Home » » MANAQIB HABAIB LUAR JAWA

MANAQIB HABAIB LUAR JAWA

Written By MuslimMN on Selasa, 22 Februari 2011 | 20.22


MANAQIB HABAIB LUAR JAWA

1. Al-Habib Ahmad Bin Hamid al-Kaff ( Pekalongan Jawa Tengah – Palembang, 25 Jumadil akhir 1275H/1955M )
Beliau dikenal sebagai salah seorang ulama besar di Palembang. Banyak ulama dari berbagai penjuru Nusantara mengaji kepada beliau. Ada pendapat, Palembang bisa diibaratkan sebagai Hadramaut (markas para habib dan ulama besar). Sebab di Palembang memang banyak habib dan ulama besar, demikian pula makam-makam mereka. Salah seorang di antaranya adalah Habib Ahmad bin Hamid al-Kaaf, yang juga dikenal sebagai wali mastur (wali yang karamah-karamahnya tersembunyi). Padahal karamahnya cukup banyak.
Salah satu karamahnya ialah ketika beliau menziarahi orang tua beliau (Habib Hamid al-Kaff dan Hababah Fathimah al-Jufri) di kampung Yusrain, 10 Ilir Palembang. Dalam perjalanan kebetulan turun hujan lebat dan deras. Untuk bebrapa saat beliau mengibaskan tangan beliau ke langit sambil berdoa. Ajaib, hujan pun reda.
Nama beliau adalah Habib Ahmad bin Hamid al-Kaff. Sampai di akhir hayat beliau tinggal di jalan K.H. Hasyim Asy’ari No. 1 Rt 01/I, 14 Ulu Palembang. Beliau lahir di Pekalongan Jawa Tengah dan dibesarkan di Palembang. Sejak kecil beliau diasuh oleh Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib al-Attas.
Uniknya, hampir setiap pagi, Habib Ahmad al-Attas menjemput muridnya ke rumahnya untuk shalat Shubuh berjama’ah karena sangat menyayanginya. Saking akrabnya, ketika bermain-main di waktu kecil, Habib Ahmad bin Hamid al-Kaff sering berlindung di bawah jubah Habib Ahmad al-Attas. Ketika berusia 7 tahun saat anak-anak lain duduk di kelas satu madrasah Ibtidaiyyah, Habib Ahmad belajar ke Tarim Hadramaut Yaman bersama sepupunya Habib Abdullah yang akrab dipanggil Habib Endung.
Di sana mereka berguru kepada Habib Ali al-Habsyi. Sekitar 10 tahun beliau mengaji kepada sejumlah ulama besar di Tarim. Salah seorang guru beliau adalah Habib Ali al-Habsyi, ulama besar penulis maulid Simtuth Durar. Selama mengaji kepada Habib Ali al-Habsyi, beliau mendapat pendidikan disiplin yang sangat keras. Misalnya sering hanya mendapatkan sarapan 3 butir kurma. Selain kepada Habib Ali , beliau juga belajar tasawuf kepada Habib Alwi bin Abdullah Shahab . sedangkan sepupu beliau Habib Endung belajar fiqih dan ilmu-ilmu alat seperti nahwu, sharaf dan balaghah. Sepulang dari Hadramaut pada usia 17 tahun . Habib Ahmad al-Kaff menikah dengan Syarifah Aminah Binti Salim al-Kaff . Meski usianya belum genap 20 tahun namun beliau sudah mulai dikenal sebagai ulama yag menjalani kehidupan zuhud dan mubaligh yang membuka majlis ta’lim. Dua di antara murid beliau yakni Habib alwi bin Ahmad Bahsin dan Habib Syaikhan al-Gathmir belakangan dikenal pula sebagai ulama dan mubaligh.
Selain di Palembang, Habib Ahmad juga berdakwah dan mengajar di beberapa daerah di tanah air, misalnya madrasah Al-Khairiyah Surabaya. Salah seorang murid beliau yang kemudian dikenal sebagai ulama adalah Habib Salim bin Ahmad bin Jindan ulama terkemuka di Jakarta, yang wafat pada tahun 1969 M.
Ketinggian ilmu dan kewalian Habib Ahmad al-Kaff diakui oleh Habib Alwi bin Muhammad al-Haddad, ulama besar dan wali yang bermukim di Bogor. Diceritakan pada suatu hari seorang Habib dari Palembang (Habib Ahmad bin Zen bin Syihab) dan rekan-rekannya menjenguk Habib Alwi, mengharap berkah dan hikmahnya.
Mengetahui bahwa tamu-tamunya dari Palembang, dengan spontan Habib Alwi berkata, “Bukankah kalian mengenal Habib Ahmad bin Hamid al-Kaff ?. Buat apa kalian jauh-jauh datang ke sini, sedangkan di kota kalian ada wali yang maqam kewaliannya tidak berbeda denganku ? Saya pernah bertemu dia di dalam mimpi”. Tentu saja rombongan dari Palembang tersebut kaget. Maka Habib Alwi menceritakan perihal mimpinya. Suatu hari Habib Alwi berpikir keras bagaimana cara hijrah dari bogor untuk menghindari teror dari aparat penjajah Belanda. Beliau kemudian bertawasul kepada Rasulullah saw, dan malam harinya beliau bermimpi bertemu Rasulullah saw. memohon jalan keluar untuk masalah yang dihadapinya. Yang menarik, di sebelah Rasul duduk seorang laki-laki yang wajahnya bercahaya.
Maka Rasulullah saw. pun bersabda, “Sesungguhnya semua jalan keluar dari masalahmu ada di tangan cucuku di sebelahku ini”. Dialah Habib Habib Ahmad bin Hamid al-Kaff. Maka Habib Alwi pun menceritakan persoalan yang dihadapinya kepada Habib Ahmad al-Kaff- yang segera mengemukakan pemecahan/jalan keluarnya. Sejak itulah Habib Alwi membanggakan Habib Ahmad al-Kaff.
Sebagaimana para waliyullah yang lain, Habib Ahmad al-Kaff juga selalu mengamalkan ibada khusus. Setiap hari misalnya, Mursyid Tariqah Alawiyah tersebut membaca shalawat lebih dari 100.000 kali. Selain itu beliau juga menulis sebuah kitab tentang tatabcara menziarahi guru beliau Habib Ahmad al-Attas. Beliau juga mewariskan pesan spiritual yang disebut 'pesan pertanyaan yang empat', yaitu empat pertanyaan mengenai ke mana tujuan manusia setelah meninggal.
Lahirnya empat pertanyaan tersebut bermula ketika Habib Ahmad al-Kaff diajak oleh salah seorang anggota keluarga untuk menikmati gambus. Seketika itu beliau berkata, “Aku belum hendak bersenang-senang sebelum aku tahu apakah aku akan mengucapkan kalimat tauhid di akhir hayatku. Apakah aku akan selamat dari siksa kubur, apakah timbangan amalku akan lebih berat dari dosaku, apakah aku akan selamat dari jembatan shiratal mustaqim”. Itulah yang dimaksud dengan “empat pertanyaan” yang dipesankannya kepada para murid, keluarga dan keturunannya.
Habib Ahmad al-Kaff wafat di Palembang pada 25 Jumadil akhir 1275H/1955M. Jenazah beliau dimakamkan di komplek pemakaman Telaga 60, 14 Hulu Palembang. Beliau meninggalkan lima anak: Habib Hamid, Habib Abdullah, Habib Burhan, Habib Ali dan Syarifah Khadijah.

2. Sayyid al-Habib Abdullah bin Husein al-Fachir (Banjarmasin, 3 September 1893 M/ 21 Safar 1311 H - Minggu, 27 Juli 1975 M.)
Beliau adalah seorang juru tulis dan wakil Kapten Arab di Banjarmasin era tahun 40-an. Dalam komunitas Arab lazim ada seorang tokoh pemimpin kelompok (bubuhan) yang dikenal dengan istilah Kapten Arab. Kapten Arab bukanlah sebutan penanda pangkat sebagaimana kita kenal di dunia militer. Melainkan sebutan tertinggi untuk sebuah ketua komunitas berdasarkan asal keturunan. Pemerintahan Belanda memisahkan antara komunitas Arab dengan komunitas Cina dalam lingkungan tempat tinggal terpisah. Masing-masing dipimpin oleh kepala bubuhan dengan sebutan Kapten. Ada Kapten Arab, ada Kapten Cina.
Kapten Arab pertama adalah Habib Hasan bin Idrus al-Habsyi yang dikenal juga dengan sebutan Habib Ujung Murung (beliau bertempat tinggal di Ujung Murung di sekitar Plaza Metro City sekarang). Habib Hasan sezaman dan bersahabat dekat dengan Surgi Mufti H. Jamaludin Sungai Jingah.
Pengganti Habib Hasan sebagai Kapten Arab kedua adalah Habib Alwi bin Abdullah al-Habsyi. Habib Alwi hanya sebentar menjabat Kapten Arab di Banjar karena kemudian memutuskan pindah ke Barabai (Kabupaten Hulu Sungai Tengah). Di tempatnya yang baru Habib Alwi dihormati sebagai sesepuh di Barabai dan menjadi tokoh panutan di wilayah Hulu Sungai. Habib Alwi pernah bertemu Presiden Soekarno dalam sebuah acara di Balai Rakyat Barabai tahun 1955 M (Lihat Mata Banua, 7 Agustus: Bunda Nur, Aidid dan Presiden Soekarno).
Sebagai pengisi jabatan kosong Kapten Arab Banjar adalah Habib Muhammad bin Abdillah al-Habsyi. Habib Muhammad sejatinya adalah seorang pedagang besar yang berniaga hingga Singapura. Habib Muhammad mempunyai keturunan di Semarang, Surabaya selain Banjarmasin.
Kapten Arab keempat adalah Nasar bin Awad bin Abdat. Kediaman Kapten Arab keempat ini di seberang Bank Danamon Jalan Lambung Mangkurat sekarang, persisnya di sekitar lokasi Kantor Pajak Kota Banjarmasin. Tanah milik keluarga Abdat ini hingga kini dikenal dengan nama Lapangan Abdat. Nasar Abdat diciduk penguasa Jepang di suatu Subuh tahun 1943 M. Nasar dan beberapa orang keluarganya kemudian ditahan di sebuah bangunan di Fort Tatas (lokasi Lapangan Merdeka/Masjid Raya Sabillal Muhtadin sekarang). Sejak peristiwa Subuh itu nasib Nasar tak ketahuan lagi rimbanya. Menurut kabar, Nasar salah satu tokoh masyarakat yang dipancung oleh tentara samurai Jepang. Sejak kejadian itu, keluarga Abdat sebagian besar mengungsi ke Solo dan wilayah Tanah Abang Jakarta.
Pengisi posisi Kapten Arab selanjutnya adalah Sayyid Abdullah bin Husin al-Fachir. Sayyid Abdullah lahir di Banjarmasin, 3 September 1893 (Sabtu Legi, 21 Safar 1311 H). Jadi ketika mengisi jabatan lowong sepeninggal menghilangnya Nasar Abdat, usia beliau 50 tahun.
Sayyid Abdullah pernah bekerja di bagian keuangan/pembukuan toko al-Ikhwan. Letak toko al-Ikhwan di sekitar Masjid Nur Jalan Pangeran Samudera. al-Ikhwan melayani jual beli kain yang bahannya didatangkan dari daerah Pulau Jawa. Kadang-kadang untuk urusan bersifat penting, tenaga Sayyid Abdullah dipakai sebagai juru bahasa dalam pertemuan penting antara penguasa Belanda dengan relasinya. Kebetulan Sayyid Abdullah mahir berbahasa Belanda di samping menguasai bahasa Arab.
Sebagai wakil Kapten Arab, “Tugas beliau adalah menyelesaikan persoalan-persoalan di keluarga Arab. Antara lain, membenarkan silsilah keturunan dan asal sebuah keluarga,” ujar Ahmad bin Hamid bin Abdullah al-Fachir, sang cucu.
Sayyid Abdullah memiliki 4 saudara laki-laki. Beliau sendiri merupakan anak sulung. Saudara nomor dua, tiga, empat dan yang bungsu adalah Hasan, Umar, Ahmad dan Segaf. Kecuali Sayid Abdullah, adik-adiknya dilahirkan di Kotabaru dan Tanah Bumbu. Hasan lahir di Kotabaru 22 Oktober 1904 M, Umar lahir di Cantung, Tanah Bumbu, 20 Juli 1907 M, Ahmad kelahiran Cantung, Tanah Bumbu, 7 September 1914 M, dan Segaf lahir di Pagatan, Tanah Bumbu, 17 Januari 1919 M. Catatan kelahiran kelima bersaudara ini lengkap dalam tanggal, bulan dan tahun Arab (tertera di buku tersebut di atas).
Keluarga al-Fachir di Tanah Banjar datang dari Palembang. Menurut keterangan Said Hasan bin Umar bin Husin al-Fachir, kakeknyalah yang datang pertama kali ke Banjar dari negeri Palembang. Catatan keluarga (dari buku besar itu) menyebutkan, Sayyid Husein yang wafat di Pagatan pada tanggal 14 Juli 1920 M adalah kelahiran Palembang. Saudara Husein yang bernama Hamid wafat di Palembang, 2 September 1921 M.
Secara silsilah Sayyid Abdullah bin Husein al-Fachir adalah keturunan Rasullulah yang ke-36. Nasabnya adalah sebagai berikut: Abdullah bin Husin bin Abdullah bin Abubakar bin Abdullah bin Abubakar al-Fachir bin Muhammad bin Abubakar bin Sholeh bin Abdullah bin Ibrahim bin Muhammad bin Syekh bin Abdullah bin Abdurrahman Assegaf. Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Mauladdawilah bin Ali bin Alwi al-Ghuyur bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam bin Ali bin Muhammad Shahib Marbath bin Ali Khali' Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah binAhmad al-Muhajir bin Isa bin Muhammad an-Naqib bin Ali al-Uraidhi bin Jakfar ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin  Husein bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah az-Zahra binti Rasulullah saw.
Sebagai seorang juru tulis, Sayyid Abdullah benar-benar seorang pencatat/dokumentator yang baik dan layak diacungi jempol. Beliau pun menyimpan catatan waktu kelahiran istrinya Syarifah Masaat (di dalam buku yang tertulis tanggal 24 Juni 1895 M).
Sayyid Abdullah bin Husein al-Fachir meninggal dunia pada hari Minggu jam 10.45 pada 27 Juli 1975 M. Penerus tradisi mencatat diteruskan oleh cucunya Ahmad bin Hamid bin Abdullah al-Fachir. Buku besar itu sekarang berada di tangan Ahmad. Berbagai catatan peristiwa penting dalam keluarga besar al-Fachir diteruskan oleh sang cucu.

3. Al-Habib Husein bin Muhammad al-Qadri (Tarim, Yaman 1120 H/1708 M -  Sebukit Rama Mempawah, Kalimantan Barat, 2 Dzulhijjah 1184 H/ 1771M)
Mengenai Habib Husein al-Qadri, tidak terlalu sukar membuat penyelidikan tentangnya karena memang terdapat beberapa manuskrip yang khusus membicarakan biografinya. Walau bagaimanapun semua manuskrip yang telah dijumpai tidak jelas nama pengarangnya, yang disebut hanya nama penyalin. Semua manuskrip dalam bentuk tulisan Melayu/Jawi. Nama lengkapnya, as-Sayyid/as-Syarif Husein bin al-Habib Ahmad/Muhammad bin al-Habib Husein bin al-Habib Muhammad al-Qadri Jamalul Lail, Ba`Alawiy, sampai nasabnya bersambung kepada Nabi Muhammad saw. Nama gelarnya ialah Tuan Besar Mempawah. Lahir di Tarim, Yaman pada tahun 1120 H/1708 M. Wafat di Sebukit Rama Mempawah, 1184 H/ 1771M. ketika berusia 64 tahun. Dalam usia yang masih muda beliau meninggalkan negeri kelahirannya untuk menuntut ilmu pengetahuan bersama beberapa orang sahabatnya.
Mengembara ke negeri Kulaindi dan tinggal di negeri itu selama empat tahun. Di Kulaindi beliau mempelajari kitab kepada seorang ulama besar bernama Sayyid Muhammad bin Shahib. Dalam waktu yang sama beliau juga belajar di Kalikut. Jadi sebentar beliau tinggal di Kulaindi dan sebentar tinggal di Kalikut. Habib Husein al-Qadri termasuk dalam empat sahabat. Mereka ialah, Sayyid Abu Bakar al-`Aydrus, menetap di Aceh dan wafat di sana. Diberi gelar sebagai Tuan Besar Aceh. Kedua, Sayyid Umar Assegaf, tinggal di Siak dan mengajar Islam di Siak, juga wafat di Siak. Diberi gelar sebagai Tuan Besar Siak. Ketiga, Sayyid Muhammad bin Ahmad al-Qudsi yang tinggal di Terengganu dan mengajar Islam di Terengganu. Diberi gelar sebagai Datuk Marang. Keempat, Sayyid Husein bin Ahmad al-Qadri.
Maka Habib Husein pun berangkatl dari negeri Kulaindi menuju Aceh. Di Aceh beliau tinggal selama satu tahun, menyebarkan agama Islam dan mengajar kitab. Selanjutnya perjalanan diteruskan ke Siak, Betawi dan Semarang. Sayyid Husein tinggal di Betawi selama 7 bulan dan di Semarang selama 2 tahun. Sewaktu di Semarang beliau mendapat sahabat baru, bernama Syeikh Salim bin Hambal.
Pada suatu malam tatkala ia hendak makan menantikan kehadiran Syeikh Salim Hambal, namun ia tidak juga datang. Tiba-tiba ia bertemu Syeikh Salim Hambal di bawah sebuah perahu dalam lumpur. Habib Husein pun berteriak sampai empat kali memanggil Syeikh Salim Hambal. Syeikh Salim Hambal datang menemui Habib Husein berlumuran lumpur. Setelah itu bertanyalah Habib Husein, “Apakah yang kamu perbuat di situ?” Jawabnya: “Hamba sedang memperbaiki perahu.” Habib Husein bertanya pula, “Mengapa memperbaikinya di malam hari begini?” Maka sahutnya, “Karena di siang hari, air penuh dan pada malam hari air berkurang.”
Kata Habib Husein lagi, “Jadi beginilah rupanya orang mencari dunia.” Jawabnya, “Ya, beginilah keadaannya.”
Kata Habib Husein lagi, “Jika demikian sukarnya orang mencari atau menuntut dunia, aku haramkan pada malam ini juga akan menuntut dunia karena aku meninggalkan tanah Arab hendak mencari yang lebih baik daripada dunia yaitu nikmat akhirat.”
Habib Husein kembali ke rumah dengan menangis dan tidak mau makan. Keesokan harinya uang yang pernah diberi oleh Syeikh Salim Hambal kepadanya semuanya dikembalikan. Syeikh Salim Hambal merasa heran, kemudian memohon supaya Habib Husein mau menerima pemberian dan pertolongan modal darinya. Namun Habib Husein tetap tidak mau menerimanya. Karena Habib Husein tetap dengan pendiriannya, yang tidak menghendaki harta dunia, Syeikh Salim Hambal terpaksa mengalah. Syeikh Salim Hambal bersedia mengikuti pelayaran Habib Husein ke negeri Matan.
Setelah di Matan, Habib Husein dan Syeikh Salim Hambal menemui seorang berketurunan sayyid juga, namanya Sayyid Hasyim al-Yahya, dibri gelar sebagai Tuan Janggut Merah. Sayyid Hasyim/ Tuan Janggut Merah dikenal sebagai seorang yang hebat, gagah dan berani. Apabila Sayyid Hasyim berjalan, selalu bertongkat dan jarang sekali tongkatnya itu ditinggalkannya. Tongkatnya itu terbuat dari besi yang berat. Alasan Sayyid Hasyim itu memakai tongkat tersebut dikarenakan ia tidak boleh sekalipun melihat gambaran berbentuk manusia atau binatang, baik yang terdapat di perahu, rumah atau segala perkakas, sekiranya jika beliau memandang atau melihat apa saja dalam bentuk gambar maka dipalulah dan ditumbuklah gambar tersebut dengan tongkat besi itu.
Setelah beberapa lama Habib Husein dan Syeikh Salim Hambal berada di Matan, pada suatu hari Sultan Matan menjemput keduanya dalam satu jamuan makan karena bertabarruk terhadap kealiman Habib Husein. Di samping keduanya dijemput para pangeran, Menteri negeri Matan, juga di dalamnya ada Sayyid Hasyim al-Yahya. Setelah semua jemputan hadir, maka dikeluarkanlah tempat sirih yang merupakan adat istiadat kerajaan lalu dibawa ke hadapan Sayyid Hasyim. Sayyid Hasyim al-Yahya melihat tempat sirih yang di dalamnya terdapat satu kacip besi buatan Bali. Pada kacip itu terdapat ukiran kepala ular. Sayyid Hasyim al-Yahya sangat marah. Diambilnya kacip itu lalu dihancurkan dengan tongkatnya. Kejadian itu terhadi di hadapan Sultan Matan dan para pembesarnya. Sultan Matan pun muram mukanya, baginda bersama menteri-menterinya hanya tunduk dan terdiam saja.
Peristiwa itu mendapat perhatian Habib Husein al-Qadri. Kacip yang berkecai itu diambilnya, dipijit-pijit dan diusap-usap dengan air liurnya. Dengan kuasa Allah, kacip itu pulih seperti sediakala. Setelah Sultan Matan dan pembesar kerajaan Matan serta Sayyid Hasyim al-Yahya melihat kejadian tersebut, semuanya gemetaran, segan, berasa takut kepada Habib Husein al-Qadri yang dikatakan mempunyai karamah itu.
Beberapa hari setelah peristiwa di majlis jamuan makan itu, Sultan Matan serta pembesarnya mengadakan mesyuarat. Keputusan mesyuarat menyatakan bahwa Habib Husein dijadikan guru di negeri Matan merangkap sebagai pemberi keputusan (Hakim) pada suatu hukum yang berhubungan dengan syariat Nabi Muhammad saw. Selain itu Sultan Matan mencarikan isteri untuk Habib Husein. Beliau dikawinkan dengan Nyai Tua. Dari perkawinan itu mereka dikaruniai anak bernama Syarif Abdurrahman al-Qadri yang kemudian dikenal sebagai Sultan Kerajaan Pontianak yang pertama. Semenjak itu Habib Husein al-Qadri disayangi, dihormati dan dipelihara oleh Sultan Matan. Sampai dua hingga tiga tahun menetep di negeri Matan, datanglah suruhan Raja Mempawah dengan membawa sepucuk surat dan dua buah perahu yang akan menjemput Habib Husein untuk dibawa pindah ke Mempawah. Tetapi pada saat itu Habib Husein masih kerasan tinggal di negeri Matan. Beliau belum bersedia pindah ke Mempawah. Kembalilah suruhan itu ke Mempawah. Yang menjadi Raja Mempawah ketika itu ialah Upu Daeng Menambon, bergelar Pangeran Tua. Pusat pemerintahannya berkedudukan di Sebukit Rama.
Negeri Matan banyak dikunjungi oleh pelaut-pelaut dari daerah yang jauh dan dekat. Selain ahli-ahli pelayaran, pelaut-pelaut yang ulung, yang datang dari negeri Bugis-Makasar banyak pula yang datang dari negeri-negeri lainnya. Salah seorang yang berasal dari Siantan, Nakhoda Muda Ahmad kerap berulang kali ke Matan. Terjadilah fitnah bahwa dia dituduh melakukan perbuatan maksiat, yang kurang patut, dengan seorang perempuan. Sultan Matan sangat murka, baginda hendak membunuh Nakhoda Muda Ahmad itu.
Persoalan itu kemudian diserahkan kepada Habib Husein untuk memutuskan hukumannya. Diputuskan oleh Habib Husein dengan hukum syariat bahwa Nakhoda Muda Ahmad lepas dari hukuman bunuh. Hukuman yang dikenakan kepadanya hanyalah disuruh oleh Habib Husein bertaubat meminta ampun kepada Allah serta membawa sedikit uang denda supaya diserahkan kepada Sultan Matan. Sultan Matan menerima keputusan Habib Husein. Nakhoda Muda Ahmad pun berangkat sembari disuruh mengantar oleh Sultan Matan dengan dua buah sampan yang berisi perbekalan makanan.
