Halaman

Minggu, 04 Mei 2014

KENAPA AGAMA ISLAM BANYAK FIRQAH/KELOMPOK; KESALAHPAHAMAN DALAM MEMAKNAI IFTIRAQ DAN IKHTILAF



Ada sebagian dari kelompok Salafi atau Wahabi yang sering mempermasalahkan dan memperuncing suatu persoalan yang masih dalam lingkup ijtihadiyyah atau khilafiyyah, misalnya masalah qunut, shalat di pekuburan, membaca al-Quran di pekuburan, isbal dan lain sebagainya. Sehingga mereka berani memvonis salah terhadap orang lain yang bertentangan dengan mereka dan merasa pendapatnya paling benar dari yang lainnya. Sungguh mereka salah memposisikan yang mana masalah ikhtilaf dan yang mana masalah iftiraq dan tidak memahami dengan baik definisi dan makna dari keduanya. Di sini saya akan menjelaskan secara singkat makna dari ikhtilaf dan iftiraq dan perbedaan di antara keduanya. Dan saya akan membongkar siapa sebenarnya yang telah berbuat iftiraq dengan data dan bukti yang kuat, akurat dan autentik.

Allah Swt. melarang umat muslim berpecah belah: “Berpegangteguhlah kalian dengan tali Allah dan janganlah bercerai-berai.” (QS. Ali Imran ayat 103).

Kalimat Jamii’an (semuanya/bersatu) dalam ilmu nahwu berkedudukan menjadi haal (keadaan), maka artinya: “Jadilah kalian dalam keadaan bersatu dengan berpegang-teguh pada tali Allah.” Para ulama ahli tafsir mengartikan tali Allah (hablullah) dengan agama Allah, ada yang menafsirkan dengan al-Quran dan janji Allah. Ada juga yang mengartikan tali Allah dengan berjamaah yakni persatuan umat pada kalimat kebenaran.

Abdullah bin Mas’ud Ra. berkata: “Wahai manusia, harus bagimu untuk taat dan berjamaah karena keduanya adalah hablullah yang telah Allah perintahkan untuk kita pegangi. Sesungguhnya apa yang kamu benci di dalam jamaah dan taat masih lebih baik dari apa yang kamu sukai di dalam perpecahan.”

Ibnu al-Mubarak juga berkata: “Sesungguhnya jamaah (persatuan) adalah tali Allah, maka peganglah persatuan itu dengan talinya yang kokoh bagi yang beragama.”

Bersatu dalam agama Allah atas dasar akidah yang benar, bersatu atas dasar al-Quran dan Hadits. Bersatu dalam kalimatul haq. Dan jangan berpecah-belah dengan sebab mengikuti hawa nafsu atau sebab dasar akidah yang salah dengan tidak mengikuti petunjuk al-Quran, ikutilah jamaah. Sebab Nabi Saw. telah menjanjikan bahwa umatnya tidak akan bersatu pada kebatilan dan kesesatan, dengan sabdanya: “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan, jika kalian melihat banyak perselisihan (yang menyebabkan perpecahan), maka ikutilah yang mayoritasnya.”

Walhamdulillah tsumma Alhamdulillah, sejak dulu hingga sekarang golongan mayoritas umat Rasulullah Saw. dari seluruh belahan dunia adalah Ahlussunnah wal Jama’ah yang berakidahkan Asy’ariyah dan Maturudziyah dan bermadzhabkan dengan salah satu empat madzhab. Walaupun imam-imam madzhab ada yang berbeda pendapat, namun mereka tetap satu akidah dan rukun dalam satu rumpun dan tidak menyebabkan terjadinya perpecahan. Dan inilah berkat terkabulnya doa Nabi Saw.: “Aku memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla agar tidak mengumpulkan umatku atas kesesatan, maka Allah mengabulkannya untukku.”

Perbedaan pendapat atau yang diisitilahkan dengan Ikhtilaf fi al-Furu’ sangat ditoleran oleh Islam sebab dalam ulfah (persatuan) saja pasti terjadi perbedaan pendapat. Dari sinilah Nabi Saw. bersabda: “Perbedaan pendapat umatku adalah sebuah rahmat.” Sebab perbedaan pendapat di antara ulama khususnya imam-imam madzhab didasari dengan ijtihad di dalam menggali hukum langsung dari al-Quran dan al-Hadits dengan kaidah-kaidah yang mereka munculkan dari dalil-dalil ijmali (global) atau tafshili (terperinci). Maka jika ijtihad mereka salah, mereka tetap mendapat satu pahala dan jika benar maka akan mendapat dua pahala. Ikhtilaf fi al-Furu’ ini pun juga terjadi di masa sahabat Nabi Saw.

