t liberal,”
ujarnya santai.
“Di
manapun forum saya selalu berbicara dengan dalil, ini al-Qurannya, ini
haditsnya, dan ini pendapat berbagai ulama. Kalau orang liberal, mereka bebas,
tanpa ikatan. Bahwa ketika mengkontekskan khazanah kitab kuning dengan kondisi
aktual, saya berbeda dengan kiai lain, itu benar. Itu pun perbedaannya sedikit,
saya tetap mengkontekskan dengan ulama lain, apakah itu al-Ghazali, al-Asy’ari,
juga ulama-ulama besar lainnya.”
Tentang
pemikiran liberal yang berkembang di kalangan generasi muda NU, menurut guru
besar tasawuf filsafat ini, itu bukan liberal murni. “Itu hanya kenakalan
intelektual yang suatu saat akan kembali lagi ke pangkuan NU, lha wong mereka
saja dengan kiai masih cium tangan. Liberal kok cium tangan, itu bisa batal
liberalnya,” ujar Kiai Said Agil tertawa.
Menurutnya,
yang liberal itu tidak percaya agama, tidak punya ikatan apapun, bebas. Selama
masih percaya doktrin agama, itu bukan liberal, misalnya masih percaya shalat
lima waktu dan mengikuti rakaat yang ditentukan agama, padahal itu kan doktrin
yang kalau dilogikakan tidak ketemu. “Selama masih percaya itu, batal
liberalnya.”
Lalu
tentang isu Syi’ah, menurutnya itu bermula dari pernah hadirnya dia di suatu
acara Syi’ah sebagai pembicara tahun 1997 dan setiap saat VCD-nya diputar
ulang, disebarkan terus.
“Syi’ah
itu ada definisinya, orang yang meyakini imam setelah Rasulullah Saw. itu
adalah Ali dengan ada teks, nash, wasiat, dan petunjuk dari Nabi, padahal saya
tidak pernah percaya hal itu. Orang Syi’ah saja tidak pernah menganggap saya
Syi’ah. Orang Syi’ah percaya, setelah Ali itu
imamnya adalah Hasan, setelah itu Husein, setelah itu Zainal Abidin, Muhammad
Baqir, Ja’far Shadiq, Musa al-Kadzim, sampai Hasan Asy’ari dan Imam Mahdi. Saya
tidak pernah percaya hal itu, saya juga tidak percaya ada wasiat itu. Itu rukun
orang Syi’ah, imam yang 12, yang mereka percayai adalah maksum, imam itu
mendapatkan ilham. Saya tidak pernah percaya hal itu. Masa’ orang tidak pernah
percaya hal itu dibilang Syi’ah?”
ujarnya sambil tersenyum.
Di
akhir perbincangan, kembali
menegaskan komitmennya untuk membawa NU menjaga dan memperkuat Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI), menopang kebhinekaan, tidak sektarian dan tidak
primordial, tidak ekstrem, tidak radikal, akan membendung gerakan liberal
murni, gerakan sekuler, berpaham Ahlusunnah wal Jama’ah, dan menjadi rahmat
bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamin).
Sumber: Majalah Alkisah
0 komentar:
Posting Komentar