Setelah sampai di Kuala, Nakhoda Muda Ahmad dikeroyok oleh orang yang menghantarkannya karena diperintah oleh Sultan Matan. Nakhoda Muda Ahmad dibunuh secara dzalim di Muara Kayang. Peristiwa itu akhirnya diketahui juga oleh Habib Husein al-Qadri. Kerana peristiwa itulah Habib Husein al-Qadri mengirim surat kepada Upu Daeng Menambon di Mempawah yang menyatakan bahwa beliau bersedia pindah ke Mempawah.
Habib Husein al-Qadri pindah dari Matan ke Mempawah dan tinggal di Kampung Galah Hirang terjadi pada tanggal 8 Muharam 1160 H/20 Januari 1747 M. Setelah Habib Husein al-Qadri tinggal di tempat itu banyaklah orang yang datang dari pelbagai penjuru, termasuk dari Sintang dan Sanggau, yang menggunakan perahu dinamakan `bandung’ menurut istilah khas bahasa Kalimantan Barat.
Selain kepentingan perniagaan, mereka menyempatkan diri untuk bertabarruk kepada Habib Husein al-Qadri. Beliau disegani karena selain ulama besar beliau juga merupakan keturunan Nabi Muhammad saw. Dalam tempo yang singkat, negeri itu (yang didiami Habib Husein) menjadi satu negeri yang berkembang pesat sehingga lebih ramai dari pusat kerajaan Mempawah, tempat tinggal Upu Daeng Menambon/Pangeran Tua di Sebukit Rama.
ketika Upu Daeng Menambon mangkat, puteranya yang bernama Gusti Jamiril menjadi anak angkat Habib Husein al-Qadri. Dibawanya dan tinggal bersama di Galah Hirang/Mempawah lalu dinobatkan sebagai pengganti orang tuanya pada tahun 1166 H/1752 M dengan gelar Penembahan Adiwijaya Kesuma.
Kemasyhuran nama Habib Husein al-Qadri/Tuan Besar Mempawah itu tersebar luas hingga hampir semua tempat di Asia Tenggara. Pada suatu ketika Sultan Palembang mengutus Sayyid Alwi bin Muhammad bin Syihab dengan dua buah perahu untuk menjemput Habib Husein al-Qadri/Tuan Besar Mempawah datang ke negeri Palembang karena Sultan Palembang itu ingin sekali bertemu dengan beliau. Habib Husein al-Qadri/Tuan Besar Mempawah tidak bersedia pergi ke Palembang dengan alasan beliau sudah tua.
Dari semua versi yang terdapat dalam manuskrip Hikayat Habib Husein al-Qadri dan sejarah lainnya dicatatkan bahwa beliau wafat pada pukul 2.00 petang, tanggal 2 Dzulhijjah 1184 H/ 1771 M dalam usia 64 tahun. Wasiat lisannya menjelang wafatnya adalah "yang layak menjadi Mufti Mempawah ialah ulama yang berasal dari Patani yang tinggal di Kampung Tanjung Mempawah, bernama Syeikh Ali bin Faqih al-Fathani".

4. Al-Habib Idrus Bin Salim Al-Jufri (Taris, Hadhramaut, 14 Sya'ban 1390 H/ 15 Maret 1881 M - Palu, 12 Syawwal 1389 H/ Desember 1969 M)
Setiap tahun setelah hari raya Iedul Fitri, persisnya 12 Syawwal, ribuan umat Islam dari berbagai daerah di kawasan Indonesia timur berduyun-duyun datang ke Palu, Sulawesi Tengah. Tujuannya, menghadiri acara haul (peringatan kewafatan) tokoh dan tonggak Islam di kawasan Indonesia Timur, Guru Tua al-Alimul al-‘Allamah HS Idrus bi Salim al-Jufri. Di sanalah, penebar Islam asal Hadramaut yang menghabiskan separuh usianya di Indonesia itu dimakamkan.
Masyarakat Muslim Indonesia timur memang sangat sulit melupakan perjuangan gigih dari seorang Tuan Guru HS Idrus bin Salim al-Jufri. Semangatnya untuk menebarkan Islam ke pelosok-pelosok daerah terpencil, sangat dirasakan. Tak hanya pelosok yang bisa ditempuh dengan jalan kaki dan kendaraan. Almarhum sering menembus daerah terpencil dengan menggunakan sampan untuk memberikan pencerahan akidah Islam dan bimbingan kepada umat Islam yang membutuhkan.
Nasab beliau adalah al-Habib Idrus bin Salim bin Alwi bin Seggaf bin Alwi bin Abdullah bin Husein bin Salim bin Idrus bin Muhammad bin Abdullah bin Alwi bin Abubakar al-Jufri bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ali bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam bin Ali bin Muhammad Shahib Marbath bin Ali Kholi' Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa an-Naqib bin Ali al-Uraidhi bin Ja'far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib suami Fathimah binti Rasulillah saw. 
Habib Idrus lahir di Taris, 4 km dari Ibu Kota Seiwun, Hadhramaut, pada tanggal 14 Sya'ban 1390 H/ 15 Maret 1881 M.beliau mendapat pendidikan agama langsung dari ayahandanya dan lingkungan keluarganya. Ayah beliau adalah seorang Qadhi dan Mufti di kota Taris, Hadhramaut. Sedangkan kakek beliau adalah seorang ulama pada masanya. Beliau adalah salah satu dari lima orang ahli hokum di Hadhramaut yang fatwa-fatwanya terkumpul dalam kitab Bughyatul Musytarsyidin, buah karya dari al-Imam al-Habib Abdurrahman al-Masyhur.
Selain kepada ayah dan lingkungan keluarganya, beliau juga berguru kepada ulama dan aliya' Hadhramaut antara lain: al-Habib Muhsin bin Alwi Assegaf, al-Habib Abdurrahman bin Alwi bin Umar Assegaf, al-Habib Muhammad bin Ibrahim Bilfaqih, al-Habib Abdullah bin Husein bin Sholeh al-Bahar, al-Habib Idrus bin Umar al-Habsyi, dan al-Habib Abdullah bin Umar asy-Syathiriy.
Kemudian pada tahun 1327 H/ 1909 M Habib Idrus bersama ayahandanya berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam datuknya Rasulullah saw. Di sana mereka menetap selama 6 bulan. Rentang waktu tersebut beliau manfaatkan untuk berziarah kepada para ulama dan auliya' yang berada di Hijaz, guna meminta berkah, doa, serta, ijazah dari mereka di antaranya adalah Sayyid Abbas al-Maliki al-Hasani di Makkah. Setelah itu beliau pulang bersama sang ayah ke kampong halamannya, Hadhramaut.
Habib Idrus muda memang gigih menimba ilmu agama. Pada usia 18 tahun ia telah hafal al-Quran ditambah tempaan langsung ayahandanya, Habib Salim al-Jufri. Setelah ayahnya wafat, ia diangkat menjadi mufti muda di Taris menggantikan sang ayah. Jabatan mufti yang disandangnya merupakan jabatan tertinggi di bidang keagamaan dalam suatu kesultanan.
Habib Idrus al-Jufri memutuskan pergi dari negeri asalnya bersama sang ayah untuk menemui ibundanya Syarifah Nur al-Jufri serta Habib Alwi dan Habib Syekh yang merupakan saudara kandungnya dan untuk meluaskan dakwah ke Indonesia sekitar tahun 1920 M. Gaya dakwah Habib Idrus sangat halus dan simpatik, sangat berbeda dengan gaya gerak sejumlah ulama yang mengintroduksi gerakan di beberapa wilayah. Kendati Indonesia adalah negeri keduanya namun ia sangat menjunjung tinggi negeri ini. Orang akan teringat betapa kecintaannya kepada negerinya yang kedua ini dalam syairnya saat membuka kembali perguruan tinggi pada 17 Desember 1945 M setelah Jepang bertekuk lutut, ia menggubah syair;
"Wahai bendera kebangsaan berkibarlah di angkasa
Di atas bumi di gunung nan hijau, Setiap bangsa punya lambang kemuliaan
Dan lambang kemuliaan kita adalah merah putih".
Warisan besar dan berharga yang ditinggalkan Guru Tua adalah lembaga pendidikan Islam al-Khairaat. Sampai saat ini al-Khairaat telah mengukir suatu prestasi yang mengagumkan. Dari sebuah sekolah sederhana yang dirintisnya, kini lembaga ini telah berkembang menjadi 1.561 sekolah dan madrasah.
Selain itu, al-Khairaat juga memiliki 34 pondok pesantren, 5 buah panti asuhan, serta usaha-usaha lainnya yang tersebar di kawasan Timur Indonesai (KTI). Sedangkan di bidang pendidikan tinggi, yakni universitas, al-Khairaat memiliki lima fakultas definitif dan dua fakultas administratif atau persiapan, yaitu Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan dan Fakultas Kedokteran dengan 11 program studi pada jenjang strata satu dan diploma dua.
Kitab Tarikh Madrasatul Khiratul Islamiyyah karya salah seorang santri generasi pertama Habib Idrus, menyebut makna secara etimologis al-Khairaat berasal dari kata khairun yang artinya kebaikan. Semangat menebar kebaikan itulah yang diusung Guru Tua, julukannya.
Ia memancangkan tonggak al-Khairaat selama 26 tahun (1930 M -1956 M). Ia membesarkan lembaga pendidikan yang didirikannya hingga pada akhirnya, tahun 1956 M, hamper menjangkau seluruh wilayah Indonesia Timur.
Pada tahun itu pula dilaksanakan muktamar al-Khairaat yang pertama, bersamaan dengan peringatan seperempat abad al-Khairaat. Dalam muktamar itu lahirlah keputusan penting, yaitu berupa struktur organisasi pendidikan dan pengajaran, serta dimilikinya anggaran dasar. Tonggak lembaga ini sebagai sebuah institusi modern terpancanglah sudah.
Periode selanjutnya adalah masa konsolidasi ide selama sembilan tahun yakni sejak 1956 M hingga 1964 M. Guru Tua memberikan kepercayaan kepada santrinya yang terpilih yang diyakininya cukup handal dan memiliki spesialisasi kajian. Murid-murid pelanjut Guru Tua antara lain KH Rustam Arsjad, KH Mahfud Godal, yang ahli dalam bidang ilmu tajwid dan tarikh, serta KHS Abdillah al-Jufri yang ahli dalam ilmu sastra Arab dan adab. Rustam menduduki posisi pimpinan pesantren karena keahliannya dalam bidang ilmu fikih dan tata bahasa Arab.
Madrasah al-Khairaat terus berkembang walaupun saat itu hubungan transportasi maupun komunikasi antar daerah belum selancar sekarang. Puncaknya, tahun 1964 M, al-Khairaat membuka perguruan tinggi Universitas Islam (Unis) al-Khairaat di Palu. Habib Idrus duduk sebagai rektornya.
Perkembangan perguruan tinggi ini tersendat pada tahun 1965 M. Perguruan tinggi ini dinonaktifkan. Sebagian besar mahasiswa dan mahasiswinya ditugaskan untuk membuka madrasah di daerah-daerah terpencil. Ini sebagai upaya membendung komunisme, sekaligus melebarkan dakwah Islam. Pada tahun 1969 M perguruan tinggi tersebut dibuka kembali dengan satu fakultas saja, yaitu Fakultas Syariah.
Pada tanggal 12 Syawwal 1389 H bertepatan dengan 22 Desember 1969 M Habib Idrus bin Salim Al-Jufri atau lebih dikenal Guru Tua wafat. Ia menutup 46 tahun berkiprah di dunia dakwah dan pendidikan dengan mewariskan lembaga pendidikan yang terus berkembang hingga saat ini.
Setelah Guru Tua wafat, al-Khairaat menyempurnakan diri sebagai sebuah institusi modern yaitu dengan adanya Perguruan Besar (PB) al-Khairaat, Yayasan al-Khairaat, Wanita Islam al-Khairaat (WIA) dan Himpunan Pemuda al-Khairaat (HPA) serta Perguruan Tinggi al-Khairaat, lembaga ini juga memiliki surat kabar mingguan (SKM) al-Khairaat.
Kini al-Khairaat dipimpin oleh Ir. Fadhel Muhammad, gubernur Gorontalo yang juga seorang pengusaha. Ia adalah alumni lembaga pendidikan al-Khairaat di Ternate, Maluku Utara.

5. Al-Habib Ali Bin Ahmad Bin Zein Aidid (Hadhramaut – Panggang, 20 Dzulkaidah 1312 H/1892 M)
Di sebelah utara Jakarta terdapat gugusan kepulauan yang terdiri dari 108 pulau kecil, disebut Kepulauan Seribu. Satu di antaranya adalah Pulau Panggang, sekitar 60 km di sebelah utara kota Jakarta. Pulau seluas 0,9 hektare itu bisa dicapai dalam waktu kurang lebih tiga jam dengan perahu motor dari pelabuhan Muara Angke, Jakarta Utara.
Di sanalah Al-Habib Ali Bin Ahmad Bin Zein Aidid, yang juga dikenal sebagai Wali Keramat Pulau Panggang. Ia adalah ulama dan muballigh asal Hadhramaut yang pertama kali menyebarkan Islam di Pulau Panggang dan sekitarnya. Pada abad ke-18 M ia bertandang ke Jawa untuk berdakwah bersama dengan empat kawannya yaitu al-Habib Abdullah bin Muchsin al-Attas, Kramat Empang Bogor, al-Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdhor, Bondowoso, Surabaya, al-Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi, Ampel, Surabaya dan al-Habib Salim al-Attas, Malaysia. Al-Maghfurlah Habib Ali ke Batavia, sementara keempat kawannya masing-masing menyebar ke kota-kota dan negeri di atas. Al-Maghfurlah berdakwah dari Pulau Seribu sampai dengan Wilayah Pulau Sumatera yaitu Palembang.
Di Batavia, Habib Ali Aidid bermukim di Kebon Jeruk dan menikah dengan Syarifah setempat, Syarifah Zahroh binti Syarif Muchsin bin Ja’far al-Habsyi. Dari Perkawinannya itu ia dikaruniai seorang putera bernama Hasyim bin Ali Aidid.
Suatu hari Habib Ali Aidid mendengar kabar bahwa di sebelah utara Jakarta ada sebuah pulau yang rawan perampokan dan jauh dari dakwah Islam, yaitu Pulau Panggang. Beberapa waktu kemudian ia memutuskan untuk mengunjungi pulau tersebut. Ketika Habib Ali Aidid sampai di Pasar Ikan hendak menyeberang ternyata tidak ada perahu. Maka ia pun bertafakur dan berdoa kepada Allah swt, tak lama kemudian muncullah kurang lebih seribu ekor ikan lumba-lumba menghampirinya. Ia lalu menggelar sajadah di atas punggung lumba-lumba tersebut, kemudian ikan lumba-lumba itu menggiring Habib Ali Aidid menuju Pulang Panggang. Demikianlah salah satu karomah Habib Ali Aidid.
Berdasarkan kisah dari al-Habib Abdullah bin Muhsin al-Attas kepada salah satu muridnya, al-Habib Alwi bin Muhammad bin Thahir al-Haddad bahwa setiap Habib Ali hendak berdakwah beliau berdiri di tepi pantai Pasar Ikan dengan mengangkat tangan sambil bermunajat kepada Allah swt, maka datanglah ikan lumba-lumba kurang lebih seribu ekor menggiring beliau di samping kanan, kiri, depan, belakang Habib Ali Aidid dan mengantarnya sampai ke tempat tujuan untuk berdakwah.
Sosoknya sangat sederhana, cinta kebersamaan, mencintai fakir miskin dan anak yatim. Bisa dimaklumi jika dakwahnya mudah diterima oleh warga Pulau Panggang dan sekitarnya. Ia mengajar dan berdakwah sampai ke pelosok pulau. Bahkan sampai ke Palembang, Singapura dan Malaka.
Karomah lainnya adalah pafa suatu malam, usai berdakwah di Keramat Luar Batang, Penjaringan, Jakarta Utara, ia pulang ke Pulau Panggang. Di tengah laut, perahunya dihadang gerombolan perompak. Namun, dengan tenang Habib Ali Aidid melemparkan sepotong kayu kecil ke tengah laut. Ajaib, kayu itu berubah menjadi karang, dan perahu-perahu perompak itu tersangkut di karang. Maka, berkat pertolongan Allah swt itu, Habib Ali Aidid bersama rombongan selamat sampai ke rumahnya di Pulau Panggang.
Suatu hari, warga Pulau Panggang diangkut ke Batavia dengan sebuah kapal Belanda, konon untuk dieksekusi. Beberapa perahu kecil berisi penduduk ditarik dengan rantai besi ke arah kapal Belanda yang membuang sauh jauh dari pantai. Mendengar kabar itu, Habib Ali Aidid menangis, lantas berdoa agar seluruh penduduk Pulau Panggang diselamatkan . Doanya dikabulkan oleh Allah swt. Rantai besi yang digunakan untuk menarik perahu berisi penduduk itu tiba-tiba putus, sehingga Belanda urung membawa penduduk ke Batavia.
Suatu malam, ia mendapat isyarat sebentar lagi ia akan wafat. Ketika itu sebenarnya ia ingin ke Palembang, namun dibatalkan. Dan kepada santrinya ia menyatakan, “ saya tidak jadi ke Palembang.” Benar apa yang ia katakan, keesokan harinya, 20 Dzulkaidah 1312 H/1892 M ia wafat, dan dimakamkan di sebuah kawasan di ujung timur Pulau Panggang.
Sesungguhnya, Jenazah almarhum akan dibawa ke Batavia untuk diketemukan dengan istri dan anaknya serta dimakamkan di sana. Namun, ketika jenazah sudah berada di atas perahu yang sudah berlayar beberapa saat, tiba-tiba tiang layar perahu patah dan perahu terbawa arus kembali ke Pulau Panggang. Hal ini terjadi berturut-turut sampai tiga kali. Akhirnya, penduduk kampung memaknai peristiwa itu sebagai kehendak almarhum dimakamkan di Pulau tersebut. Keesokan harinya setelah al-Maghfurlah Habib Ali dimakamkan, beberapa orang dari penduduk Pulau Panggang memberi kabar kepada istrinya Syarifah Zahroh binti Syarif Muchsin bin Ja’far al-Habsyi, istrinya menjawab “Yah, saya sudah tahu, Habib Ali tadi telah datang memberi kabar kepada saya tentang meninggalnya dia dan dimakamkan di Pulau Panggang “.

6. Al-Habib Abdurrahman Az-Zahir (Aceh)
Menjelang akhir abad ke-19 tekanan kolonialisme Belanda terhadap pejuang-pejuang kemerdekaan semakin bengis, terutama terhadap pejuang-pejuang Islam. Tapi tekanan itu tidak pernah mengendurkan semangat para syuhada dalam berjuang melawan penjajah. Berbagai perlawanan, bahkan peperangan terjadi di tanah air untuk mendepak keluar penjajah.
Di antara peperangan melawan Belanda, perang Aceh merupakan peperangan yang paling lama dan dahsyat. Dari tahun 1973 M sampai tahun 1903 M, tanah rencong ini bergolak dan disirami darah para syuhada. Dalam perang ini, beberapa nama menjadi sangat terkenal, seperti Teuku Umar, Panglima Polim, Cut Nyak Dien dan banyak lagi. Tapi, seperti dikatakan oleh Mr. Hamid al-Qadri (alm.), di dalam bukunya, Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Belanda, kurang diketahui oleh umum bahwa di dalam perang itu juga terdapat beberapa keturunan Arab. Bahkan, kata Mr. Hamid al-Qadri, mereka berperan bersama di antara para pemimpin Aceh dalam perang dahsyat itu.
Nama yang disebut Snouck Hurgronje antara lain adalah Habib Tengku Teupin Wan, salah seorang organisator perang suci itu. Nama-nama lain keturunan Arab yang disebutnya adalah Habib Long, Habib Samalanga dan sebagainya. Tetapi, kata Snouck, yang paling terkenal diantara pemimpin Perang Aceh keturunan Arab adalah Habib Abdurrahman adz-Dzahir yang lahir di Teupin Wan, sebuah desa di Aceh, dekat Lamjong.
Di antara semua gejala ini, masih kata Snouck, munculnya Habib Abdurrahman adalah yang paling mengkhawatirkan pihak kolonial Belanda. Maksudnya di antara tokoh-tokoh Aceh dan para habib yang terlibat di dalam perang itu, Habib ini yang sering dipanggil Habib Itam atau Abdurrahman Teupian Wan, diakui oleh umum sebagai pemimpin tertinggi orang Aceh. Orang terpenting yang bekerja di bawah pimpinannya adalah Engku Id, Tengku Abas, Tjot Rang, Imeum Saidi dari Lambaro dan banyak lagi, seperti Tengku Soepi, putera Tengku di Langget yang masyhur.
Terhadap pendapat bahwa Habib Abdurrahman adz--Dzahir (adz--Dzahir adalah cabangan dari klan bin Shahab) hanya merupakan pemimpin bayangan Perang Sabil, Snocuk dengan tegas membantahnya. Pendapat Snocuk ini berdasarkan kenyataan yang ada dan berdasarkan apa yang masih diingat oleh jenderal-jenderal Belanda sendiri mengenai aksi-aksi Habib.
Selain Snouck, seorang penulis Australia, Anthony Reid juga menulis tentang Habib Abdurrahman adz--Dzahir. Digambarkan bahwa waktu munculnya sang Habib di sekitar tahun 1870 M, kesultanan Aceh sudah merupakan pemerintahan yang tidak berarti, karena antara lain munculnya curiga-mencurigai di antara para hulubalang sehingga membatasi kemampuan sultan untuk memerintah secara efektif. Tetapi seorang pemimpin agama seperti Habib Abdurrahman adz--Dzahir dapat menghimbau rakyat berdasarkan loyalitas yang lebih tinggi dengan menonjolkan kewajiban agama, untuk mengumpulkan uang dalam jumlah yang besar, untuk usaha diplomatik dan perang. Ia setelah berhasil menghimpun dana besar, juga berhasil mendamaikan para hulubalang dan sultan yang berada dalam permusuhan selama puluhan tahun. Habib juga berhasil membangun kekuatan militer sendiri untuk mengobarkan perlawanan terhadap penjajah Belanda.

7. Habib Ahmad bin Hasan al-Habsyi (Syihr, Hadramaut – Palembang, 1303 H/ 1883 M )
Habib Ahmad bin Hasan al-Habsyi dilahirkan di Syihr, Hadramaut,Yaman. Belia sangat gigih dalam berdakwah sehingga rela meninggalkan kampung halaman menuju Palembang dan menetap di sebuah perkampungan di kawasan 12 Ulu; yang sekarang dikenal sebagai Kampung Al-Habsyi, yang dinisbatkan kepada namanya. Di sanalah beliau berdakwah dan mengajar. Banyak muridnya yang kemudian menjadi ulama besar, antara lain : Habib Abdullah bin Idrus Shahab (Ayah Habib Alwi Qolbu Tarim), Habib Muhammad bin Hasyim al-Habsyi, Habib Alwi bin Syekh Assegaf, Habib Hasan bin Abu Bakar Ba Syaib al-Anshory, Habib Alwi bin Ahmad Bahsin
Ketinggian maqam kewalian Habib Ahmad diakui para Habaib, di antaranya Habib Ali bin Abdurrahman al-Munawwar, menantu Habib Ahmad. Ketika melakukan uzlah (pengasingan diri), ia menyebut nama Habib Ahmad. Seketika itu ia seperti majdzub (merasa bahwa Tuhan selalu berada di sisinya) dan tanpa sadar mampu mengungkapkan ketinggian maqam Habib Ahmad dengan istilah-istilah kewalian yang tidak dimengerti oleh orang awam.
Habib Ahmad bin Hasan al-Habsyi, yang juga dikenal sebagai Wali Quthb, wafat pada tahun 1303 H/ 1883 M di Palembang dan dimakamkan di Pemakaman Telaga Sewidak 14 Ulu, Palembang, satu ruang makam dengan makam Habib Alwi bin Ahmad Bahsin. Semasa hidupnya, Habib Alwi Bahsin pernah mengamanatkan bila hendak berziarah ke makamnya, hendaklah terlebih dahulu berziarah ke makam Habib Ahmad bin Hasan al-Habsyi yang diakuinya sebagai guru spiritualnya. Beberapa habaib yang pernah berkunjung ke rumahnya adalah Habib Sholeh bin Muhsin al-Hamid (Tanggul, Jember) dan Habib Salim bin Ahmad bin Jindan (Jakarta).

Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Meningkatkan Cinta Kita pada Sang Nabi
Copyright © 2011. PUSTAKA MUHIBBIN - Web Para Pecinta - All Rights Reserved
PROUDLY POWERED BY IT ASWAJA DEVELOPER
Themes by Maskolis.com | Published by Mas Template