BAB
7; IBADAH DI MALAM ISRA MI’RAJ
Pernyataan
Abdullah Bin Baz Mengenai Pelarangan Mengkhususkan Ibadah di Malam Isra’
Mi’raj:
Segala
puji bagi Allah semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada
Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya.
Tidak
diragukan lagi bahwa kejadian Isra dan Mi’raj merupakan salah satu tanda Maha
Kuasa Allah Swt. dan menunjukkan kebenaran kerasulan Muhammad Saw. dan
kedudukannya yang tinggi di sisi Allah. Ia juga merupakan bukti kodrat Allah
Yang Maha Hebat serta menunjukkan ketinggian Allah di atas semua makhlukNya,
Allah berfirman: “Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hambaNya
pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, yang telah kamu
berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian
dari tanda-tanda kebesaran Kami, sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar
lagi Maha Melihat.” (QS. al-Isra’ ayat 1).
Telah
menjadi berita mutawatir dari Rasulullah Saw. bahwa beliau telah dimi’rajkan
oleh Allah ke langit, pintu-pintunya telah dibukakan untuk beliau hingga
melewati langit ketujuh dan Allah langsung berbicara dengannya. Dan saat itu
Allah mewajibkan kepadanya shalat lima waktu.
Pertama
kali, Allah mewajibkan kepadanya shalat lima puluh waktu dan beliau lantas
beberapa kali merujuk kepada Allah, memohon keringanan hingga akhirnya menjadi lima
waktu tapi pahalanya tetap pahala lima puluh waktu shalat karena satu kebaikan
ganjarannya adalah sepuluh kali lipat. Segala puji dan syukur kepada Allah atas
segala nikmatNya.
Tidak
ada satupun hadits shahih yang menentukan malam terjadinya Isra’ dan Mi’raj.
Semua hadits yang menerangkan ketentuan malam terjadinya peristiwa itu adalah
lemah menurut ulama hadits. Allah lebih tahu akan hikmah tidak diketahuinya
malam kejadian tersebut. Kalaupun ada ketentuan malam tersebut, tetap saja
tidak dibolehkan bagi kaum muslimin untuk mengkhususkannya dengan ibadah
tertentu, begitu juga tidak boleh bagi mereka merayakannya. Karena yang
demikian itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi Saw. dan para sahabat. Seandainya
memperingati malam tersebut disyari’atkan maka Rasulullah Saw. pasti
menjelaskannya kepada umat, baik dengan perkataan atau perbuatan. Dan kalau itu
pernah dilakukan beliau, pasti akan diketahui dan tersebar dan para sahabat
pasti menukilnya kepada kita, karena mereka telah menukil dari Nabi Saw. semua
yang dibutuhkan oleh umat. Dan tidak ada satupun yang luput dari mereka, nahkan
mereka selalu di barisan pertama dalam melakukan segala macam kebaikan.
Seandainya
memperingati malam tersebut disyari’atkan maka pasti mereka orang yang pertama
melakukannya dan Nabi saw. adalah pemberi nasehat yang terbaik. Beliau telah
menyampaikan risalahnya dan mengemban amanat dengan sempurna. Kalaulah
peringatan malam ini termasuk ajaran Islam pasti beliau tidak akan lupa
menyampaikannya dan beliau tidak akan menyembunyikannya. Karena semua itu tidak
ada terjadi maka jelaslah bagi kita bahwa memperingati dan mengagungkan malam
tersebut tidak termasuk ajaran Islam karena Allah telah menyempurnakan agama
dan nikmatNya untuk umat ini dan mengingkari siapa saja yang mensyari’atkan
dalam agama sesuatu yang tidak diizinkan Allah. Allah berfirman dalam surat
al-Maidah ayat 3: “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu
agamamu dan telah Aku cukupkan nikmatKu untukmu dan telah Aku ridhai Islam
sebagai agama bagimu.”
Dalam
surat asy-Syura ayat 21, Allah berfirman: “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan
selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan
Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah)
tentulah mereka telah dibinasakan dan sesungguhnya orang-orang yang
dzalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.”
Di
dalam beberapa hadits yang shahih Rasulullah Saw. secara tegas melarang
perbuatan bid’ah itu adalah sesat. Sebagai peringatan bagi umat akan besar
bahayanya sehingga mereka menghindarinya. Diantara hadits tersebut adalah yang
diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah, Rasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa
yang mengada-ada dalam urusan agama kami tanpa ada dasarnya maka hal
itu akan ditolak (tidak diterima).”
