Tulisan ini
menunjukkan sejumlah informasi sejarah tentang sikap Nabi Muhammad yang
humanis, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, toleransi, menghargai
keragaman, menjamin kebebasan memeluk agama, dan memberikan keleluasaan untuk beribadah
bagi penganut agama lain. Tulisan ini juga sekaligus membantah kesimpulan
sejumlah orientalis, diantaranya adalah Robert Spencer, yang menyatakan bahwa
Muhammad adalah pendiri agama paling tidak toleran di dunia. Tulisan ini
berangkat dari kajian terhadap sīrah nabawīyah yang diperoleh dari
kitab-kitab hadits dan sejarah (tārīkh), baik dari pihak Sunni maupun
Wahabi.
Pendahuluan
Belakangan ini
marak terjadi di negeri Indonesia yang kita cintai tindakan-tindakan sekelompok
orang yang mengatasnamakan agama merusak dan membakar rumah ibadah agama
tertentu bahkan rumah ibadah yang dibangun oleh umat Islam sendiri dari
kalangan minoritas, seperti yang menimpa pada masjid yang dibangunoleh kelompok
Ahmadiyah di Cikeusik Banten dan masjid Syiah di Madura.
Sedangkan yang
berkenaan dengan rumah ibadah umat beragama selain Islam, seperti kasus
pelarangan pembangunan rumah ibadah di Yasmin Bogor dan Filadela di Bekasi.
Salah seorang tokoh FPI bahkan menjadikan peristiwa pembakaran masjid pada masa
Nabi Muhammad yang dikenal dengan peristiwa masjid adh-Ḍirār sebagai legitimasi
sejumlah tindakan anarkis terhadap sejumlah rumah Ibadah di berbagai tempat.
Realitas
tersebut semakin memperburuk citra umat Islam baik di negeri sendiri maupun di
luar negeri, yang memberikan kesan umat Islam sangat jauh dari label Islam yang
ramah, toleran, menghargai keragaman, humanis, memuliakan manusia, dan
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Citra yang semakin memperburuk
pandangan orang lain (the others) terhadap Islam, apalagi setelah peristiwa
pengeboman 9/11 di Amerika Serikat, yang mengakibatkan menguatnya kembali
Islamophobia di berbagai belahan dunia dan akibatnya justru merugikan umat
Islam sendiri. Robert Spencer bahkan menulis sebuah buku yang menjelaskan keburukan-keburukan
Islam khususnya Muhammad yang ia sebut sebagai “warlord”. Buku ini
dinilai sebagai bestseller oleh New York Times. (Selengkapnya baca Robert
Spencer, The Truth about Muhammad: the Founder of the Most Intolerant
Religion in the World, Washington DC: Regnery Publishing Inc., 2007).
Artikel ini
akan melengkapi tulisan-tulisan sebelumnya yang memberikan bantahan atas
beberapa tuduhan negatif yang dialamatkan kepada Islam dan Nabi Muhammad.
Beberapa sarjana Barat yang dinilai memberikan penjelasan yang obyektif
berkenaan dengan Islam dan Nabi Muhammad dalam karya-karya mereka diantaranya
adalah Louis Massignon (1962), Marshall G.S. Hodgson (1968), H.A.R. Gibb
(1971), Henri Corbin (1978), Wilfred Cantwell Smith (2000), Annemarie Schimmel
(2003), W. Montgomery Watt (2006), dan John L. Esposito. (Selengkapnya lihat Marshall
G. S. Hodgson, The Venture of Islam Conscience and History in a World
Civilization Chicago: The University of Chicago Press, 1974 halaman 101-230,
Hamilton Alexander Rosskeen Gibb, Mohammedanism Oxford: Oxford University
Press, 1962, Wilfred Cantwell Smith, Islam in Modern History Princeton:
Princeton University Press, 1977, Annemarie Schimmel, Islam: an Introduction
New York: State University of New
York Press, 1992 dan And Muhammad is His Messenger: the Veneration of the
Prophet in Islamic Piety North Carolina: University of North Carolina
Press, 1985, W. Montgomery Watt, Muhammad: Prophet and Statesman Oxford:
Oxford University Press,1974, John L. Esposito, Islam the Straight Path Oxford:
Oxford University Press, 2010).
Tulisan ini
utamanya memaparkan ucapan dan tindakan beliau yang mengandung prinsip-prinsip
toleransi antar umat beragama dan nilai-nilai kemanusiaan. Beberapa persoalan
yang akan dijawab dalam tulisan ini adalah bagaimana perilaku Nabi yang
berkenaan dengan manusia dan kemanusiaan? Bagaimana tindakan Nabi Muhammad yang
mencerminkan kebebasan dan toleransi beragama? Bagaimana konteks yang menjadi
latar belakang terjadinya pembakaran masjid pada masa Nabi? Informasi yang
digunakan dalam artikel ini diperoleh dari sejarah hidup Nabi Muhammad atau
yang biasa dikenal dengan istilah sīrah nabawīyah yang terdapat di dalam
kitab-kitab hadits, sejarah (tārīkh), dan kitab-kitab khusus sīrah nabawīyah
Islamophobia dan Muhammadophobia
Setidaknya, ada
tiga kesimpulan besar berkenaan dengan sikap Barat terhadap Nabi Muhammad:
1.
Muhammad hampir
selalu dicitrakan negatif oleh Barat, meski tidak dapat dipungkiri ada beberapa
yang mencoba memberikan gambaran yang obyektif tentang Muhammad. Baru pada abad
ke-20 ada beberapa sarjana yang memberikan citra positif tentang Muhammad.
2.
Pandangan
negatif terhadap Muhammad tersebut banyak disebabkan karena unsur politis
(Kristen takut kehilangan kekuasaan dan pengaruh) dan reaksi kejiwaan
(schizophrenic) yang mengalami islamophile (penyakit anti Islam).
3.
Sikap ambigu
Barat terhadap Islam dalam beberapa kasus. Mereka memuji dan menghujat Muhammad
disaat yang bersamaan. Mereka merasa lebih nyaman tinggal di wilayah muslim daripadadi
Eropa Kristen, dan disaat yang sama mereka secara sistematis membunuh dan mengusir
kaum muslim dari negerinya. (Selengkapnya lihat bagian Muhammad The Enemy
pada buku Karen Armstrong, Muhammad: a Biography of The Prophet New
York: HarperOne, 1993 dan Muhammad: Prophet for Our Time New York:
Harper Collins, 2006).
Pada tahun 850,
seorang biarawan bernama Perfectus menganggap Muhammad sebagai dukun klenik,
orang sesat dan anti kristus. Pernyataan yang disampaikan di Cordoba ini
merupakan insiden yang tidak lazim, saat hubungan umat Kristen-Muslim pada
umumnya baik-baik saja. Bahkan saat kehidupan penganut tiga agama monoteis yang
bersejarah; Yahudi-Kristen-Islam dapat hidup bersama dalam harmoni yang relatif
damai.
Pada abad ke-19
ini pula muncul provokasi yang disebarkan oleh Eulogio dan Paul Avaro saat
keduanya menyikapi eksekusi terhadap 50 martir yang menghujat Islam seperti
Perfectus dengan menyatakan bahwa kebangkitan Islam merupakan persiapan
kedatangan “sang anti kristus” yang kekuatannya akan membesar di Hari-hari
Terakhir. Pada masa ketakutan ini, Muhammad digambarkan sebagai seorang penipu
ulung, tukang obat yang menobatkan dirinya sendiri sebagai Nabi untuk menipu
dunia. Dia memaksa orang-orang untuk mengikuti agamanya melalui jalan
peperangan. Islam bukan wahyu yang mandiri, melainkan dianggap sebagai sebuah kegagalan
atau penyimpangan dari Kristen.
Memasuki abad
ke-11, Eropa mulai bangkit dan perang Salib I terjadi. Keberhasilan Barat pada
masa ini menciptakan semangat perang total melawan Islam. Mulanya tak seorang
pun di Eropa memiliki kebencian khusus pada agama kaum muslim atau nabinya,
karena mereka lebih memusatkan perhatian pada mimpi mereka akan kejayaan dan
perluasan Eropa Kristen. Meskipun demikian, kaum muslim dianggap sebagai musuh
dan dilukiskan sebagai pemuja idola, membungkuk dalam-dalam di hadapan trinitas
dewa-dewa Apollo, Trevagant, dan Mahomet (Muhammad).
Mendekati tahun
1120, bersamaan dengan tersebarnya mitos Charlamagna, raja-raja Arthur dan
Robin Hood di Barat, mulailah dibuat mitos dan cerita fiktif Mahound (Muhammad)
sebagai musuh dan bayangan dari kerajaan Kristen. Muhammad diceritakan sebagai
seorang pesulap yang menciptakan mukjizat-mukjizat palsu untuk menarik
perhatian bangsa Arab yang percaya, dan untuk menghancurkan gereja di Afrika
dan Timur Tengah. Muhammad diceritakan sebagai penderita epilepsi, kehidupan
seksnya penuh birahi, tidak ada yang murni (genuine) dalam
pernyataan-pernyataan Muhammad, dia adalah penipu ulung dan tidak mandiri.
Sehingga menurut Kristen, Islam merupakan pecahan Kristen, bidʻah dari segala bidʻah.
Baru pada abad
ke-18 orang-orang berusaha mempromosikan suatu pengertian akurat mengenai Islam
seperti; pada tahun 1708 Simon Ockley yang tidak menampilkan Islam sebagai
agama pedang dan memandang Jihad dari pandangan Muslim. George Sale
menerjemahkan al-Quran ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1734. Francois
Voltaire membela Muhammad sebagai pemikir politik yang hebat dan pencetus agama
yang rasional, pemerintahan muslim selalu lebih toleran daripada tradisi
Kristen, tulisnya pada tahun 1751.
Johann Jakob
Reiske (1774) melihat sebuah kualitas ketuhanan dalam kehidupan Muhammad dan
penciptaan Islam. Selama abad ini pula, Muhammad ditampilkan sebagai penentu
hukum yang bijaksana dan rasional. Henri menggambarkan sang Nabi sebagai
pelopor Abad Akal Sehat. Boulainvilliers berpendapat bahwa Islam adalah tradisi
alamiah, Muhammad adalah pahlawan militer yang hebat. Dan pada akhir abad ini
Edward Gibbon memuja monoteisme agung Islam dan memperlihatkan bahwa Muslim
patut mendapatkan tempat dalam sejarah peradaban dunia.
Meskipun
terlihat sedemikian obyektifnya, penulis-penulis di atas masih menyisipkan
kisah-kisah serampangan mengenai Muhammad, yang menunjukkan bahwa bayangan
tradisional tentang muslim belum mati. Pada abad ke-19, ditandai dengan tumbuhnya
semangat kolonial, yang memberi Eropa kepercayaan yang tak sehat bahwa mereka
merasa superior disbanding ras lainnya. Islam dipandang sebagai sebuah pemujaan
yang merupakan musuh peradaban, dan secara sistematis sangat membela
kesewenang-wenangan, kelaliman dan perbudakan.
Barulah pada
abad ke-20 muncul kaum terpelajar yang mencoba memperluas pemahaman Barat
tentang Islam dan menggunakan studi mereka untuk menantang prasangka di masa
mereka. Louis Massignon, H.A.R. Gibb, Henri Corbin, Annemarie Schimmel,
Marshall G.S. Hodgson dan Wilfred Cantwell Smith adalah beberapa nama yang bisa
disebut di sini. Smith misalnya, mengatakan bahwa segmen Muslim dalam
masyarakat kemanusiaan dapat berkembang karena Islam kuat dan vital, murni,
kreatif dan berarti.
Nabi Muhammad Menjunjung Tinggi Manusia dan Nilai-nilai Kemanusiaan
Spencer
menyatakan dalam bukunya, bahwa ada hubungan yang sangat kuat antara ajaran
Muhammad dan kekerasan Islam dengan sejumlah pernyataan dan perlakuan yang
diulang-ulang oleh Osama bin Ladin, Ayman al-Zawāhirī, Abū Muṣʻab al-Zarqawī,
Abū Ḥamzah, Abu Bakar Baʻasyir, dan jihadis-jihadis lainnya. Padahal, menurut
data sejarah, sebagai seorang manusia yang diutus untuk seluruh umat manusia,
bahkan alam semesta, Nabi Muhammad sangat menghormati manusia dan menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan, bahkan meskipun manusia sudah meninggal. (Robert
Spencer, The Truth about Muhammad, halaman 13).
Terdapat
sejumlah riwayat hadis yang menceritakan penghormatan Nabi kepada jenazah
Yahudi. Salah satu diantaranya sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn al-Jaʻd
(230 H), Ibn Abī Syaibah (235 H), Aḥmad bin Ḥanbal (241 H), al-Bukhārī (256 H),
Muslim (261 H), an-Nasā’ī (303 H), Abū Yaʻlā al-Mūṣilī (307 H), Ibn al-Mundzir
(318 H), ath-Ṭabarānī (360 H), dan al-Baihaqī (458 H) dari Ibn Abī Laylā (83 H)
bahwa Qays bin Saʻd (59 H) dan Sahl bin Ḥunaif (38 H) keduanya berdiri ketika
ada jenazah non Muslim lewat di hadapan mereka. Keduanya kemudian ditegur atas
sikap mereka, kemudian keduanya menjawab dengan menceritakan bahwa Rasulullah
Saw. pernah berdiri ketika jenazah lewat di depannya, kemudian Rasulullah diinformasikan
bahwa jenazah tersebut adalah Yahudi. Nabi menjawab: “Alaisat nafsan?” (bukankah
ia juga manusia?).
Lihat
rujukannya dari Alī bin al-Jaʻd al-Jauharī dalam Musnad Ibn al-Jaʻd halaman
28, Beirut: Maktabah al-Falāḥ, 1985, Muḥaqqiq: Abdul Mahdī bin Abdul Qādir bin Abdul
Hādī, Abūbakr Abdullāh bin Muḥammad bin Ibrāhīm bin Abī Syaibah dalam al-Muṣhannaf
juz 4 halaman 583-586, Riyad: Maktabah al-Rushd Nāshirūn, 2004, Muḥaqqiq: Ḥamad
bin Abdullāh al-Jumuʻah dan Muḥammad bin Ibrāhīm al-Laḥīdān, Aḥmad bin Muḥammad
bin Ḥanbal dalam al-Musnad juz 17 halaman 144, Cairo: Dār al-Ḥadīth,
1995, Muḥaqqiq: Ḥamzah Aḥmad al-Zayn, Abū Abdullāh Muḥammad bin Ismāʻīl
al-Bukhārī dalam al-Jāmiʻ ash-Ṣaḥīḥ al-Musnad min Ḥadīts Rasūlillāh Saw. wa
Sunanih wa Ayyāmih juz 1 halaman 404, Cairo: Al-Maṭbaʻah al-Salafīyah, 1400
H, Muḥaqqiq: Muḥammad Fu’ād Abdul Bāqī, Abū al-Ḥusain Muslim bin al-Ḥajjāj
dalam al-Jāmiʻ ash-Ṣhaḥīḥ halaman 372, Riyad: Bayt al-Afkār al-Dawlīyah,
1998, Abū Abdurraḥmān Aḥmad bin Syuʻaib bin Alī an-Nasā’ī dalam Sunan an-Nasā’ī
halaman 308, Riyad: Maktabahal-Maʻārif li al-Nashr wa al-Tawzīʻ, 1417 H, Muḥaqqiq:
Muḥammad Nāṣir al-Dīn al-Albānī, Aḥmad bin Alī Abū Yaʻlā al-Mūṣilī dalam Musnad
Abī Yaʻlā al-Mūṣilī juz 3 halaman 26, Dimashq: Dār al-Thaqāfahal-ʻArabīyah,
1992, Muḥaqqiq: Ḥusayn Salīm Asad, Muḥammad bin Ibrāhīm bin al-Mundzir dalam al-Ausaṭh
fī as-Sunan wa al-Ijmāʻ wa al-Ikhtilāf halaman 977, Riyad: Dār Ṭaybah,
t.th. Muḥaqqiq: Ṣaghīr Aḥmad Muḥammad Ḥanīf, Abū al-Qāsim Sulaimān bin Aḥmad ath-Ṭhabarānī
dalam al-Muʻjam al-Kabīr juz 6 halaman 90-91, Cairo: Maktabah Ibn
Taymiyah, 1983, Muḥaqqiq: Ḥamdī ʻAbd al-Majīd al-Salafī dan Abūbakr Aḥmad bin
al-Ḥusain bin Alī al-Baihaqī dalam as-Sunan al-Kubrā juz 4 halaman 42, Beirut:
Dār al-Kutubal-ʻIlmīyah, 2003, Muḥaqqiq: Muḥammad Abdul Qādir ʻAṭā.
Teladan yang
dilakukan Nabi Muhammad ini dicontoh oleh kedua sahabat tersebut (Qays bin Saʻd
dan Sahl bin Ḥunaif). Bahkan jenazah yang lewat di hadapan keduanya adalah
jenazah seorang penganut agama Majusi, agama yang disebut bukan agama samawi
atau tidak termasuk ahl al-kitāb. Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad
sangat menghormati manusia, bahkan setelah manusia itu mati, tetap ia hormati.
Bukankah Allah memuliakan manusia, sebagaimana disebutkan di dalam surat al-Isrā’
ayat 70:
وَلَقَدْ
كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ
مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا
“Dan
sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan
dan di lautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami
ciptakan.”
Ayat ini
berlaku umum yang mencakup penghormatan kepada seluruh manusia sebagai anak
cucu Adam, tidak memandang agama, suku, warna kulit dan lain sebagainya. Berpijak
pada nilai-nilai kemanusiaan yang dijunjungnya, inilah kiranya ketika Nabi
Muhammad mengutus Muʻādz bin Jabal ke Yaman, sebuah daerah yang pada saat itu
masyarakatnya banyak yang memeluk agama Yahudi dan Nasrani. Nabi Muhammad
memberikan pesan penting kepada Muʻādz untuk tidak berbuat dzalim kepada
siapapun yang secara implisit terkandung dalam peringatan Nabi untuk menjauhi
doa orang yang didzalimi (larangan untuk berbuat dzalim kepada oranglain), karena
tidak ada pengahalang di antaranya dan Allah. (Ibn Abī Shaybah dalam al-Muṣhannaf
juz 7 halaman 58).
Pesan ini tidak
hanya diperuntukkan untuk Muʻādz bin Jabal seorang, akan tetapi untuk seluruh
umat Islam. Pesan ini juga berlaku bagi setiap orang yang didzalimi tanpa
memandang status sosial atau agamanya. Riwayat Aḥmad bin Ḥanbal dari Abū Hurairah
bahkan menegaskan larangan untuk berbuat dzalim meskipunkepada seorang pendosa.
Hadits lain dari Anas bin Mālik menyebutkan: “Wain kana kafiran” (meskipun
terhadap orang kafir sekalipun). (Aḥmad bin Ḥanbal dalam al-Musnad juz
10 halaman 495).
Pelajaran
penting dari pesan Nabi kepada Muʻādz bin Jabal salah satunya mungkin adalah
tidak menggunakan kekuasaan untuk berbuat dzalim, semena-mena, menginjak-injak
harkat dan martabat orang lain.
Superioritas Muslim di Masa Nabi Muhammad
Selain larangan
untuk tidak mendzalimi orang lain, Nabi Muhammad pun menunjukkan perilaku yang
memberikan pelajaran bagi mayoritas untuk tidak menindas minoritas. Salah satu
informasi yang mendukung pernyataan tersebut adalah hadits riwayat Aḥmad bin Ḥanbal,
al-Bukhārī, Muslim dan al-Bazzār (292 H) dari Abdurraḥmān (53 H) bin Abū Bakr ash-Ṣhiddīq
(13 H) yang menceritakan bahwa ketika Nabi bersama 130 orang sahabat, termasuk
dirinya sedang dalam keadaan lapar dan sangat membutuhkan makanan. Beberapa
saat kemudian ada orang musyrik lewat di hadapan mereka membawa seekor kambing.
Nabi menghampirinya dan mengadakan dialog lalu bertransaksi jual beli dengan
harga yang diinginkan oleh orang musyrik tersebut. Nabi pun menyetujuinya dan
membeli kambingnya. (Al-Bukhārī dalam al-Jāmiʻ ash-Ṣhaḥīḥ juz 2 halaman 240).
Padahal
seandainya Nabi mau, ia bisa membayarnya dengan harga di bawah yang diinginkan,
atau memintanya, atau bahkan merampasnya karena pada saat itu Nabi sedang
bersama 130 sahabatnya. Tapi itu semua tidak dilakukan oleh Nabi Muhammad. Hal ini
setidaknya menunjukkan teladan yang diberikan oleh Nabi Muhammad bahwa pihak
mayoritas tidak boleh bertindak semaunya, apalagi sampai berbuat dzalim kepada
orang lain.
Riwayat hadis
yang lain menegaskan pelajaran tersebut bahwa jangan karena mayoritas kemudian
menjadi dasar untuk berbuat sesuka hati meskipun dalam posisi benar, diantaranya
adalah hadis riwayat Ibn Ḥibbān (354 H), al-Ḥākim (405 H) dan al-Baihaqī dari
ʻAbdullāh bin Salām (43 H) yang menceritakan tentang masuk Islamnya Zaid bin
Saʻnah yang sebelumnya beragama Yahudi. Suatu ketika Zaid bin Saʻnah ingin
menguji kenabian Nabi Muhammad, karena menurutnya ia telahmengetahui
tanda-tanda kenabian dalam diri Nabi Muhammad saat pertama kali melihat beliau.
Hanya ada dua tanda yang belum ia saksikan dari diri Nabi Muhammad, yaitu sikap
bijak yang harus dimiliki oleh seorang nabi. Zaid bin Saʻnah pun melakukan
investigasi ke dalam dengan mengikuti kegiatan Nabi Muhammad.
Suatu saat ada
seorang laki-laki Badui menemui Nabi Muhammad yang baru saja keluar dari
kamarnya bersama Alī bin Abī Ṭhālib (40 H). Orang itu melaporkan tentang masuk
Islamnya seluruh penduduk sebuah kampung karena iming-iming yang ia tawarkan,
yaitu jika penduduk kampung itu memeluk agama Islam, maka akan mendapatkan rizki
yang berlimpah. Sayangnya, saat itu penduduk kampung tersebut sedang ditimpa
musibah kelaparan. Jika Nabi tidak menolongnya, maka kemungkinan mereka akan
keluar dari Islam karena harapan yang mendorong mereka tidak mereka dapatkan.
Mendengar
laporan tersebut, Nabi Muhammad menengok kepada Umar bin Khaṭṭāb (23 H) yang
saat itu berada di sebelah Nabi, namun Umar menyampaikan: “Kita tidak punya
apa-apa ya Rasulullah.”
Melihat situasi
itu, Zaid bin Saʻnah menawarkan bantuan pinjaman kepada Nabi yang harus dibayar
pada waktu yang ditentukan, dan Nabi pun menyetujuinya. Dua atau tiga hari
menjelang waktu yang ditentukan, Zaid bin Saʻnah datang menemui Nabi untuk
menagih, padahal belum jatuh tempo. Saat itu Nabi baru saja selesai
melaksanakan shalat jenazah bersama sahabat-sahabat besar diantaranya ada Abū
Bakr ash-Ṣhiddīq, Umar bin Khaṭṭāb, Utsmān bin Affān (35 H) dan Alī bin Abī Ṭhālib.
Zaid bin Saʻnah dengan wajah kasar langsung menghampiri dan mencengkeram
pakaian Nabi seraya berkata: “Hei Muhammad! Lunasi hutangmu! Tak kusangka,
keturunan Muṭṭhalib adalah orang yang suka menunda membayar hutang!”
Melihat
perkataan dan perbuatan Zaid bin Saʻnah yang kasar kepada Nabi, Umar pun naik
pitam. Namun Nabi Muhammad mencegahnya dengan halus dan penuh kasih sayang,
bahkan meminta Umar untuk melunasi hutang kepada Zaid bin Saʻnah. Tidak hanya itu,
Nabi bahkan memerintahkan Umar untuk member tambahan.
Setelah Umar
membayarnya, Zaid bin Saʻnah pun masuk Islam karena telah melihat seluruh
tanda-tanda kenabian teruatama sikap bijak seorang nabi yang baru saja ia buktikan
ada pada diri Nabi Muhammad. Zaid bin Saʻnah bahkan saat itu juga menyedekahkan
setengah dari harta yang ia miliki untuk kepentingan umat Islam. (‘Alāuddīn Alī
bin Balabān al-Fārisī dalam Ṣhaḥīḥ Ibn Ḥibbān juz 1 halaman 521, Beirut:
Mu’assasah al-Risālah, 2007, Muḥaqqiq: Syuʻaib al-Arnā’ūṭ).
Informasi ini
membuktikan bahwa Nabi Muhammad bahkan tidak melakukan perbuatan yang
semestinya bisa dan boleh saja dilakukan oleh seseorang yang berada di pihak
mayoritas, apalagi dalam posisi benar. Nabi Muhammad lebih memilih tindakan
persuasif dan menyentuh sisi kemanusiaan, padahal saat itu setidaknya Nabi
menerima lima bentuk perbuatan tidak menyenangkan dari Zaid bin Saʻnah; didatangi
dengan wajah dan suara yang keras, dipanggil dengan namanya saja (yā Muḥammad),
tanpa kunyah atau laqab, ditagih sebelum waktu jatuh tempo, dicengkeram
bajunya, dihina keluarganya. Itu semua diterima Nabi di hadapan para sahabatnya.
Nabi Muhammad Menjamin Kebebasan Beragama
Nabi Muhammad
diutus bukan hanya untuk sekelompok orang tertentu melainkan sebagai rahmat
bagi seluruh umat manusia bahkan alam semesta. Oleh karenanya ajaran yang
dibawa oleh Nabi Muhammad adalah hal-hal yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan sekaligus menjaga harkat dan martabat manusia. Salah satu
nilai-nilai kemanusiaan lain yang dijaga adalah jaminan kebebasan beragama.
Abū Dāwūd (275
H) dan Ibn Ḥibbān meriwayatkan sebuah hadits yang bersumber dari sahabat Abdullāh
bin Abbās (68 H), juga ath-Ṭhaḥawī (321 H) dan al-Baihaqī (458 H) dari Saʻīd bin
Jubair (96 H) bahwa ada seorang perempuan yang tidak memiliki anak, kemudian ia
bersumpah jika di kemudian hari ia dikaruniai seorang anak, maka ia akan
menjadikan anaknya menganut agama Yahudi. Setelah beberapa waktu kemudian para
sahabat bertanya kepada Nabi Muhammad berkenaan dengan anak-anak dan saudara
mereka yang masih beragama Yahudi, Nabi pun terdiam, kemudian turunlah QS. al-Baqarah
ayat 256:
لَا
إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ
“Tidak ada
paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)…”
Lalu Nabi
Muhammad menjawab: “Biarkan keluarga kalian memilih. Jika mereka memilih
kalian, maka mereka termasuk kalian (Islam). Jika mereka memilih tetap, maka
mereka bagian dari mereka (Yahudi).” (Abū Dāwūd Sulaimān bin al-Asyʻats as-Sijistānī
dalam Sunan Abī Dāwūd juz 3 halaman 92, Beirut: Dār Ibn Ḥazm, 1997, ‘Alāuddīn
Alī bin Balabān al-Fārisī dalam Ṣhaḥīḥ Ibn Ḥibbān juz 1 halaman 353, Abū
Jaʻfar Aḥmad bin Muḥammad bin Salāmah ath-Ṭhaḥawī dalam Syarḥ Musykil al-Ātsār
juz 11 halaman 59-60, Beirut: Mu’assasah al-Risālah, 1994, Muḥaqqiq: Syuʻaib
al-Arnā’ūṭ dan al-Baihaqī dalam as-Sunan al-Kubrā juz 9 halaman 84).
Ibn Jarīr ath-Ṭhabarī
(310 H) menyebutkan riwayat lain dari Ismāʻīl bin Abdurraḥmān bin Abī Karīmah as-Suddī
(127 H) yang menceritakan bahwa tersebutlah seorang penduduk Madinah yang
bernama Abū al-Ḥuṣain yang memiliki dua orang anak. Pada saat pedagang dari
Syam datang ke Madinah, kedua anak Abū al-Ḥuṣain diajak untuk memeluk agama
Nasrani oleh para pedagang tersebut. Keduanya pun mengikuti ajakan mereka. Abū
al-Ḥuṣain kemudian mengadu kepada Nabi Muhammad atas kejadian tersebut dan
meminta Nabi untuk mengambil kedua anaknya untuk kembali kepadanya (tidak memeluk
agama Nasrani). Nabi pun kemudian menjawab: “La ikraha fiddin.” (Abū
Jaʻfar Muḥammad bin Jarīr ath-Ṭhabarī dalam Jāmiʻ al-Bayān ʻan Ta’wīl Āy
al-Qur’ān juz 4 halaman 549-550, Cairo: Dār Hijr, 2001, Muḥaqqiq: Abdullāh bin
ʻAbdul Muḥsin at-Turkī).
Hadits yang
menjadi sabab an-nuzūl ayat 256 dari surat al-Baqarah ini menegaskan tentang
jaminan kebebasan beragama yang dilakukan oleh Nabi Muhammad atas perintah
al-Quran. Islam melalui al-Quran dan Nabi Muhammad memberikan garansi atas
pilihan seseorang memeluk agama tertentu tanpa paksaan.
Perlakuan Nabi
Muhammad yang tidak memaksa seseorang untuk memeluk agama Islam dapat terlihat
dari peristiwa yang terjadi pada Māriyah al-Qibṭīyah (16 H) pada tahun ke-7 H.
Saat itu Nabi Muhammad menerima hadiah dua perempuan bersaudara dari al-Muqauqis
Juraij bin Mīnā seorang penguasa al-Iskandarīyah. Perempuan itu bernama Māriyah
dan Sīrīn, keduanya putri Syamʻūn al-Qibṭīyah. Ketika Nabi Muhammad bertemu
dengan keduanya, beliau “menawarkan” kepada keduanya untuk masuk Islam.
Keduanya pun menerima tawaran tersebut tanpa paksaan. (Imādudīn Abū al-Fidā’
Ismāʻil bin Umar bin Katsīr ad-Dimasyqī dalam al-Bidāyah wa an-Nihāyah
juz 8 halaman 227-229, Cairo: Dār Hijr, 1997, Muḥaqqiq: Abdullāh bin Abdul Muḥsin
at-Turkī dan Muḥammad bin Saʻd bin Manīʻ az-Zuhrī dalam Kitāb ath-Ṭhabaqāt
al-Kabīr juz 10 halaman 201, Cairo: Maktabah al-Khānijī, 2001, Muḥaqqiq:
Alī Muḥammad Umar).
Demikian pula
halnya yang terjadi kepada Raiḥānah binti Zaid al-Quraẓīyah (10 H) seorang
budak perempuan Nabi. Raiḥānah ditawarkan oleh Nabi untuk memeluk Islam, namun
ia menolak dan menyatakan ingin tetap dalam agama Yahudi yang selama ini ia
anut. Nabi pun tidak memaksanya dan menyerahkannya serta menceritakan penolakan
Raiḥānah untuk masuk Islam kepada Asad bin Saʻyah. Asad bin Saʻyah kemudian
menemui Raiḥānah dan memberitahu bahwa Nabi memilihnya. Asad bin Saʻyah juga
memintanya untuk masuk Islam, dan Raiḥānah pun akhirnya memutuskan untuk masuk
Islam setelah mendengar penjelasan Asad bin Saʻyah. (Ibn Katsīr dalam al-Bidāyah
wa an-Nihāyah juz 8 halaman 233-234).
Sejumlah
peristiwa tersebut membuktikan bahwa Nabi Muhammad adalah seorang pemimpin
agama yang tidak memaksakan kehendaknya untuk mengajak orang lain memeluk agama
yang dibawanya. Bahkan Nabi Muhammad memberikan kebebasan memeluk agama
sebagaimana peristiwa yang terjadi para perempuan Yahudi Banī Naḍhīr dan kedua
putra Abū al-Ḥuṣain. Tidak hanya menjamin kebebasan memeluk agama, Nabi
Muhammad pun menjamin kebebasan beragama atau melaksanakan ibadah masing-masing
pemeluk agama. Jaminan tersebut tertuang dalam perjanjian seluruh penduduk Yatsrib
(Madīnah) yang kemudian dikenal dengan nama Madīnah Charter atau Piagam
Madinah. (Abdul Malik ibn Hisyām dalam as-Sīrah an-Nabawīyah juz 1
halaman 501-504 dan Ibn Katsīr dalam al-Bidāyah wa an-Nihāyah juz 4 halaman
555-558).
Nabi Muhammad Mengakui dan Menghormati Eksistensi Agama Lain
Jaminan
kebebasan beragama dan menjalankan ibadah bagi pemeluk agama selain Islam yang
dilakukan oleh Nabi Muhammad sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, boleh
jadi karena didasari pada pengakuan dan penghormatannya akan eksistensi agama
selain Islam. Bahkan Nabi Muhammad marah dan menegur sahabatnya yang bertengkar
dengan orang Yahudi. Sahabat Nabi tersebut mengunggulkan Nabi Muhammad atas
Nabi Musa sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhārī, Muslim, Abū Dāwūd dan
Ibn Ḥibbān, dari Abū Hurairah (57 H) bahwa Nabi melarang sahabatnya untuk
menganggap dirinya (Nabi Muhammad) lebih baik dari Nabi Musa karena kelak nanti
di hari Kiamat ia adalah orang yang pertama kali dibangkitkan padahal ternyata
Nabi Musa telah berada di ‘Arsy. Nabi pun menyatakan bahwa tidak seorang pun
lebih unggul dari Yūnus bin Mattā (Nabi Yunus). (Al-Bukhārī dalam al-Jāmiʻ ash-Ṣhaḥīḥ
juz 2 halaman 179 dan 480, Muslim bin al-Ḥajjāj dalam al-Jāmiʻ ash-Ṣhaḥīḥ
juz 7 halaman 100-101, Abū Dāwūd dalam Sunan Abī Dāwūd juz 5 halaman 36-37
dan Ibn Balabān al-Fārisī dalam Ṣhaḥīḥ Ibn Ḥibbān juz 16 halaman 301).
Pernyataan Nabi
Muhammad sebagaimana disebutkan dalam hadis riwaya tal-Bukhārī dan Muslim
tersebut setidaknya menunjukkan beberapa hal:
1.
Nabi Muhammad
mengakui eksistensi orang Yahudi yang menyebutkan nama Musa dalam
konfrontasinya dengan sahabat Nabi.
2.
Nabi Muhammad
acapkali melarang sahabatnya untuk mengunggulkan dirinya dibandingkan dengan nabi-nabi
yang lain.
Tidak hanya
persoalan pengakuan dan penghormatan kepada eksistensi agama selain Islam, Nabi
Muhammad pun menganggap pemeluk agama lain dapat masuk surga. Informasi sejarah
yang menunjukkan hal ini adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhārī,
Muslim dan al-Ḥākim adalah pernyataan Nabi tentang Waraqah bin Naufal, seorang
yang dikenal dan diakui sebagai pemeluk agama Nasrani bahkan pendeta (rāhib).
Nabi menemuinya setelah menerima wahyu untuk pertama kalinya, dan Waraqah
menjanjikan pertolongannya jika ia masih hidup pada saat Nabi menyampaikan
wahyu. Nabi melarang siapapun untuk menghinaWaraqah, karena menurut Nabi telah
disediakan satu atau dua surga baginya. (Al-Bukhārī dalam al-Jāmiʻ ash-Ṣhaḥīḥ
juz 1 halaman 14-15, Muslim bin al-Ḥajjāj dalam al-Jāmiʻ ash-Ṣhaḥīḥ juz 1
halaman 97-98, Abū Abdullāh al-Ḥākim an-Nīsābūrī dalam al-Mustadrak ʻalā ash-Ṣhaḥīḥain
juz 2 halaman 715-716, Cairo: Dār al-Ḥaramayn li al-Ṭibāʻah wa al-Nashr wa
al-Tawzīʻ, 1997, Muṣaḥḥiḥ: Abū Abdurraḥmān Muqbil ibn Hādī al-Wādiʻī).
Selain menjamin
kebebasan memeluk agama, menjamin kebebasan melaksanakan ajaran agama dan tidak
membatasi klaim keselamatan (surga) hanya milik umat Islam, Nabi Muhammad
bahkan pernah mengizinkan umat agama lain untuk melaksanakan ibadah mereka di
dalam masjid. Ibn Iṣḥāq, al-Baihaqī dan Ibn Katsīr (774 H) menceritakan bahwa
pernah ada kunjungan sejumlah 60 tokoh agama Kristen dari Najrān ke Madinah
yang dipimpin oleh 3 orang di antara mereka, yaitu al-ʻĀqib ʻAbd al-Masīḥ,
pemimpin utama, al-Aiham orang yang dianggap sebagai “sang penolong”, dan Abū Ḥāritsah
bin ʻAlqamah, seorang uskup yang berasal dari tanah Arab dan mengenal Nabi
Muhammad sehingga Abū Ḥāritsah lah yang menjadi salah satu juru bicara dari
rombongan Najrān tersebut. (Ibn Hisyām dalam as-Sīrah an-Nabawīyah juz 1
halaman 573-578 dan Ibn Katsīr dalam al-Bidāyah wa an-Nihāyah halaman 270-271).
Setibanya di
Madinah, mereka langsung menuju masjid menjelang masuk waktu shalat Ashar.
Ketika waktu Ashar tiba, dengan mengenakan pakaian yang bagus dan indah,
rombongan tokoh-tokoh Kristen Najrān itu pun masuk ke dalam masjid dan
melaksanakan ibadah (kebaktian) menghadap ke arah timur. Melihat ini Nabi
berkata kepada para sahabatnya: “daʻūhum” (biarkan mereka). (Ibn Hisyām
dalam as-Sīrah an-Nabawīyah juz 1 halaman 573-578, al-Baihaqī dalam
Dalā’il an-Nubūwah juz 5 halaman 382-383 dan Ibn Katsīr dalam al-Bidāyah
wa an-Nihāyah juz 7 halaman 269-272).
Peristiwa ini
terjadi pada tahun ke-9 H, saat Nabi Muhammad bersama umat Islam berada pada
puncak kejayaan Islam. Nabi bisa saja mencegah atau melarang rombongan
tokoh-tokoh Kristen Najrān tersebut untuk beribadah di dalam masjid, karena:
1.
Saat itu waktu
shalat Ashar telah tiba, selayaknya Nabi dan parasahabatnya lah yang berhak
menggunakan masjid untuk beribadah.
2.
Rombongan
tersebut adalah non Muslim, dan masjid adalah tempat ibadah bagi umat Islam,
bukan untuk selainnya.
Tapi sekali
lagi Nabi Muhammad tidak melakukan pencegahan maupun pelarangan yang mungkin
dapat dilakukannya.
Peristiwa Pembakaran Masjid al-Ḍirār
Sebagai penutup
dari tulisan ini, saya akan sedikit memaparkan tentang peristiwa Masjid adh-Ḍhirār.
Informasi tentang pembakaran Masjid adh-Ḍhirār ini penting karena belakangan
ini peristiwa tersebut menjadi legitimasi pembakaran dan perusakan rumah ibadah
baik yang didirikan oleh sekelompok jamaah umat Islam yang minoritas seperti
yang menimpa pada masjid jamaah Ahmadiyah di Cikeusik Banten dan masjid jamaah
Syiah di Madura, apalagi rumah ibadah pemeluk agama lain seperti gereja yang
didirikan oleh umat Kristiani.
Penamaan Masjid
adh-Ḍhirār yang berarti bahaya berasal dari wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad
sepulang dari Tābūk, yaitu surat at-Taubah ayat 107-110. Masjid ini dibangun
oleh 12 orang munfik Madinah, yaitu Khidhām bin Khālid, Tsaʻlabah bin Ḥāṭib,
Muʻattib bin Qushair, Abū Ḥabībah bin al-Azʻar, ‘Abbād bin Ḥunaif, Jāriyah bin
ʻĀmir, Mujammiʻ bin Jāriyah, Zaid bin Jāriyah, Nabtal bin al-Ḥārits, Baḥzaj Banī
Ḍubayʻah, Bijād bin Utsmān dan Wadīʻah ibn Tsābit. (Ibn Katsīr dalam al-Bidāyah
wa an-Nihāyah juz 7 halaman 190).
Masjid ini dibangun
di sebelah rumah Khidhām bin Khālid dan dekat dengan Masjid Qubā’. Tujuan
pembangunan Masjid adh-Ḍhirār ini adalah untuk membahayakan Nabi Muhammad,
menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam dan mereka yang membangun masjid
ini menghendaki Nabi Muhammad shalat di masjid mereka agar mendapat legitimasi
dari Nabi, tapi Nabi menolaknya karena saat itu akan berangkat ke Tābūk dan
menjanjikan sepulang dari Tābūk. Untungnya, di tengah perjalanan Nabi Muhammad
pulang dari Tābūk menuju Madinah, turunlah ayat 107-110 yang menjelaskan
tentang pembangunan masjid ini, bahaya yang terkandung di dalamnya, dan upaya
Abū ‘Āmir yang hendak berbuat jahat kepada Nabi Muhammad. (Ibn Katsīr dalam al-Bidāyah
wa an-Nihāyah juz 7 halaman 188).
Abū ʻĀmir
adalah seorang penganut agama Kristen dari suku Khazraj yang pernah menolak
diajak memeluk agama Islam oleh Nabi Muhammad. Sesaat setelah umat Islam
memenangkan perang Badr, muncul kebencian Abū ʻĀmir kepada umat Islam. Ia pun
pergi ke Mekkah dan mengajak penduduk Mekkah untuk memerangi Nabi Muhammad
sehingga terjadilah perang Uḥud. Ia pula yang menyiapkan sejumlah liang
jebakan, dan Nabi Muhammad jatuh ke dalam salah satunya sehingga Nabi terluka
di wajahnya, dan gigi beliau patah. (Ibn Katsīr dalam Tafsīr al-Qur’ān al-ʻAdẓīm
juz 7 halaman 180, Cairo: Maktabah Awlād al-Shaykh li al-Turāth, 2000, Muḥaqqiq:
Muṣṭafā as-Sayyid Muḥammad).
Berdasarkan
wahyu yang Nabi peroleh dari Allah tentang Masjid adh-Ḍhirār tersebut dalam
surat at-Taubah, Nabi kemudian memerintahkan dua sahabatnya, yaitu Mālik bin ad-Dukhshum
dan Maʻn bin ʻAdī untuk membakar masjid tersebut. Keduanya pun segera membakar
dan merobohkannya. (Ibn Katsīr dalam Tafsīr al-Qur’ān al-ʻAdẓīm juz 7 halaman
189-190).
Setelah
mencermati informasi yang berkenaan dengan pembakaran Masjid adh-Ḍhirār sebagaimana
telah dipaparkan, maka jelas konteks yang menjadi latar belakang pembakaran Masjid
adh-Ḍhirār adalah perbuatan jahat yang sengaja disusun oleh sekelompok orang
munfik untuk memecah belah umat Islam. Sedangkan pembakaran rumah ibadah yang
belakangan ini menimpa jamaah Ahmadiyah dan Syiah di Indonesia karena penolakan
yang didasari oleh berbedaan pendapat semata. Jamaah Ahmadiyah maupun Syiah
tidak melakukan hal yang sama dengan Abū ‘Āmir dan kelompoknya. Kedua kelompok
tidak bisa dianggap sebagai sekumpulan orang-orang munafik yang ingin memecah
belah umat Islam, mereka hanya berbeda pendapat dengan mainstream pemikiran keagamaan
umat Islam Indonesia yang Sunnī, dan oleh karenanya mereka menjadi kelompok
minoritas.
Simpulan
Berdasarkan pemaparan
di atas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1.
Nabi Muhammad
adalah seorang pemimpin yang menghormati manusia tanpa memandang agama yang
dianutnya, Nabi Muhammad bahkan sangat menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan. Bahkan pada saat menjadi mayoritas dan dalam posisi yang benar,
Nabi Muhammad tidak menggunakan keunggulannya sebagai pihak mayoritas dan yang
benar untuk melakukan hal-hal yang merugikan pihak lain.
2.
Nabi Muhammad
memberikan kebebasan memeluk agama, tidak memaksa seorang pun untuk masuk agama
Islam, menjamin kebebasan melakukanibadah, memiliki pandangan yang berbeda
berkenaan dengan klaim keselamatan, bahkan Nabi Muhammad mengizinkan umat
beragama lain untuk beribadah di dalam masjid.
3.
Peristiwa pembakaran
masjid yang terjadi pada masa Nabi Muhammad, tidak bisa dijadikan sebagai alat
legitimasi bagi perusakan atau pembakaran rumah ibadah agama mana pun.
Berpijak pada
ketiga hal tersebut, seyogyanya, dengan meneladani Nabi Muhammad, umat Islam di
manapun khususnya di Indonesia sebagai mayoritas dapat menampilkan wajah Islam
yang ramah, toleran, pluralis (menghargai keragaman), dan humanis dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Bukan sebaliknya, mencederai agama
Islam dengan bertindak anarkis, tidak toleran, menganggap diri paling benar.
Apalagi umat Islam di Indonesia hidup bersama umat beragama lainnya, sehingga
dengan meneladani tindakan dan ucapan Nabi Muhammad, dapat terwujud kehidupan
yang harmonis dan saling menghargai satu sama lain.
Diedit ulang dari judul asli “The Prophet Muhammad's
Relationship with Jews and Christiansmore” oleh Rifqi Muhammad Fathi (rifqimuhammad@uinjkt.ac.id), Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Download tulisan aslinya di sini: Muhammad
dan Yahudi-Nasrani
Syukron Mblo atas Artikelnya... ^__^
BalasHapusSami-sami Manblo :p
BalasHapusCoba lebih banyak tulisan seperti ini. Alhamdulillah. . .terima kasih sudah bernagi
BalasHapusKereen
BalasHapus