Ada sebagian dari kelompok Salafi atau Wahabi
yang sering mempermasalahkan dan memperuncing suatu persoalan yang masih dalam
lingkup ijtihadiyyah atau khilafiyyah, misalnya masalah qunut, shalat
di pekuburan, membaca al-Quran di pekuburan, isbal dan lain sebagainya.
Sehingga mereka berani memvonis salah terhadap orang lain yang bertentangan
dengan mereka dan merasa pendapatnya paling benar dari yang lainnya. Sungguh
mereka salah memposisikan yang mana masalah ikhtilaf dan yang mana
masalah iftiraq dan tidak memahami dengan baik definisi dan makna dari
keduanya. Di sini saya akan menjelaskan secara singkat makna dari ikhtilaf
dan iftiraq dan perbedaan di antara keduanya. Dan saya akan membongkar
siapa sebenarnya yang telah berbuat iftiraq dengan data dan bukti yang kuat,
akurat dan autentik.
Allah Swt. melarang umat muslim berpecah belah:
“Berpegangteguhlah kalian dengan tali
Allah dan janganlah bercerai-berai.” (QS. Ali Imran ayat 103).
Kalimat Jamii’an (semuanya/bersatu)
dalam ilmu nahwu berkedudukan menjadi haal (keadaan), maka artinya: “Jadilah
kalian dalam keadaan bersatu dengan berpegang-teguh pada tali Allah.” Para
ulama ahli tafsir mengartikan tali Allah (hablullah) dengan agama Allah,
ada yang menafsirkan dengan al-Quran dan janji Allah. Ada juga yang mengartikan
tali Allah dengan berjamaah yakni persatuan umat pada kalimat kebenaran.
Abdullah bin Mas’ud Ra. berkata: “Wahai manusia, harus bagimu untuk taat dan
berjamaah karena keduanya adalah hablullah
yang telah Allah perintahkan untuk kita pegangi. Sesungguhnya apa yang kamu
benci di dalam jamaah dan taat masih lebih baik dari apa yang kamu sukai di
dalam perpecahan.”
Ibnu al-Mubarak juga berkata: “Sesungguhnya jamaah (persatuan) adalah tali Allah, maka peganglah persatuan
itu dengan talinya yang kokoh bagi yang beragama.”
Bersatu dalam agama Allah atas dasar akidah
yang benar, bersatu atas dasar al-Quran dan Hadits. Bersatu dalam kalimatul
haq. Dan jangan berpecah-belah dengan sebab mengikuti hawa nafsu atau sebab
dasar akidah yang salah dengan tidak mengikuti petunjuk al-Quran, ikutilah jamaah.
Sebab Nabi Saw. telah menjanjikan bahwa umatnya tidak akan bersatu pada
kebatilan dan kesesatan, dengan sabdanya: “Sesungguhnya
umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan, jika kalian melihat banyak
perselisihan (yang menyebabkan perpecahan), maka ikutilah yang mayoritasnya.”
Walhamdulillah tsumma Alhamdulillah, sejak
dulu hingga sekarang golongan mayoritas umat Rasulullah Saw. dari seluruh
belahan dunia adalah Ahlussunnah wal Jama’ah yang berakidahkan Asy’ariyah dan Maturudziyah
dan bermadzhabkan dengan salah satu empat madzhab. Walaupun imam-imam madzhab
ada yang berbeda pendapat, namun mereka tetap satu akidah dan rukun dalam satu
rumpun dan tidak menyebabkan terjadinya perpecahan. Dan inilah berkat
terkabulnya doa Nabi Saw.: “Aku memohon kepada
Allah ‘Azza wa Jalla agar tidak mengumpulkan umatku atas kesesatan, maka Allah
mengabulkannya untukku.”
Perbedaan pendapat atau yang diisitilahkan
dengan Ikhtilaf fi al-Furu’ sangat ditoleran oleh Islam sebab dalam ulfah
(persatuan) saja pasti terjadi perbedaan pendapat. Dari sinilah Nabi Saw.
bersabda: “Perbedaan pendapat umatku
adalah sebuah rahmat.” Sebab perbedaan pendapat di antara ulama khususnya
imam-imam madzhab didasari dengan ijtihad di dalam menggali hukum langsung dari
al-Quran dan al-Hadits dengan kaidah-kaidah yang mereka munculkan dari
dalil-dalil ijmali (global) atau tafshili (terperinci). Maka jika
ijtihad mereka salah, mereka tetap mendapat satu pahala dan jika benar maka akan
mendapat dua pahala. Ikhtilaf fi al-Furu’ ini pun juga terjadi di masa
sahabat Nabi Saw.
Oleh sebab inilah Imam al-Qurthubi setelah
menafsirkan ayat di atas, beliau berkomentar: “Ayat itu bukanlah dalil atas
pengharaman Ikhtilaf fi al-Furu’ (perbedaan pendapat dalam hal
furu’/fiqih), karena itu bukanlah disebut perselisihan, sebab Ikhtilaf itu adalah suatu hal yang pasti terjadi dan
ditoleran dalam i’tilaf dan jama’ (persatuan). Adapun hukum
masalah-masalah ijtihad, maka ikhtilaf/perbedaan pendapat yang terjadi di
dalamnya menghasilkan perkara-perkara fardhu dan makna-makna syariat yang
lembut, dan sungguh para sahabat selalu berikhtilaf/berbeda pendapat di dalam hukum-hukum
yang terjadi namun mereka tetap bersatu.”
Imam asy-Syathibi juga berkata: “Kami
mendapati para sahabat setelah kewafatan Nabi Saw. telah berbeda pendapat dalam
hukum-hukum agama. Namun mereka tidaklah saling berpecah-belah karena sesungguhnya
mereka tidaklah berpecah-belah dalam agama. Sesungguhnya mereka berbeda
pendapat hanyalah di dalam perkara yang diperbolehkan ijtihad di dalam pemikiran
dan istinbath dari al-Quran dan al-Hadits dari persoalan-persoalan yang
mereka tidak menemukan nashnya. Adapun Iftiraq (perpecahan) maka dapat
menyebabkan pertikaian, perperangan dan pengkafiran dan dari sanalah penyebab
masuknya ke dalam neraka sebagaimana Rasul Saw. bersabda: “Dan akan ber-iftiraq
umatku menjadi 73 golongan, semuanya masuk neraka kecuali satu golongan.”
Maka di sini kita harus bisa membedakan antara Iftiraq
(perpecahan) dan Ikhtilaf (perbedaan pendapat) agar tidak salah paham
memahami ayat di atas.
Makna Iftiraq dan Ikhtilaf
a. Iftiraq
Dari keterangan dan dalil-dalil di atas bisa
kita pahami bahwa Iftiraq yang tercantum dalam al-Quran bermakna:
1. Iftiraq fi ad-Din
(berpecah-belah dalam lingkup agama), yaitu berselisih dalam hal yang sudah qath’i
(pasti) dalam al-Quran, berselisih dalam hal yang bersifat prinsipil
seperti berselisih dalam hal akidah, berselisih dalam hal Min Dharurat ad-Din
(perkara yang sudah ditentukan dalam agama). Allah Swt. berfirman: “Sesungguhnya
orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa
golongan, tidak ada sedikit pun tanggungjawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya
urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan
memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” (QS. al-An’am
ayat 159).
2. Iftiraq ‘an al-Jama’ah yaitu
bercerai-berai dari kelompok/persatuan kaum muslimin. Kelompok kaum muslimin di
sini adalah umumnya umat muslim di masa Nabi Saw. dan para sahabatnya dan
orang-orang yang masih teguh di atas manhaj Nabi dan para sahabatnya setelah
terjadinya perpecahan, merekalah yang disebut Ahlussunnah wal Jama’ah. Tentunya
dengan sanad yang menyambung pada mereka, sebab banyak yang mengaku Ahlussunnah
tapi pemahamannya bertolak-belakang dengan pemahaman sahabat sebab tidak ada sanad
sehingga pemahaman mereka terputus dari pemahaman ulama salaf. Nabi Saw.
bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak
mengumpulkan/menyatukan umatku di atas kesesatan, kekuasaan Allah bersama jamaah,
barangsiapa yang menyempal (dari jamaah), maka dia telah menyempal menuju
neraka.”
b. Ikhtilaf
Sedangkan Ikhtilaf hanya terjadi dalam masalah-masalah yang
secara tabiat boleh berbeda pendapat dan boleh berijtihad yang mana seseorang
memiliki hak berpendapat, atau masalah-masalah yang mungkin tidak diketahui
sebagian orang. Yakni pada masalah-masalah furu’ dan ijtihad, bukan
masalah ushuluddin.
Ikhtilaf ini
bersumber dari sebuah ijtihad yang disertai niat yang lurus. Dalam hal ini,
mujtahid yang keliru mendapat satu pahala karena niatnya yang jujur mencari
kebenaran. Sementara mujtahid yang benar mendapat dua pahala. Kadangkala pihak
yang salah juga pantas dipuji atas ijtihadnya. Dan terkadang dalam al-Quran dan
al-Hadits disebutkan pelarangan ikhtilaf, maka yang dimaksud adalah ikhtilaf
yang menyebabkan perpecahan (iftiraq) bukan ikhtilaf furu’iyyah
yang berdasarkan ijtihad dan niat yang tulus.
Pada perkembangan selanjutnya Ikhtilaf ini menjadi sebuah istilah untuk suatu ilmu yang
membahas ikhtilaf-ikhtilaf/perbedaan-perbedaan dalam masalah furu’iyyah atau
fiqhiyyah dan terkenal dengan istilah Ilmu Khilaf yakni ilmu yang
membahas cara ber-istinbath/menggali hukum dari dalil-dalil ijmali
dan tafshili yang diperankan oleh para ulama mujtahid. Dan Ikhtilaf
fi al-Furu’ ini pun juga terjadi pada masa sahabat Nabi Saw.
Diriwayatkan oleh Imam Baihaqi di dalam
kitabnya al-Madkhal dengan sanadnya yang bersambung pada Ibnu Abbas Ra. beliau
berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Ketika
kalian diberikan kitab Allah, maka mengamalkannya harus dan tak ada alasan
meninggalkannya. Jika kalian tidak menemukan (jawaban) di kitab Allah, maka di
dalam sunnahku yang terdahulu. Jika kalian tidak menemukan di dalam sunnahku,
maka lihatlah apa yang diucapkan para sahabatku. Sesungguhnya para sahabatku
bagaikan bintang-bintang di langit. Siapa saja dari mereka yang kalian pegang,
niscaya kalian akan mendapatkan petunjuk. Perbedaan di antara sahabatku adalah
rahmat.”
Dari hadits tersebut terdapat beberapa faedah
diantaranya:
1. Kabar
dari Rasulullah Saw. akan adanya perbedaan (ikhtilaf) di dalam hal furu’iyyah
(cabang syariat) dan ini termasuk mukjizat beliau tentang hal-hal yang gaib.
2. Setiap
ulama yang berijtihad sesungguhnya berdasarkan atas petunjuk, maka tidak boleh
mencela atau menyalahkan mereka. Siapa saja diantara ulama tersebut yang kita
pilih sungguh berada di atas petunjuk.
Diceritakan oleh Imam Khatib al-Baghdadi di
dalam kitabnya ar-Ruwah: Harun ar-Rasyid berkata kepada Imam Malik bin
Anas: “Wahai Abu Abdillah (Imam Malik), Anda mengarang dan menulis kitab ini
lalu menyebarkannya di semua penjuru Islam agar umat membawanya?”
Maka Imam Malik menjawab: “Sesungguhnya
perbedaan para ulama itu rahmat dari Allah untuk umat ini. Setiap ulama
mengikuti apa yang mereka pandang shahih. Dan semuanya di atas petunjuk dan
masing-masing hanya berharap kepada Allah.”
Pada intinya yang dilarang Allah Swt. adalah
berselisih dalam hal akidah, berselisih yang menyebabkan permusuhan, pertikaian
dan perpecahan atau disebut dengan istilah Iftiraq atau Ikhtilaf fi
al-‘Aqidah atau fi ad-Din atau juga Ihktilaf fi al-Kitab. Sedangkan
Allah Swt. mentolerir perbedaan pendapat dalam hal furu’iyyah atau fiqhiyyah
dan ini merupakan suatu bentuk ijtihad yang berdasarkan dalil-dalil al-Quran
dan as-Sunnah. Maka Iftiraq pasti menyebabkan perpecahan dan permusuhan,
dan tidak semua ikhtilaf menyebabkan perpecahan dan permusuhan. Iftiraq
sudah pasti ikhtilaf dan ikhtilaf belum tentu ifitiraq.
Dan seringkali ada sebagian kelompok khususnya
kelompok yang menyebut ajarannya dengan manhaj Salafiy, mencampuradukkan antara
masalah ikhtilaf/khilafiyyah dengan masalah iftiraq. Sehingga terkadang mereka
memperuncing masalah-masalah khilafiyyah yang ada dan menyalahkan orang yang
berikhtilaf. Sungguh ini suatu kesalahan fatal dan kejahilan yang nyata.
Keadaan Orang yang Beriftiraq dan juga
Merupakan Ciri-ciri Ajaran Sesat
Diantaranya adalah keadaannya dalam “syiqaq
yang jauh”, sebagaimana Allah Swt. jelaskan dalam al-Quran: “Yang demikian itu adalah karena Allah telah menurunkan Kitab Suci
dengan membawa kebenaran; dan sesungguhnya orang-orang yang berselisih tentang
(kebenaran) Kitab Suci itu, benar-benar dalam syiqaq yang jauh.” (QS. al-Baqarah
ayat 172).
Apakah makna syiqaq dalam ayat tersebut?
Syiqaq dalam kitab-kitab tafsir memiliki 3 makna:
1. Al-Mu’adah wa al-Munaza’ah
Yaitu permusuhan dan perselisihan. Orang yang
beriftiraq (bercerai-berai), maka mereka telah jauh memusuhi kebenaran dan
berselisih dalam hal kebenaran. Inilah keadaan orang-orang yang beriftiraq baik
dari kalangan kaum kafir sebagaimana firman Allah Swt.: “Sebenarnya orang-orang kafir itu (berada)
dalam kesombongan dan permusuhan yang sengit.” (QS. Shad ayat 2). Yaitu
kesombongan dan permusuhan sengit kepada Rasulullah Saw.
Ataupun dari kalangan ahli firqah dan bid’ah dari
umat muslim itu sendiri. Sebagaimana firman Allah: “Agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh setan itu, sebagai cobaan
bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang kasar hatinya. Dan
sesungguhnya orang-orang yang lalim itu, benar-benar dalam permusuhan yang
sangat.” (QS. al-Hajj ayat 53).
Dalam ayat itu dijelaskan bahwa apa yang
dimasukkan oleh setan, dijadikan oleh Allah sebagai fitnah/kesesatan bagi dua
golongan yaitu orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit syaq dan nifaq.
Dan orang-orang yang keras hatinya mereka adalah orang-orang yang berbuat
kesyirikan dan mereka semua disebut orang-orang yang dzalim. Dan orang-orang
yang dzalim tersebut di dalam permusuhan yang sangat.
Maka ahlul firqah yang menyempal dari
jamaah kaum muslimin mereka di dalam permusuhan yang sangat dan memecah-belah
umat, demikian juga terjadi permusuhan di antara golongan mereka sendiri
sehingga kelompok mereka pun beriftiraq/berpecah-belah dan itulah bukti
kebathilan ajaran mereka, sebab mereka bukanlah mengikuti satu jalan (al-Haq)
melainkan mengikuti beberapa jalan kesesatan.
Renungkanlah firman Allah Swt. berikut ini: “Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini
adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti
jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari
jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS.
al-An’am ayat 153).
Imam Ibnu Katsir berkata tentang ayat tersebut:
“Sesungguhnya Allah mennyebutkan kata ‘sabil’ dengan bentuk tunggal,
karena sesungguhnya kebenaran itu satu. Sebab itulah Allah menyebutkan kata ‘subul’
dengan bentuk jamak karena perpecahan dan bercabang-cabang.”
Abdullah bin Abbas pun yang dijuluki dengan Tarjuman
al-Quran menafsirkan ayat: “Dan
janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain).” Beliau menafsirkan: “Janganlah
kamu mengikuti jalan-jalan kesesatan.”
Dan jika kita mau melihat di dalam al-Quran,
maka kita dapati kalimat Shirath disebutkan dengan bentuk mufrad/satu
sebab Thariq al-Haq hanyalah satu yaitu Shirath al-Mustaqim, al-Quran
al-Karim yang sesuai pemahaman Rasulullah Saw.
2. Asy-Syaqq atau al-Fashlu
Yaitu memecah dan memutuskan. Artinya orang
yang beriftiraq adalah orang yang memecah dan memutus dari barisan jamaah
muslimin, terlepas dari kelompok mayoritas umat muslim.
3. Al-Masyaqqah
Yaitu beban dan berat. Artinya orang yang
beriftiraq seolah-olah berbuat apa yang memberatkan dan menyakiti kelompok
lainnya.
Kesimpulan
Maka dari keterangan di atas, bisa kita tarik kesimpulannya
sebagai berikut:
1. Iftiraq adalah perselisihan dalam masalah ushuluddin
atau akidah yang pasti menyebabkan terjadinya permusuhan dan perpecahan.
2. Ikhtilaf tidak berkonotasi negatif. Ikhtilaf yang
negatif adalah ikhtilaf di dalam akidah. Sedangkan ikhtilaf yang positif adalah
ikhtilaf yang terjadi dalam masalah furu’iyyah, fiqhiyyah atau ijtihadiyyah
sebagaimana ikhtilaf yang terjadi di antara ulama madzhab.
3. Salah
besar memperuncing masalah ikhtilaf yang ada. Dan salah fatal mencampuradukkan
masalah ikhtilaf ke dalam masalah iftiraq.
4. Diantara
ciri-ciri aliran sesat adalah memecah-belah umat Islam, saling bermusuhan,
memisahkan diri dari barisan jama’ah muslimin dan terjadinya perselisihan dan
perpecahan di antara golongan mereka sendiri sebagai bukti ajaran mereka tidak
mengikuti al-Haq (kebenaran) dan hanya mengikuti jalan-jalan sesat dan
hawa nafsu.
Selanjutnya pada pembahasan berikutnya akan saya
tuangkan dan tampilkan bukti-bukti adanya iftiraq yaitu perpecahan dan perselisihan
sengit di dalam tubuh kelompok mereka sendiri, kelompok yang menisbatkan
pemahamannya dengan manhaj salaf, dengan bukti-bukti kuat dan fakta yang akurat
baik dari scan kitab-kitab mereka sendiri ataupun melalui media masa seperti
majalah, video youtobe dan lainnya. Atau fatwa-fatwa mereka yang saling
berbenturan bahkan hingga keluar kata-kata tak pantas terlontar dari lisan
seorang ulama, seperti ajhal min al-himar (lebih bodoh dari keledai), sesat,
gila hingga saling mengkafirkan sesama kelompok mereka sendiri. (Didaur ulang
dari tulisan Ustadz Ibnu Abdillah Al-Katibiy).
0 komentar:
Posting Komentar