Oleh sebab inilah Imam al-Qurthubi setelah menafsirkan ayat di atas, beliau berkomentar: “Ayat itu bukanlah dalil atas pengharaman Ikhtilaf fi al-Furu’ (perbedaan pendapat dalam hal furu’/fiqih), karena itu bukanlah disebut perselisihan, sebab Ikhtilaf  itu adalah suatu hal yang pasti terjadi dan ditoleran dalam i’tilaf dan jama’ (persatuan). Adapun hukum masalah-masalah ijtihad, maka ikhtilaf/perbedaan pendapat yang terjadi di dalamnya menghasilkan perkara-perkara fardhu dan makna-makna syariat yang lembut, dan sungguh para sahabat selalu berikhtilaf/berbeda pendapat di dalam hukum-hukum yang terjadi namun mereka tetap bersatu.”

Imam asy-Syathibi juga berkata: “Kami mendapati para sahabat setelah kewafatan Nabi Saw. telah berbeda pendapat dalam hukum-hukum agama. Namun mereka tidaklah saling berpecah-belah karena sesungguhnya mereka tidaklah berpecah-belah dalam agama. Sesungguhnya mereka berbeda pendapat hanyalah di dalam perkara yang diperbolehkan ijtihad di dalam pemikiran dan istinbath dari al-Quran dan al-Hadits dari persoalan-persoalan yang mereka tidak menemukan nashnya. Adapun Iftiraq (perpecahan) maka dapat menyebabkan pertikaian, perperangan dan pengkafiran dan dari sanalah penyebab masuknya ke dalam neraka sebagaimana Rasul Saw. bersabda: “Dan akan ber-iftiraq umatku menjadi 73 golongan, semuanya masuk neraka kecuali satu golongan.”

Maka di sini kita harus bisa membedakan antara Iftiraq (perpecahan) dan Ikhtilaf (perbedaan pendapat) agar tidak salah paham memahami ayat di atas.


Makna Iftiraq dan Ikhtilaf

a.      Iftiraq

Dari keterangan dan dalil-dalil di atas bisa kita pahami bahwa Iftiraq yang tercantum dalam al-Quran bermakna:

1.      Iftiraq fi ad-Din (berpecah-belah dalam lingkup agama), yaitu berselisih dalam hal yang sudah qath’i (pasti) dalam al-Quran, berselisih dalam hal yang bersifat prinsipil seperti berselisih dalam hal akidah, berselisih dalam hal Min Dharurat ad-Din (perkara yang sudah ditentukan dalam agama). Allah Swt. berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikit pun tanggungjawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” (QS. al-An’am ayat 159).

2.      Iftiraq ‘an al-Jama’ah yaitu bercerai-berai dari kelompok/persatuan kaum muslimin. Kelompok kaum muslimin di sini adalah umumnya umat muslim di masa Nabi Saw. dan para sahabatnya dan orang-orang yang masih teguh di atas manhaj Nabi dan para sahabatnya setelah terjadinya perpecahan, merekalah yang disebut Ahlussunnah wal Jama’ah. Tentunya dengan sanad yang menyambung pada mereka, sebab banyak yang mengaku Ahlussunnah tapi pemahamannya bertolak-belakang dengan pemahaman sahabat sebab tidak ada sanad sehingga pemahaman mereka terputus dari pemahaman ulama salaf. Nabi Saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak mengumpulkan/menyatukan umatku di atas kesesatan, kekuasaan Allah bersama jamaah, barangsiapa yang menyempal (dari jamaah), maka dia telah menyempal menuju neraka.”

b.      Ikhtilaf

Sedangkan Ikhtilaf  hanya terjadi dalam masalah-masalah yang secara tabiat boleh berbeda pendapat dan boleh berijtihad yang mana seseorang memiliki hak berpendapat, atau masalah-masalah yang mungkin tidak diketahui sebagian orang. Yakni pada masalah-masalah furu’ dan ijtihad, bukan masalah ushuluddin.

Ikhtilaf  ini bersumber dari sebuah ijtihad yang disertai niat yang lurus. Dalam hal ini, mujtahid yang keliru mendapat satu pahala karena niatnya yang jujur mencari kebenaran. Sementara mujtahid yang benar mendapat dua pahala. Kadangkala pihak yang salah juga pantas dipuji atas ijtihadnya. Dan terkadang dalam al-Quran dan al-Hadits disebutkan pelarangan ikhtilaf, maka yang dimaksud adalah ikhtilaf yang menyebabkan perpecahan (iftiraq) bukan ikhtilaf furu’iyyah yang berdasarkan ijtihad dan niat yang tulus.

Pada perkembangan selanjutnya Ikhtilaf  ini menjadi sebuah istilah untuk suatu ilmu yang membahas ikhtilaf-ikhtilaf/perbedaan-perbedaan dalam masalah furu’iyyah atau fiqhiyyah dan terkenal dengan istilah Ilmu Khilaf yakni ilmu yang membahas cara ber-istinbath/menggali hukum dari dalil-dalil ijmali dan tafshili yang diperankan oleh para ulama mujtahid. Dan Ikhtilaf fi al-Furu’ ini pun juga terjadi pada masa sahabat Nabi Saw.

Diriwayatkan oleh Imam Baihaqi di dalam kitabnya al-Madkhal dengan sanadnya yang bersambung pada Ibnu Abbas Ra. beliau berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Ketika kalian diberikan kitab Allah, maka mengamalkannya harus dan tak ada alasan meninggalkannya. Jika kalian tidak menemukan (jawaban) di kitab Allah, maka di dalam sunnahku yang terdahulu. Jika kalian tidak menemukan di dalam sunnahku, maka lihatlah apa yang diucapkan para sahabatku. Sesungguhnya para sahabatku bagaikan bintang-bintang di langit. Siapa saja dari mereka yang kalian pegang, niscaya kalian akan mendapatkan petunjuk. Perbedaan di antara sahabatku adalah rahmat.”

Dari hadits tersebut terdapat beberapa faedah diantaranya:
1.      Kabar dari Rasulullah Saw. akan adanya perbedaan (ikhtilaf) di dalam hal furu’iyyah (cabang syariat) dan ini termasuk mukjizat beliau tentang hal-hal yang gaib.
2.      Setiap ulama yang berijtihad sesungguhnya berdasarkan atas petunjuk, maka tidak boleh mencela atau menyalahkan mereka. Siapa saja diantara ulama tersebut yang kita pilih sungguh berada di atas petunjuk.

Diceritakan oleh Imam Khatib al-Baghdadi di dalam kitabnya ar-Ruwah: Harun ar-Rasyid berkata kepada Imam Malik bin Anas: “Wahai Abu Abdillah (Imam Malik), Anda mengarang dan menulis kitab ini lalu menyebarkannya di semua penjuru Islam agar umat membawanya?”

Maka Imam Malik menjawab: “Sesungguhnya perbedaan para ulama itu rahmat dari Allah untuk umat ini. Setiap ulama mengikuti apa yang mereka pandang shahih. Dan semuanya di atas petunjuk dan masing-masing hanya berharap kepada Allah.”

Pada intinya yang dilarang Allah Swt. adalah berselisih dalam hal akidah, berselisih yang menyebabkan permusuhan, pertikaian dan perpecahan atau disebut dengan istilah Iftiraq atau Ikhtilaf fi al-‘Aqidah atau fi ad-Din atau juga Ihktilaf fi al-Kitab. Sedangkan Allah Swt. mentolerir perbedaan pendapat dalam hal furu’iyyah atau fiqhiyyah dan ini merupakan suatu bentuk ijtihad yang berdasarkan dalil-dalil al-Quran dan as-Sunnah. Maka Iftiraq pasti menyebabkan perpecahan dan permusuhan, dan tidak semua ikhtilaf menyebabkan perpecahan dan permusuhan. Iftiraq sudah pasti ikhtilaf dan ikhtilaf belum tentu ifitiraq.

Dan seringkali ada sebagian kelompok khususnya kelompok yang menyebut ajarannya dengan manhaj Salafiy, mencampuradukkan antara masalah ikhtilaf/khilafiyyah dengan masalah iftiraq. Sehingga terkadang mereka memperuncing masalah-masalah khilafiyyah yang ada dan menyalahkan orang yang berikhtilaf. Sungguh ini suatu kesalahan fatal dan kejahilan yang nyata.

Keadaan Orang yang Beriftiraq dan juga Merupakan Ciri-ciri Ajaran Sesat

Diantaranya adalah keadaannya dalam “syiqaq yang jauh”, sebagaimana Allah Swt. jelaskan dalam al-Quran: “Yang demikian itu adalah karena Allah telah menurunkan Kitab Suci dengan membawa kebenaran; dan sesungguhnya orang-orang yang berselisih tentang (kebenaran) Kitab Suci itu, benar-benar dalam syiqaq yang jauh.” (QS. al-Baqarah ayat 172).

Apakah makna syiqaq dalam ayat tersebut? Syiqaq dalam kitab-kitab tafsir memiliki 3 makna:

1.      Al-Mu’adah wa al-Munaza’ah

Yaitu permusuhan dan perselisihan. Orang yang beriftiraq (bercerai-berai), maka mereka telah jauh memusuhi kebenaran dan berselisih dalam hal kebenaran. Inilah keadaan orang-orang yang beriftiraq baik dari kalangan kaum kafir sebagaimana firman Allah Swt.: “Sebenarnya orang-orang kafir itu (berada) dalam kesombongan dan permusuhan yang sengit.” (QS. Shad ayat 2). Yaitu kesombongan dan permusuhan sengit kepada Rasulullah Saw.

Ataupun dari kalangan ahli firqah dan bid’ah dari umat muslim itu sendiri. Sebagaimana firman Allah: “Agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh setan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang kasar hatinya. Dan sesungguhnya orang-orang yang lalim itu, benar-benar dalam permusuhan yang sangat.” (QS. al-Hajj ayat 53).

Dalam ayat itu dijelaskan bahwa apa yang dimasukkan oleh setan, dijadikan oleh Allah sebagai fitnah/kesesatan bagi dua golongan yaitu orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit syaq dan nifaq. Dan orang-orang yang keras hatinya mereka adalah orang-orang yang berbuat kesyirikan dan mereka semua disebut orang-orang yang dzalim. Dan orang-orang yang dzalim tersebut di dalam permusuhan yang sangat.

Maka ahlul firqah yang menyempal dari jamaah kaum muslimin mereka di dalam permusuhan yang sangat dan memecah-belah umat, demikian juga terjadi permusuhan di antara golongan mereka sendiri sehingga kelompok mereka pun beriftiraq/berpecah-belah dan itulah bukti kebathilan ajaran mereka, sebab mereka bukanlah mengikuti satu jalan (al-Haq) melainkan mengikuti beberapa jalan kesesatan.

Renungkanlah firman Allah Swt. berikut ini: “Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS. al-An’am ayat 153).

Imam Ibnu Katsir berkata tentang ayat tersebut: “Sesungguhnya Allah mennyebutkan kata ‘sabil’ dengan bentuk tunggal, karena sesungguhnya kebenaran itu satu. Sebab itulah Allah menyebutkan kata ‘subul’ dengan bentuk jamak karena perpecahan dan bercabang-cabang.”

Abdullah bin Abbas pun yang dijuluki dengan Tarjuman al-Quran menafsirkan ayat: “Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain).” Beliau menafsirkan: “Janganlah kamu mengikuti jalan-jalan kesesatan.”

Dan jika kita mau melihat di dalam al-Quran, maka kita dapati kalimat Shirath disebutkan dengan bentuk mufrad/satu sebab Thariq al-Haq hanyalah satu yaitu Shirath al-Mustaqim, al-Quran al-Karim yang sesuai pemahaman Rasulullah Saw.

2.      Asy-Syaqq atau al-Fashlu

Yaitu memecah dan memutuskan. Artinya orang yang beriftiraq adalah orang yang memecah dan memutus dari barisan jamaah muslimin, terlepas dari kelompok mayoritas umat muslim.

3.      Al-Masyaqqah

Yaitu beban dan berat. Artinya orang yang beriftiraq seolah-olah berbuat apa yang memberatkan dan menyakiti kelompok lainnya.

Kesimpulan

Maka dari keterangan di atas, bisa kita tarik kesimpulannya sebagai berikut:
1.      Iftiraq adalah perselisihan dalam masalah ushuluddin atau akidah yang pasti menyebabkan terjadinya permusuhan dan perpecahan.
2.      Ikhtilaf tidak berkonotasi negatif. Ikhtilaf yang negatif adalah ikhtilaf di dalam akidah. Sedangkan ikhtilaf yang positif adalah ikhtilaf yang terjadi dalam masalah furu’iyyah, fiqhiyyah atau ijtihadiyyah sebagaimana ikhtilaf yang terjadi di antara ulama madzhab. 
3.      Salah besar memperuncing masalah ikhtilaf yang ada. Dan salah fatal mencampuradukkan masalah ikhtilaf ke dalam masalah iftiraq.
4.      Diantara ciri-ciri aliran sesat adalah memecah-belah umat Islam, saling bermusuhan, memisahkan diri dari barisan jama’ah muslimin dan terjadinya perselisihan dan perpecahan di antara golongan mereka sendiri sebagai bukti ajaran mereka tidak mengikuti al-Haq (kebenaran) dan hanya mengikuti jalan-jalan sesat dan hawa nafsu.

Selanjutnya pada pembahasan berikutnya akan saya tuangkan dan tampilkan bukti-bukti adanya iftiraq yaitu perpecahan dan perselisihan sengit di dalam tubuh kelompok mereka sendiri, kelompok yang menisbatkan pemahamannya dengan manhaj salaf, dengan bukti-bukti kuat dan fakta yang akurat baik dari scan kitab-kitab mereka sendiri ataupun melalui media masa seperti majalah, video youtobe dan lainnya. Atau fatwa-fatwa mereka yang saling berbenturan bahkan hingga keluar kata-kata tak pantas terlontar dari lisan seorang ulama, seperti ajhal min al-himar (lebih bodoh dari keledai), sesat, gila hingga saling mengkafirkan sesama kelompok mereka sendiri. (Didaur ulang dari tulisan Ustadz Ibnu Abdillah Al-Katibiy).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar