Home » » TRADISI ZIARAH WALI SONGO

TRADISI ZIARAH WALI SONGO

Written By MuslimMN on Rabu, 30 Maret 2011 | 01.53

TRADISI ZIARAH WALI SONGO
Oleh : Ahmad Said Rifqi

Pesantren di Tanah Jawa merupakan lembaga pendidikan Islam yang berdirinya dipelopori oleh Para Waliyullah. Tidak heran jika para santri memiliki keterikatan secara batin kepada para wali sebagai pelopor berdirinya pesantren. Hubungan batin dengan para Waliyullah oleh para santri diwujudkan dengan melakukan ziarah ke makam mereka khususnya Wali Songo sebagai penyebar agama Islam di Tanah Jawa.
Makam para wali jaraknya berjauhan, maka perjalanan ziarah cukup menyita waktu dan melelahkan, bisa mencapai 5 hari perjalanan mulai dari Cirebon, Jawa Barat hingga Surabaya, Jawa Timur.
Selama perjalanan meskipun kurang tidur dan istirahat, para peziarah merasakan kepuasan batin karena dapat mengunjungi para pejuang Islam yang telah berjasa besar dalam mengembangkan ajaran Islam di Indonesia.
Tujuan ziarah yang sebenarnya adalah selain mengingat kematian, juga ikut mendoakan para wali agar mereka mendapat tambahan derajat di sisi Allah atas perjuangannya yang tidak mengenal lelah sambil juga mengharap kepada Allah mudah-mudahan semangat perjuangan itu Allah hunjamkan ke dalam dada para peziarah.
Sebagian masyarakat Buntet Pesantren melakukan tradisi ziarah Wali Songo selepas Idul Fitri. Ziarah ini dipimpin oleh Ustadz Drs. H. Najmuddin, MA dengan rute dimulai dari Sunan Gunung Jati Cirebon dan berakhir di Sunan Ampel Surabaya. Acara ziarah diisi dengan dzikir dan khotmil Qur`an 30 juz untuk setiap tempat ziarah. Selesai dzikir dan pembacaan al-Qur`an dilanjutkan dengan berdoa bersama untuk para kemuliaan dan kebahagiaan para wali Allah.
Untuk lebih memantapkan pemahaman tentang Wali Songo di bawah ini ada sedikit uraian singkat tentang sejarah Wali Songo yang mudah-mudahan dapat membantu para peziarah untuk mengenal sosok para wali. ”Walisongo” berarti sembilan orang wali. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati.
Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid. Maulana Malik Ibrahim yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.
Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 M hingga pertengahan abad 16 M, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.
Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat “sembilan wali” ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai “tabib” bagi Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai “paus dari Timur” hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa.

Maulana Malik Ibrahim (Wafat 1419 M)
Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim as-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14 M. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap as-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi.
Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Maghribi. Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand.
Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Sayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw. Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama tiga belas tahun sejak tahun 1379 M. Ia malah menikahi putri raja, yang memberinya dua putra. Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri.
Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya. Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik.
Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya. Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam.
Ia merangkul masyarakat bawah, kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.

Sunan Ampel (1401 - 1481 M)
Ia putera tertua Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad Tanah Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal dengan nama Raden Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401 Masehi. Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat di mana ia lama bermukim. Di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya (kota Wonokromo sekarang). Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama Sayid Ali Murtadho, sang adik.
Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu di Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian ia melabuh ke daerah Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui bibinya, seorang putri dari Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya. Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati di Tuban. Dari perkawinannya itu ia dikaruniai beberapa putera dan puteri. Di antaranya yang menjadi penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat.
Ketika Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus) hendak didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Ia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M.
Di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit, ia membangun mengembangkan pondok pesantren. Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah.
Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura. Sunan Ampel menganut fikih madzhab Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dialah yang mengenalkan istilah “Mo Limo” (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk “tidak berjudi, tidak minum-minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina.” Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.

Sunan Bonang (1465 - 1525 M)
Ia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban. Sunan Bonang belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta. Setelah cukup dewasa, ia berkelana untuk berdakwah di berbagai pelosok Pulau Jawa. Mula-mula ia berdakwah di Kediri, yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu.
Di sana ia mendirikan Masjid Sangkal Daha. Ia kemudian menetap di Bonang - desa kecil di Lasem, Jawa Tengah - sekitar 15 kilometer timur kota Rembang. Di desa itu ia membangun tempat pesujudan/zawiyah sekaligus pesantren yang kini dikenal dengan nama Watu Layar. Ia kemudian dikenal pula sebagai imam resmi pertama Kesultanan Demak, dan bahkan sempat menjadi panglima tertinggi.
Meskipun demikian, Sunan Bonang tak pernah menghentikan kebiasaannya untuk berkelana ke daerah-daerah yang sangat sulit. Ia acap berkunjung ke daerah-daerah terpencil di Tuban, Pati, Madura maupun Pulau Bawean. Di Pulau inilah, pada 1525 M ia meninggal. Jenazahnya dimakamkan di Tuban, di sebelah barat Masjid Agung, setelah sempat diperebutkan oleh masyarakat Bawean dan Tuban.
Tak seperti Sunan Giri yang lugas dalam fikih, ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu fikih, usuludin, tasawuf, seni, sastra dan arsitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang yang piawai mencari sumber air di tempat-tempat gersang. Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafat ‘cinta’ (’isyq). Sangat mirip dengan kecenderungan Jalalludin Rumi. Menurut Bonang, cinta sama dengan iman, pengetahuan intuitif (makrifat) dan kepatuhan kepada Allah swt. atau haq al yaqin. Ajaran tersebut disampaikannya secara populer melalui media kesenian yang disukai masyarakat.
Dalam hal ini, Sunan Bonang bahu-membahu dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga. Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk, atau tembang tamsil. Salah satunya adalah “Suluk Wijil” yang tampak dipengaruhi kitab "ash-Shidiq" karya Abu Sa’id al-Khayr (wafat pada 899). Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung laut. Sebuah pendekatan yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi serta Hamzah Fansuri. Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru.
Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan transedental (alam malakut).
Tembang “Tombo Ati” adalah salah satu karya Sunan Bonang. Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa ditafsirkan Sunan Bonang sebagai peperangan antara nafi (peniadaan) dan itsbat (peneguhan).

Sunan Kalijaga (1450 – 1550 M)
Dialah “wali” yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban, keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam. Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman. Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya. Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam (’kungkum’) di sungai (kali) atau “jaga kali”. Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab “qadhi dzaqa” yang menunjuk statusnya sebagai “penghulu suci” kesultanan.
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram di bawah pimpinan Panembahan Senopati.
Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah. Ia sangat toleran pada budaya lokal.
Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju Takwa, Perayaan Sekatenan, Grebeg Maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede - Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu, selatan Demak

Sunan Gunung Jati (1448 - 1568 M)
Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Di antaranya adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra’ Mi’raj, lalu bertemu Rasulullah saw, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman as. (Babad Cirebon Naskah Klayan hal. xxii). Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina. Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir.
Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati. Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya “wali songo” yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan. Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah. Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten.
Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten. Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean.
Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.

Sunan Kudus
Nama kecilnya Ja'far Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima Perang. Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul.
Cara berdakwahnya meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali -yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh- menunjuknya. Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha.
Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus. Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tablighnya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat al-Baqarah yang berarti “sapi betina”.
Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi. Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.

Sunan Muria
Ia putra Dewi Saroh, adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus. Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga.
Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya.
Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530 M), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti .

Sejarah Islam:
Apakah Walisongo Berasal dari Negeri Cina?
Tetapi mengapa orang Cina Indonesia mayoritas tidak ada yang Cina Islam?
Apakah ada sesuatu yang buruk di Islam sehingga tidak cocok dengan orang Cina dalam sejarah Islam.
...Asvi Warman Adam
Wali Songo Berasal dari Cina?
Masjid Agung Demak, diyakini sebagai salah satu tempat berkumpulnya para wali yang paling awal.

Sumber: Kompas, Selasa, 12 Februari 2002
http://www.mesias.8k.com/asvi2.htm

Pada 1968 terbit buku Prof. Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Sejarah Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara. Buku itu dilarang oleh Kejaksaan Agung karena mengungkapkan hal-hal yang kontroversial waktu itu, yakni sebagian Wali Songo berasal dari Cina. Tidak ada salahnya, bila benar bahwa sembilan penyebar agama Islam itu dari Cina atau dari belahan dunia mana pun. Yang menjadi persoalan adalah saat itu rezim Orde Baru telah menetapkan Cina sebagai musuh karena negara itu dituduh membantu Gerakan 30 September 1965 M. Pemerintah Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Beijing, dan segala yang berbau Cina dilarang.
Pada era reformasi ini ada baiknya pendapat Slamet Muljana itu dikaji ulang dengan pikiran yang lebih tenang. Slamet Muljana membandingkan atau lebih tepat melakukan kompilasi terhadap tiga sumber, yaitu Serat Kanda, Babad Tanah Jawi, dan naskah dari kelenteng Sam Po Kong yang ditulis Poortman dan dikutip Parlindungan.
Residen Poortman tahun 1928 ditugasi pemerintah kolonial untuk menyelidiki apakah Raden Patah itu orang Cina. Raden Patah bergelar Penembahan Jimbun dalam Serat Kanda, dan Senapati Jimbun dalam Babad Tanah Jawi. Kata jin bun dalam salah satu dialek Cina berarti "orang kuat". Maka sang Residen itu menggeledah Kelenteng Sam Po Kong di Semarang dan mengangkut naskah berbahasa Tionghoa yang ada di sana -sebagian sudah berusia 400 tahun-sebanyak tiga cikar (pedati yang ditarik lembu). Arsip Poortman ini dikutip Mangaraja Onggang Parlindungan yang menulis buku yang juga kontroversial Tuanku Rao. Slamet Muljana banyak menyitir buku ini.
Slamet menyimpulkan, Bong Swi Hoo, yang datang di Jawa tahun 1445 M, sama dengan Sunan Ampel. Bong Swi Hoo ini menikah dengan Ni Gede Manila yang merupakan anak Gan Eng Cu (mantan kapitan Cina di Manila yang dipindahkan ke Tuban sejak tahun 1423). Dari perkawinan ini lahir Bonang yang kemudian dikenal sebagai Sunan Bonang. Bonang diasuh Sunan Ampel bersama dengan Giri yang kemudian dikenal sebagai Sunan Giri.
Putra Gan Eng Cu yang lain adalah Gan Si Cang yang menjadi kapitan Cina di Semarang. Tahun 1481 Gan Si Cang memimpin pembangunan Mesjid Demak dengan tukang-tukang kayu dari galangan kapal Semarang. Tiang penyangga masjid itu dibangun dengan model konstruksi tiang kapal yang terdiri dari kepingan-kepingan kayu yang tersusun rapi. Tiang itu dianggap lebih kuat menahan angin badai dari pada tiang yang terbuat dari kayu yang utuh.
Akhirnya Slamet menyimpulkan, Sunan Kali Jaga yang masa mudanya bernama Raden Said itu tak lain dari Gan Si Cang. Sedangkan Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah menurut Slamet Muljana adalah Toh A bo, putra Sultan Trenggana (memerintah di Demak tahun 1521-1546 M). Sementara itu Sunan Kudus atau Ja'far Sodiq yang tak lain dari Ja Tik Su.
Tentu tak ada larangan untuk berpendapat bahwa sebagian Wali Songo itu berasal dari Cina atau keturunan Cina. Namun, kelemahan Slamet Muljana, ia hanya mendasarkan kesimpulannya pada buku yang ditulis MO Parlindungan. Slamet pun tidak memeriksa sendiri naskah-naskah yang berasal dari kelenteng Sam Po Kong Semarang itu. Dengan melakukan penelitian terhadap sumber berbahasa Cina, baik yang ada di Nusantara maupun di daratan Cina, diharapkan periode ini (terutama mengenai penyebaran agama Islam di Jawa abad XV-XVI) dapat dijelaskan dengan lebih baik.
Sebetulnya pada masa ini cukup banyak sumber mengenai laksamana muslim Cheng Ho yang berlayar ke berbagai penjuru dunia awal abad XV dengan armada yang lebih besar dari pelaut Eropa. Cheng Ho sendiri mempunyai penerjemah Ma Huan yang juga beragama Islam dan menuliskan pengalaman ini dalam buku Yingyai Senglan.
Dalam buku itu dilaporkan tentang masyarakat Cina yang bermukim di Jawa yang berasal dari Kanton, Zhangzhou, dan Quanzhou. Mereka telah meninggalkan negeri Cina dan menetap di pelabuhan-pelabuhan pesisir Jawa sebelah timur. Di Tuban mereka merupakan sebagian besar penduduk yang waktu itu jumlahnya mencapai "seribu keluarga lebih sedikit".
Di Gresik hanya ada "pantai tanpa penghuni" sebelum orang Kanton menetap di sana. Di Surabaya sejumlah besar penduduk juga orang Cina. Menurut Ma Huan "kebanyakan orang Cina itu telah masuk agama Islam dan menaati aturan agama". (Lombard, Nusa Jawa, jilid II, 1996)
Pada abad-abad berikutnya sudah ada sumber berbahasa Eropa mengenai tokoh Cina yang beragama Islam. Ketika Banten mengalami masa kejayaan pada abad XVII, di sana ada pengusaha besar Tan Tse Ko. Ia bisa membaur dalam masyarakat Banten dengan menyatakan diri masuk Islam dan berganti nama jadi Cakradana.
Ia adalah seorang eksportir yang memiliki wawasan global. Dalam catatan sejarah tercantum, ia misalnya berkali-kali mengirim kapal dagang ke Indocina tahun 1670, 1671, 1672, 1676. Bukti bahwa Tan Tse Ko mempunyai hubungan dagang dengan saudagar Eropa terlihat dari surat tagihan utangnya yang ada di museum pada sebuah negeri Skandinavia, tertulis dalam bahasa Melayu, bahasa yang menjadi lingua franca di bilangan Nusantara ketika itu.
Saya tidak berbicara tentang akidah, sesuatu yang ada di dalam hati dan hanya diketahui masing-masing orang. Tidak diketahui apakah ia taat beribadah, hal ini tak disebut dalam sumber sejarah. Namun, secara formal ia masuk agama yang dipeluk oleh mayoritas masyarakat Banten masa itu. Yang jelas, dengan menjadi muslim, Cakradana telah dapat diterima menjadi anggota masyarakat Banten.
Karena dekat dengan raja -bukan sekarang saja, pedagang diangkat jadi pejabat- pada tahun 1677 Cakradana diangkat menjadi Syahbandar. Sayang, pada April 1682, VOC merebut Banten dan melarang seluruh perdagangan internasional yang selama ini dilakukan Banten, dalam rangka mendapatkan monopoli bagi pihak Belanda.
Tulisan ini diakhiri dengan pernyataan, sumber berbahasa Cina juga penting bagi penulisan sejarah penyebaran Islam di Nusantara (termasuk mengenai Walisongo) maupun bagi sejarah nasional secara umum. Selama 35 tahun, hal ini telah terabaikan.
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Meningkatkan Cinta Kita pada Sang Nabi
Copyright © 2011. PUSTAKA MUHIBBIN - Web Para Pecinta - All Rights Reserved
PROUDLY POWERED BY IT ASWAJA DEVELOPER
Themes by Maskolis.com | Published by Mas Template