HAKIKAT DAN SEJARAH TASAWUF
Hakikat Tasawuf
Seringkali tasawuf dituduh sebagai ajaran sesat. Tasawuf dipersepsikan sebagai ajaran yang lahir dari rahim non Islam. Ia adalah ritual keagamaan yang diambil dari tradisi Kristen, Hindu dan Brahmana. Bahkan gerakan sufi, diidentikkan dengan kemalasan bekerja dan berfikir. Betulkah?
Untuk menilai apakah satu ajaran tidak Islami dan dianggap sebagai terkena infiltrasi budaya asing tidak cukup hanya karena ada kesamaan istilah atau ditemukannya beberapa kemiripan dalam laku ritual dengan tradisi agama lain atau karena ajaran itu muncul belakangan, pasca Nabi dan para shahabat. Perlu analisis yang lebih sabar, mendalam, dan objektif. Tidak bisa hanya dinilai dari kulitnya saja, tapi harus masuk ke substansi materi dan motif awalnya.
Tasawuf pada mulanya dimaksudkan sebagai tarbiyah akhlak-ruhani: mengamalkan akhlak mulia, dan meninggalkan setiap perilaku tercela. Atau sederhananya, ilmu untuk membersihkan jiwa dan menghaluskan budi pekerti. Demikian Imam Junaid al-Baghdadi, Syeikh Zakariya al-Anshari mendefinisikan makna Tasawuf.
Asal kata sufi sendiri ulama berbeda pendapat. Tapi perdebatan asal-usul kata itu tak terlalu penting. Adapun penolakan sebagian orang atas tasawuf karena menganggap kata sufi tidak ada dalam al-Qur'an, dan tidak dikenal pada zaman Nabi, Shahabat dan tabi'in tidak otomatis menjadikan tasawuf sebagai ajaran terlarang. Artinya, kalau mau jujur sebetulnya banyak sekali istilah-istilah (seperti nahwu, fikih, dan ushul fikih) yang lahir setelah periode Shahabat, tapi ulama kita tidak alergi, bahkan menggunakannya dengan penuh kesadaran.
Sejarah Tasawuf
Kenapa gerakan tasawuf baru muncul pasca era Shahabat dan Tabi'in? Kenapa tidak muncul pada masa Nabi? Jawabnya, saat itu kondisinya tidak membutuhkan tasawuf. Perilaku umat masih sangat stabil. Sisi akal, jasmani dan ruhani yang menjadi garapan Islam masih dijalankan secara seimbang. Cara pandang hidupnya jauh dari budaya pragmatisme, materialisme dan hedonisme.
Tasawuf sebagai nomenklatur sebuah perlawanan terhadap budaya materialisme belum ada, bahkan tidak dibutuhkan. Karena Nabi, para Shahabat dan para Tabi'in pada hakikatnya sudah sufi: sebuah perilaku yang tidak pernah mengagungkan kehidupan dunia, tapi juga tidak meremehkannya. Selalu ingat pada Allah swt. sebagai sang Khaliq
Ketika kekuasaan Islam makin meluas. Ketika kehidupan ekonomi dan sosial makin mapan, mulailah orang-orang lalai pada sisi ruhani. Budaya hedonisme pun menjadi fenomena umum. Saat itulah timbul gerakan tasawuf (sekitar abad ke-2 Hijriah). Gerakan yang bertujuan untuk mengingatkan tentang hakikat hidup. Konon, menurut pengarang "Kasyf" adz-Dzunun, orang yang pertama kali dijuluki ash-shufi adalah Abu Hasyim ash-Shufi (w. 150 H)
Urgensitas Tasawuf
Imam al-Ghazali dalam "an-Nushrah an-Nabawiyyah" mengatakan bahwa mendalami dunia tasawuf itu penting sekali. Karena, selain Nabi, tidak ada satupun manusia yang bisa lepas dari penyakit hati seperti riya, dengki, hasud dll. Dan, dalam pandangannya, tasawuflah yang bisa mengobati penyakit hati itu. Karena, tasawuf berkonsentrasi pada tiga hal di mana ketiga-tiganya sangat dianjurkan oleh al-Qur'an al-Karim. Pertama, selalu melakukan kontrol diri, muraqabah (mendekatkan diri) dan muhasabah (instorpeksi). Kedua, selalu berdzikir dan mengingat Allah swt. Ketiga, menanamkan sifat zuhud, cinta damai, jujur, sabar, syukur, tawakal, dermawan dan ikhlas.
Melihat konsenstrasi bahasan tasawuf di atas, jelas sekali bahwa tasawuf bagian dari ajaran Islam.
Tasawuf dan Tuduhan-Tuduhan Miring
Demi objektifitas, menilai apakah tasawuf melenceng dari ajaran Islam apa tidak, kita harus melewati beberapa kriteria di bawah ini. Dengan kriteria ini secara otomatis kita bisa mengukur hakikat tasawuf.
Pertama, penilaian harus melampaui tataran kulit, dan langsung masuk pada substansi materi dan tujuannya. Lantas apa substansi materi tasawuf? Seperti dijelaskan di atas tujuan tasawuf adalah dalam rangka membersihkan hati, mengamalkan hal-hal yang baik, dan meninggalkan hal-hal yang jelek. Seorang sufi dituntut selalu ikhlas, ridha, tawakal, dan zuhud - tanpa sama sekali mengatakan bahwa kehidupan dunia tidak penting.
Kedua, Menilai secara objektif, jauh dari sifat tendensius dan menggeneralisir masalah. Sikap ini sangat penting, karena pembacaan terhadap sebuah kasus yang sudah didahului oleh kesimpulan paten akan menghalangi objektifitas, dan memburamkan kebenaran sejati.
Ketiga, memahami istilah atau terminologi yang biasa digunakan para sufi, sehingga kita tidak terjebak kepada ketergesa-gesaan dalam memvonis sebuah masalah. Misalnya dalam dunia sufi dikenal istilah zuhud. Kemudian orang sering salah mengartikan bahwa zuhud adalah benci segala hal duniawi. Zuhud identik dengan malas kerja, dst. Padahal kalau kita teliti dengan sedikit kesabaran tentang apa itu arti zuhud yang dimaksud para sufi, maka kita akan menemukan bahwa zuhud yang dimaksud tidak seperti persepsi di atas. Abu Thalib al-Maki, seorang tokoh sufi, misalnya, punya pandangan bahwa bekerja dan memiliki harta sama sekali tidak mengurangi arti zuhud dan tawakal.
Keempat, dalam vonis hukum, kita perlu membedakan antara hukum sufi yang mengucapkan kata-kata dalam keadan ekstase dan dalam keadaan sadar.
Konsep ini penting sekali, supaya kita tidak terjebak pada sikap ekstrim seperti memvonis kafir, musyrik, fasik, dll. Kenyataan di atas sama sekali tidak berarti mau mengatakan bahwa sejarah sufi, putih bersih. Ada masa-masa di mana sufi atau oknum kaum sufi melenceng dari hakikat ajaran Islam, terutama setelah berkembangnya tasawuf falsafi.
Beberapa penyimpangan kaum sufi adalah seperti; menyepelekan kehidupan duniawi, terjebak pada pola pandang Jabariyah, mengaku-ngaku bahwa Allah swt. telah membebaskannya dari hukum taklif, seperti shalat, puasa, dll. dan semua hal bagi dirinya halal.
Kesimpulan
Setelah mengetahui hakikat ajaran tasawuf di atas jelaslah bahwa ajaran tasawuf, adalah bagian dari kekayaan khazanah Islam. Ia bukanlah aliran sesat. Bahwa ada penyimpang oknum atau lembaga sufi itu tidak berarti tasawuf secara keseluruhan jelek dan sesat. Kita jangan sekali-kali terjebak pada generalisir masalah. Karena sejatinya, tokoh-tokoh sufi berpendapat ajaran tasawuf harus bersendikan al-Qur'an dan Hadis. Di luar itu ditolak!
Tasawuf, seperti dinyatakan Syeikh Yusuf al-Qardhawi, adalah bagian tak terpisahkan dari ajaran Islam. Karena misi tasawuf adalah memperbaiki akhlak. Dan akhlak jelas sekali bagian dari Islam. Karena Nabi Muhamad saw. diutus untuk menyempurnakan akhlak.
Banyak sekali kajian historis mengenai Tasawuf atau Sufi. Ada sejumlah pendekatan yang dilakukan untuk menganalisa lintasan sejarah Tasawuf atau Thariqat Tasawuf, antara lain:
• Kajian terhadap teks-teks al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang berkaitan dengan dimensi Sufistik.
• Kajian terhadap profil para tokoh Sufi dengan pemikiran, pandangan, tindakan dan karya-karyanya.
• Kajian filosufi di balik ungkapan Sufistiknya.
• Kajian praktek Sufistik dan Thariqatnya dari masa ke masa.
• Kisah-kisah Sufi.
Sebagaimana diketahui Islam lahir dibawa oleh Rasulullah Muhammad saw. dengan doktrin-doktrin keagamaan, bersifat eksoteris dan esoteris, atau bersifat lahiriyah maupun batiniyah. Kedua doktrin tersebut bermuara pada satu titik, yang disebut dengan Titik Tauhid. Yaitu meng-Esakan Allah swt. baik dalam keyakinan maupun amaliyah ummat manusia. Oleh sebab itu, kelak akan muncul sejumlah istilah atau terminologi dalam ilmu-ilmu Islam sebagai pendekatan lain dari pemahaman amaliyah Islam itu sendiri.
Unsur-unsur Tauhid (theology) dalam tradisi historis Islam, lebih banyak responsinya ketika Rasulullah Muhammad saw. berada di Makkah, baru ketika hijrah ke Madinah sejumlah doktrin tentang amaliyah yang kelak disebut dengan doktrin Syari’at diturunkan. Lebih jauh tentang kajian historis responsi doktrin keagamaan antara periode Makkah dan Madinah ini, bisa dilihat dari beberapa kitab tentang Asbabun Nuzul, yaitu kajian tentang sebab-sebab turunnya ayat al-Qur’an, dan Asbabul Wurud, berkait dengan sebab-sebab munculnya hadits Nabi saw.
Sementara itu, fungsi-fungsi hadits Nabi antara lain menjelaskan praktek al-Qur’an, — dan karenanya kedudukan Hadits juga setara dengan Wahyu – lebih banyak memberikan petunjuk yang bersifat historis, yaitu kepentingan-kepentingan zaman saat itu, walaupun, kedua sumber agama itu tetap bersifat universal dan a historis. Apalagi ketika, sumber-sumber tersebut dibuat telaah seputar dunia esoteris, maka fungsi-fungsi historis hanya sebagai pelengkap belaka, selebihnya justru elemen-elemen fundamental akan muncul sebagai landasan pandangannya.
Seluruh ummat Islam pada periode Rasulullah saw. baik ketika di Makkah maupun di Madinah, sama sekali tidak memunculkan potensi-potensi konflik, apalagi muncul suatu kontradiksi, baik dari segi pemahaman keagamaan maupun praktek keagamaan, bahkan dalam praktek kehidupan sehari-hari. Hal demikian karena ummat Islam terikat suatu kesepakatan terhadap kedua sumber utama praktek ibadah mereka, sementara Rasul Muhammad saw. menjadi rujukan utama setiap masalah, sekaligus menjadi hakim atas semua persoalan yang muncul.
Tetapi perbedaan mulai muncul, terutama dalam soal pandangan yang bersifat publik, yaitu mengenai Khilafah pasca Rasulullah saw. wafat. Perbedaan pandangan ini memuncak ketika periode Khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Kelak perbedaan ini turut mewarnai munculnya faksi-faksi dalam praktek Islam, dan turut memberikan warna terhadap sejarah perkembangan Tasawuf itu sendiri, yang beriringan dengan dinamika sejarah Teologi dan madzhab-madzhab fiqih.
Istilah-istilah yang menjadi terminologi dalam Tasawuf, juga tidak pernah terekam, secara akademis dalam sejarah periode Islam awal. Bahkan di zaman Nabi kata Sufi, kata Syari’at, Hakikat, atau pun Thariqat, tidak dimunculkan sebagai istilah tersendiri dalam praktek keagamaan. Semata, karena para Sahabat dan Tabi’in, adalah sekaligus para pelaku Syari’at, Thariqat dan Hakikat, dalam kesehariannya. Hanya satu setengah abad kemudian, istilah-istilah itu muncul dengan terminologi tersendiri, dalam kerangka memudahkan praktek ke-Islaman yang sebenarnya.
Untuk melihat sejarah Tasawuf, definisi seputar Tasawuf dari para pelaku serta tokoh-tokohnya sangat membantu alur hitoris itu hingga dewasa ini. Pada zaman Nabi saw. kita mengenal istilah yang sangat komprehensif mengenai dunia esoteris, yang disebut dengan al-Ihsan. Dalam riwayat al-Bukhari, disebutkan oleh Rasulullah saw. dalam sabdanya:
“Hendaknya engkau menyembah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya, maka apabila engkau tidak melihatNya sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Bukhari)
Istilah al-Ihsan tersebut, dalam prakteknya, memunculkan tradisi agung dalam Islam, yaitu amaliyah batin yang kekal membangunkan suatu akademi esoteris yang luar biasa. “Seakan-akan melihat Allah dan Allah melihatnya,” adalah puncak dari prestasi moral seorang hamba Allah di saat sang hamba berhubungan denganNya.
Proses-proses berhubungan itulah yang kemudian diatur dalam praktek Tasawuf. Karena dalam setiap tradisi Thariqat Tasawuf yang memiliki sanad sampai kepada Rasulullah saw. – kelak disebut dengan Thariqat Mu’tabarah – menunjukkan bahwa tradisi Sufistik sudah berlangsung sejak zaman Rasulullah saw. Hanya saja tradisi tersebut tidak terpublikasi secara massif mengingat dunia esoteris adalah dunia spesifik, di mana tidak semua khalayak menerimanya.
Doktrin-doktrin dzikir dan pelaksanaannya yang dilakukan melalui bai'at pada Rasulullah saw. menggambarkan hubungan-hubungan psikologis antara Rasul saw. ketika itu dengan para sahabat dan Allah swt.
Di lain pihak, tradisi akademi Tasawuf nantinya melahirkan produk-produk penafsiran esoterik atau metafisik, terhadap khazanah al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Selain al-Qur’an secara khusus punya penekanan terhadap soal-soal Tasawuf, ternyata seluruh kandungan al-Qu’ran juga mengandung dimensi batin yang sangat unik. Jadi tidak ada alasan sama sekali untuk menolak Tasawuf, hanya karena beralasan bahwa Tasawuf tidak ada dalam al-Qur’an. Padahal seluruh kandungan al-Qur’an tersebut mengandung dua hal: dzahir dan bathin, syari’at dan hakikat.
Prof. Dr. Said Aqiel Siradj mencatat bahwa istilah Tasawuf, kebanyakan referensi menyebutkan muncul dari Ma’ruf al-Karkhy (w. 200 H). Namun Said Aqil cenderung berpihak pada Abu Abdillah (Abu Musa) Jabir bin Hayyan bin Abdillah al-Kufi al-Azdy (w. 161 H.) salah satu murid dari Ja’far ash-Shadiq yang terkenal dengan temuannya, Aljabar. Jabir bin Hayyan inilah yag pertama kali mendapat gelar sebagai Sufi, karena sebagai seorang ilmuwan matematika dan kimia, Jabir justru memasuki dunia Sufi dengan segala penemuannya.
Kesadaran Jabir bin Hayyan memasuki dunia Sufi bermula dari aksioma dhomir (kata ganti): ana (aku, orang pertama), huwa (dia, orang ketiga) dan anta (kamu, orang kedua). Ketiga kata ganti tersebut bisa melekat pada satu orang, semisal Ahmad. Ketika ia menyebut dirinya pasti menggunakan kata ganti ana, jika ia tidak ada di tempat maka ia disebut dengan huwa, sementara ketika ia ada di hadapan Anda, maka Anda menyebutnya anta. Lalu ke mana larinya ana, anta, huwa, setelah Ahmad meninggal dunia? Jabir menyimpulkan bahwa semua dhomir yang yang disandang itu kembali kepada Yang berhak mempunyai ana, anta dan huwa, yaitu Allah swt.
Baru pada abad ketiga hijriyah dinamika tasawuf baru pada taraf Tasawuf Sunni (akhlaqy). Baru kemudian menurut Said Aqil, berkembang Tasawuf Falsafi sebagaimana digaungkan oleh Abu Yazid al-Bistamy (w.261H.), disusul Abu Manshur al-Hallaj (w.309) masing-masing dengan teori al-Fana’ dan Ana al-Haq. Dua abad berikutnya muncullah as-Suhrawardi al-Maqtul dengan pandangan Isyraqnya, disusul Muhammad bin Abu Bakr Ibrahim bin Abi Ya’kub Ishak al-Aththar (w. 621 H), memperkenalkan teori al-Ittihad. Hampir bisa dikatakan bahwa puncak prestasi dari Tasawuf Falsafy itu pada masa Ibnu Araby.
Abdurrahman as-Sulamy (w. 412 H) dalam kitabnya "Thabaqat ash-Shufiyah", membagi generasi Sufi menjadi lima periode hingga peridodenya. Kitab tersebut sangat berperan besar dalam menyatukan visi besar kaum Shufi, mengingat ucapan-ucapan para tokoh Shufi dikutip di sana, bahkan dengan sejumlah landasan al-Qur’an dan as-Sunnah. Sebelumnya Ulama dan Sufi besar ini menulis buku yang cukup bagus pula, "Tarikh ash-Shufiyah". Sebelumnya para Ulama Shufi juga menulis, walaupun tidak sekomprehensif as-Sulamy, beberapa kitab tentang sejarah dan biografi para Sufi. Antara lain: Thabaqat an-Nusaak, karya Abu Sa’id Ibnul A’raby (w. 341 H) yang sering dibuat referensi utama oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’, Akhbaru ash-Shufiyah wa az-Zuhad, tulisan Muhammad bin Dawud bin Sulaiman, yang populer dengan Abu Bakr an-Naysabury (w. 342 H), Tarikh ash-Shufiyah, karya Ahmad bin Muhammad bin Zakariya an-Nasawy az-Zahid (w. 396 H).
As-Sulamy dalam Thabaqat, merinci sejumlah nama besar dari seluruh periode itu, dengan lima generasi. Generasi ini menurut as-Sulamy adalah generasi terbaik, yang meletakkan dasar-dasar utama Sufi, dan masuk dalam katergori sabda Rasulullah saw.:
“Sebaik-baik ummat manusia adalah generasi abadku, kemudian generasi abad yang berikutnya, lalu generasi abad berikutnya” (HR. Bukhari)
Generasi inilah yang juga pernah diprediksi oleh Rasulullah saw. dalam sabdanya:
“Ummatku senantiasa ada empat puluh orang, berperilaku dengan budi pekeri Ibrahim al-Khalil 'alaihissalam, manakala ada suatu perkara datang, mereka diserahi.”
Generasi pertama sampai generasi kelima, berjumlah 100 tokoh Sufi, masing-masing generasi terdiri 20 tokoh:
Generasi pertama:
1. Al-Fudhail bin ‘Iyadh
2. Dzun Nuun al-Mishry
3. Ibrahim bin Adham
4. Bisyr al-Hafy
5. Sary as-Saqathy
6. Al-Harits al-Muhasiby
7. Syaqiq al-Balkhy
8. Abu Yazid al-Bisthamy
9. Abu Sulaiman ad-Darany
10. Ma’ruf al-Karkhy
11. Hatim al-Asham
12. Ahmad bin Abil Hawary
13. Ahmad bin Hadhrawiyah
14. Yahya bin Mu’adz ar-Razy
15. Abu Hafsh an-Naysabury
16. Hamdun al-Qashshar
17. Manshur bin Ammar
18. Ahmad bin Ashim al-Anthaky
19. Abdullah bin Khubaiq al-Anthaky
20. Abu Turab an-Nakhsyaby.
Generasi Kedua :
1. Abul Qasim al-Junaid
2. Abul Husayn an-Nuury
3. Abu Utsman al-Hiry an-Naysabury
4. Abu Abdullah ibnul Jalla’
5. Ruwaim bin Ahmad al-Baghdady
6. Yusuf bin ibnul Husain ar-Razy
7. Syah al-Kirmany
8. Samnun bin Hamzah al-Muhibb
9. Amr bin Utsman al-Makky
10. Sahl bin Abdullah at-Tustary
11. Muhammad bin Fadhl al-Balkhy
12. Muhammad bin Ali at-Turmudzy
13. Abu Bakr al-Warraq
14. Abu Sa’id al-Kharraz
15. Ali bin Sahl al-Asbahany
16. Abul Abbas bin Masruq ath-Thusy
17. Abu Abdullah al-Maghriby
18. Abu Ali az-Zujajany
19. Muhammad putra Abul Ward Abu Abdullah As-Sijzy
20. Ahmad putra Abul Ward Abu Abdullah As-Sijzy
Generasi Ketiga :
1. Abu Muhammad al-Jurairy
2. Abul Abbas bin Atha’ al-Adamy
3. Mahfudz bin Mahmud an-Naisabury
4. Thahir al-Muqaddasy
5. Abu Amr ad-Dimasyqy
6. Abu Bakr bin Hamid at-Turmudzy
7. Abu Ishaq Ibrahim al-Khawash
8. Abdullah bin Muhammad al-Kharraz ar-Razy
9. Bunan bin Muhammad al-Jamal
10. Abu Hamzah al-Baghdady al-Bazzaz
11. Abul Husayn al-Warraq an-Naisabury
12. Abu Bakr al-Wasithy
13. Al-Husayn bin Mashur al-Hallaj
14. Abul Husayn bin ash-Shaigh ad-Dainury
15. Mumsyadz ad-Dinawary
16. Ibrahim al-Qashshar
17. Khairun Nasaj
18. Abu Hamzah al-Khurasany
19. Abu Abdullah ash-Shubaihy
20. Abu Ja’far bin Sinan.
Generasi Keempat :
1. Abu Bakr asy-Syibly
2. Abu Muhammad al-Murtaisy
3. Abu Ali ar-Rudzbary
4. Abu Ali ats-Tsaqafy
5. Abdullah bin Muhammad bin Manazil
6. Abul Khair al-Aqtha’ at-Tinaty
7. Abu Bakr al-Kattany
8. Abu Ya’qub an-Nahrajury
9. Abul Hasan al-Muzayyin
10. Abu Ali ibnul Katib
11. Abul Husayn bin Banan
12. Abu Bakr bin Thohir al-Abhury
13. Mudzaffar al-Qurmisainy
14. Abu Bakr bin Yazdaniyar
15. Abu Ishaq Ibrahim ibnul Maulid
16. Abu Abdullah bin Salim al-Bashry
17. Muhammad bin Alyan an-Nasawy
18. Abu Bakr bin Abi Sa’dan.
Generasi Kelima :
1. Abu Sa’id ibnul A’raby
2. Abu Amr az-Zujajy
3. Ja’far bin Muhammad al-Khuldy
4. Abul Abbas al-Qasim as-Sayyary
5. Abu Bakr Muhammad bin Dawud ad-Duqqy
6. Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad asy-Sya'any
7. Abu Amr Ismail bin Nujaid
8. Abul Hasan Ali bin Ahmad al-Busyanjy
9. Abu Abdullah Muhammad bin Khafif
10. Bundar ibnul Husayn as-Syirazy
11. Abu Bakr ath-Thimistany
12. Abul Abbas Ahmad bin Muhammad ad-Dainury
13. Abu Utsman Said bin Salam al-Maghriby
14. Abul Qasim Ibrahim bin Muhammad an-Nashruabadzy
15. Abul Hasan Ali bin Ibrahim al-Hushry
16. Abu Abdullah at-Targhundy
17. Abu Abdullah ar-Rudzbary
18. Abul Hasan Ali bin Bundar ash-Shairafy
19. Abu Bakr Muhammad bin Ahmad asy-Syabahy
20. Abu Bakr Muhammad bin Ahmad al-Farra’
21. Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Muqry’
22. Abul Qasim Ja’far bin Ahmad al-Muqri’
23. Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad ar-Rasy
24. Abu Abdullah Muhammad bin Abdul Khaliq ad-Dinawary
Setelah periode as-Sulamy muncul beberapa Sufi seperti Abul Qasim al-Qusyairy, disusul prestasi puncak pada Abu Hamid al-Ghazali (yang bergelar Hujjatul Islam), kemudian Syeikh Abdul Qadir al-Jilany, Ibnul 'Araby, dan Syeikh Abul Hasan Ali asy-Syadzily.
Dari seluruh tokoh sufi di atas, melahirkan banyak madzhab Tasawuf yang kelak muncul dalam ordo-ordo Thariqat. Semula arti Thariqat itu sendiri adalah metode atau sistem. Berikutnya Thariqat melibatkan komunitas sufistik yang tergabung dalam ordo tersebut, sehingga menjadi semacam organisasi spiritual Islam.
Home »
Artikel Ahlussunnah wal Jama'ah
» HAKIKAT DAN SEJARAH TASAWUF
HAKIKAT DAN SEJARAH TASAWUF
Written By MuslimMN on Rabu, 30 Maret 2011 | 01.29
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar