Home » » KH. MOH. TIDJANI DI MATA SANTRI

KH. MOH. TIDJANI DI MATA SANTRI

Written By MuslimMN on Rabu, 30 Maret 2011 | 01.34

KH. MOH. TIDJANI DI MATA SANTRI


Tegas dalam Masalah Aqidah
Oleh: Ahmadi Thaha
Sungguh banyak kesaksian yang ingin saya sampaikan dalam kesempatan ini mengenai guru kita KH. Moh. Tidjani Djauhari, MA. (Allah yarham). Apalagi di hari-hari akhir, beliau merawat diri di rumah di Jakarta, dan saya ikut mendampinginya. Di ruang tamu yang diubah menjadi kamar rawat, ditutup tirai biru langit yang dipasang istri saya seperti disarankan KH Idris Djauhari, beliau dikunjungi banyak tokoh, rekan dan ratusan murid. Di antaranya putra Syeikh Ismail dari Mekah.
Di balik tirai itu pula, siang hari itu, saya merekam pidato beliau menggunakan PDA, lalu saya upload ke server di Internet, kemudian malam hari videonya ditayangkan di acara haflah takhrij Ma’had Tahfidz Al-Amien. Seperti para hadirin yang mendengarkan pesannya di acara ini, saya pun menangis saat merekam pesan-pesan beliau yang selalu merujuk al-Quran. Saya menangkap kesan, inilah pesan terakhir yang ingin beliau sampaikan. (Pesan lengkapnya dibukukan).

Tahajjud, “Sumsum” Spiritual Kiai Tidjani
Moh. Hamzah Arsa
Pengalaman spiritual bersama Kiai Tidjani dimulai dari sini: Dini hari, medio Maret 2007, saya tersentak kaget. Kiai Tidjani tiba-tiba membangunkan saya. Beliau sudah siap dengan pakaian shalat. Tasbih melingkar di jari kanannya. “Zah, Zah, bangun, shalat,” katanya. Saya terperanjat. Malu. Tanpa aba-aba, saya segera bangun, ke kamar mandi, wudlu, ganti pakaian, lalu shalat. Beberapa saat usai shalat tahajud, beliau ngajak shalat shubuh berjamaah. Beliau imam, saya ma’mumnya. Khusyu’ rasanya. Malam itu, saya istirahat sekamar dengan Kiai Tidjani di rumah Kiai Ridlo Zarkasyi, putra Kiai Imam Zarkasyi, di Joglo, Jakarta Barat, setelah seharian silaturrahmi ke beberapa kawan beliau di Jakarta, termasuk ke pejabat-pejabat pemerintah. Kamar tidur seluas kurang lebih tiga kali empat meter terletak di lantai dua. Satu dipan membujur di tengahnya. Kiai Tidjani istirahat di dipan, saya di lantai sebelah dipan beralaskan karpet. Agak kikuk. Tak lama, saya bisa menguasai perasaan ini. Saya baringkan tubuh. Saya lihat Kiai Tidjani masih khusyu berdzikir di atas kasur. Entahlah kemudian. Saya pun terlelap.
Kejadian serupa terulang, ketika saya istirahat sekamar dengan beliau di rumah salah satu kiai alumni Gontor di Rangkasbitung, Banten, Maret 2007. Rumah kiai ini terbilang sederhana. Posisisnya terletak di tengah pondok. Kanan-kirinya terlihat asrama santri, kamar ustadz, rumah-rumah penduduk dan hamparan sawah. Hawanya sejuk. Saya dan Kiai Tidjani istirahat di kamar lantai dua. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu. Dua dipan membujur di sisi kanan dan kiri. Kiai Tidjani istirahat di dipan sisi kiri, dan saya di dipan sisi kanan. Malam itu, rasa capek cukup menggerogoti tubuh saya. Perjalanan melintasi beberapa tempat di Jakarta dan Banten cukup menguras energi. Melihat saya kelihatan capek, Kiai Tidjani menyuruh segera istirahat. Saya mengamini. Aneh juga, walau beberapa kali berusaha menutup mata, tapi tidak jadi juga tidur. Sesekali saya melihat Kiai Tidjani. Beliau khusyu’ shalat dan dzikir di atas sajadah yang dihamparkan di atas kasur. Suaranya terdengar lamat-lamat. Beberapa saat saya menyaksikan beliau. Ingin sebenarnya melakukan itu, tapi entahlah, setan ternyata masih terlalu perkasa bagi saya. Saya pun terlelap.
Menjelang dini hari, saya tersentak mendengar suara Kiai Tidjani membangunkan. Saya membuka mata. Pakaian shalat membalut tubuhnya. Saya lihat, Kiai Tidjani sudah duduk khusyu’ di atas sajadah. Saya pun bergegas berwudlu, lalu shalat tahajud. Dilanjutkan shalat shubuh berjamaah.
Penggalan pengalaman spiritual sungguh mengusik pikiran dan batin saya hingga hari ini. Mengingatnya, serasa ada aliran energi spiritual mengalir ke dalam jiwa saya. Semoga. Dan, saya pun berusaha mencari hakikat filosofisnya. Pencarian saya mengarah pada satu kesimpulan: tahajjud adalah “sumsum” spiritual Kiai Tidjani. Ketegaran, kejujuran, kewibawaan, kejernihan berpikir, kesabaran, dan sikap positif beliau selama ini, jelas adalah buah dari tahajud yang dilakoninya dengan istiqamah. Kiai Tidjani telah mereguk manisnya “sumsum” tahajjud. Sekarang, bagaimana dengan kita?

Teladan Dalam Kesederhanaan
Oleh: Arif Firmansyah, Alumni ke-15 tahun 1991, Wartawan TEMPO
Saya punya penggalan pengalaman yang membuat saya takjub pada kesederhanaan ayahanda KH. Tidjani Jauhari. Tanpa menggurui, beliau lebih banyak memberi contoh lewat sikap hidup sehari-hari. Saat tiba jam pelajaran tafsir misalnya, beliau datang ke kelas naik sepeda mini dengan dua atau tiga kitab di keranjang sepedanya. Tak sekali pun beliau meminta buku itu diambilkan santrinya. Suatu pengalaman baru bagi saya yang saat itu duduk di kelas lima TMI.
Pengalaman lain adalah saat saya piket malam (bulis al lail) di koperasi di depan pintu gerbang pondok. Pada pukul 3 dini hari, KH Tidjani Jauhari berjalan seorang diri sambil membawa tas menanti bus jurusan Surabaya. Rupanya beliau mau ke Gontor karena harus mengajar mahasiswa IPD Gontor. Perjalanan ini dilakukan satu bulan sekali sejak beliau kembali ke ma’had tercinta pada tahun 1988.
Yang tak kalah menarik saat saya menjadi anggota sekretaris Yayasan Pondok Pesantren Al Amien tahun 1991 dan menghuni bangunan di samping kediaman beliau. Saya punya tugas membereskan rancangan buku bahasa Inggris “English for the Begginers”. Ketika saya lembur sampai malam bersama beberapa ustadz, beliau kadang datang sembari membawakan makanan kecil. Dari beliau pula saya mengenal Macintosh, komputer produksi Apple yang tergolong barang mewah masa itu.
Kesederhanaan dan kesahajaan itu tetap melekat ketika saya bertemu kembali di Jakarta pada tahun 2007 dan 2008. Dengan reputasi internasional yang dimiliki, ternyata beliau tetap membumi, sederhana nan bersahaja, santun dalam bertutur, tapi tegas dalam bersikap. Semoga Allah menempatkan beliau di tempat tertinggi, amin.

KH. Ach. Tidjani Bukan Sembarang Kiai!
Oleh: Zulfan Syahansyah
Membicarakan kehebatan Ayahanda kita ini, saya teringat saat Beliau mampir ke rumah saya di Jeddah. Waktu itu, Beliau minta diantarkan ke KBRI Jeddah. Ada beberapa masalah yang ingin Beliau utarakan di KBRI. Mulanya, saya ragu bisa mengantarkan Beliau ke sana dan ketemu Konjennya. Tapi setelah tiba di tempat, tidak saya sangka, ternyata Beliau sangat ditokohkan. Hampir semua staf KBRI respek pada beliau.

Piawai Membangun Jaringan
Oleh: Saibansah Dardani, Alumni Al-Amien ke-15 tahun 1991 (Youneral-Young Generation of Al-Amien).
Sabtu, 20 Juli 2008 lalu saya secara tidak sengaja bertemu dengan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir di Bandara Soekarno-Hatta Jakarta. Dalam pertemuan itu saya memperkenalkan diri sebagai santri Pondok Pesantren Al Amien Prenduan Madura. Tanpa berpikir lama, ulama yang paling dibenci oleh Amerika Serikat dan sekutunya itu langsung menyebut nama Kyai Tidjani Jauhari. Sontak saya langsung merasakan, betapa kebesaran seorang ayahanda Kyai Tidjani tetap terpelihara meski Allah telah memanggilnya.
Teringat pertemuan saya dengan beliau sebelum pertemuan terakhir di rumah sakit Surabaya. Ketika itu, ayahanda bersedia menemui saya di teras rumahnya ba’da isya’. Ada beberapa hal yang kami perbincangkan, termasuk mengenai membangun jaringan di Jakarta. Ayahanda memberikan beberapa nama untuk saya hubungi dengan maksud membangun jaringan itu tadi.
Akhirnya saya semakin mengerti betapa beliau adalah sosok yang tak hanya dalam ilmu agamanya, tapi juga sangat piawai membangun jaringan internasional. Terimakasih ayahanda, karena telah mendidik saya dan mengajar langsung selama dua tahun, 1989 s/d 1991. Semoga Allah menempatkan ayahanda di tempat tertinggi. Amien.
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Meningkatkan Cinta Kita pada Sang Nabi
Copyright © 2011. PUSTAKA MUHIBBIN - Web Para Pecinta - All Rights Reserved
PROUDLY POWERED BY IT ASWAJA DEVELOPER
Themes by Maskolis.com | Published by Mas Template