Dalam
riwayat Muslim dikatakan: “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang
tidak berdasarkan perintah kami, maka amalan itu akan ditolak (tidak
diterima).”
Dalam
mShahih Muslim dari Jabir Ra. bahwa Nabi Saw. bersabda : “Sesungguhnya
sebaik-baik perkataan adalah al-Quran, sebaik-baik petunjuk adalah
petunjuk Muhammad Saw., sejelek-jelek perkara adalah hal-hal yang
diada-adakan di dalam agama (bid’ah), setiap bid’ah itu adalah sesat.”
Di
dalam kitab as-Sunan dari al-‘Irbadh bin Sariah Ra. beliau berkata: “Kami dinasehati oleh Rasulullah Saw. dengan
nasehat yang mendalam yang membuat hati kami bergetar dan mata kami berlinang,
lalu kami berkata kepada beliau: “Wahai Rasulullah, seakan-akan ini adalah
nasehat perpisahan, berwasiatlah kepada kami! Maka beliau berkata: “Aku wasiatkan
kepada kamu sekalian untuk bertakwa kepada Allah serta mendengar dan taat
(kepada pemimpin) sekalipun dia seorang hamba sahaya, sesungguhnya barangsiapa
di antara kamu yang hidup setelah aku niscaya dia akan menemukan banyak sekali
perselisihan maka berpegangteguhlah kamu kepada sunnahku dan sunnah para
khulafaurrasyidin yang telah mendapat petunjuk setelahku, berpegangteguhlah
dengannya dan hindarilah oleh kamu sekalian hal-hal yang diada-adakan dalam
agama, sesungguhnya setiap hal yang diada-adakan itu adalah bid’ah dan setiap
bid’ah itu adalah sesat.”
Dan
banyak lagi hadits-hadits lain yang semakna dengan ini. Para sahabat Rasulullah
Saw. dan Salafus Shaleh yang datang setelah mereka, telah mengingatkan kita
agar mengindari perbuatan bid’ah karena ia merupakan tambahan terhadap agama
dan pensyari’atan sesuatu yang tidak diizinkan oleh Allah serta mencontoh
perlakukan musuh-musuh Allah yaitu orang-orang Yahudi dan Nashrani ketika
mereka menambah dan mengada-adakan dalam agama mereka syari’at yang tidak
diizinkan oleh Allah.
Dan
bid’ah itu pada hakekatnya adalah pelecehan terhadap agama Islam serta
menuduhnya sebagai agama yang kurang dan tidak sempurna. Oleh karena itu ia
merupakan unsur perusak, kemungkaran yang keji serta bertentangan dengan firman
Allah: “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu.”
Dan
jelas-jelas bertentangan dengan hadits-hadits Rasulullah Saw. yang melarang dan
mencegah kita dari perbuatan bid’ah. Saya harap semoga dalil-dalil yang telah
saya sebutkan di atas cukup dan memuaskan bagi para pembaca dalam rangka
mengingkari peringatan dan perayaan malam Isra’ dan Mi’raj serta menghindarinya
dan peringatan tersebut tidaklah termasuk sedikitpun dalam ajaran Islam. Karena
Allah telah mewajibkan kita semua untuk menasehati kaum muslimin serta
menjelaskan apa yang telah disyari’atkan Allah kepada mereka dan mengharamkan
kepada kita menyembunyikan ilmu maka saya merasa perlu untuk mengingatkan akan
saudara-saudara saya seiman agar tidak terjebak kepada perbuatan-perbuatan bid’ah
yang telah tersebar di berbagai wilayah kaum muslimin bahkan sebagian orang
mengira bahwa itu termasuk perintah agama.
Hanya
kepada Allah kami memohon agar memperbaiki keadaan dan kondisi seluruh kaum
muslimin serta menganugerahkan kepada mereka pemahaman dalam agama dan semoga
Allah membimbing kita dan mereka semua untuk berpegang teguh dan komitmen
kepada yang hak serta meninggalkan semua yang bertentangan dengannya. Karena
Dialah yang bisa membimbing kearah demikian dan Dialah Yang Maha Kuasa atas segala-galanya.
Semoga shalawat dan salam serta berkahNya senantiasa tercurah untuk hamba dan
RasulNya Nabi kita Muhammad begitu pula atas keluarga dan para sahabatnya.
