2. ORIENTALIS DAN KEBUDAYAAN ISLAM
Muhammad Husain Haekal
WASHINGTON IRVING sebagai penulis terkemuka telah menjadi
kebanggaan Amerika Serikat terhadap bangsa-bangsa lain dalam
abad ke-19. Dia telah menulis buku tentang sejarah hidup Nabi.
Dalam buku ini dibentangkannya sejarah Nabi itu dengan
kemampuan retorika yang cukup besar sehingga tidak sedikit
bagian-bagian yang dapat memikat hati pembacanya. Disamping
kemampuannya itu kadang terlihat juga kejujurannya, tapi
kadang tampak pula tidak toleran dan penuh prasangka. Buku ini
disudahi dengan sebuah penutup yang menjelaskan pokok-pokok
ajaran rukun Islam, serta apa yang dikiranya sumber-sumber
yang berdasarkan sejarah yang telah dijadikan landasan ajaran
itu, didahului dengan soal keimanan kepada Tuhan, kepada para
malaikat, kitab-kitab, para rasul dan hari kemudian. Kemudian
katanya:
"Rukun keenam dan terakhir daripada rukun akidah Islam (rukun
iman) ialah jabariah.1 Sebagian besar kemenangan Muhammad
dalam perang didasarkan kepada ajaran ini. Segala peristiwa
yang terjadi dalam hidup sudah ditentukan lebih dulu oleh
takdir Tuhan, sudah tertulis dalam 'Papan Abadi'2 sebelum
Tuhan menciptakan alam ini, dan bahwa nasib dan ajal manusia
semua sudah ditentukan, sudah tak dapat dielakkan lagi. Dengan
cara apa pun menurut kemampuan usaha dan pikiran manusia,
sudah tak dapat dimajukan lagi. Dengan keyakinan ini kaum
Muslimin terjun ke medan perang tanpa merasa takut sama
sekali. Kalau mati dalam pertempuran demikian ini sama dengan
mati syahid yang akan langsung masuk surga, maka mereka yakin
salah satu ini pasti akan mereka capai -syahid atau menang.
"Ajaran yang menentukan, bahwa manusia tidak berdaya dengan
kemauannya yang bebas itu untuk menghindari dosa atau selamat
dari siksa, sebagian kaum Muslimin menganggapnya bertentangan
dengan keadilan dan rahmat Tuhan. Beberapa golongan timbul.
Mereka berusaha dan terus berusaha hendak meringankan dan
memberi penjelasan mengenai ajaran yang membingungkan ini.
Tetapi jumlah yang masih sangsi tidak banyak. Mereka ini tidak
termasuk golongan Sunnah (orthodoks).
"Muhammad mendapat inspirasi tentang ajaran ini tepat pada
waktunya. Memang ini ilham yang luar biasa terjadi pada waktu
yang tepat sekali. Kejadian ini persis sesudah Perang Uhud
yang malang itu, yang tidak sedikit makan korban
sahabat-sahabatnya, termasuk Hamzah pamannya. Ketika itulah,
tatkala kesedihan dan kegelisahan sedang mencekam hati
sahabat-sahabat yang mengelilinginya, peraturan ini
dikeluarkan -- bahwa manusia tak dapat mengelak dari kematian,
bila ajal sudahm tiba, sama saja di tempat tidur atau di medan
perang ...
"Kiranya orang takkan dapat melukiskan suatu ajaran yang lebih
tepat dari ini untuk mendorong sekelompok tentara yang bodoh
tidak berpengalaman itu menyerbu secara buas ke medan perang.
Mereka sudah diyakinkan, kalau hidup mendapat rampasan perang,
kalau mati mendapat surga! Karena ajaran ini juga tentara
Muslimin sudah hampir tak dapat dikalahkan lagi. Akan tetapi
ini juga yang mengandung racun yang akan menghancurkan
kekuasaan Islam itu. Begitu pengganti-pengganti Nabi itu
berhenti sebagai penakluk, begitu mereka menyarungkan kembali
pedangnya untuk selama-lamanya, ajaran jabariah ini pun mulai
pula mengerumit (menggerogoti) untuk merusak. Urat-saraf
Muslimin sudah peka terhadap perdamaian, juga sudah peka
terhadap kekayaan materi yang dibolehkan oleh Qur'an, dan yang
merupakan pemisahan yang tajam antara prinsip-prinsip ini
dengan agama Kristen, agama suci dan kasih sayang. Seorang
Muslim yang ditimpa kemalangan menganggapnya sebagai nasib
yang sudah ditakdirkan Tuhan dan tak dapat dihindarkan, jadi
harus tunduk dan menerima, selama segala daya upaya dan
pikiran manusia memang tidak berguna.
"Rumus yang berbunyi: "Tolonglah dirimu, Tuhan akan
menolongmu" dipandang oleh pengikut-pengikut Muhammad tak
dapat dilaksanakan, bahkan sebaliknya yang mereka ambil. Dari
sanalah salib berhasil mengikis bulan sabit. Adanya bulan
sabit ini sampai sekarang di Eropa - yang pada suatu waktu
pernah mencapai kekuatan yang luar biasa hanyalah karena
perbuatan negara-negara Kristen yang besar-besar; atau lebih
tepat lagi: karena persaingan mereka sendiri. Bertahannya
bulan sabit itu barangkali untuk menjadi bukti yang baru,
bahwa: "barang siapa menggunakan pedang akan binasa oleh
pedang."
Demikianlah kata-kata Washington Irving, orang yang dengan
studinya itu belum memungkinkan ia dapat menangkap jiwa Islam
dan dasar kebudayaannya. Salah sekali pendapatnya dalam
mengartikan soal al-qadza wal-qadar (kadar atau takdir) serta
soal ajal itu. Barangkali dia masih dapat dimaafkan mengingat
beberapa buku Islam yang dijadikan bahan bacaannya membuat dia
berpendirian demikian itu. Tetapi sebaliknya Qur'an, tidak
dapat diukur dengan kalimat "Tolonglah dirimu, Tuhan akan
menolongmu" dari segi kuatnya dorongan Qur'an supaya orang
percaya kepada diri sendiri, dan bahwa manusia mendapat
imbalan sesuai dengan perbuatan serta niat yang melahirkan
perbuatan itu.
"Katakan: 'Wahai umat manusia! Kebenaran dari Tuhan sudah
datang. Barang siapa menurut jalan yang benar, maka kebenaran
itu buat kebaikan dirinya, dan barang siapa menjadi sesat, dia
sesat karena dirinya juga'." (Qur'an, 10: 108.)
"Barang siapa menurut jalan yang benar, maka kebenaran itu
buat kebaikan dirinya; dan barang siapa menjadi sesat, dia
sesat karena dirinya juga. Seseorang tidak dapat memikulkan
beban orang lain, dan Kami tiada akan menjatuhkan siksaan
sebelum Kami mengutus seorang rasul." (Qur'an, 17: 15).
"Barang siapa menghendaki keuntungan akhirat akan Kami
tambahkan keuntungan itu, dan barangsiapa menghendaki
keuntungan dunia akan Kami berikan juga. Tetapi di akhirat ia
tidak mendapat bagian." (Qur'an, 42: 20)
"Tuhan tidak akan mengubah nasib sesuatu golongan kalau mereka
tidak mengubah nasib mereka sendiri." (Qur'an, 13: 11.)
Dan contoh serupa ini banyak sekali dalam Qur'an. Jelas sekali
ia menunjukkan bahwa manusia mendapat pahala atau mendapat
siksa sumbernya pada kehendak dan perbuatannya sendiri. Tuhan
mendorong manusia berusaha dan mencari rejeki untuk makannya
di muka bumi ini. Mereka disuruh berjuang di jalan Allah
dengan ayat-ayat yang cukup jelas dan kuat seperti yang sudah
kita baca sebagian dalam buku ini. Ini sama sekali tidak
sesuai dengan apa yang dikatakan Irving dan beberapa penulis
Barat, bahwa Islam agama tawakal, serba tak acuh dan pasrah,
mengajar pemeluknya bahwa mereka tidak berkuasa atas diri
mereka sendiri untuk mendatangkan kebaikan atau keburukan,
jadi tak ada gunanya mereka berusaha dan berkehendak, sebab
usaha dan kehendaknya tergantung kepada takdir Tuhan. Kalau
kita berusaha dan ditakdirkan takkan memberi hasil atas usaha
kita, tidak akan berhasil juga. Sebaliknya kalaupun kita tidak
berusaha tapi sudah ditakdirkar; kita akan menjadi orang kaya,
orang kuat atau menjadi orang beriman, kita pun akan jadi
demikian tanpa ada usaha atau kerja. Ayat-ayat yang sudah kita
kemukakan itu menolak dan bertentangan sekali dengan pendapat
ini.
Mereka-yang menghubungkan sikap tawakal kaum Muslimin pada
masa-masa belakangan ini berpegang pada ayat terakhir, seperti
firman Tuhan ini:
"Nyawa yang harus menemui kematiannya, hanyalah dengan ijin
Tuhan, sebab waktunya sudah ditentukan." (Qur'an, 3: 145).
"Setiap umat sudah mempunyai waktunya tertentu. Apabila sudah
tiba waktunya, mereka takkan dapat mengundurkan atau
memajukannya barang sedikit pun juga." (Qur'an, 7: 34).
"Setiap peristiwa yang terjadi di bumi dan pada dirimu sendiri
sudah ditentukan terlebih dulu sebelum Kami menciptakannya.
Buat Tuhan hal semacam ini mudah sekali." (Qur'an, 57: 22).
"Katakan: Takkan ada yang menimpa kita, kalau tidak sudah
ditentukan Tuhan kepada kita. Dialah Pelindung kita, dan
orang-orang yang beriman kepadaNya-lah mempercayakan diri."
(Qur'an, 9: 51)
Kalau pun itu yang menjadi pegangan mereka, sebenarnya mereka
tidak dapat menangkap arti ayat-ayat itu dan yang semacamnya
serta hubungan erat yang digambarkan antara hamba dengan
Tuhannya. Mereka sudah terdorong dengan dugaan bahwa Islam
mengajarkan orang pasrah; padahal yang sebenarnya Islam
menyuruh orang berjuang dan bersedia mati sebagai pahlawan,
mempertahankan harga diri dan kehormatannya, dengan
kebudayaannya yang dibangun atas dasar persaudaraan dan
kasih-sayang.
Sebenarnya ayat-ayat itu dan yang sejalan dengan itu telah
melukiskan suatu kenyataan ilmiah yang telah diakui pula oleh
sebagian besar filsuf-filsuf dan sarjana-sarjana Barat dengan
diberi nama mazhab jabariah (fatalisma) juga dan menghubungkan
pengertian jabr (nasib) ini kepada hukum alam dan sejumlah
kehidupan biologis yang ada, sebaliknya daripada akan
menghubungkannya kepada kehendak dan kekuasaan Allah. Mazhab
yang sudah diakui oleh sebagian besar filsuf-filsuf Barat ini
tidak lebih puas, tidak lebih toleran, juga tidak lebih sesuai
untuk umat manusia daripada mazhab filsafat yang disarikan
dari Qur'an Suci itu, seperti yang akan kita lihat nanti.
Jabariah ilmiah (scientific determinism) ini berpendapat,
bahwa ikhtiar3 yang ada pada kita dalam kehidupan ini ialah
ikhtiar nisbi dengan nilai yang kecil sekali, sedang pendapat
tentang ikhtiar nisbi ini lebih banyak bergantung kepada
keperluan hidup sosial dari segi praktisnya daripada kepada
kenyataan ilmiah atau filsafat. Kalau mazhab ikhtiar ini tidak
dijadikan suatu keputusan, akan sulit juga masyarakat
menemukan suatu patokan sebagai dasar hukumnya dan
batas-batasnya, akan menyusun suatu pola kehidupan dan tingkah
laku setiap orang yang sudah ditentukan hukumannya itu, dengan
suatu hukuman pidana atau perdata.
Memang benar, bahwa di kalangan sarjana-sarjana dan ahli-ahli
hukum itu ada juga yang tidak mendasarkan patokan hukumannya
kepada pengertian jabr dan ikhtiar (nasib dan usaha, atau
sengaja dan tidak sengaja), melainkan kepada reaksi yang
terjadi yang sudah merupakan pegangan masyarakat yang hendak
menjaga eksistensi mereka, dan yang juga berlaku buat individu
yang hendak menjaga eksistensinya pula. Buat masyarakat yang
berpegang kepada reaksi ini sama saja, apakah individu itu
bertindak atas kemauan sendiri atau tidak atas kemauan
sendiri. Akan tetapi tindakan secara ikhtiar (dengan sadar)
ini pada sebagian besar ahli-ahli hukum tetap merupakan dasar
dalam menjatuhkan hukuman. Sebagai alasannya ialah orang yang
sudah kehilangan kebebasan atau kemauan, seperti orang gila,
anak kecil atau orang dungu, ia tidak dikenakan hukuman atas
perbuatannya seperti terhadap orang dewasa yang sudah dapat
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Kalau pertimbangan-pertimbangan praktis dalam yurispruden
perundang-undangan ini kita kesampingkan dan kita hanya mau
mencurahkannya kepada kenyataan ilmiah dan filsafat, maka kita
melihat jabariah inilah kenyataannya. Tak ada orang yang dapat
memilih pada zaman mana ia mau dilahirkan, pada bangsa apa,
pada lingkungan mana, juga ibu bapa yang siapa, dengan segala
kekayaan dan kemiskinannya, dengan segala kelebihan dan
kekurangannya. Juga bukan karena dia pria atau wanita, bukan
karena peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitarnya - dalam
banyak hal - yang akan menjadi faktor utama dalam membentuk
dan mengarahkan segala pekerjaan dan kehidupannya. Mengenai
mazhab ini Hippolyte Taine menyatakan: "Manusia itu produk
lingkungannya."
Tidak sedikit kalangan sarjana dan para filsuf yang mendukung
kenyataan ini, sampai-sampai mereka mengatakan bahwa kalau
dunia kita dapat mencapai pengetahuan mengenai segala hukum
dan rahasia hidup manusia ini seperti pengetahuan yang sudah
diketahuinya dalam hukum tata surya, tentu orang akan dapat
menentukan nasib setiap individu atau masyarakat dengan pasti
sekali, seperti yang dilakukan oleh ahli-ahli ilmu falak yang
secara pasti sudah dapat menentukan waktu-waktu akan
terjadinya gerhana matahari atau bulan. Namun begitu, tidak
ada orang baik di Barat atau di Timur - yang mengatakan bahwa
mazhab jabariah ini merintangi orang dalam usahanya mencapai
sukses dalam kehidupan, atau akan merintangi bangsa-bangsa
untuk terjun ke tempat yang paling baik, juga tak ada yang
mengatakan bahwa bangsa-bangsa yang menganut mazhab ini akan
mengalami kemunduran. Sungguh pun begitu namun mazhab
fatalisma di Barat tidak memberikan dorongan kepada orang
supaya berusaha dan bekerja seperti yang terdapat dalam
ayat-ayat Qur'an tentang tanggung awab manusia terhadap
pekerjaannya.
"Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang diusahakannya.
Dan hasil usahanya itu akan terlihat juga." (Qur'an 53: 39 -
40)
Bukankah satu ini saja sudah cukup tepat sebagai argumen
terhadap prasangka pihak Orientalis yang menduga bahwa
jabariah Islam itu membawa bangsa-bangsa yang menganutnya
menjadi mundur?
Bahkan jabariah Islam ini lebih besar memberi dorongan orang
berusaha untuk kebaikan dan untuk mendapatkan hasil rejekinya
dari pada fatalisma di Barat. Kedua mazhab ini memang sudah
bertemu bahwa dalam alam ini sudah ada hukum-hukum yang tak
dapat diubah atau diganti, dan semua yang ada dalam alam ini
tunduk kepada hukum-hukum tersebut. Juga manusia tunduk
seperti yang lain yang ada dalam alam ini. Tetapi fatalisma
ini menundukkan orang kepada lingkungannya dan cara yang
turun-temurun yang sudah tak dapat lagi dihindari dan membuat
iradat manusia harus tunduk kepada lingkungannya. Dalam hal
ini sudah tak ada jalan lagi ia dapat mengubah diri.
