Halaman

Jumat, 21 September 2012

BAB 7; IBADAH DI MALAM ISRA MI’RAJ


BAB 7; IBADAH DI MALAM ISRA MI’RAJ


Pernyataan Abdullah Bin Baz Mengenai Pelarangan Mengkhususkan Ibadah di Malam Isra’ Mi’raj:

Segala puji bagi Allah semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya.
Tidak diragukan lagi bahwa kejadian Isra dan Mi’raj merupakan salah satu tanda Maha Kuasa Allah Swt. dan menunjukkan kebenaran kerasulan Muhammad Saw. dan kedudukannya yang tinggi di sisi Allah. Ia juga merupakan bukti kodrat Allah Yang Maha Hebat serta menunjukkan ketinggian Allah di atas semua makhlukNya, Allah berfirman: “Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, yang telah kamu berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda kebesaran Kami, sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. al-Isra’ ayat 1).
Telah menjadi berita mutawatir dari Rasulullah Saw. bahwa beliau telah dimi’rajkan oleh Allah ke langit, pintu-pintunya telah dibukakan untuk beliau hingga melewati langit ketujuh dan Allah langsung berbicara dengannya. Dan saat itu Allah mewajibkan kepadanya shalat lima waktu.
Pertama kali, Allah mewajibkan kepadanya shalat lima puluh waktu dan beliau lantas beberapa kali merujuk kepada Allah, memohon keringanan hingga akhirnya menjadi lima waktu tapi pahalanya tetap pahala lima puluh waktu shalat karena satu kebaikan ganjarannya adalah sepuluh kali lipat. Segala puji dan syukur kepada Allah atas segala nikmatNya.
Tidak ada satupun hadits shahih yang menentukan malam terjadinya Isra’ dan Mi’raj. Semua hadits yang menerangkan ketentuan malam terjadinya peristiwa itu adalah lemah menurut ulama hadits. Allah lebih tahu akan hikmah tidak diketahuinya malam kejadian tersebut. Kalaupun ada ketentuan malam tersebut, tetap saja tidak dibolehkan bagi kaum muslimin untuk mengkhususkannya dengan ibadah tertentu, begitu juga tidak boleh bagi mereka merayakannya. Karena yang demikian itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi Saw. dan para sahabat. Seandainya memperingati malam tersebut disyari’atkan maka Rasulullah Saw. pasti menjelaskannya kepada umat, baik dengan perkataan atau perbuatan. Dan kalau itu pernah dilakukan beliau, pasti akan diketahui dan tersebar dan para sahabat pasti menukilnya kepada kita, karena mereka telah menukil dari Nabi Saw. semua yang dibutuhkan oleh umat. Dan tidak ada satupun yang luput dari mereka, nahkan mereka selalu di barisan pertama dalam melakukan segala macam kebaikan.
Seandainya memperingati malam tersebut disyari’atkan maka pasti mereka orang yang pertama melakukannya dan Nabi saw. adalah pemberi nasehat yang terbaik. Beliau telah menyampaikan risalahnya dan mengemban amanat dengan sempurna. Kalaulah peringatan malam ini termasuk ajaran Islam pasti beliau tidak akan lupa menyampaikannya dan beliau tidak akan menyembunyikannya. Karena semua itu tidak ada terjadi maka jelaslah bagi kita bahwa memperingati dan mengagungkan malam tersebut tidak termasuk ajaran Islam karena Allah telah menyempurnakan agama dan nikmatNya untuk umat ini dan mengingkari siapa saja yang mensyari’atkan dalam agama sesuatu yang tidak diizinkan Allah. Allah berfirman dalam surat al-Maidah ayat 3: “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Aku cukupkan nikmatKu untukmu dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu.”
Dalam surat asy-Syura ayat 21, Allah berfirman: “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan dan sesungguhnya orang-orang yang dzalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.”
Di dalam beberapa hadits yang shahih Rasulullah Saw. secara tegas melarang perbuatan bid’ah itu adalah sesat. Sebagai peringatan bagi umat akan besar bahayanya sehingga mereka menghindarinya. Diantara hadits tersebut adalah yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah, Rasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan agama kami tanpa ada dasarnya maka hal itu akan ditolak (tidak diterima).”
Dalam riwayat Muslim dikatakan: “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak berdasarkan perintah kami, maka amalan itu akan ditolak (tidak diterima).”
Dalam mShahih Muslim dari Jabir Ra. bahwa Nabi Saw. bersabda : “Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah al-Quran, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Saw., sejelek-jelek perkara adalah hal-hal yang diada-adakan di dalam agama (bid’ah), setiap bid’ah itu adalah sesat.”
Di dalam kitab as-Sunan dari al-‘Irbadh bin Sariah Ra. beliau berkata: “Kami  dinasehati oleh Rasulullah Saw. dengan nasehat yang mendalam yang membuat hati kami bergetar dan mata kami berlinang, lalu kami berkata kepada beliau: “Wahai Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasehat perpisahan, berwasiatlah kepada kami! Maka beliau berkata: “Aku wasiatkan kepada kamu sekalian untuk bertakwa kepada Allah serta mendengar dan taat (kepada pemimpin) sekalipun dia seorang hamba sahaya, sesungguhnya barangsiapa di antara kamu yang hidup setelah aku niscaya dia akan menemukan banyak sekali perselisihan maka berpegangteguhlah kamu kepada sunnahku dan sunnah para khulafaurrasyidin yang telah mendapat petunjuk setelahku, berpegangteguhlah dengannya dan hindarilah oleh kamu sekalian hal-hal yang diada-adakan dalam agama, sesungguhnya setiap hal yang diada-adakan itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu adalah sesat.”
Dan banyak lagi hadits-hadits lain yang semakna dengan ini. Para sahabat Rasulullah Saw. dan Salafus Shaleh yang datang setelah mereka, telah mengingatkan kita agar mengindari perbuatan bid’ah karena ia merupakan tambahan terhadap agama dan pensyari’atan sesuatu yang tidak diizinkan oleh Allah serta mencontoh perlakukan musuh-musuh Allah yaitu orang-orang Yahudi dan Nashrani ketika mereka menambah dan mengada-adakan dalam agama mereka syari’at yang tidak diizinkan oleh Allah.
Dan bid’ah itu pada hakekatnya adalah pelecehan terhadap agama Islam serta menuduhnya sebagai agama yang kurang dan tidak sempurna. Oleh karena itu ia merupakan unsur perusak, kemungkaran yang keji serta bertentangan dengan firman Allah: “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu.”
Dan jelas-jelas bertentangan dengan hadits-hadits Rasulullah Saw. yang melarang dan mencegah kita dari perbuatan bid’ah. Saya harap semoga dalil-dalil yang telah saya sebutkan di atas cukup dan memuaskan bagi para pembaca dalam rangka mengingkari peringatan dan perayaan malam Isra’ dan Mi’raj serta menghindarinya dan peringatan tersebut tidaklah termasuk sedikitpun dalam ajaran Islam. Karena Allah telah mewajibkan kita semua untuk menasehati kaum muslimin serta menjelaskan apa yang telah disyari’atkan Allah kepada mereka dan mengharamkan kepada kita menyembunyikan ilmu maka saya merasa perlu untuk mengingatkan akan saudara-saudara saya seiman agar tidak terjebak kepada perbuatan-perbuatan bid’ah yang telah tersebar di berbagai wilayah kaum muslimin bahkan sebagian orang mengira bahwa itu termasuk perintah agama.
Hanya kepada Allah kami memohon agar memperbaiki keadaan dan kondisi seluruh kaum muslimin serta menganugerahkan kepada mereka pemahaman dalam agama dan semoga Allah membimbing kita dan mereka semua untuk berpegang teguh dan komitmen kepada yang hak serta meninggalkan semua yang bertentangan dengannya. Karena Dialah yang bisa membimbing kearah demikian dan Dialah Yang Maha Kuasa atas segala-galanya. Semoga shalawat dan salam serta berkahNya senantiasa tercurah untuk hamba dan RasulNya Nabi kita Muhammad begitu pula atas keluarga dan para sahabatnya.


Tanggapan Al-Habib Mundzir Al-Musawa atas Pelarangan Mengkhususkan Ibadah di Malam Isra’ Mi’raj:

Mengenai “perayaaan” berupa Maulid, Isra’ Mi’raj, awal tahun hijriyah, haul Badr dll itu adalah syiar islam, belum perlu di masa nabi Saw. Namun sebagaimana penjelasan saya pada masalah bid’ah, berikut tambahan atas bid’ah hasanah.
Mengenai ucapan al-Hafidz Imam asy-Syaukaniy, beliau tidak melarang hal yang baru, namun harus ada sandaran dalil secara logika atau naqlinya, maka bila orang yang bicara hal baru itu punya sandaran logika dan sandaran naqlinya, maka terimalah. Sebagaimana ucapan beliau: “Hadits-hadits ini merupakan kaidah-kaidah dasar agama karena mencakup hokum-hukum yangm tak terbatas, betapa jelas dan terangnya dalil ini dalam menjatuhkan perbuatan para fuqaha dalam pembagian bid’ah kepada berbagai bagian dan mengkhususkan penolakan pada sebagiannya (penolakan terhadap bid’ah yang baik) dengan tanpa mengkhususkan (menunjukkan) hujjah dari dalil akal ataupun dalil tulisan (al-Qur’an/hadits). Maka bila kau dengar orang berkata: “Ini adalah bid’ah hasanah”, dengan kau mengambil posisi melarangnya dengan bertopang pada dalil bahwa keseluruhan bid’ah adalah sesat dan yang semacamnya sebagaimana sabda Nabi Saw.: “Semua bid’ah adalah sesat” dan (kau) meminta dalil pengkhususan (secara aqli dan naqli) mengenai hal bid’ah yang menjadi pertentangan dalam penentuannya (apakah itu bid’ah yang baik atau bid’ah yang sesat) setelah ada kesepakatan bahwa hal itu bid’ah (hal yang baru), maka bila ia membawa dalilnya tentang (bid’ah hasanah) yang dikenalkannya maka terimalah, bila ia tak bisa membawakan dalilnya (aqlan wa syar’an) maka sungguh kau telah menaruh batu di mulutnya dan kau selesai dari perdebatan.” (Nail al-Authar juz 2 halaman 69-70).
Jelaslah bahwa ucapan Imam asy-Syaukaniy menerima bid’ah hasanah yang disertai dalil aqli (logika) atau dalil naqli (dalil al-Qur’an atau hadits), bila orang yang mengucapkan pada sesuatu itu bid’ah hasanah namun ia tidak bisa mengemukakan alasan secara logika, atau tidak ada sandaran naqlinya maka pernyataan tertolak, bila ia mampu mengemukakan dalil logikanya, atau dalil naqlinya maka terimalah. Jelas-jelas beliau mengakui bid’ah hasanah: “Berkata Ibn Rajab dalam kitabnya Jami’ al-Ulum wa al-Hikam bahwa lafadhzya: “Kumpulan seluruh kalimat yang dikhususkan pada nabi Saw. ada dua macam, yang pertama adalah al-Qur’an sebagaimana firmanNya: “Sungguh Allah telah memerintahkan kalian berbuat adil dan kebaikan, dan menyambung hubungan dengan kaum kerabat, dan melarang kepada keburukan dan kemungkaran dan kejahatan”, berkata al-Hasan bahwa ayat ini tidak menyisakan satu kebaikan pun kecuali sudah diperintahkan melakukannya, dan tiada suatu keburukan pun kecuali sudah dilarang melakukannya. Maka yang kedua adalah hadits beliau Saw. yang tersebar dalam semua riwayat yang teriwayatkan dari beliau Saw.” (Tuhfat al-Ahwadziy juz 5 halaman 135).
Inilah makna dari ayat yang berbunyi: “al-yauma akmaltu lakum diinukum..dst,“, hari ini Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, Kusempurnakan pula kenikmatan bagi kalian, dan Kuridhoi Islam sebagai agama kalian”, maksudnya semua ajaran telah sempurna, tak perlu lagi ada pendapat lain demi memperbaiki agama ini, semua hal yang baru selama itu baik sudah masuk dalam kategori syariah dan sudah direstui oleh Allah dan RasulNya, alangkah sempurnanya islam.
Bila yang dimaksud adalah tidak ada lagi penambahan, maka pendapat itu salah, karena setelah ayat ini masih ada banyak ayat-ayat lain turun, masalah hutang dll, berkata para mufassirin bahwa ayat ini bermakna Makkah al-Mukarramah sebelumnya selalu masih dimasuki orang musyrik mengikuti hajinya orang muslim, mulai kejadian turunnya ayat ini maka musyrikin tidak lagi masuk Masjidil Haram, maka membuat kebiasaan baru yang baik boleh-boleh saja. Maka jika ayat ini dijadikan dalil untuk melarang hal tidak tahu asbabunnuzul, dan jika aturan itu benar, maka telah dilanggar oleh para khulafa’urrasyidin, para imam, para hujjatul islam, dan seluruh madzhab, karena mereka semua berbuat bid’ah hasanah selama tidak bertentangan dengan syariah.

Bid’ah:
1)    Nabi Saw. memperbolehkan berbuat bid’ah hasanah.
Nabi saw memperbolehkan kita melakukan bid’ah hasanah selama hal itu baik dan tidak menentang syariah. Sebagaimana sabda beliau Saw.: “Barangsiapa membuat-buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya. Dan barangsiapa membuat-buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari dosanya.” (Shahih Muslim hadits no. 1017). Demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah, Sunan Baihaqi al-Kubra, Sunan ad-Darimiy, Shahih Ibn Hibban dan masih banyak lagi.
Hadits ini menjelaskan makna bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah. Perhatikan hadits beliau Saw., bukankah beliau Saw. menganjurkan? Maksudnya bila kalian mempunyai suatu pendapat atau gagasan baru yang membuat kebaikan atas Islam maka perbuatlah. Alangkah indahnya bimbingan Nabi Saw. yang tidak mencekik ummat, beliau Saw. tahu bahwa ummatnya bukan hidup untuk 10 atau 100 tahun, tapi ribuan tahun akan berlanjut dan akan muncul kemajuan zaman, modernisasi, kematian ulama, merajalela kemaksiatan. Maka tentunya pastilah diperlukan hal-hal yang baru demi menjaga muslimin lebih terjaga dalam kemuliaan. Demikianlah bentuk kesempurnaan agama ini yang tetap akan bisa dipakai hingga akhir zaman, inilah makna ayat: “al-yauma akmaltu lakum diinukum..dst,” “Hari ini Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, Kusempurnakan pula kenikmatan bagi kalian, dan Kuridhoi Islam sebagai agama kalian.” Maksudnya semua ajaran telah sempurna, tak perlu lagi ada pendapat lain demi memperbaiki agama ini. Semua hal yang baru selama itu baik sudah masuk dalam kategori syariah dan sudah direstui oleh Allah dan RasulNya.
Alangkah sempurnanya Islam, bila yang dimaksud adalah tidak ada lagi penambahan, maka pendapat itu salah, karena setelah ayat ini masih ada banyak ayat-ayat lain turun, masalah hutang dan lain-lain. Berkata para mufassirin bahwa ayat ini bermakna Makkah al-Mukarramah sebelumnya selalu masih dimasuki orang musyrik mengikuti hajinya orang muslim, mulai kejadian turunnya ayat ini maka musyrikin tidak lagi masuk Masjidil Haram, maka membuat kebiasaan baru yang baik boleh-boleh saja. Namun tentunya bukan membuat agama baru atau syariat baru yang bertentangan dengan syariah dan sunnah Rasul Saw., atau menghalalkan apa-apa yang sudah diharamkan oleh Rasul Saw. atau sebaliknya. Inilah makna hadits beliau Saw.: “Barangsiapa yang membuat-buat hal baru yang berupa keburukan...dan seterusnya”. Inilah yang disebut bid’ah dhalalah.
Beliau Saw. telah memahami itu semua, bahwa kelak zaman akan berkembang, maka beliau Saw. memperbolehkannya (hal yang baru berupa kebaikan), menganjurkannya dan menyemangati kita untuk memperbuatnya, agar ummat tidak tercekik dengan hal yang ada di zaman kehidupan beliau Saw. saja dan beliau Saw. telah pula mengingatkan agar jangan membuat buat hal yang buruk (bid’ah dhalalah).
Mengenai pendapat yang mengatakan bahwa hadits ini adalah khusus untuk sedekah saja, maka tentu ini adalah pendapat mereka yang dangkal dalam pemahaman syariah, karena hadits di atas jelas-jelas tak menyebutkan pembatasan hanya untuk sedekah saja, terbukti dengan perbuatan bid’ah hasanah oleh para sahabat dan tabi’in.
2)    Siapakah yang pertama memulai bid’ah hasanah setelah wafatnya Rasul Saw.?
Ketika terjadi pembunuhan besar-besaran atas para sahabat (ahlul yamamah) yang mereka itu para huffadz (yang hafal) al-Qur’an dan Ahli al-Qur’an di zaman Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq Ra., berkata Abubakar ash-Shiddiq Ra. kepada Zeyd bin Tsabit Ra.: “Sungguh Umar (Ra.) telah dating kepadaku dan melaporkan pembunuhan atas ahlul yamamah dan ditakutkan pembunuhan akan terus terjadi pada para Ahli al-Qur’an, lalu ia menyarankan agar Aku (Abu Bakar ash-Shiddiq Ra.) mengumpulkan dan menulis al-Qur’an. Aku berkata: “Bagaimana aku berbuat suatu hal yang tidak diperbuat oleh Rasulullah?, maka Umar berkata padaku bahwa: “Demi Allah ini adalah demi kebaikan dan merupakan kebaikan, dan ia terus meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar, dan Engkau (Zeyd) adalah pemuda, cerdas, dan kami tak menuduhmu (kau tak pernah berbuat jahat), kau telah mencatat wahyu, dan sekarang ikutilah dan kumpulkanlah al-Qur’an dan tulislah al-Qur’an.”
Berkata Zeyd: “Demi Allah sungguh bagiku diperintah memindahkan sebuah gunung dari gunung-gunung tidak seberat perintahmu padaku untuk mengumpulkan al-Qur’an. Bagaimana kalian berdua berbuat sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah Saw.? Maka Abu Bakar Ra. mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga ia pun meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua dan aku mulai mengumpulkan al-Qur’an.” (Shahih Bukhari hadits no. 4402 dan 6768).
Nah saudaraku, bila kita perhatikan konteks di atas, Abu Bakar ash-Shiddiq Ra mengakui dengan ucapannya: “Sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar.” Hatinya jernih menerima hal yang baru (bid’ah hasanah) yaitu mengumpulkan al-Qur’an, karena sebelumnya al-Qur’an belum dikumpulkan menjadi satu buku, tapi terpisah-pisah di hafalan sahabat, ada yang tertulis di kulit onta, di tembok, dihafal dan lain-lain. Ini adalah bid’ah hasanah, justru mereka berdualah yang memulainya.
Kita perhatikan hadits yang dijadikan dalil menafikan (menghilangkan) bid’ah hasanah mengenai semua bid’ah adalah kesesatan. Diriwayatkan bahwa Rasul Saw. selepas melakukan shalat Shubuh beliau Saw. menghadap kami dan menyampaikan ceramah yang membuat hati berguncang, dan membuat air mata mengalir. Maka kami berkata: “Wahai Rasulullah, seakan-akan ini adalah wasiat untuk perpisahan, maka beri wasiatlah kami”, maka Rasul Saw. bersabda: “Kuwasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengarkan dan taatlah walaupun kalian dipimpin oleh seorang budak Afrika, sungguh di antara kalian yang berumur panjang akan melihat sangat banyak ikhtilaf perbedaan pendapat, maka berpegangteguhlah pada sunnahku dan sunnah khulafa’urrasyidin yang mereka itu pembawa petunjuk, gigitlah kuat-kuat dengan geraham kalian (suatu kiasan untuk kesungguhan), dan hati-hatilah dengan hal-hal yang baru, sungguh semua yang bid’ah itu adalah kesesatan.” (Mustadrak ‘ala ash-Shahihain hadits no. 329).
Jelaslah bahwa Rasul Saw. menjelaskan pada kita untuk mengikuti sunnah beliau dan sunnah khulafa’urrasyidin. Dan sunnah beliau Saw. telah memperbolehkan hal yang baru selama itu baik dan tak melanggar syariah, dan sunnah khulafa’urrasyidin adalah anda lihat sendiri bagaimana Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. dan Umar bin Khaththab Ra. menyetujui bahkan menganjurkan, bahkan memerintahkan hal yang baru, yang tidak dilakukan oleh Rasul Saw. yaitu pembukuan al-Qur’an, lalu pula selesai penulisannya dimasa Khalifah Utsman bin Affan Ra., dengan persetujuan dan kehadiran Ali bin Abi Thalib Kw.
Nah, sempurnalah sudah keempat makhluk termulia di ummat ini, khulafa’urrasyidin melakukan bid’ah hasanah, Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. Di masa kekhalifahannya memerintahkan pengumpulan al-Qur’an, lalu kemudian Umar bin Khaththab Ra. pula di masa kekhalifahannya memerintahkan Tarawih berjamaah dan seraya berkata: “Inilah sebaik-baik bid’ah.” (Shahih Bukhari hadits no. 1906), lalu pula selesai penulisan al-Qur’an di masa Khalifah Utsman bin Affan Ra. hingga al-Qur’an kini dikenal dengan nama Mushaf Utsmaniy, dan Ali bin Abi Thalib Kw. menghadiri dan menyetujui hal itu.
Demikian pula hal yang dibuat-buat tanpa perintah Rasul Saw. adalah dua kali adzan di shalat Jum’at, tidak pernah dilakukan di masa Rasul Saw., tidak di masa Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq Ra., tidak pula di masa Umar bin khaththab Ra. dan baru dilakukan di masa Utsman bin Affan Ra., dan diteruskan hingga kini. (Lihat dalam Shahih Bukhari hadits no. 873).
Siapakah yang salah dan tertuduh? Siapakah yang lebih mengerti larangan bid’ah? Adakah pendapat mengatakan bahwa keempat khulafa’urrasyidin ini tak paham makna bid’ah?
3)    Bid’ah dhalalah.
Jelaslah sudah bahwa mereka yang menolak bid’ah hasanah inilah yang termasuk pada golongan bid’ah dhalalah. Dan bid’ah dhalalah ini banyak jenisnya, seperti penafian sunnah, penolakan ucapan sahabat, penolakan pendapat khulafa’urrasyidin. Nah, diantaranya adalah penolakan atas hal baru selama itu baik dan tak melanggar syariah, karena hal ini sudah diperbolehkan oleh Rasul Saw. dan dilakukan oleh khulafa’urrasyidin, dan Rasul Saw. telah jelas-jelas memberitahukan bahwa akan muncul banyak ikhtilaf, berpeganglah pada sunnahku dan sunnah khulafa’urrasyidin, bagaimana sunnah Rasul Saw.?, beliau Saw. membolehkan bid’ah hasanah. Bagaimana sunnah khulafa’urrasyidin?, mereka melakukan bid’ah hasanah. Maka penolakan atas hal inilah yang merupakan bid’ah dhalalah, hal yang telah diperingatkan oleh Rasul Saw.
Bila kita menafikan (meniadakan) adanya bid’ah hasanah, maka kita telah menafikan dan membid’ahkan kitab al-Qur’an dan kitab Hadits yang menjadi panduan ajaran pokok Agama Islam karena kedua kitab tersebut (al-Qur’an dan Hadits) tidak ada perintah Rasulullah Saw. untuk membukukannya dalam satu kitab masing-masing, melainkan hal itu merupakan ijma’ atau kesepakatan pendapat para sahabat Ra. Dan hal ini dilakukan setelah Rasulullah Saw. wafat.
Buku hadits seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim dan lain-lain. Iinipun tak pernah ada perintah Rasul Saw. untuk membukukannya, tak pula khulafa’urrasyidin memerintahkan menulisnya, namun para tabi’in mulai menulis hadits Rasul Saw.
Begitu pula Ilmu musthalahul hadits, nahwu, sharaf dan lain-lain sehingga kita dapat memahami kedudukan derajat hadits. Ini semua adalah perbuatan bid’ah, namun bid’ah hasanah. Demikian pula ucapan “Radhiyallahu’anhu” atas sahabat, tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah Saw., tidak pula oleh sahabat, walaupun itu disebut dalam al-Qur’an bahwa mereka para sahabat itu diridhai Allah. Namun tak ada dalam ayat atau hadits Rasul Saw. memerintahkan untuk mengucapkan ucapan itu untuk sahabatnya. Namun karena kecintaan para tabi’in pada sahabat, maka mereka menambahinya dengan ucapan tersebut. Dan ini merupakan bid’ah hasanah dengan dalil hadits di atas.
Lalu muncul pula kini al-Qur’an yang dikasetkan, diCDkan, program al-Qur’an di handphone, al-Qur’an yang diterjemahkan, ini semua adalah bid’ah hasanah. Bid’ah yang baik yang berfaedah dan untuk tujuan kemaslahatan muslimin, karena dengan adanya bid’ah hasanah di atas maka semakin mudah bagi kita untuk mempelajari al-Qur’an, untuk selalu membaca al-Qur’an, bahkan untuk menghafal al-Qur’an dan tidak ada yang memungkirinya.
Sekarang kalau kita menarik mundur ke belakang sejarah Islam, bila al-Qur’an tidak dibukukan oleh para sahabat Ra., apa sekiranya yang terjadi pada perkembangan sejarah Islam? Al-Quran masih bertebaran di tembok-tembok, di kulit onta, hafalan para Sahabat Ra. yang hanya sebagian dituliskan, maka akan muncul beribu-ribu versi al-Qur’an di zaman sekarang. Karena semua orang akan mengumpulkan dan membukukannya, yang masing-masing dengan riwayatnya sendiri, maka hancurlah al-Qur’an dan hancurlah Islam.
Namun dengan adanya bid’ah hasanah, sekarang kita masih mengenal al-Qur’an secara utuh dan dengan adanya bid’ah hasanah ini pula kita masih mengenal hadits-hadits Rasulullah Saw., maka jadilah Islam ini kokoh dan abadi, jelaslah sudah sabda Rasul Saw. yang telah membolehkannya, beliau Saw. telah mengetahui dengan jelas bahwa hal-hal baru yang berupa kebaikan (bid’ah hasanah), mesti dimunculkan kelak. Dan beliau Saw. telah melarang hal-hal baru yang berupa keburukan (bid’ah dhalalah).
Saudara-saudaraku, jernihkan hatimu menerima ini semua, ingatlah ucapan Amirul Mukminin pertama ini, ketahuilah ucapan-ucapannya adalah Mutiara al-Qur’an, sosok agung Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. berkata mengenai bid’ah hasanah: “Sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar.” Lalu berkata pula Zeyd bin Haritsah Ra. ”..bagaimana kalian berdua (Abubakar dan Umar) berbuat sesuatu yang tidak diperbuat oleh Rasulullah Saw.?, maka Abu Bakar Ra. mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga iapun (Abu Bakar Ra.) meyakinkanku (Zeyd) sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua.”
Maka kuhimbau saudara-saudaraku muslimin yang kumuliakan, hati yang jernih menerima hal-hal baru yang baik adalah hati yang sehati dengan Abu Bakar ash-Shiddiq Ra., hati Umar bin Khaththab Ra., hati Zeyd bin Haritsah Ra., hati para sahabat, yaitu hati yang dijernihkan Allah Swt. Dan curigalah pada dirimu bila kau temukan dirimu mengingkari hal ini. Maka barangkali hatimu belum dijernihkan Allah, karena tak mau sependapat dengan mereka, belum setuju dengan pendapat mereka, masih menolak bid’ah hasanah.
Dan Rasul Saw. sudah mengingatkanmu bahwa akan terjadi banyak ikhtilaf dan peganglah perbuatanku dan perbuatan khulafa’urrasyidin, gigit dengan geraham, yang maksudnya berpeganglah erat-erat pada tuntunanku dan tuntunan mereka. Allah menjernihkan sanubariku dan sanubari kalian hingga sehati dan sependapat dengan Abu Bakar ash-Shiddiq Ra., Umar bin Khaththab Ra., Utsman bin Affan Ra., Ali bin Abi Thalib Kw. Dan seluruh sahabat.

Pendapat Para Imam dan Muhadditsin Mengenai Bid’ah
1.    Al-Hafidz al-Muhaddits al-Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i rahimahullah (Imam Syafi’i).
Berkata Imam Syafi’i bahwa bid’ah terbagi dua, yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela). Maka yang sejalan dengan sunnah maka ia terpuji dan yang tidak selaras dengan sunnah adalah tercela. Beliau berdalil dengan ucapan Umar bin Khaththab ra. mengenai shalat Tarawih: “Inilah sebaik-baik bid’ah.” (Tafsir Imam Qurthubiy juz 2 halaman 86-87).
2.    Al-Imam al-Hafidz Muhammad bin Ahmad al-Qurtubiy rahimahullah.
“Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafi’i), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi Saw. yang berbunyi: “Seburuk-buruk permasalahan adalah hal yang baru. Dan semua bid’ah adalah dhalalah.” (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yang dimaksud adalah hal-hal yang tidak sejalan dengan al-Qur’an dan sunnah Rasul Saw., atau perbuatan sahabat radhiyallahu‘anhum, sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya: “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat-buat hal baru yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya.” (Shahih Muslim hadits no.1017), dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yang baik dan bid’ah yang sesat.” (Tafsir Imam Qurthubiy juz 2 halaman 87).
3.    Al-Muhaddits al-Hafidz al-Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawiy rahimahullah (Imam Nawawi).
“Penjelasan mengenai hadits: “Barangsiapa membuat-buat hal baru yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat-buat hal baru yang dosanya…”. Hadits ini merupakan anjuran untuk membuat kebiasaan-kebiasaan yang baik dan ancaman untuk membuat kebiasaan yang buruk dan pada hadits ini terdapat pengecualian dari sabda beliau Saw.: “Semua yang baru adalah bid’ah, dan semua yang bid’ah adalah sesat”. Sungguh yang dimaksudkan adalah hal baru yang buruk dan bid’ah yang tercela.” (Syarh an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 halaman 104-105).
Dan berkata pula Imam Nawawi bahwa: “Ulama membagi bid’ah menjadi 5, yaitu bid’ah yang wajib, bid’ah yang mandub, bid’ah yang mubah, bid’ah yang makruh dan bid’ah yang haram. Bid’ah yang wajib contohnya adalah mencantumkan dalil-dalil pada ucapan-ucapan yang menentang kemungkaran. Contoh bid’ah yang mandub (mendapat pahala bila dilakukan dan tak mendapat dosa bila ditinggalkan) adalah membuat buku-buku ilmu syariah, membangun majelis taklim dan pesantren. Dan bid’ah yang mubah adalah bermacam-macam dari jenis makanan. Dan bid’ah yang makruh dan haram sudah jelas diketahui. Demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna yang umum. Sebagaimana ucapan Umar Ra. atas jamaah Tarawih bahwa inilah sebaik-baik bid’ah.” (Syarh Imam an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim juz 6 halaman 154-155).
4.    Al-Hafidz al-Muhaddits al-Imam Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthiy rahimahullah.
5.    “Mengenai hadits “bid’ah dhalalah” ini bermakna “’aammun makhsush”, (sesuatu yang umum yang ada pengecualiannya). Seperti firman Allah: “…yang Menghancurkan segala sesuatu.” (QS. al-Ahqaf ayat 25) dan kenyataannya tidak segalanya hancur, (atau pula ayat: “Sungguh telah kupastikan ketentuanKu untuk memenuhi jahannam dengan jin dan manusia keseluruhannya.” (QS. as-Sajdah ayat 13), dan pada kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka, tapi ayat itu bukan bermakna keseluruhan tapi bermakna seluruh musyrikin dan orang dzalim-pen.), atau hadits: “Aku dan hari kiamat bagaikan kedua jari ini.” (dan kenyataannya kiamat masih ribuan tahun setelah wafatnya Rasul Saw.).” (Syarh as-Suyuthiy juz 3 halaman 189).
Maka bila muncul pemahaman di akhir zaman yang bertentangan dengan pemahaman para muhaddits maka kita harus berhati-hati, dari manakah ilmu mereka? Berdasarkan apa pemahaman mereka? Atau seorang yang disebut imam padahal ia tak mencapai derajat al-Hafidz atau muhaddits? Atau hanya ucapan orang yang tak punya sanad, hanya menukil-menukil hadits dan mentakwilkan semaunya tanpa memperdulikan fatwa-fatwa para Imam?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar