Teringat dulu sewaktu masih kuliah salah satu dosen ilmu
hadits saya, Bapak Saifullah, pernah berujar bahwa sangat sulit bahkan tidak
mungkin untuk “benar” menginterpretasikan suatu hadits jika tidak ada sanad
keguruan dalam meriwayatkannya. Bahkan beliau kemudian memperingatkan dengan
hadits Nabi Saw.: “Man kadzdzaba ‘alayya muta’ammidan falyatabawwa’ maq’adahu
minannar” (Siapa berdusta mengatasnamakan aku (Muhammad Saw.) maka tempat
yang layak baginya adalah neraka).
Saya pun sempat heran kenapa dalam forum Bahtsul Masail di
pesantren-pesantren NU yang menjadi rujukan (dalil) mereka atas suatu keputusan
hukum adalah bukan al-Quran dan al-Hadits? Malah kitab kuning yang mereka
jadikan hujjah, lucu bukan (kelihatannya)?
Ternyata, justru yang seperti itulah yang benar-benar
menjaga kevaliditasan ayat atau matan hadits serta makna yang dikehendakinya. Dengan
merujuk kepada kitab-kitab kuning berarti telah juga menjaga pemahaman yang sambungannya
sampai kepada Rasulullah Saw. Bisa dipertanggungjawabkan!
Kalau masih bingung dan tidak setuju dengan pernyataanku ini,
berarti kemungkinan Anda akan menyalahkan juga para muallif (penyusun)
kitab-kitab kuning itu. Anda akan mengatakan: “Yang maksum hanyalah para
nabi, para ulama tidak maksum.” Maka saya jawab singkat: “Memang benar para
ulama tidak maksum, apalagi Anda!”
Lalu dari mana Anda mendapati nukilan-nukilan hadits itu
kalau bukan dari para ulama? Apalagi untuk memahami hadits sesuai dengan yang
dimaksud Rasulullah Saw., kalau bukan dari para ulama siapa lagi?
Maka, semua pembahasan yang ada di kitab kuning adalah hasil
olah para ulama yang memang ahlinya mengambil dari 2 sumber utama hukum Islam,
al-Quran dan as-Sunnah (hadits). Bukankah mereka yang lebih memahami maksud
suatu ayat atau hadits dibanding kita yang awam? Sehingga menjadi suatu keharusan
bagi mereka memiliki sanad keguruan yang tersambung dari dirinya hingga
Rasulullah Saw. “Wajib memiliki sanad!”
Gus AlkisAnnabila Isyq
lebih detail menjelaskan perihal “Mengenal apa itu Rawi”. Rawi adalah periwayat/pembawa
khabar dari satu hadits-ayat yang sanadnya itu muttashil hingga pada Rasulullah
Saw. Jika tidak muttashil (bersambung sanadnya) maka belum bisa disebut perawi
karena beluum adanya serah terima dari seorang murid dan guru.
Semisal kita membeli kitab hadits/artikel pada web, blog/mbah
google, yahoo, skype, tanpa dikajikan dulu pada guru yang muttashil sanadnya
maka hadits ataupun ayat yang Anda tulis itu bisa dihukumi tertolak (mardud)
dan Anda belum diperbolehkan mendiskusikannya karena su-ul adab (tidak beretika).
Contoh: banyak sekali yang mencantumkan hadits dengan perawi
Syaikh Ahmad, Syaikh A-B-C, dll. itu malah bisa dihukumi munafiq. Coba, yang menulis
dan mengkajikan itu Anda tapi yang kalian sebut rawinya orang lain, apa itu
bukan munafiq dan “nggatheli tenan”? Berani membahas satu ayat atau
matan hadits sudah siapkah kita untuk menjadi yang “terlaknat” jika salah atau
membatasi makna ayat dan matan hadits tersebut?
Semisal hadits qudsi yang diucapkan oleh Sayyidina Ali Kw. yang
menyatakan: “Awwaluddin ma’rifatullah”, yang menjadi sandaran dalam
setiap kitab ushuluddin para imam madzhab dan para muallif kitab yang merujuk
pada hadits Nabi Saw. “La dinan liman la imana lahu wala imana liman la ma’rifatahu
ta’ala”. Bagaimana kita mengimani satu agama jika kita tidak ma’rifat atau
mengerti dan mengenal Allah dengan sesungguhnya? Berhati-hati itu lebih bisa
selamat daripada asal tulis tapi tidak bisa mempertanggungjawabkan.
Wallahu
al-Musta’an A’lam
Sya’roni
As-Samfuriy, Cilangkap Jaktim 27 Maret 2014
Al Isnad minad din laula isnad la qola man sya'a ma sya'a (Sanad bagian dari agama, tanpa sanad siapa saja bisa ngomong seenaknya)
BalasHapus