Sebaliknya Qur'an mengajak iradat setiap individu atas dasar
rasio menuju ke arah yang lebih baik, dan diingatkannya bahwa
bilamana hasil yang baik itu sudah ditentukan buat mereka,
maka itu adalah atas usaha mereka sendiri dan mereka tidak
akan mendapat hasil yang baik dengan seenaknya saja tanpa
usaha.
"Tuhan tidak akan mengubah nasib sesuatu golongan kalau mereka
tidak mengubah nasib mereka sendiri." (Qur'an, 13: 11)
Setelah Tuhan memberi petunjuk kepada umat manusia dengan
kitab-kitab suci mengenai apa yang harus mereka lakukan,
setelah kepada para nabi dan rasul dibukakan jalan yang benar
dan disuruh memikirkan dan merenungkan segala isi dan hukum
alam serta kekuasaan Tuhan, maka dengan kemampuan mereka
sendiri, mereka akan memikirkan dan merenungkan semua itu.
Orang yang sudah beriman akan hal ini dan mengarahkan diri ke
arah itu, tentu ia akan memperoleh apa yang sudah ditentukan
Tuhan. Apabila sudah ditentukan dia akan mati membela
kebenaran atau kebaikan seperti diperintahkan Allah, tidak
perlu ia kuatir. Dia dan yang sebangsanya akan tetap hidup di
sisi Tuhan. Manalah anjuran yang lebih besar dari ini supaya
orang berinisiatif, berusaha dan berkemauan?! Dan dimana pula
tempatnya sikap serba tak acuh seperti diduga oleh Irving dan
Orientalis-orientalis lain itu?
Sikap serba tak acuh sama sekali bukan tawakal4 kepada Allah.
Dengan bertawakal kepada Allah tidak mungkin orang hanya akan
bertopang dagu berpeluk lutut dan meninggalkan segala yang
diperintahkan Tuhan. Bahkan sebaliknya, ia harus bekerja keras
untuk itu, seperti dalam firman Allah:
"Kalau engkau telah berketetapan hati, tawakallah kepada
Allah."
Jadi ketetapan hati dan iradat ini harus mendahului tawakal.
Kita sudah berketetapan hati, lalu kita bertawakal kepada
Allah, kita mencapai tujuan kita berkat itu juga. Apa yang
patut kita tuju hanya Dia semata, kita patut bersikap takut
hanya kepadaNya semata - kita akan mencapai semua hasil yang
baik itu berdasarkan undang-undang Tuhan dalam alam ini.
Undang-undang Tuhan takkan berubah dan tidak akan
berganti-ganti. Hasil yang baik ini yang harus menjadi tujuan
kita sampai usaha kita mencapai sukses, atau kita akan mati
karenanya. Hasil usaha baik yang kita capai adalah dari Tuhan.
Segala bencana yang menimpa kita karena perbuatan kita sendiri
dan karena kita menempuh jalan bukan ke jalan Allah. Jadi
segala kebaikan dari Tuhan dan segala kesesatan dan kejahatan
dari perbuatan setan.
Tentang kekuasaan Tuhan mengetahui segala yang terjadi dalam
alam sebelum Tuhan menciptakan alam, dan bahwa Tuhan Maha
Agung
"... tiada yang tersembunyi padaNya barang seberat atom pun di
langit dan di bumi, tiada yang lebih besar atau lebih kecil
dari itu, semua sudah dalam Kitab yang nyata," (Qur'an, 34:
3.)
berarti bahwa Tuhan telah menentukan beberapa hukum dalam alam
ini yang tak dapat diubah-ubah dan pengaruhnya harus lahir
pula dari sana.
Apabila sarjana-sarjana berpendapat seperti yang sudah kita
kemukakan tadi, bahwa bila ilmu yang positif dapat mengetahui
rahasia-rahasia dan undang-undang kehidupan manusia,
mengetahui apa yang sudah ditentukan setiap individu dan
masyarakat, seperti halnya dalam menentukan waktu-waktu akan
terjadinya gerhana matahari dan bulan, maka keimanan kepada
Allah tidak bisa lain berlaku juga keimanan kepada
kekuasaanNya yang mengetahui segalanya sebelum alam ini
diciptakan. Apabila seorang arsitek bangunan yang membuat
sebuah rencana rumah atau gedung serta menantikan
dilaksanakannya rencana itu, dapat mengetahui sampai berapa
lama kekuatan bangunan itu dan bagian-bagiannya yang mungkin
akan bertahan selama beberapa tahun lagi; demikian juga
sarjana-sarjana ekonomi berpendapat, bahwa hukum ekonomi pun
memberi kepastian kepada mereka untuk mengetahui adanya krisis
atau kemakmuran yang akan terjadi dalam kehidupan dunia
ekonomi, maka memperdebatkan ilmu Tuhan mengenai segala yang
kecil dan yang besar yang menjadi ciptaanNya dalam alam ini
sifatnya akan sangat merendahkan Tuhan, suatu hal yang tak
dapat diterima oleh akal sehat.
Ilmu ini tidak seharusnya akan menghentikan orang dari
memikirkan hari kemudian mereka serta berusaha sekuat tenaga
mengikuti jalan yang benar dan menghindarkan diri dari jalan
yang sesat. Ilmu Allah itu buat mereka masih gaib. Tetapi
akhirnya mereka akan sampai juga kepada kebenaran sekalipun
agak lambat. Tuhan telah menetapkan sifat kasih sayang itu
dalam DiriNya. Ia selalu menerima taubat hamba-Nya yang mau
bertaubat dan sudah banyak dosa yang diampuniNya. Selama
rahmat Tuhan itu meliputi segalanya, manusia tidak perlu
berputus asa akan memperoleh jalan yang benar, asal ia mau
merenungkan dan memikirkan alam semesta ini. Orang tidak perlu
berputus asa dari rahmat Tuhan kalau renungannya itu akhirnya
akan mengantarkannya ke jalan Allah. Manusia yang celaka ialah
yang tidak mengakui sifat manusianya, dan merasa dirinya sudah
terlampau besar untuk memikirkan dan merenungkan hal-hal yang
akan mengantarkan dirinya kepada petunjuk Tuhan. Mereka itulah
orang-orang yang hendak menentang Tuhan, bukan mengharapkan
beroleh rahmat Tuhan. Jantung mereka oleh Tuhan sudah ditutup,
mereka yang akan menjadi penghuni neraka, yang akan mendapat
tempat yang paling celaka.
Apakah Orientalis-orientalis itu sudah melihat arti jabariah
Islam yang begitu tinggi, begitu luas jangkauannya? Apakah
mereka melihat bahwa anggapan mereka itu memang sangat lemah,
yang menduga bahwa jabariah Islam itu menyuruh orang berpeluk
lutut tanpa usaha atau mau menerima hidup hina atau mau
menyerah begitu saja? Disamping semua itu ajaran ini selalu
memberikan harapan, bahwa pintu rahmat dan taubat selalu
terbuka bagi barangsiapa yang mau bertaubat. Apa yang mereka
duga bahwa ajaran ini menyuruh tiap Muslim menganggap setiap
keuntungan dan malapetaka yang menimpa dirinya sebagai takdir
yang sudah ditentukan Tuhan dan oleh karenanya ia harus diam
saja, menerima segala bencana dan kehinaan itu dengan sabar,
maka semua itu jauh dari kenyataan yang sebenarnya dari ajaran
jabariah ini, yang mengajar orang supaya selalu berjuang dan
berusaha untuk memperoleh kerelaan Allah, untuk selalu berhati
teguh sebelum tawakal kepada Allah. Apabila orang belum
berhasil mendapat sukses sekarang, hendaknya terus ia berusaha
kalau-kalau besok ia berhasil. Harapannya yang selalu pada
Tuhan agar langkahnya mendapat bimbingan ke arah yang benar,
agar mendapat pengampunan dari segala dosa, adalah pendorong
yang paling utama untuk berpikir dan berusaha terus-menerus
dalam mencapai tujuan menurut kehendak Allah. KepadaNya ia
menyembah dan kepadaNya pula ia meminta pertolongan. Tempat
orang mengharapkan petunjuk batin, dan ke sana pula segalanya
akan kembali.
Sungguh besar kekuatan yang dibangkitkan oleh ajaran yang
tinggi ini kedalam jiwa manusia! Sungguh luas jangkauan
harapan yang dibukakan itu. Kita terbimbing kepada kebaikan
selama apa yang kita kerjakan memang karena Allah. Kalau kita
sampai disesatkan oleh setan, taubat kita pun akan diterima
selama pikiran kita dapat mengalahkan nafsu kita dan membawa
kita kembali ke jalan yang lurus. Jalan lurus ini ialah
undang-undang Tuhan dalam ciptaanNya, undang-undang yang akan
menjadi penyuluh kita dengan segenap hati dan pikiran kita,
serta dengan permenungan kita akan segala yang diciptakan
Tuhan. Dan kita pun mulai berusaha mengenal semua rahasia alam
itu.
Akan tetapi, apabila sesudah itu masih ada orang yang sesat
dan mempersekutukan Tuhan, masih ada orang yang mau melakukan
kerusakan di muka bumi ini, masih ada yang mau menutup mata
dari segala arti persaudaraan, maka itu adalah contoh yang
diberikan Tuhan kepada manusia guna memperlihatkan kekuasaan
Tuhan sehingga yang demikian itu kelak menjadi suatu teladan
buat mereka. Inilah keadilan dan rahmat Tuhan kepada seluruh
umat manusia. Orang tidak akan mencegah atau membatasi
melakukan semua itu. Tetapi hukuman yang akan diterimanya
sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukannya.
Akan tetapi, buat apa manusia berpikir, buat apa bekerja,
kalau maut itu memang selalu mengintai mereka! Bila ajal sudah
sampai sesaat pun tak dapat diundurkan atau dimajukan. Buat
apa manusia berpikir dan buat apa pula bekerja kalau orang
yang bahagia sudah ditentukan lebih dulu akan jadi bahagia,
dan yang sengsara akan jadi sengsara?
Ini adalah pertanyaan ulangan sengaja jawabannya kita
kemukakan supaya dapat kita lihat masalah ketentuan ajal ini
dari segi lain: Apa yang sudah ditentukan Tuhan lebih dulu
ialah undang-undang alam sejak sebelum alam itu diciptakan dan
sebelum difirmankan kepadanya 'Jadilah'! maka ia pun jadi.'
Dalam melukiskan ini tak ada yang lebih tepat dari firman
Allah ini "Tuhan kamu telah menetapkan sifat kasih sayang itu
dalam DiriNya." Ini berarti bahwa kasih sayang itu sudah
menjadi sifat Tuhan dan menjadi salah satu undang-undangNya
dalam alam semesta. Tak ada suatu kewajiban yang diharuskan
terhadap DiriNya. Kewajiban memang tidak seharusnya ada atas
Yang Maha Kuasa. Dalam hal ini Allah berfirman:
"Kami tiada akan menjatuhkan siksaan sebelum Kami mengutus
seorang rasul."
Apabila ada suatu golongan yang sesat dan kepada mereka Tuhan
tidak mengutus seorang rasul, maka undang-undang Tuhan disini
berlaku - tiada seorang dari mereka akan dijatuhi siksaan.
Buat setiap orang yang beriman, tanda-tanda kebesaran Tuhan
dalam alam ini sudah wajar sekali, bahwa Tuhanlah yang
menciptakan alam. Apabila Tuhan sudah mengutus seorang rasul
kepada suatu golongan, kemudian berlaku hukum alam dan
kehendak Tuhan atas golongan itu, yaitu bahwa setelah diberi
petunjuk ada orang dari golongan tersebut yang masih tetap
mempertahankan kesesatannya, maka orang yang telah menganiaya
dirinya sendiri itu akan menjadi contoh buat orang lain.
Sungguh naive sekali untuk mengatakan bahwa orang yang telah
sesat ini diperlakukan tidak adil karena telah dijatuhi
hukuman atas kesesatannya, padahal kesesatan demikian memang
sudah termaktub lebih dulu (ditentukan) terhadap dirinya. Kita
mengatakan naive untuk tidak mengatakan merendahkan Tuhan,
sebab jalan pikiran yang paling tepat akan mengatakan kepada
kita, bahwa barangsiapa yang sesat, ia telah menganiaya
dirinya, bukan Tuhan yang menganiayanya.
Untuk menjelaskan ini cukup kiranya kita mengambil contoh
seorang ayah yang penuh kasih sayang mendekatkan api kepada
anaknya yang masih bayi. Kalau sianak memegangnya,
dijauhkannya api itu seraya memberi isyarat, bahwa api itu
panas. Kemudian secara berulang-ulang api itu didekatkannya
lagi kepada sibayi, tidak apa juga kalau jari bayi itu sampai
terbakar sedikit supaya dialami sendiri dalam kenyataan apa
yang sudah diperingatkan kepadanya itu dan supaya selalu
diingat selama hidupnya. Tetapi bilamana sesudah dewasa ia
masih mau memegang api atau menceburkan diri ke dalam api,
maka apa yang sudah menimpanya itulah ganjarannya, dan jangan
ayahnya yang disalahkan, jangan ada yang minta supaya sang
ayah mengalanginya dari perbuatan itu. Begitu juga misalnya
seorang ayah yang sudah memberi petunjuk tentang bahaya judi
atau minuman keras kepada anaknya. Maka bilamana sianak itu
kelak sudah dewasa dan dia melanggar juga apa yang sudah
dilarang oleh ayahnya lalu karenanya ia mendapat bencana, maka
bukanlah sang ayah yang kejam menganiayanya, sekalipun ia akan
mampu mencegah dari berbuat demikian. Sang ayah sama sekali
bukan kejam kalau membiarkan sianak sampai melanggar apa yang
sudah menjadi larangan, dan ini merupakan contoh buat keluarga
dan saudara-saudaranya yang lain. Begitu juga keluarga dan
saudara-saudara yang sampai ratusan atau ribuan jumlahnya
dalam sebuah kota yang memang banyak godaannya karena pengaruh
keadaan. Sudah cukup baik dan adil sekali kiranya kalau
konsekwensi yang tak dapat dihindarkan menimpa mereka sebagai
ganjaran terhadap perbuatan mereka sendiri. Itu akan dapat
memperbaiki keadaan anggota masyarakat yang lain, meskipun apa
yang telah menimpa anak-anak negeri yang aniaya itu sangat
disesalkan. Inilah contoh keadilan yang paling sederhana dan
berimbang sehubungan dengan masyarakat manusia kita ini,
seperti yang sudah kita lukiskan tadi. Apalagi bila kita
membayangkan dan membandingkan dengan alam semesta, dengan
makhluk-makhluk yang berjuta-juta banyaknya dalam luasan ruang
dan waktu yang tak terbatas! Apa yang sudah menimpa individu
dan masyarakat - karena perbuatannya sendiri - dalam bentuk
yang sudah tidak mampu lagi khayal kita membayangkannya, semua
itu baru merupakan contoh keadilan atau keseimbangan dalam
bentuknya yang sangat sederhana.
Kalau adanya kekejaman itu kita alamatkan kepada sang ayah,
karena dia membiarkan anaknya yang sesat itu harus menerima
ganjaran kesesatannya, pada hal kesesatan itu memang sudah
termaktub atas dirinya, maka juga beralasan sekali kekejaman
demikian itu kita alamatkan kepada diri kita sebab kita telah
membunuh seekor kutu yang sangat mengganggu, dikuatirkan akan
membawa penularan kepada kita, yang ada kalanya akan
menimbulkan bencana kepada masyarakat kalau ini sampai menular
kepada orang lain. Atau karena kita membuang batu dari dalam
kandung empedu atau ginjal kita sebab takut mengakibatkan rasa
sakit atau penderitaan, atau kita memotong salah satu bagian
anggota tubuh kita karena dikuatirkan bagian yang rusak itu
akan menjalar ke seluruh badan dan akibatnya akan fatal
sekali. Kalau semua itu tidak kita lakukan, karena memang
sudah termaktub atas diri kita, kemudian kita menderita atau
sampai mati karenanya, maka yang harus disalahkan akibat
bencana itu hanyalah diri kita sendiri, sebab Tuhan sudah
membukakan pintu penderitaan buat kita, sama halnya dengan
pintu taubat yang terbuka buat orang yang berdosa. Hanya
orang-orang bodoh sajalah yang rela menerima penderitaan
demikian itu dengan anggapan bahwa itu memang sudah termaktub
atas dirinya. Ini karena kedunguan dan ketololan mereka saja.
Sementara kita melihat kutu yang dibunuh, batu yang dibuang
dan dicabutnya anggota tubuh yang sakit sungguh adil sekali -
meskipun dalam hukum alam sudah termaktub, bahwa kutu akan
mengganggu dan akan membawa penularan penyakit kepada manusia,
batu dan anggota tubuh yang sakit akan mendesak bagian tubuh
yang lain sehingga dapat membinasakan - dengan melihat semua
ini bagaimana kita tidak akan menganggapnya suatu kebodohan
yang naive sekali, yang tak dapat diterima akal selain pikiran
egoistis yang sempit, yang melihat keadilan itu hanya dari
segi kita yang subyektif saja, dan tidak menghubungkannya
kepada seluruh masyarakat insani, atau lebih dari itu,
menghubungkannya kepada alam semesta?!
Apa artinya kutu, batu dan manusia dibandingkan dengan alam
ini? Bahkan apa artinya seluruh umat manusia dibandingkan
dengan alam? Dengan khayal kita yang sempit, kita berusaha
hendak membayangkan batas-batas alam yang luas, dengan ruang
dan waktu, dengan awal dan akhir, dan dengan segala kata-kata
yang semacam itu. Sudah tak ada jalan lain lagi buat kita akan
dapat membayangkan bentuk alam ini selain itu, karena memang
sangat terbatas sekali, sesuai dengan pengetahuan yang ada
pada kita, yang juga terbatas, dan masih sedikit sekali. Dan
yang sedikit ini sudah cukup memperlihatkan kepada kita bahwa
undang-undang Tuhan dalam alam ialah undang-undang yang
teratur dan seimbang, yang tak berubah-ubah dan
bertukar-tukar. Kita sampai mengetahui undang-undang ini
karena Tuhan menganugerahkan kepada kita pendengaran,
penglihatan dan jantung, supaya kita melihat segala keindahan
ciptaanNya ini, dapat memahami alam sesuai dengan
undang-undangNya itu. Maka kita pun mengagungkan kemuliaan
Tuhan, kita berbuat baik menurut yang diperintahkanNya. Dan
berbuat baik atas dasar iman, buat mereka yang mengerti ialah
suatu manifestasi ibadat yang paling tinggi kepada Tuhan.
Maut ialah akhir hidup dan permulaan hidup. Oleh karena itu
yang merasa takut mati hanya mereka yang menolak adanya hidup
akhirat dan merasa takut pada kehidupan akhirat karena
perbuatan mereka yang buruk selama dalam dunia. Mereka tidak
ingin mati mengingat adanya perbuatan tangan mereka sendiri.
Akan tetapi mereka yang memang sudah bersedia mati, ialah
orang-orang yang benar-benar beriman dan mereka yang berbuat
kebaikan selama hidup di dunia. Seperti dalam firman Allah:
"Dia Yang telah menciptakan Mati dan Hidup untuk menguji kamu
siapa diantara kamu yang lebih baik perbuatannya. Dia Maha
Kuasa, Maha Pengampun." (Qur'an, 67: 2)
Dan firmanNya lagi yang ditujukan kepada Nabi:
"Kami tidak pernah menjadikan manusia sebelum engkau itu kekal
selamanya. Kalau engkau mati, apakah mereka akan hidup kekal?
Setiap jiwa akan merasakan mati dan kamu akan Kami uji dengan
yang buruk dan yang baik sebagai suatu cobaan, dan kamu kelak
pun akan kembali kepada Kami." (Qur'an, 21: 34 - 35)
"Perumpamaan mereka yang dibebani membawa Kitab Taurat,
kemudian tidak mereka bawa, sama seperti keledai yang membawa
kitab-kitab besar. Buruk sekali perumpamaan orang-orang yang
mendustakan ayat-ayat Tuhan itu; dan Tuhan tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang zalim. Katakanlah: 'Wahai
orang-orang yang menganut agama Yahudi, kalau kamu mendakwakan
bahwa kamu sahabat-sahabat Tuhan diluar orang lain,
nyatakanlah keinginanmu akan mati itu -jika benar-benar kamu
jujur. Tetapi kamu tidak akan pernah menyatakan keinginanmu
itu, karena perbuatan tangan mereka sendiri yang telah mereka
lakukan. Tuhan Maha Mengetahui akan orang-orang yang zalim
itu." (Qur'an, 62 :5 - 7)
"Dialah Yang telah mengambil jiwamu pada malam hari dan Dia
mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang harinya. Kemudian
kamu dibangkitkan kembali supaya waktu tertentu dapat
dipenuhi. Sesudah itu kepadaNya juga tempat kamu kembali.
Kemudian kepadamu diberitahukanNya apa yang telah kamu
kerjakan." (Qur'an, 6: 60)
Inilah beberapa ayat yang sudah jelas sekali menolak apa yang
dikatakan orang bahwa jabariah Islam itu mengajar orang
bertopang dagu dan enggan berusaha. Tuhan menciptakan maut dan
hidup untuk menguji manusia, siapa daripada mereka yang
melakukan perbuatan baik. Perbuatan dalam dunia dan balasannya
sesudah mati. Mereka yang tidak berusaha, tidak berjuang di
muka bumi ini, tidak mencari nafkah sebagai karunia Tuhan;
kalau mereka tidak mau menafkahkan harta mereka; kalau mereka
tidak mau mengutamakan sahabatnya meskipun mereka sendiri
dalam kekurangan, mereka telah melanggar perintah Tuhan.
Sebaliknya, bilamana semua itu mereka lakukan dengan baik,
perbuatan mereka akan diterima baik oleh Allah dan pada hari
kemudian mendapat pahala dan balasan yang baik. Tuhan akan
menguji kita dalam hidup kita ini dengan yang baik dan yang
buruk sebagai suatu cobaan. Dengan otak kita, kita juga yang
dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Barangsiapa berbuat baik seberat atom pun akan dilihatnya,
barangsiapa berbuat keburukan seberat atom juga akan
dilihatnya. Kalau apa yang sudah menimpa kita itu bukan karena
sudah ditentukan Tuhan terhadap diri kita, niscaya itu akan
membuat kita lebih tekun melakukan kebaikan untuk melihat
hasil yang baik pula. Sesudah itu sama saja buat kita: adakah
Tuhan akan menjadikan kita manusia yang kuat, yang masih giat
bekerja, atau akan dikembalikan ke usia yang sudah pikun, yang
sudah tidak dapat kita ketahui lagi apa yang dulunya sudah
pernah kita ketahui. Kriterium atau ukuran hidup seseorang
bukanlah dari jumlah tahun yang sudah ditempuhnya, melainkan
dari perbuatan-perbuatan baik apa yang sudah dilakukannya
selama itu, dan yang akan menjadi peninggalannya. Mereka yang
sudah meninggal di jalan Tuhan (dalam berbuat kebaikan), dalam
pandangan Tuhan mereka hidup, di tengah-tengah kita juga
kenangan mereka tetap hidup. Berapa banyak nama-nama yang
tetap kekal selama berabad-abad karena orang-osrang itu telah
mengabdikan diri dan segala daya upayanya untuk kebaikan,
mereka itu berada di tengah-tengah kita yang masih hidup,
sungguh pun mereka telah berpulang sejak ratusan tahun yang
lalu.
"Apabila sudah tiba waktunya, mereka takkan dapat mengundurkan
atau memajukannya barang sedikit pun juga."
Inilah yang benar. Hanya ini yang sesuai dengan hukum alam.
Manusia sudah mempunyai batas waktu yang takkan dapat
dilampauinya. Sama halnya dengan matahari dan bulan, sudah
mempunyai waktu-waktu gerhana yang tidak berubah-ubah, tak
dapat dimajukan atau diundurkan. Waktu yang sudah ditentukan
ini lebih mendorong orang untuk berusaha dan melakukan
perbuatan-perbuatan yang baik. Ia akan berusaha sekuat tenaga.
Ia tidak tahu kapan ia akan menemui ajalnya. Bilamana ajal itu
sampai maka balasannya apa yang sudah dikerjakannya. Di
hadapan kita setiap hari sudah ada buktinya bahwa ajal itu
takdir yang tak dapat dielakkan. Ada orang yang mati dengan
tiba-tiba dan orang tidak tahu apa sakitnya. Ada orang yang
sakit, yang sudah sekian puluh tahun menderita dan merintih
melawan penyakitnya itu sampai ia tua serta sudah tak
bertenaga lagi. Dari kalangan kedokteran dewasa ini ada yang
berpendapat bahwa manusia itu dilahirkan dalam proses
pembentukannya sudah ada benih yang menentukan hidupnya. Jarak
waktu yang akan ditempuh oleh benih itu untuk mencapai
tujuannya yang terakhir dapat pula diketahui asal saja
benihnya sendiri dapat kita ketahui. Tetapi untuk mengetahui
benih ini bukan soal yang begitu mudah. Adakalanya ia dalam
bentuk fisik, tersembunyi dalam salah satu bagian dalam tubuh
- bagian yang penting atau tidak penting - adakalanya dalam
bentuk psychis dalam pikiran kita, bertalian dengan
lapisan-lapisan otak yang akan mendorong pihak yang
bersangkutan hidup berpetualang dan mau menghadapi bahaya,
atau sebagai pemberani. Allah mengetahui belaka semua itu. Dia
yang mengetahui saat kematian setiap manusia itu akan tiba,
menurut hukum alam, tanpa dapat diubah dan ditukar-tukar.
Sebagai tanda kasih sayang Tuhan, Ia tidak akan menjatuhkan
siksaan sebelum mengutus seorang rasul yang akan memberikan
bimbingan kepada manusia dalam mencapai Kebenaran serta
menjelaskan pula jalan kebaikan yang harus ditempuhnya.
Sekiranya Tuhan akan menghukum manusia karena perbuatan mereka
yang salah, niscaya takkan ada makhluk hidup di muka bumi ini
yang akan ketinggalan. Tuhan menunda mereka sampai pada waktu
tertentu sampai mereka dapat mendengarkan dan mau menerima
ajakan para rasul itu dan tidak sampai benar mereka terpesona
oleh godaan hidup duniawi. Tuhan tidak mengutus para rasul itu
dari kalangan raja-raja, orang-orang kaya, orang-orang
berpangkat atau dari kalangan orang cerdik pandai. Mereka
diutus dari kalangan rakyat jelata. Nabi Ibrahim tukang kayu,
ayahnya pun tukang kayu. Nabi Isa juga tukang kayu di
Nazareth. Juga tidak sedikit dari nabi-nabi itu yang tadinya
penggembala kambing, termasuk Nabi penutup Muhammad
'alaihissalam. Tuhan mengutus para rasul dari rakyat jelata
itu untuk memperlihatkan bahwa Kebenaran itu bukan menjadi
milik orang-orang kaya atau orang-orang kuat melainkan milik
orang yang mencari Kebenaran demi kebenaran semata. Kebenaran
yang azali, yang abadi, ialah orang yang baru sempurna imannya
apabila ia sudah dapat mencintai saudaranya seperti mencintai
dirinya sendiri.
"Yang paling mulia di kalangan kamu dalam pandangan Tuhan
ialah yang paling takwa - yang dapat menjaga diri dari
kejahatan."
"Dan bekerjalah, nanti Tuhan akan melihat hasil pekerjaan
kamu, dan balasan diberikan hanya sesuai dengan apa yang kamu
lakukan."
Dan Kebenaran terbesar ialah bahwa Allah itu Benar, tiada
Tuhan selain Dia.
Maut, akhir dan permulaan hidup. Akhir hidup duniawi dan
permulaan hidup akhirat. Soal hidup duniawi yang kita ketahui
hanya sedikit sekali. Yang kita ketahui tentang hidup hanya
yang berhubungan dengan indera kita, dengan akal kita yang
membimbing kita, kemudian dengan jantung kita yang membukakan
rahasia hidup itu kepada kita. Sedang mengenai hidup akhirat
tak ada yang dapat kita ketahui selain apa yang sudah
diterangkan Tuhan kepada kita. Hukum-hukum alam buat kita
masih gelap. Ilmunya ada pada Tuhan. Apa yang sudah
diterangkan Tuhan dalam Kitab Suci mengenai hal ini sudah
memadai kiranya, bahwa itu adalah tempat pembalasan. Kita
menyiapkan diri kita dalam dunia ini dengan perbuatan kita,
dengan kehendak dan niat kita serta sikap kita sesudah itu;
kita bertawakal kepada Allah akan adanya balasan yang adil
itu. Sedang apa yang dibalik itu soalnya ada pada Tuhan
semata-mata.
Sudahkah agaknya mereka sependapat dengan Washington Irving
dari kalangan Orientalis dan diluar Orientalis dalam melihat
sampai berapa jauh kesalahan mereka dalam menggambarkan
jabariah Islam itu? Yang kita catat disini hanyalah yang ada
didalam Qur'an. Kita tidak ingin menempatkan masalah ini dalam
suatu perdebatan seperti pendapat ahli-ahli ilmu kalam dari
kalangan kaum sufi dan yang lain, termasuk para filsuf dan
golongan-golongan tertentu dalam kalangan Muslimin. Yang jelas
sekali kesalahan Irving ialah dugaannya bahwa masalah qadza
dan qadar (takdir atau nasib) dan ketentuan umur diturunkan
dan disebutkan di dalam Qur'an sesudah Perang Uhud dan setelah
terbunuhnya Hamzah sebagai syahid utama. Pada hal ayat-ayat
yang sudah kita kutipkan itu ialah ayat-ayat yang turun di
Mekah sebelum hijrah dan sebelum peperangan-peperangan
dimulai. Irving dan yang semacamnya telah terjerumus ke dalam
kesalahan semacam itu sebab mereka tidak mau menyulitkan diri
dalam membahas persoalan yang begitu penting dengan cara yang
ilmiah dan cermat. Bahkan mereka menggambarkan Islam menurut
konsepsi yang sejalan dengan kecenderungan mereka sendiri
sebagai orang-orang Kristen, lalu mereka mengarang-ngarang
dalil menurut nafsu mereka sendiri, dengan dugaan bahwa dalil
mereka itu akan sudah meyakinkan pembaca tanpa ada orang lain
yang akan membuktikan kesalahan mereka itu.
Kalau kalangan Orientalis dapat memahami arti jabariah Islam
seperti yang sudah kita gambarkan, niscaya mereka dapat pula
menghargai konsepsi filsafatnya yang begitu tinggi, begitu
dalam melukiskan hidup ini sehingga dapat menampilkan
teori-teori ilmu dan filsafat. Dan ini telah dicapai oleh
pikiran manusia dalam pelbagai zaman dengan segala
perkembangan dan kemajuannya. Pengertian filsafat Islam ini
ialah pengertian yang berimbang, yang tidak mempersempit
pengertian determinisma, dunia sebagai kemauan dan pikiran
(die Welt als Wille und Vorstellung) dan evolusi kreatif.5
Bahkan semua mazhab itu, dalam susunannya mengikuti jalannya
hukum alam dan kehidupan. Kalau pun disini tempatnya tidak
cukup memadai untuk menjelaskan gambaran ini, namun akan saya
coba meringkaskannya dengan seteliti dan sejelas mungkin. Saya
kira orang yang sudah membaca apa yang saya tulis akan
sependapat, bahwa dari semua yang pernah kita ketahui tentang
teori-teori, pengertian ini memang sangat tinggi, luas dan
dalam sekali. Pengertian ini kemudian hari akan membukakan
jalan pada pemikiran umat manusia yang lebih agung.
Sebelum saya menjelaskan ini secara ringkas, ada dua masalah
ingin saya catat dalam hal ini, hendaknya jangan dilupakan
pertama dengan ini saya tidak bermaksud hendak menentang teori
Kristen. Apa yang pernah diajarkan Isa, oleh Islam juga diakui
seperti sudah beberapa kali saya sebutkan dalam buku ini.
Hanya saja apa yang diajarkan Islam lebih menyeluruh dan
memahkotai semua kenabian dan kerasulan sebelumnya.
Kitab-kitab Injil telah juga menegaskan kata-kata Yesus ini.
"Janganlah kamu menyangka bahwa Aku datang untuk meniadakan
Hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk
meniadakannya melainkan untuk menggenapinya." Begitu juga
keimanan Muslimin kepada Ibrahim, kepada Musa, kepada Isa dan
nabi-nabi yang lain sebelum itu, semua sama. Hanya saja
kedatangan Islam melengkapi apa yang telah diutus Tuhan kepada
mereka itu, mengoreksl kata-kata yang telah dibelokkan oleh
pengikut-pengikut mereka, dari arti yang sebenarnya. Kedua
mengenai filsafat Islam yang diambil dari Qur'an sudah
dikemukakan orang sebelum saya, meskipun tidak sama dengan
yang saya kemukakan sekerang ini. Hanya saja yang saya tempuh
dalam hal ini sesuai dengan garis tuntunan Qur'an dan dengan
cara yang sesuai dengan metoda ilmiah sekarang. Kalau ini
berhasil mencapai sasarannya, sudah tentu karena rahmat dan
karunia Tuhan juga. Kalau hasil itu belum juga saya peroleh,
maka doa yang paling besar saya panjatkan kepada Tuhan ialah
semoga mereka yang berpengetahuan dapat memberi petunjuk
kepada saya untuk mencapai sasaran itu.
Yang mula-mula ditentukan oleh Qur'an ialah bahwa Tuhan sudah
menentukan hukum tertentu dalam alam semesta ini, yang tidak
berubah-ubah dan bertukar-tukar. Sudah tentu alam itu bukan
hanya planet kita ini saja dengan segala isinya, Juga bukan
terbatas hanya pada apa yang tertangkap oleh pancaindera kita
saja yang terdiri dari planet-planet dan tata surya, tetapi
alam itu ialah segala yang diciptakan Tuhan, yang dapat dan
yang tidak dapat dirasakan - sensibilia dan insensibilia, yang
nyata dan yang gaib. Untuk mengetahui hal ini benar-benar,
cukup kalau kita bayangkan bahwa pengetahuan yang ada pada
kita memang sedikit sekali: eter yang ada di sekitar kita dan
sekitar tata surya yang lain, listrik yang memenuhi eter dan
memenuhi bumi kita, jarak yang begitu jauh memisahkan kita
dari matahari dan planet-planet lain yang lebih jauh dari
matahari, dan di balik planet-planet itu yang jaraknya sampai
ribuan tahun cahaya lebih jauh dari matahari.6
Kemudian, dibalik semua itu yang tiada terbatas, yang takkan
dapat dijangkau oleh imajinasi kita, dan yang halnya ada pada
Tuhan ilmunya semua itu berjalan menurut hukum yang sudah
pasti tak berubah-ubah. Apa yang sudah kita ketahui semua ini
berdasarkan data ilmiah menurut istilah kita sekarang - yang
tidak mencampur adukkan fantasi dengan fakta. Kemudian fakta
itu disamping fantasi menjadi makin kecil sampai sedemikian
rupa, kemudian fakta itu masih tinggal sejauh yang dapat kita
ketahui, yang dapat kita ukur menurut ukuran kita, dan apa
yang kita peroleh dengan dasar itu, itulah yang kita sebut
hukum alam dan kehidupan. Kalau kita mau melepaskan fantasi
kita sebebas-bebasnya untuk menggambarkan betapa kecilnya apa
yang kita ketahui itu, tentu contohnya akan banyak sekali di
hadapan kita, sehingga ruangan dalam buku ini pun akan terlalu
sempit karenanya. Kita ambil misalnya penghuni planet Mars.
Mereka membangun sebuah pemancar dengan kekuatan 100.000.000
kilowatt supaya dengan demikian apa yang terjadi di tempat
mereka diperdengarkan dan diperlihatkan melalui pesawat
televisi kepada kita penghuni bumi ini. Sesudah itu, dapatkah
kita menahan pikiran kita? Sedang Mars bukanlah planet yang
terjauh jaraknya dari kita, juga bukan yang paling sulit akan
dapat kita hubungi.
Pengetahuan kita tentang alam ini yang hanya sedikit sekali,
segala yang ada dalam alam itu memberi pengaruh juga kepada
kehidupan bumi kita dengan segala isinya. Andaikata satu saja
dari planet-planet itu dengan ketentuan dari Tuhan berbeda
edarannya, tentu hukum alam itu akan jadi berubah, dan berubah
pula hidup kita yang pendek dan sedikit ini, terpengaruh oleh
keadaan di sekitar kita, oleh hal-hal yang tiada penting
sekalipun. Hidup itu terpengaruh dan tunduk kepada kodrat alam
karena peristiwa-peristiwa alam yang besar-besar. Dalam
menerima pengaruh itu kadang ia menjurus kepada yang baik,
kadang malah menyimpang. Baik dalam tujuan yang menjurus ke
arah yang baik atau yang menyimpang, dalam kedua hal itu atas
dasar yang mempengaruhinya tidak didorong oleh faktor-faktor
kehidupan saja melainkan juga oleh kesediaannya dalam menerima
pengaruh kehidupan itu serta kekuatan yang timbal-balik saling
mempengaruhi. Ada beberapa faktor tertentu yang dapat memberi
pengaruh besar dan beranekarupa kedalam jiwa orang. Kemudian
pengaruh-pengaruh itu akan saling terdesak ke sudut. Salah
satu diantaranya akan jadi juru pemisah, akan jadi batas
antara yang baik dengan yang jahat. Yang selebihnya, yang satu
akan menjurus kepada yang baik, yang lain kepada yang jahat.
Adanya yang baik dan yang jahat dalam kehidupan ini tidak lain
ialah suatu akibat saja dari adanya saling pengaruh antara
faktor-faktor kehidupan dengan jiwa manusia. Oleh karena
itulah yang baik dan yang jahat itu sudah merupakan sebagian
dari gejala hukum yang sudah pasti dalam alam ini. Adanya
kedua sifat baik dan jahat ini sudah pula merupakan suatu
keharusan, seperti halnya dengan negatif dan positif yang
merupakan suatu keharusan adanya listrik. Demikian juga adanya
beberapa macam kuman sudah merupakan keharusan hidup dalam
tubuh manusia.
Tidak ada suatu kejahatan hanya untuk kejahatan saja atau
kebaikan hanya untuk kebaikan saja; tetapi itu tergantung
kepada maksud yang menjadi tujuannya serta akibat yang terjadi
karenanya. Adakalanya terjadinya kejahatan dan kebaikan itu
karena keharusan yang mendesak sekali. Alat-alat perusak yang
digunakan dalam peperangan untuk menghancurkan jutaan manusia,
memusnakan karya-karya ciptaan manusia yang sungguh agung dan
indah, diwaktu damai besar sekali artinya. Kalau tidak karena
dinamit manusia takkan mampu membelah terowongan dan memasang
jalan kereta api didalamnya, takkan mampu menemukan
tambang-tambang yang berisikan harta karun terdiri dari
batu-batu dan logam yang sangat berharga. Begitu juga gas
beracun yang dilepaskan orang yang sedang berperang kepada
penduduk sipil dari bangsa yang diperanginya dan yang dianggap
sebagai suatu cemar dan cacat besar kepada perikemanusiaan dan
sebagai suatu manifestasi kebiadaban dan kepengecutan yang
tiada taranya, dimasa damai gas ini besar sekali faedahnya; ia
dapat mengabdi kepada perikemanusiaan, menolong umat manusia
dari pelbagai penyakit menular yang cukup mengerikan. Gas ini
juga yang dapat menjernihkan air dari kuman-kuman berbahaya,
seperti gas chlorine misalnya. Dalam dunia perkapalan ia
berguna sekali karena sebagian dapat digunakan membasmi hama
tikus dan sebagian lagi dapat membahayakan kehidupan para
nelayan. Dahulu kala orang membayangkan, bahwa ada jenis-jenis
serangga, burung dan binatang-binatang yang sama sekali tak
ada gunanya. Tetapi kemudian setelah diselidiki dan dipelajari
betapa besar manfaat serangga-serangga, burung-burung dan
binatang-binatang itu buat manusia. Negara pun telah pula
membuat undang-undang memberikan suaka dan melarang orang
membunuh atau memburunya, mengingat betapa menguntungkan
makhluk-makhluk itu untuk umat manusia. Mereka yang telah
mempelajari makhluk-makhluk ini melihat bahwa makhluk-makhluk
ini ingin damai, ingin sekali menyesuaikan diri dengan dunia
disekitarnya dalam batas-batas ia dapat mempertahankan
eksistensinya, supaya dapat pula ia mengimbangi adanya
kebaikan yang harus dipelihara. Binatang-binatang ini tidak
mengganggu, kecuali bila hendak membela diri, bila ada pihak
yang menyerangnya atau yang mengganggunya.
Juga perbuatan-perbuatan kita sebagai manusia tidak ada
kebaikan hanya untuk kebaikan saja atau kejahatan hanya untuk
kejahatan saja; tetapi yang ada, semua itu tergantung kepada
maksud yang menjadi tujuannya serta akibat yang terjadi
karenanya. Bukankah pembunuhan itu suatu perbuatan dosa yang
dilarang? Sungguhpun begitu dalam melarang pembunuhan Tuhan
berfirman:
"Dan janganlah kamu membunuh yang oleh Tuhan sudah dilarang,
kecuali jika atas dasar kebenaran." Membunuh atas dasar
kebenaran tidak berdosa. "Dengan hukum qishash itu berarti
suatu kelangsungan hidup bagimu, hai orang-orang yang mengerti
..."
Algojo yang membunuh seorang penjahat yang telah dijatuhi
hukuman mati, orang yang membunuh karena membela diri,
prajurit yang membunuh karena membela tanah air, orang beriman
yang membunuh supaya jangan digoda orang dan keyakinan
agamanya - mereka semua tidak melakukan perbuatan dosa, tidak
melakukan pelanggaran. Tidak lebih mereka hanya menyampaikan
tugas yang telah diwajibkan Tuhan kepada mereka, dan balasan
untuk mereka pun sebagai orang-orang yang telah berbuat
kebaikan.
Apa yang berlaku terhadap pembunuhan itu, berlaku juga
terhadap yang lain, terhadap perbuatan-perbuatan yang silih
berganti antara yang baik dengan yang jahat. Sarjana yang
telah menemukan alat-alat perusak untuk kepentingan pertahanan
tanah air, atau alat-alat perusak yang dapat memberi manfaat
kepada dunia di masa damai, orang yang membuat senjata, setiap
pekerja, setiap orang di muka bumi ini, apakah ia bekerja
untuk melakukan pekerjaan baik atau melakukan pelanggaran,
tergantung kepada sasaran yang menjadi tujuannya serta akibat
yang terjadi karena perbuatannya itu.
Ini adalah iradat dan undang-undang Tuhan dalam alam. Oleh
karena dalam menangkap hukum ini manusia yang diciptakan Tuhan
itu kesanggupannya bertingkat-tingkat satu dengan yang lain,
maka ada orang yang hanya memusatkan seluruh kegiatannya pada
"titik" tempat ia dilahirkan, serta berusaha mengembangkan dan
memeliharanya, ada pula yang bakatnya dalam kerajinan, sedang
yang lain punya bakat dalam bidang usaha lain - dalam bidang
kesenian, tehnik, ilmu pengetahuan misalnya, yang tidak begitu
mudah bagi mereka akan dapat menangkap arti hukum itu. Oleh
karena mengenal hukum alam itu merupakan dasar bagi manusia
supaya ia dapat mencapai tujuan hidupnya, maka ada pula
diantara mereka yang telah diberi bakat kenabian. Yang lain
diberi kesanggupan untuk menjelaskan ajaran itu kepada kita,
mana yang baik dan mana pula yang jahat. Yang lain lagi
mendapat karunia berupa ilmu dan pikiran yang akan membuat
mereka menjadi pewaris para nabi, maka dituntunnya kita kepada
apa yang harus kita lakukan dan apa- pula yang harus kita
hindarkan. Juga kita dilengkapi dengan tenaga pikiran dan
perasaan, supaya kita dapat menangkap ajaran yang diberikan
kepada kita. Dengan itu kita dapat melatih diri supaya kita
dapat mencapai tujuan kita dalam hidup ini sebaik-baiknya,
supaya kita dapat mengajak orang berbuat baik dan mencegah
melakukan kejahatan.
Sungguhpun begitu, apabila ada orang-orang yang terjerumus
dalam hal ini sampai mereka itu melakukan pelanggaran - lalu
untuk menjaga eksistensinya masyarakat menjatuhkan hukuman
kepada mereka dengan maksud supaya pelanggaran mereka tidak
sampai merugikan masyarakat - maka adanya hukuman ini tidak
berarti suatu jalan buntu untuk mereka bertaubat dan kembali
kepada kebenaran. Barangsiapa melakukan perbuatan dosa karena
tidak tahu kemudian ia menyadari dan, mau mengubah keadaan
dirinya, mau kembali kepada Tuhan sebagai orang yang patuh,
Tuhan akan mengampuni dosanya yang telah lampau. Dengan
demikian orang yang telah bersalah dan berbuat dosa akan
mengambil pelajaran dari peristiwa sejarah itu dan akan
membersihkan hatinya. Ia akan kembali ke jalan yang benar
dengan penuh taubat, dan Allah pun akan menerima taubatnya,
sebab Dia Maha Pengasih dan Pengampun.
Gambaran kehidupan demikian ini dapat mempertemukan beberapa
aliran filsafat yang bermacam-macam, yang tadinya diduga tidak
akan dapat dipertemukan. Jelas sekali bahwa eksistensi ini
suatu kemauan. "Sesungguhnya perintah Kami terhadap sesuatu
apabila Kami menghendakinya Kami hanya mengatakan kepadanya
'Jadilah!' maka ia pun jadi." Alam dapat memantulkan apa yang
dapat ditangkap oleh daya rasa dan apa yang tidak. Alam sudah
mempunyai hukum-hukum tertentu, yang dalam batas-batas ilmu
kita yang nyata ini kita dapat mengetahui apa yang akan
dicapai oleh pikiran kita. Makin bertambah kita berusaha akan
makin bertambah pula penemuan kita tentang alam. Yang menjadi
dasar hukum alam ialah kebaikan. Akan tetapi kejahatan selalu
hendak melawannya dan kadang sampai hampir mengalahkannya.
Perlawanan kebaikan terhadap kejahatan, itulah yang disebut
evolusi kreatif yang telah membawa kemajuan yang luar-biasa
kepada alam dan umat manusia, sehingga dengan langkah itu ia
telah mencapai kesempurnaannya seperti sekarang ini.
Kita sudah melihat, bahwa gambaran ini mengandung suatu
konsepsi dengan tujuan hidup yang lebih sempurna dengan
lukisan yang begitu baik yang pernah dikenal oleh pemikiran
filsafat. Disamping apa yang sudah kita sebutkan, hal ini
menunjukkan penggambaran Qur'an mengenai evolusi rohani dalam
kehidupan sejak Tuhan menciptakan bumi dengan segala isinya.
"Tuhan telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari,
kemudian Dia pun berkuasa diatas Singgasana." Adakah enam hari
ini sama dengan hari-hari kita di bumi ataukah hari-hari
seperti dalam firman Tuhan:
"Satu hari menurut Tuhanmu sama dengan seribu tahun menurut
perhitungan kamu." (Qur'an, 22: 47)
Tetapi bukanlah disini tempatnya kita mengadakan pembahasan.
Kalau pun kita menjumpai adanya teori evolusi, dan yang sudah
menjadi salah satu pula undang-undang Tuhan dalam alam, namun
pembicaraan dalam hal ini masih akan luas sekali. Tuhan
menciptakan Adam dan Hawa lalu berkata kepada para malaikat
supaya bersujud kepada Adam. Selain Iblis mereka pun bersujud,
Iblis masih tetap menolak meskipun Tuhan telah mengajarkan
semua nama-nama kepada Adam, seperti dalam firman Allah:
"Hai Adam! Tinggallah engkau dengan isterimu di dalam surga!
Dan makanlah mana yang kamu sukai, tetapi pohon ini jangan
kamu dekati, sebab nanti kamu akan menjadi orang yang salah
karenanya. Lalu datang setan membisikkan pikiran jahat kepada
mereka, supaya aurat mereka yang tertutup dibuka. Dan setan
pun berkata: 'Tuhan melarang mendekati pohon ini hanya supaya
kamu berdua jangan menjadi malaikat atau menjadi orang-orang
yang kekal.' Dan dia bersumpah kepada mereka: 'Sungguh aku ini
penasehat kamu.' Lalu dengan tipu daya itu setan pun dapat
menjatuhkan mereka berdua; setelah keduanya merasakan buah
pohon itu, tampaklah bagi mereka berdua itu aurat mereka, lalu
mereka pun menutupi diri dengan daun pohon surga. Oleh Tuhan
kedua mereka dipanggilNya: 'Bukankah Aku telah melarang kamu
berdua dari pohon itu dan sudah Kukatakan kepadamu bahwa setan
itu musuh yang jelas sekali buat kamu.' Keduanya mengatakan:
'Wahai Tuhan kami. Kami telah menganiaya diri kami sendiri.
Kalau tidak karena pengampunan dan rahmat yang akan Engkau
limpahkan kepada kami, niscaya kami akan menjadi orang yang
rugi.' Tuhan berkata: 'Turunlah kamu. Kamu akan saling
bermusuhan. Kamu akan tinggal dan hidup di dunia sampai pada
waktu tertentu!' Tuhan berkata: 'Di tempat itu kamu hidup, di
sana kamu akan mati dan dari sana pula kamu akan dibangkitkan
kembali. Wahai anak Adam! Kepadamu Kami telah menurunkan
pakaian penutup auratmu, dan pakaian perhiasan. Akan tetapi
pakaian takwa itu lebih baik. Itulah tanda-tanda kebesaran
Tuhan, supaya kamu ingat. Wahai anak Adam! Jangan sekali-kali
kamu dapat ditipu oleh setan seperti yang dilakukannya dalam
mengeluarkan ibu bapamu dari surga. Ia menanggalkan pakaian
mereka berdua untuk saling memperlihatkan aurat; ia dan
pengikut-pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu arah yang
tak dapat kamu lihat mereka. Kami telah menjadikan setan itu
pemuka-pemuka mereka yang tiada beriman." (Qur'an, 7: 19-27)
Adam dan Hawa turun dari surga, sebahagian keturunannya satu
sama lain akan saling bermusuhan. Mereka turun dengan kekuatan
yang diberikan Tuhan untuk memperjuangkan hidup, dan demikian
seterusnya generasi demi generasi.
Gejala pertama kehidupan manusia di dunia ini ialah kekerasan
dan fanatisma, seperti dalam firman Allah:
"Ceritakanlah kepada mereka dengan sebenarnya kisah kedua
putera Adam itu ketika keduanya mempersembahkan kurban. Dari
yang seorang diterima, dari yang lain tidak. Yang seorang
berkata: 'Akan kubunuh engkau.' Yang lain menjawab: 'Tuhan
hanya menerimanya dari orang-orang yang bertakwa. Kalau engkau
menggerakkan tangan hendak membunuhku, aku tidak akan
menggerakkan tanganku untuk membunuhmu. Sungguh aku takut
kepada Allah, Tuhan semesta alam. Akan kubiarkan engkau
memikul dosaku dan dosamu sendiri, supaya engkau menjadi isi
neraka. Dan itulah balasan orang-orang yang melakukan
kejahatan.' Kemudian kehendak nafsunya akan membunuh
saudaranya itu diturutinya, maka dibunuhnyalah ia. Dia sudah
menjadi orang yang rugi. Kemudian Tuhan pun mengirim seekor
burung gagak menggali tanah dengan memperlihatkan kepadanya
bagaimana caranya ia menguburkan mayat saudaranya itu.
Katanya: 'Aduhai! Kenapa aku tidak seperti burung gagak ini,
aku menguburkan mayat saudaraku.' Itu sebabnya, ia menjadi
orang menyesal sekali. Oleh karena itulah, Kami telah
menetapkan kepada anak-anak Israil, bahwa barangsiapa membunuh
seorang manusia bukan karena suatu pembunuhan atau karena
melakukan keonaran di muka bumi ini, maka orang itu seolah
membunuh semua manusia. Dan barangsiapa dapat memelihara hidup
seorang manusia, maka seolah ia telah menghidupkan semua
manusia. Rasul-rasul Kami kepada mereka pun sudah datang,
sudah memberikan keterangan-keterangan yang jelas. Tetapi
sesudah itu masih banyak juga di kalangan mereka orang-orang
yang melampaui batas melakukan kejahatan di muka bumi ini."
(Qur'an, 5: 27 - 32)
Pembunuhan seorang saudara atas saudaranya jelas sekali karena
dendam, dengki, perangai yang kasar dan keras hati Tetapi
saudaranya itu orang yang bertakwa, yang takut kepada Tuhan
ketika dikatakan oleh saudaranya: aku akan membunuhmu - ia,
tidak mau meminta pengampunan Tuhan, bahkan katanya: Akan
kubiarkan engkau memikul dosaku dan dosamu sendiri supaya
engkau menjadi isi neraka. Ini adalah suatu dominasi kodrat
manusia serta logika hukum terhadap kebesaran jiwa dan maaf
yang sungguh indah. Anak cucu Adam pun berkembang biak di bumi
ini. Lalu Tuhan mengutus para nabi kepada mereka dengan
memberikan berita gembira di samping peringatan. Tetapi mereka
tetap bersikeras, masih dalam kesesatan. Kehidupan rohani
mereka jadi beku, hati mereka kaku tertutup. Tuhan mengutus
Nuh dengan mengajak golongannya sendiri, supaya hanya Tuhanlah
Yang disembah sebab "aku kuatir kamu akan mendapat siksaan
Tuhan." Ia pun didustakan oleh masyarakat itu dan hanya
sedikit saja yang mau percaya. Sesudah itu berturut-turut
datang pula nabi-nabi yang lain sesudah Nuh, datang pula
ajaran-ajaran yang menyerukan agar jangan orang
mempersekutukan Tuhan. Akan tetapi sikap manusia itu lebih
berkuasa, pikiran mereka tetap beku belum dapat memahami.
Beberapa macam manifestasi alam ini dijadikannya Tuhan. Setiap
ada seorang rasul yang diutus Tuhan, ada yang mendustakannya,
ada pula yang membunuhnya. Akan tetapi kekakuan mereka itu
berangsur kendor. Dengan datangnya ajaran-ajaran Tuhan secara
berturut-turut itu sudah merupakan bibit yang baik juga
meskipun lamban sekali tumbuhnya. Sungguhpun begitu namun ada
juga meninggalkan bekas. Pernahkah ajaran kebenaran itu pada
suatu waktu menjadi hilang! Kalau pun orang sudah terdorong
oleh rasa congkak dan tinggi hati terhadap ajaran itu dan
dalam beberapa hal mereka memperolok pembawanya, namun bila
mereka sudah kembali seorang diri, mereka kembali
bertanya-tanya tentang Kebenaran yang ada dalam ajaran itu.
Hanya saja mereka yang dapat memahami kebenaran yang
terkandung didalamnya tidak banyak jumlahnya.
Pada masa Firaun di Mesir para pendetanya percaya akan keesaan
Tuhan. Tetapi mereka mengajar orang sebaliknya dengan
bermacam-macam Tuhan. Tidak lain mereka melakukan itu karena
ingin mempertahankan kekuasaan terhadap orang lain dan
mempertahankan kedudukan mereka. Malah sengaja mereka
memerangi Musa dan Harun ketika keduanya datang kepada Firaun,
mengajaknya menyembah Tuhan, dan dimintanya Anak-anak Israil
itu dilepaskan pergi bersama mereka.
Oleh Qur'an juga diceritakan berita tentang para nabi, yang
silih berganti selama beberapa generasi di kalangan umat
manusia. Tetapi umat itu tetap dalam kesesatan; hanya sedikit
saja yang mendapat petunjuk Tuhan dalam mengenal kebenaran
itu. Dalam kisah-kisah para nabi ada suatu gejala yang perlu
sekali direnungkan. Untuk jelasnya, baik juga kalau kita
kembali ke masa Musa dan Isa serta kepada tuntunan Muhammad
'alaihissalam kemudian.
Gejala ini ialah adanya pemisahan atau yang semacarn itu pada
mulanya, antara rasio dan logikanya dengan iman kepercayaan
yang didasarkan kepada mukjizat dan hal-hal yang tak masuk
akal. Para nabi itu oleh Tuhan telah diperkuat dengan mujizat
untuk masyarakatnya, supaya mereka percaya. Sungguh pun
demikian cuma sedikit mereka itu yang mau percaya. Logika dan
cara berpikir mereka belum cukup untuk dapat memahami, bahwa
Tuhan menciptakan segalanya, bahwa Ia Maha Kuasa. Setelah
dengan ketentuan Tuhan Musa disuruh keluar meninggalkan Mesir,
sebelum kerasulannya itu ia pergi dari sana dengan membawa
perasaan takut. Ketika sampai pada sebuah mata air di Madyan,
ia kawin dengan seorang wanita penduduk kota itu. Setelah
Tuhan memberi ijin ia kembali, ... terdengar ada suara
memanggilnya dari balik lembah sebelah kanan, pada tempat yang
telah diberi berkah dari batang pohon itu:
"Hai Musa! Aku ini Allah, Tuhan semesta alam. Lemparkanlah
tongkatmu!, Setelah dilihatnya tongkat itu bergerak-gerak
seperti ular, ia lari ke belakang tidak menoleh lagi. 'Hai
Musa! Kembalilah, jangan takut! Engkau sudah mendapat
lindungan keamanan. Masukkanlah tanganmu kedalam saku bajumu,
niscaya akan keluar dalam keadaan putih tanpa cacat dan
dekapkan tanganmu ke badanmu jika engkau merasa takut.' Inilah
dua mujizat dari Tuhan ditujukan kepada Firaun dan
pembesar-pembesarnya; sebab mereka itu orang-orang yang
jahat." (Qur'an, 28: 30 - 32)
Sungguhpun begitu tukang-tukang sihir Firaun itu tidak juga
percaya kepada ajakan Musa. Ketika kemudian apa yang mereka
kerjakan itu disergap oleh tongkat Musa, ketika itulah
tukang-tukang sihir itu menyerah sujud, lalu mereka berkata:
Kami beriman kepada Tuhannya Harun dan Musa. Sungguhpun
demikian orang-orang Israil masih juga dalam keadaan sesat,
sampai-sampai mereka berkata kepada Musa: "Perlihatkan Allah
itu terang-terang kepada kami." Setelah Musa wafat, kembali
mereka menyembah anak sapi. Kemudian sesudah Musa, datang lagi
nabi-nabi yang lain kepada mereka, diajaknya mereka menyembah
Allah. Tetapi nabi-nabi itu malah dibunuh dengan
sewenangwenang. Setelah kemudian mereka kembali teringat
kepada Tuhan, mereka menanti-nantikan kedatangan seorang nabi
lagi yang akan dapat mengembalikan kerajaan mereka dengan
memerintah dunia untuk selama-lamanya.
Peristiwa ini berlangsung dalam sejarah belum begitu lama dari
kita. Tidak lebih dari 25 abad yang lalu. Dalam pada itu jelas
sekali ini membuktikan adanya dominasi perasaan diatas
pengertian rohani. Sesudah lampau lima-enam abad kemudian
datang pula Isa mengajak masyarakatnya itu menyembah Tuhan,
diperkuat dengan Ruh Kudus dari Tuhan. Oleh karena Isa orang
Yahudi, ketika begitu pertama kali berita tentang dia itu
sampai kepada pihak Yahudi mereka menduga bahwa dia inilah
nabi yang mereka nanti-nantikan (Messiah) untuk mengembalikan
kerajaan yang hilang itu ke Tanah atau Negeri yang Dijanjikan.
Mereka rindu sekali akan kerajaan semacam ini setelah begitu
lama mereka berada dibawah kekuasaan dan kekejaman pihak
Rumawi. Akan tetapi mereka masih menunggu, ingin mengetahui
keadaan yang sebenarnya tentang diri Isa. Adakah ia bicara
kepada mereka dengan bahasa rasio semata-mata? Tidak, malah
jalan mujizat itulah yang ditempuhnya untuk meyakinkan mereka.
Kalau pun sumber Kristen itu benar. bahwa ia telah mengubah
air menjadi minuman anggur dalam suatu pesta perkawinan di
Kana, Galilea, itulah yang mula-mula menarik perhatian orang.
Sesudah itu lalu mujizat roti dan ikan, mujizat-mujizat
menyembuhkan orang-orang sakit dan menghidupkan orang-orang
mati. Itulah yang membuat dia tidak ragu-ragu lagi mengajar
orang melalui jalan hati dan perasaan tanpa memberikan tempat
yang terutama kepada rasio dan logika dalam ajaran-ajarannya
itu. Tetapi bidang ini memang diberikan lebih luas daripada
yang pernah diberikan oleh rasul-rasul sebelumnya. Dalam
ajaran-ajarannya itu dorongan perasaan kepada kasih-sayang,
pengampunan dosa dan cinta-kasih bercampur-baur dengan ajaran
rasionil yang tidak dilandasi oleh dalil logika tentang
Kerajaan Tuhan. Apabila ada rasa syak yang menyusup ke dalam
hati orang mengenai ajaran rasionil ini maka Tuhan segera
memberikan mujizat baru yang akan membuat orang lebih dapat
menerima dan percaya kepada Almasih. Dengan mujizat-mujizat
yang telah dapat menyembuhkan penyakit kusta, orang buta dan
menghidupkan orang mati, sudah begitu jauh membuat
pengikut-pengikutnya percaya, sehingga sebagian ada yang
mengira dia adalah Tuhan yang menjelma di atas bumi untuk
menebus dosa umat manusia. Ini bukti yang jelas sekali bahwa
kemampuan rasio sampai pada waktu itu belum begitu matang,
yang akan membuat orang dengan itu saja sudah dapat memahami
hakekat tertinggi tentang arti Al-Khalik dan bahwa Dia Maha
Esa, Tempat segalanya bergantung, tidak beranak dan tidak pula
diperanakkan, dan tiada suatu apa pun yang menyerupaiNya.
Pada zaman Musa dan Isa itu keadaan ilmu, filsafat dan
perundang-undangan di Mesir zaman Firaun sudah pindah ke
Yunani dan Rumawi, dan dengan segala pengaruhnya sudah dapat
menguasai cara berpikir bangsa-bangsa itu terutama dalam
bidang filsafat dan peradaban Yunani. Kesadaran berpikir logis
sudah mulai menggugah orang bahwa hal-hal yang tak masuk akal
dengan sendirinya secara logis tak dapat dijadikan pegangan.
Karena pengaruh itu pula filsafat Yunani yang bertetangga
dengan agama Kristen di Mesir, Palestina dan Syam telah dapat
menimbulkan bermacam-macam mazhab Kristen - seperti sudah kita
sebutkan dalam buku ini. Dalam undang-undang Tuhan sudah
menentukan bahwa akal pikiran adalah mahkota hidup umat
manusia, dengan syarat bahwa pikiran demikian itu jangan
sampai kering tanpa perasaan dan jiwa. Bahkan hendaknya ia
dapat menjadi pikiran yang berimbang, dapat mengimbangi akal,
perasaan dan jiwa, sehingga dapat ia memahami rahasia-rahasia
alam ini sejauh mungkin. Demikian juga Tuhan telah menentukan
pula kedatangan seorang nabi yang akan membawa Islam ke dalam
alam ini dengan mengajarkan kebenaran menurut hukum logika,
dilandasi oleh perasaan dan jiwa, dan yang akan menjadi
mujizat logika ini ialah Kitab Suci Qur'an yang telah
diwahyukan oleh Allah kepada Nabi. Dengan demikian Tuhan telah
menyempurnakan agama ini dan memberikan nikmat secukupnya
kepada umat manusia. Ia telah menjadi mahkota dan penutup
semua ajaran Ilahi
Tetapi semua itu terjadi baru setelah adanya perjuangan yang
begitu berat terus-menerus, yang juga pernah dilakukan oleh
para nabi dan para rasul, yang membawa umat manusia kedalam
evolusi rohani sehingga akhirnya ajaran Islam dapat mencapai
kemurnian tauhid serta keimanan kepada Tuhan Yang Maha
Tunggal.
Untuk melengkapi akidah ini maka keimanan itu harus meliputi
beberapa kewajiban seperti yang sudah kita sebutkan pada
pembahasan pertama dalam penutup buku ini. Supaya orang yang
beriman dapat mencapai puncak akidahnya maka ia harus
sungguh-sungguh dapat memahami hukum Tuhan dalam alam ini
dengan cara terus-menerus sampai pada waktu Tuhan menciptakan
bumi dengan segala isinya ini. Dan inilah yang sudah dimulai
oleh orang-orang Islam pada permulaan sejarahnya dan pada
zaman berikutnya, hingga tiba masanya zaman itu beredar lagi.
Alasan-alasan yang saya kemukakan ini dengan sendirinya sudah
membantah apa yang ditafsirkan oleh orientalis-orientalis
tentang jabariah Islam serta tafsiran mereka tentang takdir,
nasib dan umur seperti yang terdapat dalam Qur'an. Dengan
tidak usah diragukan lagi argumen ini sudah dapat memperkuat,
bahwa Islam agama usaha, agama perjuangan dalam pelbagai
lapangan hidup, rohani dan ilmu, agama dan dunia. Dalam hukum
alam ini Tuhan sudah menentukan bahwa manusia mendapat
ganjaran sesuai dengan perbuatannya, dan bahwa Tuhan takkan
merugikan siapa pun, tapi manusia itu sendirilah yang
merugikan dirinya. Mereka merugikan diri sendiri bilamana
mereka menduga bahwa mereka sudah mendapat kasih Tuhan hanya
dengan berpeluk lutut dan menyerah begitu saja atas nama
tawakal kepada Allah.
Kendatipun argumen-argumen ini sudah cukup kuat sesuai dengan
maksud yang saya kemukakan itu, namun saya tak dapat
mengabaikan argumen terakhir yang saya pandang sangat tepat
dan kuat sekali, yakni argumen yang dapat diambil dari firman
Tuhan:
"Harta dan anak-anak keturunan adalah hiasan kehidupan dunia,
tetapi perbuatan baik yang kekal lebih baik pahalanya dalam
pandangan Tuhan serta harapan yang lebih baik pula." (Qur'an,
18: 46)
Dalam hidup ini rasanya tak ada yang lebih baik merangsang
kita dalam bekerja dan berusaha seperti dalam mencari nafkah
dan harta. Demi harta sebagian besar orang berusaha dan
berjuang, yang kadang sampai diluar kemampuannya. Dalam dunia
kita sekarang ini, sekali lihat saja orang sudah dapat
memperoleh kesan apa yang sedang bergolak dalam dunia ini -
perjuangan dan kesulitan, perang dan damai, pemberontakan dan
kekacauan - demi harta. Demi harta inilah kerajaan-kerajaan
terbalik menjadi republik, untuk harta ini pertumpahan darah
terjadi, nyawa manusia melayang. Juga anak-anak keturunan!
Kesulitan yang bagaimanakah yang tidak akan kita pikul demi
anak-anak buah hati kita! Kepahitan yang bagaimana pula yang
takkan terasa manis kalau memang untuk kesenangan mereka,
untuk menjamin kemakmuran hidup dan kemuliaan mereka! Segala
kesulitan untuk mencapai kebahagiaan mereka itu jadi mudah.
Bahkan, demi harta dan anak-anak keturunannya itu, ada orang
yang menganggap segala yang mustahil itu tiada berarti. Ada
yang sampai berlebih-lebihan sekali dalam hal ini sehingga
untuk itu ia mengorbankan segala kesenangannya, bahkan
hidupnya.
Memang demikianlah, harta dan anak-anak keturunan itu memang
hiasan (bentuk luar) kehidupan dunia. Tetapi disamping inti
kehidupan yang sebenarnya bentuk luar itu bukan apa-apa. Orang
yang mengorbankan inti demi hiasan lahir, sama dengan orang
yang berpikir sempit dan bodoh saja: sama dengan perempuan
yang tidak memandang penting kesehatannya sendiri asal dia
tampak cantik untuk sementara waktu; sama dengan pemuda yang
sudah lupa daratan, yang mau mengorbankan pikiran dan harga
dirinya ditengah-tengah ejekan kawan-kawannya bila ia mengira
bahwa dirinya adalah pemimpin mereka sebab dia sudah
menghambur-hamburkan harta untuk mereka itu; atau sama seperti
mereka, orang-orang yang begitu bodoh, yang tertipu oleh
kenyataan dibalik kebenaran, oleh hari ini dibalik hari esok.
Mereka yang mengejar harta dan anak-anak keturunan sebagai
hiasan kehidupan dunia dan melupakan yang lain, mereka ini
tidak kurang pula bodohnya. Harta dan anak-anak keturunan
suatu hiasan. Sedang inti kehidupan ialah segala pekerjaan dan
perbuatan baik yang kekal. Dan untuk perbuatan-perbuatan baik
inilah orang harus mencurahkan tenaga dan perjuangannya lebih
dari pada untuk hiasan (bentuk luar) kehidupan dunia, harta
dan anak-anak keturunannya.
Kita sudah melihat betapa luhurnya tujuan yang digambarkan
ayat Qur'an Suci ini. Kalau kita sudah mencurahkan segala
tenaga dan darah kita demi hiasan kehidupan dunia ini, maka
kita juga harus mencurahkan jiwa dan hati kita untuk inti
daripada kehidupan itu, bentuk harus tunduk kepada inti. Oleh
karena itu segala hidup kita, harta kita dan anak-anak
keturunan kita harus ditujukan kepada tujuan ini, kepada inti
daripada perbuatan-perbuatan baik yang kekal itu yang lebih
besar pahalanya dalam pandangan Tuhan serta harapan yang lebih
baik pula.
Mengenai logika yang begitu sehat dan jelas ini bagaimana
dalam pemikiran Muslimin dapat berubah menjadi bermacam-macam
kepercayaan yang sama sekali tidak sesuai? Pada pembahasan
yang pertama buku ini sepintas lalu ada juga kita singgung
tatkala kita sebutkan tentang keadaan yang sudah berubah pada
umat Islam itu.
Karena adanya penaklukan-penaklukan yang pernah menguasai
imperium Islam secara berturut-turut sejak berakhirnya zaman
dinasti Abbasiah - seperti yang sudah kita singgung sepintas
lalu dalam pengantar cetakan kedua - cara musyawarah yang
berlaku pada permulaan sejarah Islam telah berubah menjadi
kerajaan yang sewenang-wenang pada zaman dinasti Umayyah, lalu
menjadi hak suci pada masa Abbasiah kedua.
Baiklah sekarang kita ikuti keterangan almarhum Syaikh
Muhammad Abduh dengan agak terperinci dalam Al-Islam
wan-Nashrania sebagai berikut:
"Islam pada mulanya agama yang dianut orang Arab. Kemudian
setelah berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang tadinya
bercorak Yunani ilmu itu pun lalu bercorak Arab pula. Kemudian
ada seorang khalifah yang salah dalam menjalankan politik.
Keluasan Islam digunakannya untuk apa yang dikiranya akan
membawa keuntungan untuk kepentingannya - dikiranya bahwa
tentara yang terdiri dari orang-orang Arab itu mungkin saja
akan jadi pendukung seorang khalifah golongan Ali, sebab
golongan ini dekat sekali pertaliannya dengan keluarga Nabi
s.a.w. Oleh karena itu ia mau mempergunakan tentara dari luar,
yang terdiri dari orang-orang Turki, Dailam dan lain-lain yang
dikiranya pula bahwa dengan kekuasaannya itu mereka ini akan
dapat diperhamba, dapat dipergunakan untuk kepentingannya.
Suasana tidak akan membantu adanya pihak yang akan memberontak
kepadanya atau menuntut kedudukannya sebagai penguasa,
meskipun keluasan hukum Islam akan membenarkan ia melakukan
itu. Sejak itulah Islam jadi bercorak asing.
"Ada seorang khalifah Banu Abbas - yang karena mengingat
kepentingannya sendiri serta anak cucunya - ia ingin sebagian
besar tentaranya itu diangkat dari orang-orang asing, demikian
juga pembesar-pembesarnya. Suatu tindakan yang buruk sekali,
baik terhadap bangsanya atau pun terhadap agama. Tetapi tidak
lama kemudian pembesar-pembesar militer ini pun telah pula
dapat mengalahkan para khalifah itu. Dengan kekuasaan yang ada
itu mereka telah dapat bertindak sewenang-wenang. Sekarang
kekuasaan negara berada ditangan mereka, dengan tiada
persiapan pikiran seperti yang diajarkan Islam dan dengan hati
yang sudah diisi oleh pendidikan agama. Bahkan sebaliknya,
mereka datang menerima Islam dalam keadaan biadab dan bodoh,
dengan membawa segala macam kekejaman. Tubuh mereka mengenakan
pakaian Islam, tapi ajarannya belum sampai menembusi hati
mereka. Masih banyak diantara mereka itu yang membawa berhala
untuk disembah dengan diam-diam. Kalau pun ada yang
menjalankan salat bersama-sama, itu hanya untuk memperkuat
kekuasaannya.
"Kemudian datang lagi yang lain melanda Islam, seperti bangsa
Tatar dan yang lain misalnya, malah persoalan agama juga
dibawah kekuasaannya. Buat mereka musuh yang paling besar
ialah ilmu pengetahuan. Orang pun sudah mengenal siapa mereka,
sudah mengetahui sejarah mereka yang buruk itu. Mereka sangat
memusuhi ilmu, juga memusuhi yang menjadi pelindung ilmu,
yakni Islam. Segala yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan
tidak pernah mendapat perhatian mereka, bantuan untuk itu pun
dihentikan. Tidak sedikit dari kaki tangan mereka itu yang
turut menyusup kedalam jiwa orang yang masih awam dalam
agamanya. Mereka menempatkan diri ke tengah-tengah orang yang
masih hijau dalam agama itu, sebagai orang yang taat dan
pelindung agama. Mereka menganggap agama masih belum sempurna,
perlu disempurnakan, atau sedang sakit, perlu diobati, atau
juga sedang miring, perlu ditopang, sudah hampir roboh, jadi
perlu dibangun kembali.
"Dengan mengingat masa lampau mereka yang masih dalam
kemegahan paganisma, adat-istiadat golongan-golongan Nasrani
yang terdapat di sekitarnya, mereka pun hendak menerapkan
semua itu ke dalam Islam - suatu hal yang diluar tanggungjawab
Islam. Tetapi dalam meyakinkan orang-orang awam bahwa yang
demikian ini demi kebesaran syiar agama, mereka berhasil.
Rakyat jelata memang alat penguasa dan senjata kaum tiran.
Mereka telah menciptakan bermacam-macam pesta dan
upacara-upacara keagamaan. Merekalah yang membuat peraturan
kepada kita tentang adanya pemujaan kepada para wali, kepada
ulama dan yang sebangsanya. Mereka telah memecah belah umat
Islam, dan menjerumuskan orang kedalam kesesatan. Mereka juga
yang menentukan, bahwa kita yang datang kemudian harus
mengikuti apa yang dikatakan oleh orang dahulu. Hal ini oleh
mereka telah dijadikannya pula suatu akidah, yang membuat
orang jadi berhenti berpikir, membuat pikiran jadi beku.
"Lalu kaki tangan mereka menyebarkan cerita-cerita,
berita-berita dan bermacam-macam pandangan ke seluruh pelosok
kawasan Islam - yang akan membuat orang awam jadi puas dan
yakin - bahwa mereka tidak berhak mencampuri soal-soal umum.
Segala yang berhubungan dengan soal-soal masyarakat dan negara
adalah menjadi wewenang para penguasa. Barangsiapa mau
mencampuri soal semacam ini di luar mereka, berarti ia
memasuki persoalan yang bukan bidangnya. Apabila sampai timbul
kerusakan-kerusakan dan suasana yang tidak menyenangkan, semua
itu bukan karena perbuatan para penguasa, melainkan suatu
kenyataan seperti yang disebutkan dalam hadis-hadis sebagai
ciri-ciri akhir zaman. Orang tidak perlu menghindarkan diri
baik untuk masa sekarang mau pun untuk masa yang akan datang.
Maka lebih aman apabila hal ini kita serahkan saja kepada
Tuhan. Kewajiban seorang Muslim hanyalah mengurus diri
sendiri.
"Dalam hal ini mereka menemukan pula beberapa hadis yang
secara harfiah membantu sekali maksud mereka. Demikian juga
adanya hadis-hadis palsu dan lemah dapat memperkuat tujuan
mereka menyebarkan pelbagai ilusi semacam itu. Barisan yang
menyesatkan semacam itu sudah tersebar luas di kalangan
Muslimin sendiri, dengan mendapat bantuan di mana-mana dari
pembesar-pembesar yang memang berbahaya itu. Kepercayaan
tentang takdir mereka pergunakan sebagai alat pemadam
semangat, sebagai belenggu yang akan dipasang di tangan orang
yang mau berusaha. Faktor yang paling kuat mendorong hati
orang menerima dongengan-dongengan semacam ini ialah tingkat
pengetahuan yang masih bersahaja, kesadaran beragama yang
lemah dan mudah terbawa nafsu. Ketiga faktor ini bila bertemu
berarti suatu kehancuran. Kebenaran sudah tertimbun oleh
kepalsuan yang begitu tebal. Kepercayaan-kepercayaan yang
bertentangan dengan ajaran pokok agama, dan mengaburkannya
sekaligus - seperti kata orang - sudah sangat melekat ke dalam
hati.
"Politik demikian ini adalah politik tirani dan egoistis
sifatnya. Politik inilah yang menyebarkan hal-hal yang bukan
dan agama dimasukkan kedalam agama. Politik inilah yang telah
merampas harapan dari si Muslim yang tadinya hendak menembusi
lapisan langit; terpaku ia dalam hidup putus asa, hidup dengan
makhluk-makhluk hewan yang membisu ... Sebagian besar yang
kita saksikan sekarang, yang dinamakan Islam, sebenarnya bukan
Islam. Hanya bentuknya saja yang masih dipelihara sebagai
amalan-amalan Islam - sembahyang, puasa, naik haji, ditambah
sedikit hafalan kata-kata-yang artinya sudah dibelokkan pula.
Ajaran-ajaran bid'ah dan dongengan-dongengan yang dimasukkan
kedalam agama dan dianggap sebagai agama, telah membuat orang
jadi beku dalam berpikir, seperti sudah saya sebutkan tadi.
Semoga Tuhan menjauhkan semua kita dari mereka dan dari
kebohongan yang mereka buat-buat atas nama Tuhan dan agama
itu! Segala cacat yang sekarang dialamatkan kepada kaum
Muslimin sebenarnya bukan dari Islam, tetapi sesuatu yang lain
yang mereka namakan Islam."7
Keadaan yang digambarkan oleh Syaikh Muhammad Abduh ini memang
merupakan beberapa pendirian yang bertentangan sekali, yang
oleh mereka disiar-siarkan dan disebarkan begitu luas dengan
mengatakan bahwa itu ajaran Islam, itu perintah Tuhan dan
Rasul. Dan pelbagai macam pendirian inilah lahirnya mazhab
jabariah, yang oleh mereka yang datang kemudian telah
digambarkan begitu rupa, berlainan sekali dengan apa yang ada
dalam Qur'an. Lukisan Qur'an mengenai hal ini sudah kita lihat
di atas. Sebaliknya yang datang kemudian, mereka hanya
menyuruh orang duduk-duduk dan menyerah saja. dengan
mengatakan bahwa lapangan hidup ini bukan harus dilakukan
dengan usaha dan rencana, tetapi memang sudah tergantung
kepada rejeki dan takdir juga, bukan kepada jasa pekerjaan
seseorang. Ini adalah jabariah yang salah sama sekali, yang
telah memberi peluang kepada beberapa orang di Barat untuk
menuduh Islam dengan tidak pada tempatnya. Berdasarkan
pendirian inilah timbul mazhab merendamkan arti materi dan
tidak mau campur tangan dalam persoalan semacam ini. Ini
adalah mazhab kaum Stoa8 di Yunani, juga pada suatu ketika
pernah tersebar di kalangan segolongan kaum Muslimin,
kendatipun ini memang bertentangan dengan firman Tuhan:
"Dan jangan kau lupakan nasibmu dalam kehidupan dunia ini."
(Qur'an 28 - 77)
Sungguhpun demikian aliran ini mempunyai literatur yang cukup
luas pada masa Banu Abbas dan sesudahnya. Yang dikehendaki
oleh Qur'an ialah jalan tengah. Ia tidak membenarkan orang
hidup serba menahan diri, juga tidak membenarkan ibahiyah atau
hidup serba boleh seperti diduga oleh Irving, bahwa cara hidup
demikian itu telah menghanyutkan kaum Muslimin kedalam
kemewahan dan melupakan perjuangannya, serta menjerumuskan
umat Islam ke dalam keadaan mereka seperti sekarang ini.
Penulis Amerika ini mengatakan, bahwa ajaran Kristen
mengajarkan kesucian dan kasih sayang sebaliknya daripada
lslam, seperti yang dituduhkannya. Bukan maksud saya akan
membanding-bandingkan Islam dengan Kristen dalam hal ini,
sebab keduanya memang sejalan, dan tidak berbeda. Biasanya
membanding-bandingkan demikian itu hanya akan berakhir pada
perdebatan dan pertentangan yang tidak akan menguntungkan
Kristen ataupun Islam. Akan tetapi apa yang saya perhatikan -
dan inilah yang ingin saya tekankan - ialah bahwa antara
sejarah hidup Isa 'a.s. dengan ajaran Stoaisma dan hidup
menahan diri secara berlebih-lebihan yang dihubungkan kepada
ajaran Kristen, terdapat perbedaan yang jelas sekali. Almasih
bukan seorang penganut ajaran stoa. Bahkan mujizatnya yang
mula-mula dan utama, ialah ketika ia mengubah air tawar
menjadi minuman anggur dalam pesta perkawinan di Kana,
Galilea, yang juga dia diundang, dan dia ingin jangan orang
kekurangan minuman keras itu setelah habis dari persediaan.
Juga dia tidak menolak undangan kaum Parisi9 yang mengadakan
pesta makan yang mewah dan dia tidak keberatan orang mengecap
kenikmatan yang diberikan Tuhan.
Sedang sejarah hidup Muhammad dalam hal ini lebih menekankan
pada keseimbangan jalan tengah. Memang benar bahwa Isa
menganjurkan orang-orang kaya bermurah hati kepada fakir
miskin dan mencintai mereka. Tetapi sepanjang yang pernah
dikenal umat manusia dalam hal ini, Qur'an lebih-lebih lagi
menekankan. Pembaca tentu sudah melihat sendiri ketika kita
bicara tentang zakat dan sedekah, sehingga tidak perlu lagi
kiranya diulang. Dan cukup kalau terhadap Irving dan yang
semacamnya itu kita jawab, bahwa Qur'an mengajarkan jalan
tengah dalam segala hal.
Tinggal lagi kata-kata terakhir yang diuraikan Irving itu,
yaitu kata-kata yang oleh pihak Barat dimaksudkan untuk
mencemarkan kita tapi sebenarnya itu merupakan kecemaran Barat
sendiri, merupakan arang di kening dan aib di wajah
kebudayaannya sendiri. Irving berkata: "Adanya bulan sabit ini
sampai sekarang di Eropa - yang pada suatu waktu pernah
mencapai kekuatan yang luarbiasa - hanyalah karena perbuatan
negara-negara Kristen yang besar-besar; atau lebih tepat lagi:
karena persaingan mereka sendiri. Bertahannya bulan sabit itu
barangkali untuk menjadi bukti yang baru, bahwa: "barangsiapa
menggunakan pedang akan binasa oleh pedang."
"Barangsiapa menggunakan pedang akan binasa oleh pedang." Ini
sebuah ayat dalam Injil (Perjanjian Baru) yang oleh Irving
dialamatkan kepada Islam, atas nama Kristen. Sungguh aneh!
Barangkali Irving masih dapat dimaafkan mengingat apa yang
dikatakannya itu sudah seabad yang lalu. Pada waktu itu
penjajahan Barat, menurut istilah kita - atau penjajahan
Kristen menurut istilahnya - keserakahan dan penggunaan
pedangnya belum separah seperti sekarang. Tetapi Marshal
Allenby, yang dalam tahun 1918 menaklukkan Yerusalem atas nama
Sekutu, ia berkata seperti kata-kata itu juga sambil berteriak
di Kuil Sulaiman: "Sekarang Perang Salib sudah selesai!"
Atau seperti dikatakan oleh Dr. Peterson Smith dalam sebuah
bukunya tentang kehidupan Almasih, bahwa "Penaklukan Yerusalem
itu adalah merupakan Perang Salib kedelapan yang dilancarkan
pihak Kristen untuk mencapai maksudnya." Bisa jadi benar juga
bahwa penaklukan itu berhasil bukan atas usaha pihak Kristen,
tapi atas usaha orang-orang Yahudi yang telah mempergunakan
mereka untuk menjadikan impian Israel dahulu kala suatu
kenyataan, lalu menjadikan Tanah yang dijanjikan itu sebagai
daerah nasional bangsa Yahudi.
"Barangsiapa menggunakan pedang akan binasa oleh pedang."
Kalau kata-kata Injil ini dapat diterapkan kepada sesuatu
golongan maka golongan yang paling tepat menerimanya dewasa
ini ialah Eropa yang menganut Kristen itulah. Islam tidak
pernah mempergunakan pedang dan oleh karenanya tidak akan
binasa oleh pedang. Sebaliknya Eropa yang menganut Kristen,
pada zaman belakangan ini telah menggunakan pedang untuk
mengejar kebebasan hidup yang berlebih-lebihan dan kemewahan
yang oleh Irving dipalsukan alamatnya, kepada Islam dan
Muslimin. Dewasa ini Eropa yang menganut Kristen itu telah
mengambil alih peranan yang dulu dipegang oleh Mongolia dan
Tatar, tatkala mereka yang secara lahir menggunakan baju Islam
menaklukkan beberapa kerajaan tanpa membawa ajaran-ajaran
Islam. Merekapun mengalami kehancuran bersama-sama kaum
Muslimin. Inilah keruntuhan yang telah menimpa bangsa-bangsa
Islam. Tetapi Eropa yang menganut Kristen dewasa ini tidak
lebih baik dari bangsa-bangsa Tatar dan Mongolia itu. Begitu
menaklukkan bangsa-bangsa Islam, segera pula mereka sendiri
menganut Islam, melihat kebesaran dan kesederhanaan yang ada
dalam ajaran Islam. Sebaliknya Eropa, ia menyerang bukan mau
menyiarkan sesuatu kepercayaan atau kebudayaan, tapi mau
menjajah, mau menjadikan agama Kristen sebagai alat
penjajahan.
Oleh karena itu propaganda misi Kristen Eropa tidak pernah
berhasil, sebab tujuannya memang sudah tidak ikhlas. Terutama
di kalangan bangsa-bangsa beragama Islam propaganda ini tidak
pernah berhasil dan tidak akan berhasil. Kebesaran dan
kesederhanaan Islam, demikian juga ajarannya yang memberi
tempat kepada pikiran logis dan ilmu, tidak memberi harapan
kepada propaganda agama apa pun untuk berhasil mempengaruhi
pemeluk-pemeluk Islam
"Barangsiapa menggunakan pedang akan binasa oleh pedang." Ini
benar. Meskipun ini memang sesuai dengan keadaan Muslimin yang
datang kemudian, yang berperang hendak menaklukkan beberapa
kerajaan dan untuk menjajahnya, bukan untuk membela diri dan
membela keyakinannya, tapi buat masa sekarang hal ini lebih
sesuai lagi dengan Barat yang berperang dan menaklukkan untuk
merendahkan dan menjajah bangsa-bangsa lain.
Kaum Muslimin yang mula-mula pada zaman Nabi dan para
penggantinya dan yang datang sesudah itu, mereka berperang
bukan untuk menaklukkan atau menjajah, melainkan untuk
mempertahankan keyakinan mereka tatkala mereka diancam oleh
Quraisy dan oleh orang-orang Arab, kemudian diancam pula oleh
Rumawi dan oleh Persia. Dalam peperangan ini mereka tidak
memaksa orang harus menganut Islam, karena memang tak ada
paksaan dalam agama. Juga dengan peperangan itu mereka tidak
bermaksud hendak menjajah bangsa lain. Beberapa kerajaan dan
amirat oleh Nabi dibiarkan dalam kerajaan dan amiratnya
masing-masing Tujuannya hanyalah supaya ada kebebasan
mempropagandakan agama. Oleh karena akidah Islam memang begitu
kuat dan jelas mempertahankan kebenaran yang diajarkannya,
jelas sekali bahwa tidak ada keistimewaan orang Arab terhadap
bangsa lain yang non-Arab, kecuali dengan takwa, dan bahwa
kekuasaan tertinggi itu hanya ada pada Allah, maka cepat
sekalilah ajaran ini tersebar ke segenap penjuru bumi, seperti
halnya dengan setiap kebenaran yang sungguh-sungguh jujur akan
cepat pula tersebar.
Akan tetapi setelah kemudian ada pihak-pihak yang masuk Islam
dan mereka ini terjun kedalam kancah peperangan dan
menaklukkan dengan menggunakan pedang, mereka pun kemudian
dihancurkan oleh pedang pula. Tetapi Islam tidak sekali-kali
mempergunakan pedang dan tidak akan binasa oleh pedang. Islam
tidak pernah mempergunakan pedang. Malah ia dapat memikat
pikiran dan hati nurani manusia hanya dengan kekuatan yang ada
di dalam Islam itu sendiri.
Itu juga sebabnya, meskipun bangsa-bangsa yang menganut Islam
secara silih berganti ditaklukkan, dikuasai dan dijaJah oleh
bangsa-bangsa lain, namun keislaman mereka tak pernah goyah,
keimanan mereka tak pernah berubah. Sampai saat ini Eropa
masih tetap menguasai bangsa-bangsa beragama Islam. Tetapi
mereka takkan mampu mengubah iman bangsa itu kepada Tuhan.
Sebaliknya, mereka yang dewasa ini mempergunakan pedang dan
menaklukkan umat Islam, maka nasib merekapun - supaya cocok
dengan kata-kata dalam Injil itu binasa oleh pedang sebagai
balasan yang sesuai pula.
Para penguasa dan raja-raja itu oleh Nabi telah dikembalikan
kepada kekuasaan mereka masing-masing. Negeri Arab yang pada
akhir zaman Nabi itu merupakan suatu kesatuan beberapa bangsa
Arab yang beragama Islam, tak ada sebuah negara pun yang dalam
status jajahan tunduk kepada Mekah atau Medinah. Dengan iman
mereka yang begitu teguh semua golongan Arab pada waktu itu
merasa sama rata di hadapan Allah. Mereka semua sejalan
seiring dalam menghadap pihak yang hendak melanda mereka atau
hendak membujuk mereka dari agamanya. Sampai pada waktu
sesudah itu, pada waktu Pax Islamica atau liga kesatuan
bangsa-bangsa Islam mulai goyah, pusat kediaman khalifah tetap
menjadi pusat liga itu. Kekuasaan Khalifah tidak pernah
mendakwakan sebagai pemegang monopoli masalah-masalah rohani
atau monopoli dalam kebudayaan. Bahkan semua bangsa yang
menganut Islam tidak mengenal adanya suatu kekuasaan rohani
diluar kekuasaan Tuhan. Semua pusat kawasan Islam waktu itu
adalah juga pusat pengembangan seni, ilmu dan teknologi. Yang
demikian ini berjalan terus, sampai datang waktunya keadaan
kaum Muslimin terpisah dari Islam. Ajaran Islam yang begitu
gemilang sudah tidak mereka kenal lagi, persaudaraan di
kalangan sesama mukmin sudah mereka lupakan, seseorang tidak
sempurna imannya sebelum ia mencintai saudaranya seperti
mencintai diri sendiri sudah mereka lupakan pula. Yang mulai
berlaku kemudian ialah mementingkan diri sendiri, yang mulai
memegang peranan kemudian ialah politik destruktif. Maka
pedang itulah yang dijadikan juru selamat. Terjadilah mereka
yang mempergunakan pedang akan binasa oleh pedang.
Berhubung dengan itu, sejak abad ke-15 Kristen Eropa mulai
bangkit dengan jiwa baru, yang barangkali akan ada juga
gunanya buat dunia kalau tidak segera mengalami kehancuran
yang sudah menjadi suatu keharusan sebagai akibat
pecah-belahnya ajaran Kristen menjadi sekte-sekte. Dalam pada
itu, bersamaan dengan masa kebangkitan itu pula bangsa-bangsa
Islam yang sudah melupakan Islam itu pun mulai pula dihadapkan
pada kekerasan pedang dan akan tetap dihadapkan pada pedang.
Dan pedang itu jugalah yang dijadikan juru selamat dalam
berhadapan dengan bangsa-bangsa Islam. Dalam hal ini apabila
pedang yang berbicara, maka segala pikiran, ilmu pengetahuan,
segala kebaikan, cinta kasih, iman bahkan kemanusiaan, sudah
tak ada gunanya lagi.
Dikuasainya dunia dewasa ini oleh pedang, ialah karena adanya
krisis rohani dan psikologi yang telah melandanya dan sampai
manusia menderita karenanya. Beberapa negara besar yang telah
menguasai dunia dengan pedang selama Perang Dunia Pertama -
yakni duapuluh tahun yang lalu - mereka sudah yakin sekali
akan kenyataan ini, dan lalu bermaksud hendak mengadakan
perdamaian di dunia. Maka untuk mencapai tujuan ini
dibangunlah Liga Bangsa-bangsa dan tugas liga ini ialah
seperti dalam firman Tuhan:
"Dan apabila ada dua golongan orang-orang beriman berkelahi,
maka damaikanlah keduanya itu. Tetapi jika salah satu dari
keduanya membangkang terhadap yang lain, maka lawanlah yang
membangkang itu sampai ia kembali kepada perintah Allah. Bila
mereka kembali, damaikanlah keduanya itu dengan cara yang
adil. Hendaklah berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang beriman
itu bersaudara. Demikianlah kedua golongan saudara kamu itu.
Berbaktilah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat."
(Qur'an, 49: 9-10)
Akan tetapi jiwa perdamaian itu belum lagi merata ke seluruh
dunia, karena dasar kebudayaan yang kini berkuasa ialah
kebudayaan imperialisma, imperialisma yang didasarkan kepada
nasionalisma dengan segala pertentangannya, dengan segala daya
upayanya, setiap negara yang kuat hendak mengisap
negara-negara kecil lainnya, maka sudah menjadi hak setiap
bangsa yang masih dijajah, bahkan harus menjadi kewajiban
pertama, berusaha menghancurkan belenggu si penjajah itu,
sebab penjajahan itulah bibit segala pemberontakan dan
peperangan. Selama masih ada penjajahan, perdamaian tak
mungkin terwujud, peperangan takkan berkesudahan, kecuali
dalam bentuk formalitas saja. Setiap bangsa, satu sama lain
akan tetap memandang dengan saling curiga-mencurigai, dengan
hati-hati dan menunggu-nunggu kesempatan hendak mengadakan
pembunuhan gelap. Dimana mungkin ada perdamaian kalau jiwa
semacam ini masih tetap berakar! Perdamaian itu baru ada,
apabila orang dari pelbagai bangsa dapat mengubah diri. Mereka
harus benar-benar percaya akan arti perdamaian, memegang teguh
segala ajaran yang didasarkan pada perdamaian dan dengan
ikhlas pula bersepakat menghadapi setiap usaha yang hendak
mengeruhkannya.
Hal ini baru akan terjadi apabila imperialisma itu sudah tidak
lagi menjadi dasar kebudayaan dunia, apabila semua orang di
segenap pelosok bumi ini sudah menyadari kewajibannya yang
pokok, yaitu yang kuat membantu yang lemah, yang besar
mengasihi yang kecil, yang pandai mau mendidik yang belum
pandai, dengan menyebarkan sinar panji ilmu pengetahuan ke
segenap penjuru bumi, dengan hasrat hendak memberi kebahagiaan
kepada umat manusia, bukan hendak mempergunakannya sebagai
alat memeras bangsa-bangsa lain atas nama ilmu pengetahuan,
atas nama perkembangan teknologi.
Apabila dunia semua sudah memegang prinsip ini, apabila orang
semua sudah merasa, bahwa dunia semua tanah airnya, dan bahwa
mereka semua bersaudara, satu sama lain saling mencintai
seperti mencintai diri sendiri - ketika itu akan ada toleransi
antara sesama manusia, akan ada keakraban; ketika itu mereka
akan berdialog dengan bahasa yang tidak lagi seperti sekarang.
Mereka akan saling percaya-mempercayai, sekalipun
masing-masing berjauhan tempat. Mereka semua akan bekerja
untuk kebaikan demi Allah. Ketika itulah segala permusuhan dan
kebencian akan terhapus. Dengan rahmat Tuhan kepada umat
manusia, dan kerelaan manusia kepada Tuhan, hanya kebenaran
yang akan ada, hanya perdamaian yang akan merata.
"Orang-orang yang beriman dan pengikut-pengikut Yahudi,
Nasrani dan orang-orang Shabi'un yang percaya kepada Allah dan
Hari Kemudian serta mengerjakan perbuatan yang baik, mereka
akan mendapat ganjaran dari Tuhan. Mereka tidak perlu takut,
tidak usah bersedih hati." (Qur'an, 2: 62)
Adakah dalam hal ini toleransi yang lebih luas dari ini! Orang
yang beriman kepada Allah, kepada Hari Kemudian lalu berbuat
kebaikan, mereka akan mendapat ganjaran dari Tuhan. Pada
dasarnya tiada perbedaan antara orang-orang yang beriman itu
dengan mereka yang belum mendapat ajakan Islam, baik Yahudi,
Nasrani atau Shabi'un10 (atau Sabian) yang belum dipalsukan
itu.
Tuhan berfirman:
"Dan ada sebagian Ahli Kitab itu yang beriman kepada Allah dan
kepada apa yang sudah diturunkan kepada kamu dan yang
diturunkan kepada mereka. Mereka sangat berendah hati kepada
Tuhan, tidak menjual ayat-ayat Allah dengan harga murah.
Mereka itulah yang akan mendapat ganjaran dari Tuhan, sebab
Allah sangat cepat memperhitungkan." (Qur'an, 3: 199)
Mana pula semua itu bila dibandingkan dengan kebudayaan Barat
yang kini menguasai dunia dengan segala chauvinisma dan
fanatisma agamanya serta segala peperangan dan kehancuran yang
timbul sebagai akibat fanatisma itu!
Inilah semangat jiwa yang begitu tinggi memberikan toleransi,
semangat yang harus merata menguasai dunia bila memang
dikehendaki supaya perdamaian itu bertakhta di dunia demi
kebahagiaan umat manusia. Semangat inilah yang telah membuat
setiap studi tentang sejarah hidup orang yang telah menerima
wahyu Allah dengan firman ini, menjadi suatu studi ilmiah yang
benar-benar bersih demi ilmu semata. Masalah-masalah psikologi
dan spirituil yang hendak mengantarkan manusia ke jalan
kebudayaan baru yang selama ini dicarinya, seharusnya sudah
dapat diungkapkan oleh ilmu pengetahuan. Dengan mendalami
studi demikian ini akan banyak sekali hal-hal yang akan dapat
diungkapkan, yang sejak sekian lama orang menduga tidak
mungkin akan dapat dianalisa secara ilmiah. Ternyata
pembahasan-pembahasan ilmu jiwa kemudian dapat menerangkan
dengan jelas sekali, terutama bagi mereka yang memang mau
memahaminya.
Seperti sudah kita lihat, keluhuran hidup Muhammad adalah
hidup manusia yang sudah begitu tinggi sejauh yang pernah
dicapai oleh umat manusia. Hidup yang penuh dengan teladan
yang luhur dan indah bagi setiap insan yang sudah mendapat
bimbingan hati nurani, yang hendak berusaha mencapai kodrat
manusia yang lebih sempurna dengan jalan iman dan perbuatan
yang baik. Dimana pulakah ada suatu keagungan dan keluhuran
dalam hidup seperti yang terdapat dalam diri Muhammad ini,
yang dalam hidup sebelum kerasulannya sudah menjadi suri
teladan pula sebagai lambang kejujuran, lambang harga diri dan
tempat kepercayaan orang. Demikian juga sesudah masa
kerasulannya, hidupnya penuh pengorbanan, untuk Allah, untuk
kebenaran, dan untuk itu pula Allah telah mengutusnya. Suatu
pengorbanan yang sudah berkali-kali menghadapkan nyawanya
kepada maut. Tetapi, bujukan masyarakatnya sendiri pun - yang
dalam gengsi dan keturunan ia sederajat dengan mereka - yang
baik dengan harta, kedudukan atau dengan godaan-godaan lain
-mereka tidak dapat merintanginya.
Kehidupan insani yang begitu luhur dan cemerlang itu belum ada
dalam kehidupan manusia lain yang pernah mencapainya,
keluhuran yang sudah meliputi segala segi kehidupan. Apalagi
yang kita lihat suatu kehidupan manusia yang sudah bersatu
dengan kehidupan alam semesta sejak dunia ini berkembang
sampai akhir zaman, berhubungan dengan Pencipta alam dengan
segala karunia dan pengampunanNya. Kalau tidak karena adanya
kesungguhan dan kejujuran Muhammad menyampaikan risalah Tuhan,
niscaya kehidupan yang kita lihat ini lambat laun akan
menghilangkan apa yang telah diajarkannya itu.
Tetapi, seribu tigaratus limapuluh tahun ini sudah lampau,
namun amanat Tuhan yang disampaikan Muhammad, masih tetap
menjadi saksi kebenaran dan bimbingan hidup. Untuk itu cukup
satu saja kiranya kita kemukakan sebagai contoh, yaitu apa
yang diwahyukan Allah kepada Muhammad, bahwa dia adalah
penutup para nabi dan para rasul. Empat belas abad sudah lalu,
tiada seorang juga sementara itu yang mendakwakan diri bahwa
dia seorang nabi atau rasul Tuhan lalu orang mempercayainya.
Sementara dalam abad-abad itu memang sudah lahir tokoh-tokoh
di dunia yang sudah mencapai kebesaran begitu tinggi dalam
pelbagai bidang kehidupan, namun anugerah sebagai kenabian dan
kerasulan tidak sampai kepada mereka. Sebelum Muhammad memang
sudah ada para nabi dan rasul yang datang silih berganti.
Mereka semua sudah memberi peringatan kepada masyarakatnya
masing-masing bahwa mereka itu sesat, dan diajaknya mereka
kepada agama yang benar. Namun tiada seorang diantara mereka
itu yang menyebutkan, bahwa dia diutus kepada seluruh umat
manusia, atau bahwa dia adalah penutup para nabi dan para
rasul. Sebaliknya Muhammad, ia mengatakan itu, dan sejarah pun
sepanjang abad membenarkan kata-katanya. Dan itu bukan suatu
cerita yang dibuat-buat, tetapi memang hendak memperkuat apa
yang sudah ada, serta menjelaskan sesuatunya, sebagai petunjuk
dan rahmat bagi mereka yang beriman.
Tujuan pokok yang saya harapkan ialah, semoga apa yang saya
maksudkan dengan pembahasan ini sudah akan memadai juga
hendaknya, dan semoga dengan ini saya sudah merambah jalan ke
arah adanya pembahasan-pembahasan yang lebih dalam dan
menyeluruh dalam bidangnya. Saya sudah berusaha kearah itu
sekuat kemampuan saya, dan Tuhan juga kiranya yang akan
memberi keringanan kepada saya.
"Tuhan tidak akan memaksa seseorang di luar kesanggupannya.
Segala usaha baik yang dikerjakannya adalah untuk dirinya, dan
yang sebaliknya pun untuk dirinya pula. 'Ya Allah, jangan kami
dianggap bersalah, bila kami lupa atau keliru. Ya Allah,
janganlah Kaupikulkan kepada kami beban seperti yang pernah
Kaupikulkan kepada mereka yang sebelum kami. Ya Allah, jangan
hendaknya Kaupikulkan kepada kami beban yang kiranya takkan
sanggup kami pikul. Beri maaflah kami, ampunilah kami dan
berilah kami rahmat. Engkau jugalah Pelindung kami terhadap
mereka yang tiada beriman itu." (Qur'an, 2: 286)
Catatan kaki:
1 Paham jabariyah ini mengatakan bahwa Tuhan menciptakan
manusia dengan perbuatannya, sehingga manusia tak dapat
berbuat lain daripada yang sudah ditakdirkan Tuhan (lihat
catatan di bawah). Paham ini sering disamakan dengan
'fatalisma' dan 'predestination.' Sebaliknya dari paham
ini ialah qadariyah yang berpendapat bahwa Tuhan hanya
menciptakan manusia tapi tidak menciptakan perbuatannya.
Kedua aliran paham ini timbul sekitar abad ke-8 M.
Menurut Qur'an (2: 177) rukun iman ada lima, yang keenam,
yaitu jabariyah tidak ada. Paham ini didasarkan kepada
hadis, yang menurut beberapa ahli sanadnya tidak begitu
kuat dan dianggap bertentangan dengan Qur'an (A).
2 Yang dimaksud dengan 'papan abadi' tentunya ialah
'al-lauh'l-mahfuz' yang secara harfiah 'papan tulis yang
terjaga' dan secara awam kadang diartikan, bahwa segala
perbuatan nasib manusia sudah ditakdirkan dan tertulis
lebih dulu dalam 'papan' ini, sehingga manusia sudah tak
dapat mengelak lagi. Padahal arti 'lauh mafhuz' yang
sebenarnya ialah Qur'an (85: 21-22) yang terjaga, yang
takkan pernah dapat dipalsu atau diubah oleh tangan
manusia (15: 9). Juga tidak sekali-kali dalam arti materi
terbuat dari batu, kayu dan sebagainya (A).
3 Ikhtiar disini berarti kemauan bebas atau free will,
atau sengaja, sebaliknya daripada jabariyah atau
fatalisma (A).
4 Tawakal atau tawakkal berarti mempercayakan diri kepada
Allah setelah segala usaha dan daya upaya dilakukan, atau
seperti kata pepatah 'habis akal barulah tawakal' (A).
5 Determinisma ilmiah, 'dunia sebagai kemauan dan
pikiran' dan 'evolusi kreatif' ialah beberapa mazhab
filsafat Barat. Yang pertama menurut pendapat kaum
Positivist, yang kedua menurut Schopenhauer dan yang
ketiga menurut Bergson. Di sini tempatnya sangat terbatas
untuk dapat menguraikan semua ini.
6 Sekedar gambaran, jarak matahari dari bumi 93.000.000
mil jauhnya. Kecepatan tertinggi yang dapat dicatat oleh
ilmu pengetahuan sampai sekarang ialah cahaya, yakni
186.000 mil per detik. Ada beberapa bintang yang demikian
jauh sehingga cahayanya baru sampai ke bumi sesudah lebil
dari 2.000.000 tahun (A).
7 Al-Islam wan-Nashrania, p. 122 - 125.
8 Stoa ialah suatu ajaran filsafat Yunani dibangun oleh
Zeno (336? - 264? sebelum Masehi). Kaum Stoa percaya
bahwa segala kejadian harus diterima dengan tenang dan
sabar dan bebas dari segala perasaan benci dan suka,
sedih dan gembira (A).
9 Kaum Parisi ialah suatu sekte agama Yahudi dahulu kala
yang memisahkan diri, sangat kaku sekali mempertahankan
undang-undang agama, baik yang tertulis (Taurat), lisan
ataupun adat kebiasaan. Lawan sekte Saduki (A).
10 Dalam menafsirkan ayat ini At-Tabari menyebutkan,
bahwa yang dimaksud dengan orang-orang yang beriman itu
ialah mereka yang percaya kepada Rasulullah;
pengikut-pengikut Yahudi ialah orang-orang (yang menganut
agama) Yahudi. Mereka ini disebut Yahudi karena kata-kata
mereka juga: inna hudna ilaika - 'kami kembali kepadaMu'
atau 'kami bertaubat.' Orang-orang Nasrani ialah
pengikut-pengikut Kristus. Dinamakan Nasrani, satu
pendapat mengatakan nama itu dinisbatkan kepada Nazareth,
yaitu nama desa di Palestina tempat Isa dilahirkan, yang
lain berpendapat, ialah karena ucapan Isa yang mengatakan
'man anshari ila'llah' ('siapakah penolong-penolongku ke
jalan Allah'), maka penolong-penolong itu diberi sebutan
'Nashara' (bentuk jamak 'Nashrani); Shabi'un (atau
Sabian) menurut satu pendapat ialah mereka yang menyembah
malaikat. Pendapat lain mengatakan, bahwa mereka ini
percaya kepada: keesaan Tuhan, tetapi tidak mempunyai
kitab suci, tak ada nabi dan tidak mengamalkan sesuatu
selain percaya bahwa tak ada tuhan selain Allah. Pendapat
ketiga mengatakan, bahwa kaum Shabi'un ini orang-orang
tidak beragama (Lihat juga catatan bawah halaman 33). Ibn
Jarir menafsirkan ayat dalam firman Tuhan: "Orang yang
beriman kepada Allah dan Hari Kemudian" ialah orang yang
percaya akan hari kebangkitan sesudah mati pada hari
kiamat, orang berbuat kebaikan dan taat kepada perintah
Allah, mereka itulah yang akan mendapat ganjaran dari
Tuhan, yakni mereka akan mendapat pahala dari Tuhan
karena perbuatan-perbuatan yang baik. Sedang firman
"mereka tidak perlu takut, tidak usah berduka cita,"
ialah bahwa mereka tidak perlu takut dalam menghadapi
hari kebangkitan, juga mereka tidak usah bersedih hati
akan kehidupan dunia yang ditinggalkannya dalam
menghadapi pahala dan kenikmatan abadi dari Tuhan. Dalam
hal ini selanjutnya Ibn Jarir mengatakan, bahwa ayat ini
ditujukan kepada orang Nasrani yang telah mengajak Salman
al-Farisi menganut agama mereka. Salah seorang dari
mereka juga mengatakan kepada Salman bahwa kelak akan
muncul nabi di negeri Arab dengan menunjukkan sekali akan
tanda-tanda kenabiannya itu. Dinasehatinya bahwa kalau
nanti sampai ia mengalami supaya dia pun menjadi
pengikutnya. Setelah Salman masuk Islam dan hal ini
disampaikannya kepada Nabi, Nabi berkata: "Salman, mereka
itu penghuni neraka." Hal ini sangat berkesan sekali pada
Salman. Maka turunlah ayat ini "Orang-orang yang berirnan
dari pengikut-pengikut Yahudi," dan seterusnya. Ada lagi
yang berpendapat bahwa Tuhan telah menghapus ayat
tersebut dengan firmanNya: "Barangsiapa menerima agama
selain Islam ia tidak akan diterima." Tetapi Ibn Jarir
menambahkan: "Apa yang kita sebutkan menurut penafsiran
yang pertama itu lebih mirip dengan keadaan wahyu menurut
lahirnya saja, sebab Tuhan tidak mengkhususkan ganjaran
itu atas perbuatan baik, dengan yang sebagian beriman dan
yang lain tidak. Predikat dengan kata-kata 'Orang yang
beriman kepada Allah dan hari kemudian' meliputi semua
yang disebutkan dalam ayat pertama itu. Barangkali dapat
juga disebutkan - untuk memperkuat pendapat Ibn Jarir
mengenai ulasan ayat "Barangsiapa menerima agama selain
Islam, ia tidak akan diterima," - bahwa itu ditujukan
kepada orang-orang Islam yang memilih agama lain setelah
mereka dilahirkan secara Islam atau sesudah beriman
kepada ajaran Islam. Sebaliknya yang dilahirkan tidak
sebagai Muslim, ajakan dan ajaran Islam tidak sampai
kepadanya seperti apa adanya, maka halnya sama dengan
mereka yang sebelum datangnya kerasulan Muhammad atau
yang semasa dengan itu tapi belum mengetahui tentang
ajaran itu dengan sebenarnya. [Lihat tafsir at-Tabarr
(Jami'l Bayan) Jilid Satu hal. 253 - 257].
---------------------------------------------
S E J A R A H H I D U P M U H A M M A D
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
Penerbit PUSTAKA JAYA
Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat
Cetakan Kelima, 1980
Seri PUSTAKA ISLAM No.1
Home »
S E J A R A H H I D U P M U H A M M A D
» 2. ORIENTALIS DAN KEBUDAYAAN ISLAM
2. ORIENTALIS DAN KEBUDAYAAN ISLAM
Written By MuslimMN on Sabtu, 09 April 2011 | 20.08
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar