dengan mata kepala
adalah mustahil. Manusia hanya dapat mengetahui Tuhan dengan mata hati tanpa
dapat menggambarkan dengan suatu yang bertempat dan berbentuk.1 Ibnu Khaldun mengatakan:
”Janganlah sekali-kali Anda mempercayai sugesti yang dimunculkan oleh benak
pikiran bahwa Anda mampu mengetahui segala yang ada dan sebab-sebabnya,
mengetahui secara detil semua wujud. Sugesti semacam itu hendaklah direndahkan
sebagai kebodohan. Ketahuilah, setiap orang yang memiliki persepsi kesan
superfisial mengatakan bahwa seluruh wujud terjangkau oleh persepsinya, dan
bahwa wujud itu tidak akan melampauinya. Kenyataannya, persoalan itu berbeda
sama sekali, dan kebenaran berada di belakangnya. Tidakkah Anda lihat orang
yang tuli, bagaimana wujud terbatas baginya pada persepsi keempat inderanya dan
akalnya. Segala yang dapat didengar bukan merupakan bagian dari wujud baginya.
Demikian pula orang yang buta, semua yang dapat dilihat bukan merupakan bagian
wujud baginya. Untuk orang cacat semacam itu, apabila kepada mereka tidak
diletakkan kesetiaan pada informasi yang diterima dari bapak-bapak, guru-guru,
dan orang lain, mereka tidak akan mengakui eksistensi segalanya itu”.2
Pengakuan terhadap keesaan Tuhan
identik dengan pengerahan persoalan ini kepada Tuhan yang menciptakannya dan
yang menguasainya. Tidak ada pencipta selain-Nya. Semua sebab-sebab itu meningkat
kepada-Nya dan kembali kepada kekuasaan-Nya. Kita mengetahui-Nya hanya lantaran
kita muncul daripada-Nya. Inilah penafsiran pernyataan yang dimunculkan oleh
para shadiqin: ”Ketidakmampuan menemukan persepsi, itulah
persepsi” (’Ajz al-idrak idrak).
Dalam keadaan tidak mungkin melihat
Tuhan, yang harus diketahui manusia ialah usaha terus-menerus dan penuh
kesungguhan (mujahadah) kepada-Nya. Ini diwujudkan untuk merentangkan
garis lurus antara diri manusia dengan Tuhan. Garis lurus itu merentang sejajar
secara berhimpitan dengan hati nurani.
Karena kemahaesaan-Nya dan
kemutlakan-Nya, wujud Tuhan adalah wujud kepastian. Justru Tuhanlah wujud yang
pasti. Abu Hanifah berkomentar, tidak pantas manusia berbicara tentang Zat
Allah Swt. Sebab ia telah tercukupkan dengan mengenal dan memahami
sifat-sifat-Nya yang telah difirmankan. Persepsi kemanusiaan tidak dibolehkan
berbicara sifat-sifat ketuhanan berlandaskan pada akal semata.3 Tepat di titik ini, kelemahan
manusia dalam memahami Wujud Eksistensial Allah Swt. teruraikan. Manusia hanya
mampu memahami sifat-sifat-Nya, bukan Wujud eksistensial-Nya.
Memahami Sifat-sifat Allah
Sifat adalah kata bahasa Arab yang
merupakan derivasi dari kata wasf (shifat) yang telah
diindonesiakan. Sifat dapat diartikan sebagai sebuah sebutan yang dapat
menunjukkan keadaan suatu benda. Atau lebih mudahnya, sifat adalah ciri-ciri
sesuatu. Dapat juga dipahami, sifat adalah sebuah ciri-ciri (amârah)
yang melekat pada diri seseorang dan dapat digunakan sebagai sarana
identifikasi.4
Dalam ilmu teologi, term sifat
menjadi faktor fundamen yang mempengaruhi perbedaan dalam menentukan
sifat-sifat Allah. Para mutakallim (teolog) mengartikan sifat adalah suatu
unsur selain zat dan tidak harus nampak di luar zat. Pengertian semacam ini
mendorong seseorang berpandangan bahwa sifat wajib Allah Swt. berjumlah dua
puluh, sementara teolog yang mendefinisikan sifat sebagai unsur di luar zat dan
harus nyata adanya, mendorongnya berpendapat bahwa hitungan sifat wajib-Nya
hanya berjumlah tujuh.
Bagi manusia yang berpikir dan
berjiwa sehat akan mengakui eksistensi Wujud Tuhan, bahkan meniscayakan
Wujud-Nya. Karena fitrah yang terkandung dalam hati nurani dan rasio di kepala,
memaksakan mengenal Hakikat Tunggal. Disamping, kalau mau sadar dan merenungi
format kemanusiaan, dari aspek lahir (jism) dan aspek batin yang
meliputi nyawa, nalar, atau unsur hewani, nabati, debu, pasir, batu, udara,
angkasa, air hujan, durasi waktu; ada siang ada malam, semua itu menjadi
indikasi-indikasi akan Wujudnya Tuhan. 5
Makanya, Allah Swt. berfirman surat
al-Anfal [8]: 22-23:
إن شر الدواب عند الله الصم البكم الذين لا يعقلون ولو علم الله فيهم خيرا
لاسمعهم ولو أسمعهم لتولوا وهم معرضون
“Sesungguhnya seburuk-buruknya
mahkluk berkaki (dabbah) di sisi Allah adalah orang yang tuli dan bisu, yaitu
orang-orang yang tidak mau berpikir. Seandainya Allah akan memberi kebaikan
terhadap mereka, maka Ia membuka pendengaran mereka. Dan ketika Ia telah
membuka pendengaran mereka, maka mereka menolak dan berpaling”.
Meski keajaiban-keajaiban tampak di
depan mata, tapi Wujud Allah Swt. tidak dapat diketahu oleh manusia. Eksistensi
Tuhan adalah samar (ghaib) menurut mata manusia dan jangkauan nalar.
Kendati demikian, dengan mengetahui tanda-tanda kebesaran-Nya maka nalar akan
dapat menjangkau Wujud Tuhan. Seandainya Ia berkehendak lain, dalam arti tidak
memperkenalkan kepada manusia melalui daya nalarnya, maka siapapun tidak akan
menemukan Eksistensi-Nya.
Tapi bukti kosmologis memberi
sumbangan pengetahuan kepada kita, bahwa Ada yang Niscaya itu memang benar dan
nyata. Keniscayaan Wujud Tuhan terejawantah di balik keunikan-keunikan dan
keanekaragaman bentuk ciptaan-Nya. Nalar tidak dapat menerima kondisi tidak
adanya Pencipta ciptaan-ciptaan itu. Keberadaan ciptaan menunjukkan Wujudnya
Sang Pencipta, atau menurut konsep Aristotelian, Ia dibahasakan sebagai Prima
Causa (Penyebab Utama) atas keberadaan setiap yang ada.6
Menurut analisa Imam Ghazali,
kalimat tauhid (baca: syahadat) mengandung makna
implisit akan keniscayaan Wujud Allah Swt., sifat-sifat-Nya, sifat
tindakan-Nya, dan percaya atas kenabian Muhammad Saw.7Dari situ pula bangunan iman berdasarkan
pada empat komponen: (1) Mengetahui Allah dan titik sentralnya pada sepuluh hal
pokok: mengenal Wujud Allah Swt., Qidam dan Baqa’-Nya,
bukan bentuk nature (jauhar), bukan benda materi (jism), dan
bukan berbentuk sifat (’irdh), dan tidak membutuhkan ruang dan waktu,
Dia akan dapat diketahui melalui sifat-sifat-Nya dan Zat-Nya yang bersifat Esa;
(2). Mengenal sifat-sifat-Nya, dan berkisar pada sepuluh dasar; yakni memahami
bahwa keadaan Allah Swt. itu Hidup, Mengetahui, Berkuasa, Berkehendak,
Mendengar, Melihat, Benar berita-berita-Nya, Bersih dari menitis pada ciptaan,
dan semua sifat-sifat-Nya Qadim ; (3). Mengetahui
tindakan-Nya. Ini juga berkisar pada sepuluh hal pokok: Seluruh gerakan makhluk
adalah atas kontrol (ciptaan) dan kehendak-Nya, Ia memberi hak bergerak (kasb )
pada makhluk dengan tidak lepas dari ciptaan dan kehendak-Nya, keutaman Allah
Swt. tidak bertambah dan berkurang sebab makhluk karena kemulyaan-Nya mutlka,
Allah Swt. boleh (dapat) juga mentaklif manusia diluar kemampuannya karena
kemutlakan kekuasaan-Nya meskipun tidak akan terjadi,8 Allah Swt. tidak berkeharusan
menjaga yang terbaik, terutusnya Nabi Muhamad merupakan kewenangan mutlak Allah
Swt., dan kenabian Muhammad Saw. tetap berlandaskan pada mu’jizat: (4). Percaya
pada berita intuitif (wahyu), yang berkisar pada sepuluh dasar: dikumpulkan (hasyr)
di hari kiamat, nasyr, siksaan kubur, pertanyaan malaikat Munkar
dan Nakir, timbangan amal, melewati shirath (tangga akhirat),
terciptanya surga dan neraka, dan hukum pemerintahan.9 Semua sifat-sifat Tuhan dan tata
nilai di muka telah diuraikan secara baik dalam al-Quran atau hadits.10
Sedangkan dalam pandangan Muhamad
Amin, implikasi ayat al-Quran yang mengurai sifat-sifat Allah Swt. menunjukkan
tiga prinsip dasar, yang seandainya terpenuhi maka akan memperoleh substansinya
dan terjamin kebenarannya. Tapi salah satu diantara ketiganya tidak boleh ada
yang dialpakan. Ketiga prinsip dasar itu adalah:
Pertama, prinsip mensucikan (tanzih)
Zat Allah Swt. dari segala bentuk keserupaan dengan ciptaan, baik dalam
Zat-Nya, pekerjaan-Nya dan sifat-sifat-Nya.11 Hal Ini dibangun atas dasar surat
al-Syura [42]: 11:
ليس كمثله
شيء
“Tidak ada sesuatu-pun yang menyerupai Dia”
Dan surat al-Nahl [16]: 74. yang berbunyi:
فلا تضربوا
لله الأمثال إن الله يعلم وانتم لا تعلمون
“Maka janganlah kalian mengadakan
sekutu-sekutu bagi Allah. Sesungguhnya Allah maha mengetahui sedangkan kalian
tidak mengetahui”.
Kedua, prinsip percaya dan menerima sifat-sifat Allah
Swt. dari kutipan wahyu (baca: firman-Nya). Logikanya, kelemahan dalam
mengetahui Zat Allah Swt. sudah pasti akan menyebabkan kemustahilan mengetahui
sifat-sifat-Nya. Dengan demikian, menerima dan membenarkan berita yang berasal
dari wahyu adalah sebuah keniscayaan. Siapakah yang dapat mengetahui Zat
Allah Swt. kalau bukan diri-Nya?.
Ketiga, percaya dan menerima sifat-sifat
Allah Swt. dari hadits Nabi. Sebab setiap perkataan Nabi Saw. adalah
semata-mata atas komando Allah Swt. Karena itu, esensi hadits-hadit Nabi tidak
lain adalah esensi dari wahyu Allah Swt., -sama sekali tidak menyimpang dengan
wahyu. Hal itu telah dijelaskan dalam al-Quran surat al-Najm [53]: 3-4:
وما ينطق عن الهوى إن هو إلا وحي يوحى
“Dia (Muhamad) tidak berkata
berdasar hawa nafsunya, tiadalah ia kecuali wahyu yang diwahyukan.”
Itulah prinsip-prinsip dasar untuk
mengetahui sifat-sifat Allah Swt. dan mengetahui Substansi Ketuhanan nan
Sejati. Semua orang tahu, bahwa menyifati benda materi bukanlah hal yang sulit.
Tapi menyifati entitas yang di luar jangkauan nalar, Wujud Tunggal, Eksistensi
Abstrak, mustahil ada yang mampu mengetahui-Nya. Langkah yang harus ditempuh
adalah pendekatan melalui pesan-pesan ketuhanan. Dengan cara inilah hakikat
ketuhanan akan diketahui melalui sifat-sifat-Nya.12
Mengenai universalitas sifat-sifat
Allah Swt., secara garis besar bahwa Ia tidak mempunyai kemiripan dengan
sifat-sifat makhluk. Sehingga ketika ditemukan teks-teks wahyu yang bila
dipahami secara eksplisit akan menimbulkan kesan keserupaan sifat-sifat Allah
Swt. dengan sifat makhluk-Nya, misalkan sama’[mendengar] dan bashar [melihat],
menurut Muhamad Amin, tidak berarti sifat tersebut harus dihapus (tidak
diterima) atau disamakan dengan makhluk. Penyematan sifat-sifat itu merupakan
isyarat bahwa Ia memiliki sifat sama’ dan bashar,
misalnya, akan tetapi wujud dan bentuknya berlainan dengan sifat yang dimiliki
makhluk. Karena walau bagaimana pun, tidak ada sesuatu-pun yang menyerupai-Nya.
Jadi harus dipahami bahwa kebenaran
riil mengenal sifat-sifat Allah swt. harus selaras dengan ketentuan tiga
prinsip dasar di muka. Kemudian dalam perkembangannya, penuturan sifat-sifat
Allah Swt. sebagian ada yang dilandasi wahyu dan sebagian lagi berlandaskan
nalar-rasionil.
Spesifikasi 50 Sifat
Para mutakallim membagi lima puluh
sifat Allah Swt. menjadi sifat wajib, muhal, dan jawaz.13 Menurut Imam al-Haramain,
pemahaman tiga bentuk sifat ini tergolong sebagai konsumsi akal (rasional).
Sehingga bagi orang yang tidak mampu memahami kehendak sifat-sifat tersebut
berarti tidak berakal. Digambarkan bahwa kalau dikatakan Allah Swt. itu wajib
bersifat, seumpama qudrah (kuasa), tentunya akal memahami
bahwa ketiadaan sifat kuasa bagi-Nya tidak mungkin akan diterima akal.
Tapi sebelum mengenal partikulasi
sifat-sifat Allah Swt., secara global harus diyakini bahwa Zat Tunggal Allah Swt.
selalu bersanding erat dengan segala sifat purna, hampa dari bermacam-macam
kekurangan (cacat), dan berwenang melakukan dan meninggalkan segala hal yang
potensial wujud (baca:mumkinat). Perincian ke 50 sifat itu adalah
sebagai berikut:
I.
Sifat-sifat Allah Swt.
1. Sifat Wajib Allah
Swt. berjumlah dua puluh. Kemudian jumlah dua puluh sifat ini dikelompokkan
menjadi empat, yaitu nafsiyah, salbiyah, ma’ani,
dan ma’nawiyah.14
1) Nafsiah, adalah sifat yang berhubungan
dengan keberadaan Zat Allah Swt. Ini hanya memiliki satu
sifat, yaitu sifat wujud (Eksistensi Tuhan).15
2) Salbiyah, dapat diartikan sebagai jenis
sifat yang dipahami untuk meniadakan-menyangkal- ketidaklayakkan dan
ketidaksesuaian bagi Allah Swt. Dinamakan salbiyah (terlepas)
karena motifasi penyifatan ini bertujuan menafikan sifat-sifat yang tidak layak
bagi Allah Swt. Adapun sifat-sifat yang terekrut dalam Salbiyah meliputi
sifat qidam; dahulu tanpa permulaan, baqa; kekal, mukhalafah li al-hawadits;
berbeda dengan makhluk, qiyamuhu bi nafsih:
eksis dengan Zat sendiri, dan wahdaniyah: Maha Esa. Sifatsalbiyah dapat
digambarkan seperti sifat qidam (dahulu tidak berawal),
misalnya, berarti bahwa wujud Allah Swt sudah ada sejak semula tanpa di dahului
sesuatupun. Jadi sifat qidam ini menolak sifat kebaharuan;
3) Ma’ani, adalah sifat wajib bagi Allah Swt
yang dapat digambarkan oleh akal pikiran manusia dan dapat meyakinkan orang
karena kebenarannya dapat dibuktikan oleh pancaindera. Yang termasuk ke dalam
sifat ma’ani ada tujuh sifat, antara lain sifat qudrat;
kuasa, iradat: kehendak, ilm: pengetahuan, hayat:
hidup, sama’: mendengar, bashar: melihat, dan kalam:
bicara.
4) Ma’nawiyah, sifat yang berhubungan dengan
sifat ma’ani, atau merupakan kelanjutan logis dari sifat ma’ani.
Sifat yang masuk dalam bagian ini ada tujuh, kaunuhu qadiran:
Keberadaan-Nya Maha Kuasa, kaunuhu muridan: Keberadaan-Nya Maha
Berkehendak, kaunuhu ’aliman: Keberadaan-Nya Maha Mengetahui, kaunuh
hayyan: Keberadaan-Nya Maha Hidup, kaunuh sami’an:
Keberadaan-Nya Maha Mendengar, kaunuhu bashiran: Keberadaan-Nya
Maha Melihat, dan kaunuhu mutakalliman: Keberadaan-Nya Maha
Berbicara.
2. Sifat Muhal 16(kebalikan sifat wajib) juga ada dua
puluh. Lebih mudahnya bahwa sifat wajib adalah sesuatu yang sudah pasti
dimiliki Tuhan, sebaliknya, sifat muhal sudah pasti tidak ada
pada Zat Allah Swt. Jadi disamping orang muslim wajib memahami sifat Allah Swt
juga harus paham dengan sifat yang tidak layak dimiliki-Nya. Yakni kaharusan
meniadakan sifat-sifat muhal yang berjumlah dua puluh pada
Zat-Nya.
3. Sifat Jawaz hanya satu. Sifat ini diibaratkan hak wewenang
Tuhan dalam bertindak. Segala realitas yang dihubungkan dengan eksistensi Allah
Swt. untuk berbuat (jaiz) sebenarnya bukan bagian sifat yang menetap
pada Zat-Nya, melainkan sebuah sifat yang berhubungan dengan Kuasa-Nya. Jadi
jangan disalahpahami bahwa Zat Allah Swt. tersifati dengan jawaz.
Yang benar bahwa Zat Allah Swt. hanya tersifati dengan sifat-sifat wajib.17 Dari sini dapat disimpulkan
bahwa sifat jawaz Allah Swt. ialah hak wewenang Tuhan. Adalah
rasional bila Allah Swt. mungkin melakukan segala apa yang menjadi
kehendak-Nya, tanpa terikat dengan segala apapun.
1) Sifat Wajib yang ada pada rasul jumlahnya
ada empat: (shidq) jujur dalam bicara, (amanah) terpercaya
menjauhi perbuatan haram dan makruh, (fathanah) kecerdasan dan kemampuan
mengalahkan lawan atau menyirnakan ajaran sesatnya, dan (tabligh) menyampaikan
pesan Allah Swt. kepada umat manusia sesuai perintah-Nya. Dengan terbuka, sifat
wajib ini harus dipahami bahwa akal tidak menerima keberadaan seorang rasul
yang tidak bersifat seperti ini.
2) Sifat Muhal, juga ada lima: (kidzib)
berdusta, (khianat) tidak konsekwen terhadap perbuatan halal dan haram,
(baladah) bodoh atau lemah pemahaman (Jawa: blôon), dan (kitman)
menyembunyikan pesan Tuhan yang harus disampaikan kepada umat manusia. Dengan
sifat-sifat ini, secara rasional, diartikan bahwa para rasul tidak akan
memiliki sifat-sifat yang demikian. Akal tidak akan menolak wujudnya
sifat-sifat ini pada diri rasul.
3) Sifat Jawaz bagi Rasul ialah kebolehan
melakukan perbuatan manusiawi yang tidak mengurangi kemulyaan derajatnya.
Dengan sifat ini, para Rasul juga memiliki sifat-sifat dasar manusiawi, seperti
berjalan, makan, minum, dan lain sebagainya. Tapi semua itu tidak mengurangi
sifat mulia mereka.
Kontroversi Sifat-sifat Allah
Dalam ranah teologi, pembagian
sifat-sifat wajib Allah Swt. menjadi 20 sifat tidak disepakati semua
mutakalimin. Mereka masih mempermasalahkan, terutama tentang konsep alam
realitas. Menurut al-Sanusi, sebuah realitas terbagi dalam empat bagian: nyata
adanya, nyata ketiadaannya, perihal keadaannya, dan perihal anggapannya. Contoh
yang nyata adanya adalah tubuh manusia, dan contoh yang nyata tidak adanya
adalah manusia sebelum kelahirannya. Sedangakan hal keadaan adalah seperti
keberadaan Umar yang berkuasa (menjadi presiden, misalnya), dan perihal
pengungkapan seperti penetapan bahwa umar bersifat kuasa. Pada akhirnya,
al-Sanusi menetapkan bahwa sifat wajib Allah Swt. berjumlah dua puluh.
Sementara menurut Abu Hasan Asy’ari,
sifat yang berhubungan dengan sifat keadaan ditiadakan karena dianggap sesuatu
yang irasional. Mayoritas teolog yang selaras dengan pemikiran Asy’ári,
akhirnya tidak mengaitkan sifat yang berhubungan dengan keadaan, dan menyatakan
sifat wajib Allah Swt. hanya dua belas. Sifat Ma’nawiyat (baca: kaunuhu
bashiran dan lain-lain) digugurkan. Mereka tidak setuju bila Allah
Swt. disifati dengan sifat keberadaan-Nya berkuasa. Bahkan menurut al-Asy’ari,
yang gugur bukan hanya sifatma’nawiyah, tapi juga sifat wujud (nafsiyah).
Karena sifat wujud tidak lain hanyalah Entitas Zat (’ain al-dzat) itu
sendiri, bukan sesuatu yang lain. Sebab jika dikatakan Wujud Allah Swt. berarti
yang dimaksud adalah bentuk Zat-Nya, bukan sifat-Nya.19
Perbedaan ini dikomentari oleh
Muhamad Fadhali. Menurutnya, bagi tingkat awam cukup dikatakan bahwa sifat
keberadaan itu merupakan akar dari sifat-sifat ma’ani.20 Meskipun secara eksplisit,
komentar itu tidak memberi corak pemikiran lain atau pemihakan, tapi komentar
tersebut sangat signifikan, mengingat kebutuhan teori akidah (sifat) kaum awam
adalah akidah instan, yakni teori akidah yang gampang diterima secara langsung
dan tidak membutuhkan pemikiran terlalu dalam.
Berbeda dengan Muhamad Amin. Ia
berasumsi bahwa sifat ma’nawiyah tidak lebih dari sekedar cara
jitu untuk menyifati Allah Swt. -memudahkan pemahaman- dengan sifat-sifat ma’ani.
Sehingga wajar bila para teolog (mutakallim) yang berasumsi demikian
menyatakan bahwa sifat ma’nawiyat merupakan mediasi (washithah tsubutiyyah [sarana
pendukung pasti]), bukan justru menafikan maupun menetapkan sifat-sifat Allah
Swt yang hakiki.21 Pandangan semacam itu, menurut
Muhammad Amin, hanya dibuat-buat dan merekayasa akidah dari sebagian kalangan
mutakallimin saja. Sebab, demikian kilah Amin, akal sehat tentunya tidak perlu
perantara dalam menetapkan sesuatu dan menafikannya. Dapat dipastikan bahwa
setiap suatu yang tidak ada sudah tentu tetap berada dalam ketiadaan, dan suatu
yang ada sudah pasti tergolong sebagai realitas yang wujud. Dan perlu dicatat,
tambah Amin, tidak ada istilah perantara dalam menetapkan dan menafikan
sesuatu.22
Dari sini dapat disimpulkan bahwa
perbedaan para mutakallim di muka dapat dikerucutkan dalam dua kelompok
berikut:
1) Ulama yang menilai bahwa sifat ma’nawiyat termasuk
sifat hakiki. Menurut pendapat ini, sifat juga ada yang diperuntukkan
(berhubungan) bagi perihal keberadaan (ahwal), yaitu sebuah sifat yang
menetapkan wujud-Nya (keberadaan Allah Swt. bersifat qudrah,
misalnya), bukan untuk menafikan atau mewujudkan sifat pada Zat-Nya. Dari
latarbelakang pemikiran seperti ini, sifat ma’nawiyat dinilai
termasuk sifat yang ada dan atau dimiliki oleh Zat Allah;
2) Ulama yang berpandangan bahwa hal
keberadaan bukanlah sifat, dan tidak setuju bila ada semacam perantara dalam
menetapkan ketiadaan atau wujud suatu sifat. Pendapat ini menganggap cukup pada
sifat ma’ani sebagai dasar pijakan mengetahui sifat-sifat
Allah Swt. Adapunma’nawiyat sebenarnya hanya sekedar piranti
penunjang untuk menetapkan sifat ma’ani pada Zat. Jika sekedar
piranti penunjang, menurut ulama ini, tidak bisa dikatakan sebuah sifat, karena
sebuah sifat adalah sifat itu sendiri. Lagi pula, realitas-faktualnya
menunjukkan bahwa ma’nawiyat tidak terdapat dalam gambaran
akal pikiran manusia.23
Jika diteliti lebih dalam, argumen
kedua pendapat di atas lebih didasari oleh pebedaan dalam mendefinisikan makna
sifat itu sendiri. Bagi ulama yang mengartikan sifat adalah sesuatu selain Zat,
maka akan mengartikannya sebagai seluruh jenis sifat, baik salbiyat,
nafsiyat, ma’ani, atau ma’nawiyat. Sedangkan ulama yang
mengartikan sifat sebagai unsur yang nyata ada dan menjadi tambahan (fakta
eksternal) di luar Zat, tentu akan mengatakan bahwa sifat hanya ”terdapat”
dalam sifat ma’ani.24
Benarkah Sifat Allah Terbatas dalam Akidah Lima Puluh
Lepas dari kontroversi hitungan
sifat-sifat Allah Swt. di atas, yang pasti kalau sifat Allah Swt. bisa
diketahui manusia dalam jumlah terbatas, ini akan menimbulkan pertanyaan: Apakah
hanya sebatas itu sifat-sifat Allah? Kalau terbatas itu, apa bedanya dengan
sifat-sifat makhluk yang serba terbatas?
Sebelum pertanyaan ini dijawab,
perlu diketahui bahwa akidah Ahlussunah wal-Jamaah dalam menetapkan sifat-sifat
Allah Swt. berdasarkan al-Quran maupun hadits Nabi Saw. sama sekali tidak
mengalami perubahan, pergeseran, penambahan, pengurangan, penafian, atau bahkan
penginkaran, baik karena faktor keterasingan dalam pikiran atau karena dinilai
berada di luar batas nalar. Posisi akal dalam pandangan Ahlussunah wal-Jamaah
hanya menjadi alat bantu dalam memahami sifat-sifat Allah Swt., baik merujuk
fiman-Nya, catatan hadits, dan menjadi referensi hukum-hukum Allah Swt. Sama
sekali akal tidak memiliki otoritas dalam membentuk syariat, menolak, atau
bahkan menghapus ketentuan hukum yang berdasarkan syariat.25
Sifat-sifat wajib Allah Swt., jika
dirujuk dalam hadits-hadits Nabi Saw., sebenarnya tidak terbatas pada hitungan 20. Bahkan Nabi Saw. penah menyatakan bahwa Allah Swt.
memiliki sifat paripurna yang tidak terhingga (tidak terhitung jumlahnya).
Jadi, apabila Allah Swt. itu bersifat sempurna dan paripurna, tentunya
sifat-sifat pada Zat-Nya pun tidak terhingga pula; tidak sebatas pada dua puluh
sifat. Justru akan sangat naif bila Tuhan bersifat terbatas dalam gambaran
manusia. Karenanya, sifat-sifat Allah Swt. hakikatnya tidak dapat tertuang
hanya dalam dua puluh sifat. Kalaupun para teolog menjelaskan bahwa sifat wajib
Allah Swt. hanya berjumlah dua puluh -lepas dari kontroversi ulama- bukan
berarti membatasi sifat sifat wajib-Nya. Akan tetapi lebih didasari asumsi bahwa,
dalam ranah teologi, ketika nalar tidak dapat menjangkau, sementara wahyu tidak
menerangkan, maka tidak ada tuntutan bagi manusia untuk memahami atau
membahasnya. Ini merupakan keputusan Allah Swt. yang selalu disesuaikan dengan
kadar kemampuan nalar manusia. Bahkan bila direnungi, kemampuan manusia
mengetahu ke 20 sifat-Nya sudah merupakan fadhlullah (anugerah
dari Allah) yang luar biasa.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa,
manusia hanya diwajibkan mengetahui apa yang dapat dijangkau oleh pikirannya.
Sudah jelas bahwa semua sifat Allah Swt. tidak dapat dicapai oleh
manusia, mengingat kodrat manusia yang terbatas dan berhingga. Karena itu,
melalui panduan wahyu, manusia diberi pengetahuan mengenai sifat-sifat-Nya
sebatas pada sifat-sifat yang memang mampu dinalar oleh keterbatasan akal
manusiawi. Kebetulan, sifat-sifat wajib yang dalam wahyu Allah Swt. dan hadits
Nabi Saw. hanya diberitahukan sebanyak 20 sifat. Dengan demikian, ke 20 sifat
yang mampu diketahui manusia inilah yang wajib ia ketahui dan ia yakini
kebenaran dan keberadaannya. Namun manusia jangan beranggapan bahwa hanya
sebatas itulah sifat-sifat yang dimiliki Allah Swt. Sifat Allah Swt. Maha Tak
Terhingga, Maha Sempurna, dan Maha Paripurna untuk dapat dijangkau oleh pikiran
manusia.26
Koherensi Sifat dan Asmaul Husna
Asmaul Husna adalah nama-nama baik
(indah) yang dimiliki Allah Swt. Jumlah nama-nama tersebut ada sembilan puluh
sembilan. Namun sebelumnya, perlu diingat kembali bahwa orientasi nama bukanlah
penamaan tersebut dan bukan pemilik nama. Dalam Asmaul Husna, yang dimaksud
ialah sesuatu yang melekat pada Zat Allah Swt., bukan Zat itu sendiri maupun
unsur lain di luar Zat-Nya.27 Sementara arti definitif sebuah
nama ialah bentuk kalimat yang berfungsi untuk menunjukkan obyek yang mempunyai
nama.
Dalam sebuah hadits, Nabi Muhamad
Swt. berpesan: ”Berperilakulah seperti perilaku (akhlaq) Allah”.28 Akhlak Allah Swt. tersebut
dapat ditemukan pada Asmaul Husna dan sifat-sifat Allah Swt. Maksud hadits
tersebut bukan bermakna kita dianjurkan meniru hakikat perilaku-perilaku Allah
Swt. secara sepadan tanpa cela, melainkan diselaraskan dengan kadar kemampuan
yang dapat dilakukan manusia. Umpama Allah Swt. memiliki Nama Maha Dermawan (al-jawwâd),
maka kita dianjurkan meniru aplikasi dari sifat itu, yakni berperilaku murah
hati terhadap orang lain, bukan berbuat murah seperti yang dilakukan Allah Swt.
Jika ditilik dari aspek
implikasinya, menurut al-Ghazali, konsepsi Asmaul Husna dipilah dalam sepuluh
kelompok:29
1) Nama yang menunjukkan Zat-Nya saja.
Misalkan kalimat ’Allah’. Penamaan tersebut tentu mengenalkan pada Zat yang
Niscaya Ada.
2) Nama yang disamping menunjukkan pada
Zat-Nya, juga mengandung nilai salbu: pemblejetan hal-hal yang
tidak layak ada pada Zat-Nya. Seperti al-Quddûs (Maha
Suci), al-Ghaniy (Maha Kaya), dan lain-lain.Al-Quddûs:
Maha Suci berarti Zat-Nya Suci tanpa dapat digambarkan oleh semua dugaan
(prasangka) manusia, dan berarti pula memustahilkan hal-hal yang menodai
Kesucian-Nya.
3) Nama yang kembali pada Zat-Nya
secara berhubungan. Seperti al-’Aliy, al-’Azhim, al-Awwal, al-Akhir,
dan lain-lain. Al-’Aliy dapat diartikan Maha Tinggi (Jawa:
luhur), di atas ketinggian derajat semua makhluk. Berhubungan yang dimaksud di
sini adalah terdapat unsur perbandingan dengan yang lain.
4) Nama yang kembali pada Zat-Nya
dengan menafikan dan berhubungan. Semisal al-Mâlik dan al-’Azîz.
Gambarannya, Allah Maha Penguasa yang tidak butuh pada siapa pun (menafikan),
akan tetapi dibutuhkan oleh siapa pun (berhubungan).
5) Nama yang kembali pada Zat beserta
sifat-sifat yang menetap. Misalkan al-Hayy, al-’Alîm, al-Qâdir,
al-Murîd, al-Samî’, al-Bashîr, dan Mutakallim. Kalau kita
katakan bahwa Allah Swt. Maha Mengetahui, ini berarti menunjukkan pada Zat-Nya
yang bersifatan Mengetahui.
6) Nama yang kembali pada sifat Ilmu:
mengetahui serta berhubungan. Seperti al-Hakîm, al-Khabîr, al-Syahîd,
al-Muhshiy. Nama al-Hakîm (Pemberi Keputusan), menunjukkan
pada sifat Ilmu-Nya yang berhubungan dengan kemulyaan pengetahuan yang melebihi
pengetahuan makhluk.
7) Nama yang kembali pada sifat Qudrat serta
bertambah hubungannya. Semisal al-Qawiyy, al-Matîn, al-Qahhâr. Sifat Quwat pada
Allah ini memiliki unsur keunggulan; kekuatan tiada lawan.
8) Nama yang kembali pada sifat Irâdat beserta
tindakan dan berhubungan. Semisal al-Rahman, al-Rahîm, al-Raûf,
al-Wadûd. Contohnya, al-Rahman ini kembali pada
sifat irâdat-Nya yang behubungan dengan (tindakan) memberikan kebutuhan
terhadap kaum lemah.
9) Nama yang kembali pada Zat beserta
sifat sandaran. Seperti al-Khâliq, al-Bâri’, al-Wahhâb, al-Mushawwir,
al-Mughîs, dan lain-lain.
10) Nama yang kembali pada petunjuk
pekerjaan-Nya serta berhubungan. Semisal al-Majîd, al-Karîm,
dan al-Lathîf. Nama al-Lathîf menunjukkan pada
keluasan keagungan serta kemulyaan Zat-Nya.
Disamping Asmaul Husna menjadi
rujukan (kunci) kesempuraan dan kebahagian seorang, juga dapat menjamin masuk
surga. Bahkan dalam hadits Nabi Saw. dikatakan: ”Barangsiapa yang
berperilaku dengan salah satu akhlak Allah maka ia akan masuk surga”.
Inilah salah satu di antara keistimewaan Asmaul Husna, yang tidak dapat
disamakan dengan nama-nama manusia yang tidak mencerminkan makna sama sekali.
Kalau manusia, namanya Shalih (yang baik) tapi realitas perilakunya jelek, maka
antara nama dan maknanya saling berlawanan.
Yang perlu dicatat, nama-nama Allah
Swt. sama sekali bukanlah laqab (julukan, nama lain, alias).30Gambaranya ialah jika ada seorang
manusia yang pandai itu disebut ’al-’Alîm’,
padahal nama aslinya Badrun, maka penamaan Allah Swt. tidak seperti itu. Allah
Swt. memiliki nama bukan karena unsur sifat-Nya yang kemudian disematkan (laqab)
kepada Zat-Nya, melainkan karena sifat-sifat itu memang menetap tak terpisahkan
dari Zat-Nya.
Kesimpulannya, Asmaul Husna menurut
Syeh Abi Qasim al-Karkani, termasuk sifat-sifat Allah Swt. yang tidak akan
berubah menjadi sifat manusiawi. Akan tetapi, mengandung pengertian bahwa Allah
Swt bisa memberi hasil yang dinisbatkan pada sifat-sifat tersebut. Diumpamakan
seperti seorang santri yang mendapatkan ilmu gurunya, akan tetapi gurunya tidak
mendapatkan ilmunya dari si santri.31 Nah, melaui Asma’ al-Husna,
Allah Swt. dapat memberi manfaat kepada manusia, tapi Allah Swt. sendiri tidak
mengambil manfaat dari apa yang dilakukan oleh manusia. Wallahu ’Alam []
1 Mengenal Tuhan adalah
mengetahui sesuatu yang tidak seperti dalam gambaran hati kita. Gambaran
imajinatif itu bukan Tuhan. Karena apa yang ditemukan dalam gambaran kita tidak
lain hanyalah sesuatu yang berbentuk dan bertempat.
3 Muhamad bin Ibrahim ibn
Sa’dulLah ibn Jamaah (w. 727),ed. Wahbi Sulaiman Ghawiji al-Al-bani, Idhah
al-Dalil fi Qath’ihijaj Ahl al-Ta’thil, Dar al-Salam, vol. I, h. 21.
5 Dalam perkembangan ilmu
modern, banyak di antara ilmuan besar dan berpengaruh, seperti Laplace,
Darwin, dan Freud, dengan pengetahuan mereka yang mendalam tentang fenomena
alam, justru menolak keberadaan Tuhan. Ini sangat bertentangan dengan konsep
bahwa dengan penemuan-penemuan ilmiyah (kosmologis) akan memperkuat keyakinan
akan keberadaan dan kebijaksanaan Tuhan. Lalu yang menjadi pertanyaan; apa yang
terjadi dengan tokoh-tokoh ilmu pengetahuan modern itu sehingga menjadi ateis?.
Jawabnya ialah karena kerangka kerja ilmiah yang mereka gunakan ternyata,
seperti dinyatakan Holmes Rolston III, telah mengalami ’sekularisasi’ yang
secara programatik dilakukan oleh para ilmuan modern. Jadi, penyebabnya ialah
unsur sekular yang telah merasuk dan mewarnai metode ilmiah modern, yang telah
berhenti bicara tentang makna dan hanya terfokus pada fakta. Unsur sekular
dalam metode ilmiah ini, misalnya bisa kita rasakan dalam pernyataan astronom
Prancis, Pierre Simon De Laplace, ’I mistrust anything but the direct result
of observation and calculation’ (saya mencurigai atau tidak percaya apa pun
[sebagai sumber ilmu] kecuali hasil langsung obserasi dan kalkulasi). Dengan
demikian, jelaslah keberpihakan ilmuan Barat pada alam pemikiran materialistik,
dan menolak pembicaraan tentang hal-hal yang bersifat metafisis atau spiritual.
Alam pun mulai dijauhkan dari Tuhan, dan dipandang semakin otonom, bahkan
akhirnya diyakini sebagai self generating (tercipta dengan sendirinya). Baca:
Dr. Mulyadi Kartanegara, Menembus Batas Waktu; Fanorama Filsafat Islam,
Mizan, h. 89.
6 Muhamad bin Ibrahim ibn
Sa’dulLah ibn Jamaah (w. 727),ed. Wahbi Sulaiman Ghawiji al-Al-bani, Idhah
al-Dalil fi Qath’ihijaj Ahl al-Ta’thil, Dar al-Salam, vol. I, h. 21.
7 Abu Hamid Muhamad ibn Muhamad
al-Ghazali, Raudhat al-Thalibin wa ’Umdat al-Salikin
(Majmu’ Rasail Imam Ghazali), Dar al-Fikr, Beirut, h. 98.
8 Yang terjadi hanyalah hubungan
ketidakmampuan manusia bertalian dengan Pengetahuan Tuhan atas kehendak-Nya
tidak melestarikan. Konsepsi ini dapat membenarkan pen-taklif-an pada Abu Jahal
untuk memeluk Islam, meskipun hal itu tidak mungkin terjadi karena pengetahuan
Allah Swt. akan ketidak-islam-an Abu Jahal.
11 Atau dalam bahasa lain, bahwa
Allah Swt. itu sempurna dalam segi Zat, sifat dan pekerjaan-Nya (kamâl
al-dzat wa al-shifat wa al-af’al).
12 Muhamad
al-Amin al-Syaqanthi (w. 1393), Manhaj wa Dirasah li ayat al-Asma wa
al-Shifah, Dar al-Salafiyah, Kuwait, vol. I, h. 10.
13 1) Sifat Wajib,
adalah sebuah sifat yang tidak mungkin ketiadaannya menurut pandangan akal.
Dalam arti akal tidak dapat membayangkan ketiadaan sifat tersebut. Seperti
sifat butuh ruangan bagi benda materi (jirm). Mengandaikan ada pandangan
bahwa pohon tidak menempati ruangan di atas bumi, ini akal tidak menjangkaunya,
tidak menerimanya; 2) Sifat Muhal, ialah sifat yang menurut
pandangan akal tidak dapat menemukan keberadaanya. Diibaratkan sifat itu
bagaikan benda yang tidak tertampung oleh akal. Contoh, si Umar
adalah manusia yang tidak bergerak dan tidak terdiam. Realitas seperti ini
tidak dapat diterima akal dan tidak mungkin ditemukan; 3) Sifat
jawaz, disebut juga sifat mumkin (logis). Yaitu sebuah
bentuk sifat yang menurut akal bisa terjadi dan juga bisa tidak. Seumpama
perkataan, Badrun memiliki anak. Akal menerimanya. Hal ini mungkin-mungkin
saja, karena Badrun punya pasangan istri. Dan pernyataan bahwa Badrun tidak
memiliki anak. Ini juga mungkin, karena manusia hanya berusaha men-produk,
sementara pemilik produks adalah Tuhan. Tengok sendiri : Syeh
Muhamad al-Fadhali,Kifayah al-’Awam, Mutiara Ilmu, Surabaya, h.
23.
14 Salbiyah ialah
jenis sifat untuk memahami akan ketiadaan segala sesuatu yang tidak
layak bagi Allah Swt. Ma’ani, ialah bentuk sifat yang berada
di luar zat Dalam arti, kemungkinan bisa terlihat seandainya faktor hijab (satir;
tirai penghalang)-nya telah tersingkap. Ma’nawiyah, yaitu
sifat yang menetap pada zat, dan tidak akan sampai keluar mewujud dari balik
persembunyian (wujud zat). Sehingga, sifat-sifat ini tidak diharapkan
penampakannya. Nafsiyah, yang hanya sifat
’wujud’, adalah jenis sifat untuk menetapkan eksistensi-Nya. Para teolog
berselisih pendapat mengenainya; apakah pantas (rasioanl) bahwa sisi keberadaan
menjadi sebuah bentuk sifat . Periksa: Syeh Muhamad ibn Ahmad ibn ’Arafah
al-Dusuqi al-Maliki (w. 1220 H), Loc. cit.
15 Menurut madzhab Asy’ariyah,
sifat wujud adalah entitas zat-Nya. Sama sekali tidak mengatakan wujud sebagai
unsur di luar zat. Dan zat bukanlah sifat. Tetapi, ketika mengucapkan wujud
dikategorikan sebagai sifat maka anggapan itu boleh-boleh saja dalam batasan
secara global. Penerapan pola pikir semacam ini hanya beralasan toleran (tasamuh).
Sementara menurut al-Razi, wujud termasuk unsur diluar zat. Makanya anggapan
wujud sebagai salah sifat sudah sangat tepat. Menurut para Filsup, wujud
adakalanya sebagai sifat dan adakalanya tidak. Wujud dikatakan sebagai sifat
bila dihubungkan dengan hal kebaruan (ciptaan), sementara wujud yang dikaitkan
dengan hal yang qadim (wujud Tuhan) maka yang dimaksud bukan
sifat tapi entitas zat-Nya. Telisik: Syeh Muhamad ibn Ahmad ibn ’Arafah
al-Dusuqi al-Maliki, Op. cit. h. 74-75.
16 Term sifat pada sesuatu
yang Muhal bagi Allah Swt. termasuk bentuk kata majaz
(metaforis), mengingat sifat ini sama sekali tidak ada. Semestinya sifat adalah
sesuatu yang menetap dalam diri yang tersifati. Sementara sifat muhal tidak ada
wujudnya. Namun, persepsi lain menyatakan sebuah sifat tidak pasti harus wujud
pada dzat. Digambarkan seperti seorang yang tersifati buta, meskipun kebutaan
tidak harus terwujud dalam diri orang tersebut. Layaknya sifat qidam (kekal)
pada Allah Swt.
19 Syeh Muhamad al-Fadhali, Loc.
cit. hlm. 62-63. Dalam buku ’Menembus Batas Waktu; Panorama Filsafat Islam,,
pengarangnya juga menkritik bahwa, kesalahan terbesar bukti ontologis adalah
membuat pengubahan jenis kata dari kata keadaan menjadi kata sifat dan akhirnya
menjadi benda abstrak yang dimutlakkan, yaitu ada alias wujud.
20 Nama-nama (sifat) Allah Swt.
seperti qadiran, murîdan, ’aliman dlsb.
itu menunjukkan pada sifat-Nya, karena seseorang yang mengatakan qadîran (penguasa)
tentu yang terbayang adalah entitas yang tersifati dengan sifat qudrah (kuasa).
Tapi lain dengan Asy’ari, justru berpersepsi bahwa yang ditunjukkan oleh
kata qadiran itu realitas sifatnya, bentuk sifat qudrah-nya.
Meskipun pendapat Asy’ari demikian, tidak mendorong mayoritas Asy’ariyah (pengikut
Asy’ari) mengikuti pendapatnya. Karena pendapat mashyur di kalangan Asy’ariyah menetapkan,
yang ditunjukkan oleh kata qadîran, misalnya, adalah entitas
zatnya. Akhirnya dapat disimpulkan menjadi tiga pendapat: 1) Kata yang
menunjukkan pada entitas dzat, tetapi dapat memberitahukan pada sifatnya,
seperti istilah qadîr; 2) yang hanya menunjukkan pada entitas dzat
semata, seperti lafal jalalah. Orang yang mengatakannya pasti yang
teringat adalah dzatiyyah Allah-nya; dan 3) kata yang dapat
menunjukkan pada bentuk sifatnya saja, seumpama qudrah, kata ini
akan mengajak imajinasi manusia pada sebuah bentuk sifat qudrah-nya.
Periksa: Syeh Ibrahim al-Baijuri, Syarh Kifayah al’Awam, Mutiara
Surabaya, h. 64.
21 Muhamad Amin al-Syanqhithi (W. 1393), (ed) ’Athiyyah Muhamad
Salim, Manhaj wa Dirasah li Ayat al-Asma’ wa al-Shifat, Dar
al-Salafiyyah, Kuwait, vol. I, h. 20.
27 Abu Hasan bin Isma’il
al-Asy’ari, ed. Hilmut Rabtar, Maqalat al-Islamiyin wa al-Ikhtilaf
al-Mushallin, Dar al-Ihya al-Turats al-’Arabi, Beirut, cet. Ketiga, vol. I,
h, 170.
28 Abu Hamid Muhamad bin Muhamad
al-Ghazali, ed. Bisam Abdul Wahab al-Jabi, al-Maqsid al-Asnâ fi Syarh
ma’aniLlah al-Husna, Al-Jaffan wa al-Jabi, cet. I, thn. 1987, vol. I, h.
150. Atau dalam hadits lain, riwayat al-Mundzir yang ditakhrij oleh Bukhari dan
Muslim bahwa: “Bagi orang mukmin tertentu memiliki akhlak dengan akhlak
Allah”. Menghubungkan sifat-sifat dan nama-nama Allah Swt. itu merupakan
tehnis mengikatkan perilaku manusia dengan akhlak Allah Swt. Baca: Muhamad
Syams al-Haq al-’Azhim Abadi Abu al-Thayb, ’Awn al-Ma’bud, Dar
al-Kutub al-’Ilmiyah, Beirut, cet. Kedua, 1415, vol. 5, h. 77.
29 Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad al-Ghazali, Rawdhat al-Thâlibin wa ’Umdat al-Sâlikîn,
Dar al-Fikr, Beirut, Libanon, h. 127-128
31 Abu Hamid Muhamad bin Muhamad
al-Ghazali, , al-Maqsid al-Asnâ fi Syarh ma’aniLlah al-Husna ,
Loc. cit.
(Dikutip dari Buku Akidah Kaum Sarungan PP. Lirboyo
Kediri Jawa Timur Indonesia)
0 komentar:
Posting Komentar