Tanggapan
Al-Habib Mundzir Al-Musawa atas Pelarangan Mengkhususkan Ibadah di Malam Isra’
Mi’raj:
Mengenai
“perayaaan” berupa Maulid, Isra’ Mi’raj, awal tahun hijriyah, haul Badr
dll itu adalah syiar islam, belum perlu di masa nabi Saw. Namun sebagaimana
penjelasan saya pada masalah bid’ah, berikut tambahan atas bid’ah hasanah.
Mengenai
ucapan al-Hafidz Imam asy-Syaukaniy, beliau tidak melarang hal yang baru, namun
harus ada sandaran dalil secara logika atau naqlinya, maka bila orang yang
bicara hal baru itu punya sandaran logika dan sandaran naqlinya, maka
terimalah. Sebagaimana ucapan beliau: “Hadits-hadits ini merupakan
kaidah-kaidah dasar agama karena mencakup hokum-hukum yangm tak
terbatas, betapa jelas dan terangnya dalil ini dalam menjatuhkan
perbuatan para fuqaha dalam pembagian bid’ah kepada berbagai bagian dan
mengkhususkan penolakan pada sebagiannya (penolakan terhadap bid’ah
yang baik) dengan tanpa mengkhususkan (menunjukkan) hujjah dari
dalil akal ataupun dalil tulisan (al-Qur’an/hadits). Maka bila kau
dengar orang berkata: “Ini adalah bid’ah hasanah”, dengan kau mengambil
posisi melarangnya dengan bertopang pada dalil bahwa keseluruhan
bid’ah adalah sesat dan yang semacamnya sebagaimana sabda Nabi Saw.:
“Semua bid’ah adalah sesat” dan (kau) meminta dalil pengkhususan
(secara aqli dan naqli) mengenai hal bid’ah yang menjadi pertentangan
dalam penentuannya (apakah itu bid’ah yang baik atau bid’ah yang
sesat) setelah ada kesepakatan bahwa hal itu bid’ah (hal yang baru),
maka bila ia membawa dalilnya tentang (bid’ah hasanah) yang
dikenalkannya maka terimalah, bila ia tak bisa membawakan dalilnya
(aqlan wa syar’an) maka sungguh kau telah menaruh batu di mulutnya dan
kau selesai dari perdebatan.” (Nail al-Authar juz 2 halaman 69-70).
Jelaslah
bahwa ucapan Imam asy-Syaukaniy menerima bid’ah hasanah yang disertai dalil
aqli (logika) atau dalil naqli (dalil al-Qur’an atau hadits), bila orang yang
mengucapkan pada sesuatu itu bid’ah hasanah namun ia tidak bisa mengemukakan
alasan secara logika, atau tidak ada sandaran naqlinya maka pernyataan
tertolak, bila ia mampu mengemukakan dalil logikanya, atau dalil naqlinya maka
terimalah. Jelas-jelas beliau mengakui bid’ah hasanah: “Berkata Ibn Rajab
dalam kitabnya Jami’ al-Ulum wa al-Hikam bahwa lafadhzya: “Kumpulan seluruh
kalimat yang dikhususkan pada nabi Saw. ada dua macam, yang pertama
adalah al-Qur’an sebagaimana firmanNya: “Sungguh Allah telah
memerintahkan kalian berbuat adil dan kebaikan, dan menyambung hubungan
dengan kaum kerabat, dan melarang kepada keburukan dan kemungkaran dan
kejahatan”, berkata al-Hasan bahwa ayat ini tidak menyisakan satu
kebaikan pun kecuali sudah diperintahkan melakukannya, dan tiada suatu
keburukan pun kecuali sudah dilarang melakukannya. Maka yang kedua
adalah hadits beliau Saw. yang tersebar dalam semua riwayat yang
teriwayatkan dari beliau Saw.” (Tuhfat al-Ahwadziy juz 5 halaman
135).
Inilah
makna dari ayat yang berbunyi: “al-yauma akmaltu lakum diinukum..dst,“, hari
ini Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, Kusempurnakan pula
kenikmatan bagi kalian, dan Kuridhoi Islam sebagai agama kalian”,
maksudnya semua ajaran telah sempurna, tak perlu lagi ada pendapat lain demi
memperbaiki agama ini, semua hal yang baru selama itu baik sudah masuk dalam
kategori syariah dan sudah direstui oleh Allah dan RasulNya, alangkah
sempurnanya islam.
Bila
yang dimaksud adalah tidak ada lagi penambahan, maka pendapat itu salah, karena
setelah ayat ini masih ada banyak ayat-ayat lain turun, masalah hutang dll,
berkata para mufassirin bahwa ayat ini bermakna Makkah al-Mukarramah sebelumnya
selalu masih dimasuki orang musyrik mengikuti hajinya orang muslim, mulai
kejadian turunnya ayat ini maka musyrikin tidak lagi masuk Masjidil Haram, maka
membuat kebiasaan baru yang baik boleh-boleh saja. Maka jika ayat ini dijadikan
dalil untuk melarang hal tidak tahu asbabunnuzul, dan jika aturan itu benar,
maka telah dilanggar oleh para khulafa’urrasyidin, para imam, para hujjatul
islam, dan seluruh madzhab, karena mereka semua berbuat bid’ah hasanah selama
tidak bertentangan dengan syariah.
Bid’ah:
1) Nabi Saw.
memperbolehkan berbuat bid’ah hasanah.
Nabi saw
memperbolehkan kita melakukan bid’ah hasanah selama hal itu baik dan tidak
menentang syariah. Sebagaimana sabda beliau Saw.: “Barangsiapa membuat-buat
hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang
mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya. Dan barangsiapa
membuat-buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa
orang yang mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari dosanya.” (Shahih
Muslim hadits no. 1017). Demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah,
Sunan Baihaqi al-Kubra, Sunan ad-Darimiy, Shahih Ibn Hibban dan masih banyak
lagi.
Hadits ini
menjelaskan makna bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah. Perhatikan hadits beliau
Saw., bukankah beliau Saw. menganjurkan? Maksudnya bila kalian mempunyai suatu
pendapat atau gagasan baru yang membuat kebaikan atas Islam maka perbuatlah.
Alangkah indahnya bimbingan Nabi Saw. yang tidak mencekik ummat, beliau Saw.
tahu bahwa ummatnya bukan hidup untuk 10 atau 100 tahun, tapi ribuan tahun akan
berlanjut dan akan muncul kemajuan zaman, modernisasi, kematian ulama,
merajalela kemaksiatan. Maka tentunya pastilah diperlukan hal-hal yang baru
demi menjaga muslimin lebih terjaga dalam kemuliaan. Demikianlah bentuk
kesempurnaan agama ini yang tetap akan bisa dipakai hingga akhir zaman, inilah
makna ayat: “al-yauma akmaltu lakum diinukum..dst,” “Hari ini
Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, Kusempurnakan pula kenikmatan bagi
kalian, dan Kuridhoi Islam sebagai agama kalian.” Maksudnya semua ajaran telah
sempurna, tak perlu lagi ada pendapat lain demi memperbaiki agama ini. Semua
hal yang baru selama itu baik sudah masuk dalam kategori syariah dan sudah
direstui oleh Allah dan RasulNya.
Alangkah
sempurnanya Islam, bila yang dimaksud adalah tidak ada lagi penambahan, maka
pendapat itu salah, karena setelah ayat ini masih ada banyak ayat-ayat lain
turun, masalah hutang dan lain-lain. Berkata para mufassirin bahwa ayat ini
bermakna Makkah al-Mukarramah sebelumnya selalu masih dimasuki orang musyrik
mengikuti hajinya orang muslim, mulai kejadian turunnya ayat ini maka musyrikin
tidak lagi masuk Masjidil Haram, maka membuat kebiasaan baru yang baik
boleh-boleh saja. Namun tentunya bukan membuat agama baru atau syariat baru
yang bertentangan dengan syariah dan sunnah Rasul Saw., atau menghalalkan
apa-apa yang sudah diharamkan oleh Rasul Saw. atau sebaliknya. Inilah makna
hadits beliau Saw.: “Barangsiapa yang membuat-buat hal baru yang berupa
keburukan...dan seterusnya”. Inilah yang disebut bid’ah dhalalah.
Beliau Saw.
telah memahami itu semua, bahwa kelak zaman akan berkembang, maka beliau Saw.
memperbolehkannya (hal yang baru berupa kebaikan), menganjurkannya dan
menyemangati kita untuk memperbuatnya, agar ummat tidak tercekik dengan hal
yang ada di zaman kehidupan beliau Saw. saja dan beliau Saw. telah pula
mengingatkan agar jangan membuat buat hal yang buruk (bid’ah dhalalah).
Mengenai
pendapat yang mengatakan bahwa hadits ini adalah khusus untuk sedekah saja,
maka tentu ini adalah pendapat mereka yang dangkal dalam pemahaman syariah,
karena hadits di atas jelas-jelas tak menyebutkan pembatasan hanya untuk
sedekah saja, terbukti dengan perbuatan bid’ah hasanah oleh para sahabat dan
tabi’in.
2) Siapakah yang
pertama memulai bid’ah hasanah setelah wafatnya Rasul Saw.?
Ketika terjadi
pembunuhan besar-besaran atas para sahabat (ahlul yamamah) yang mereka itu para
huffadz (yang hafal) al-Qur’an dan Ahli al-Qur’an di zaman Khalifah Abu Bakar
ash-Shiddiq Ra., berkata Abubakar ash-Shiddiq Ra. kepada Zeyd bin Tsabit Ra.: “Sungguh
Umar (Ra.) telah dating kepadaku dan melaporkan pembunuhan atas ahlul yamamah
dan ditakutkan pembunuhan akan terus terjadi pada para Ahli al-Qur’an, lalu ia
menyarankan agar Aku (Abu Bakar ash-Shiddiq Ra.) mengumpulkan dan menulis
al-Qur’an. Aku berkata: “Bagaimana aku berbuat suatu hal yang tidak diperbuat
oleh Rasulullah?, maka Umar berkata padaku bahwa: “Demi Allah ini adalah demi
kebaikan dan merupakan kebaikan, dan ia terus meyakinkanku sampai Allah
menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar, dan
Engkau (Zeyd) adalah pemuda, cerdas, dan kami tak menuduhmu (kau tak pernah
berbuat jahat), kau telah mencatat wahyu, dan sekarang ikutilah dan
kumpulkanlah al-Qur’an dan tulislah al-Qur’an.”
Berkata Zeyd: “Demi
Allah sungguh bagiku diperintah memindahkan sebuah gunung dari gunung-gunung
tidak seberat perintahmu padaku untuk mengumpulkan al-Qur’an. Bagaimana kalian
berdua berbuat sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah Saw.? Maka Abu Bakar
Ra. mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga ia pun meyakinkanku
sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan
mereka berdua dan aku mulai mengumpulkan al-Qur’an.” (Shahih Bukhari hadits
no. 4402 dan 6768).
Nah saudaraku,
bila kita perhatikan konteks di atas, Abu Bakar ash-Shiddiq Ra mengakui dengan
ucapannya: “Sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku
sependapat dengan Umar.” Hatinya jernih menerima hal yang baru (bid’ah
hasanah) yaitu mengumpulkan al-Qur’an, karena sebelumnya al-Qur’an belum
dikumpulkan menjadi satu buku, tapi terpisah-pisah di hafalan sahabat, ada yang
tertulis di kulit onta, di tembok, dihafal dan lain-lain. Ini adalah bid’ah
hasanah, justru mereka berdualah yang memulainya.
Kita
perhatikan hadits yang dijadikan dalil menafikan (menghilangkan) bid’ah hasanah
mengenai semua bid’ah adalah kesesatan. Diriwayatkan bahwa Rasul Saw. selepas
melakukan shalat Shubuh beliau Saw. menghadap kami dan menyampaikan ceramah
yang membuat hati berguncang, dan membuat air mata mengalir. Maka kami berkata:
“Wahai Rasulullah, seakan-akan ini adalah wasiat untuk perpisahan, maka beri
wasiatlah kami”, maka Rasul Saw. bersabda: “Kuwasiatkan kalian untuk
bertakwa kepada Allah, mendengarkan dan taatlah walaupun kalian dipimpin oleh
seorang budak Afrika, sungguh di antara kalian yang berumur panjang akan
melihat sangat banyak ikhtilaf perbedaan pendapat, maka berpegangteguhlah pada
sunnahku dan sunnah khulafa’urrasyidin yang mereka itu pembawa petunjuk,
gigitlah kuat-kuat dengan geraham kalian (suatu kiasan untuk kesungguhan), dan
hati-hatilah dengan hal-hal yang baru, sungguh semua yang bid’ah itu adalah
kesesatan.” (Mustadrak ‘ala ash-Shahihain hadits no. 329).
Jelaslah bahwa
Rasul Saw. menjelaskan pada kita untuk mengikuti sunnah beliau dan sunnah
khulafa’urrasyidin. Dan sunnah beliau Saw. telah memperbolehkan hal yang baru
selama itu baik dan tak melanggar syariah, dan sunnah khulafa’urrasyidin adalah
anda lihat sendiri bagaimana Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. dan Umar bin Khaththab
Ra. menyetujui bahkan menganjurkan, bahkan memerintahkan hal yang baru, yang
tidak dilakukan oleh Rasul Saw. yaitu pembukuan al-Qur’an, lalu pula selesai
penulisannya dimasa Khalifah Utsman bin Affan Ra., dengan persetujuan dan
kehadiran Ali bin Abi Thalib Kw.
Nah,
sempurnalah sudah keempat makhluk termulia di ummat ini, khulafa’urrasyidin
melakukan bid’ah hasanah, Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. Di masa kekhalifahannya
memerintahkan pengumpulan al-Qur’an, lalu kemudian Umar bin Khaththab Ra. pula
di masa kekhalifahannya memerintahkan Tarawih berjamaah dan seraya berkata: “Inilah
sebaik-baik bid’ah.” (Shahih Bukhari hadits no. 1906), lalu pula selesai
penulisan al-Qur’an di masa Khalifah Utsman bin Affan Ra. hingga al-Qur’an kini
dikenal dengan nama Mushaf Utsmaniy, dan Ali bin Abi Thalib Kw. menghadiri dan
menyetujui hal itu.
Demikian pula
hal yang dibuat-buat tanpa perintah Rasul Saw. adalah dua kali adzan di shalat
Jum’at, tidak pernah dilakukan di masa Rasul Saw., tidak di masa Khalifah Abu
Bakar ash-Shiddiq Ra., tidak pula di masa Umar bin khaththab Ra. dan baru
dilakukan di masa Utsman bin Affan Ra., dan diteruskan hingga kini. (Lihat
dalam Shahih Bukhari hadits no. 873).
Siapakah yang
salah dan tertuduh? Siapakah yang lebih mengerti larangan bid’ah? Adakah
pendapat mengatakan bahwa keempat khulafa’urrasyidin ini tak paham makna
bid’ah?
3) Bid’ah
dhalalah.
Jelaslah sudah
bahwa mereka yang menolak bid’ah hasanah inilah yang termasuk pada golongan
bid’ah dhalalah. Dan bid’ah dhalalah ini banyak jenisnya, seperti penafian sunnah,
penolakan ucapan sahabat, penolakan pendapat khulafa’urrasyidin. Nah,
diantaranya adalah penolakan atas hal baru selama itu baik dan tak melanggar
syariah, karena hal ini sudah diperbolehkan oleh Rasul Saw. dan dilakukan oleh
khulafa’urrasyidin, dan Rasul Saw. telah jelas-jelas memberitahukan bahwa akan
muncul banyak ikhtilaf, berpeganglah pada sunnahku dan sunnah
khulafa’urrasyidin, bagaimana sunnah Rasul Saw.?, beliau Saw. membolehkan
bid’ah hasanah. Bagaimana sunnah khulafa’urrasyidin?, mereka melakukan bid’ah
hasanah. Maka penolakan atas hal inilah yang merupakan bid’ah dhalalah, hal
yang telah diperingatkan oleh Rasul Saw.
Bila kita
menafikan (meniadakan) adanya bid’ah hasanah, maka kita telah menafikan dan
membid’ahkan kitab al-Qur’an dan kitab Hadits yang menjadi panduan ajaran pokok
Agama Islam karena kedua kitab tersebut (al-Qur’an dan Hadits) tidak ada
perintah Rasulullah Saw. untuk membukukannya dalam satu kitab masing-masing,
melainkan hal itu merupakan ijma’ atau kesepakatan pendapat para sahabat Ra.
Dan hal ini dilakukan setelah Rasulullah Saw. wafat.
Buku hadits
seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim dan lain-lain. Iinipun tak pernah ada
perintah Rasul Saw. untuk membukukannya, tak pula khulafa’urrasyidin
memerintahkan menulisnya, namun para tabi’in mulai menulis hadits Rasul Saw.
Begitu pula
Ilmu musthalahul hadits, nahwu, sharaf dan lain-lain sehingga kita dapat
memahami kedudukan derajat hadits. Ini semua adalah perbuatan bid’ah, namun
bid’ah hasanah. Demikian pula ucapan “Radhiyallahu’anhu” atas sahabat, tidak
pernah diajarkan oleh Rasulullah Saw., tidak pula oleh sahabat, walaupun itu
disebut dalam al-Qur’an bahwa mereka para sahabat itu diridhai Allah. Namun tak
ada dalam ayat atau hadits Rasul Saw. memerintahkan untuk mengucapkan ucapan
itu untuk sahabatnya. Namun karena kecintaan para tabi’in pada sahabat, maka
mereka menambahinya dengan ucapan tersebut. Dan ini merupakan bid’ah hasanah
dengan dalil hadits di atas.
Lalu muncul
pula kini al-Qur’an yang dikasetkan, diCDkan, program al-Qur’an di handphone,
al-Qur’an yang diterjemahkan, ini semua adalah bid’ah hasanah. Bid’ah yang baik
yang berfaedah dan untuk tujuan kemaslahatan muslimin, karena dengan adanya
bid’ah hasanah di atas maka semakin mudah bagi kita untuk mempelajari al-Qur’an,
untuk selalu membaca al-Qur’an, bahkan untuk menghafal al-Qur’an dan tidak ada
yang memungkirinya.
Sekarang kalau
kita menarik mundur ke belakang sejarah Islam, bila al-Qur’an tidak dibukukan
oleh para sahabat Ra., apa sekiranya yang terjadi pada perkembangan sejarah
Islam? Al-Quran masih bertebaran di tembok-tembok, di kulit onta, hafalan para
Sahabat Ra. yang hanya sebagian dituliskan, maka akan muncul beribu-ribu versi
al-Qur’an di zaman sekarang. Karena semua orang akan mengumpulkan dan
membukukannya, yang masing-masing dengan riwayatnya sendiri, maka hancurlah
al-Qur’an dan hancurlah Islam.
Namun dengan
adanya bid’ah hasanah, sekarang kita masih mengenal al-Qur’an secara utuh dan
dengan adanya bid’ah hasanah ini pula kita masih mengenal hadits-hadits Rasulullah
Saw., maka jadilah Islam ini kokoh dan abadi, jelaslah sudah sabda Rasul Saw.
yang telah membolehkannya, beliau Saw. telah mengetahui dengan jelas bahwa
hal-hal baru yang berupa kebaikan (bid’ah hasanah), mesti dimunculkan kelak.
Dan beliau Saw. telah melarang hal-hal baru yang berupa keburukan (bid’ah
dhalalah).
Saudara-saudaraku,
jernihkan hatimu menerima ini semua, ingatlah ucapan Amirul Mukminin pertama
ini, ketahuilah ucapan-ucapannya adalah Mutiara al-Qur’an, sosok agung Abu
Bakar ash-Shiddiq Ra. berkata mengenai bid’ah hasanah: “Sampai Allah
menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar.”
Lalu berkata pula Zeyd bin Haritsah Ra. ”..bagaimana kalian berdua (Abubakar
dan Umar) berbuat sesuatu yang tidak diperbuat oleh Rasulullah Saw.?, maka Abu
Bakar Ra. mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga iapun (Abu Bakar
Ra.) meyakinkanku (Zeyd) sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan
kini aku sependapat dengan mereka berdua.”
Maka kuhimbau
saudara-saudaraku muslimin yang kumuliakan, hati yang jernih menerima hal-hal
baru yang baik adalah hati yang sehati dengan Abu Bakar ash-Shiddiq Ra., hati
Umar bin Khaththab Ra., hati Zeyd bin Haritsah Ra., hati para sahabat, yaitu
hati yang dijernihkan Allah Swt. Dan curigalah pada dirimu bila kau temukan
dirimu mengingkari hal ini. Maka barangkali hatimu belum dijernihkan Allah,
karena tak mau sependapat dengan mereka, belum setuju dengan pendapat mereka,
masih menolak bid’ah hasanah.
Dan Rasul Saw.
sudah mengingatkanmu bahwa akan terjadi banyak ikhtilaf dan peganglah
perbuatanku dan perbuatan khulafa’urrasyidin, gigit dengan geraham, yang
maksudnya berpeganglah erat-erat pada tuntunanku dan tuntunan mereka. Allah
menjernihkan sanubariku dan sanubari kalian hingga sehati dan sependapat dengan
Abu Bakar ash-Shiddiq Ra., Umar bin Khaththab Ra., Utsman bin Affan Ra., Ali
bin Abi Thalib Kw. Dan seluruh sahabat.
Pendapat Para
Imam dan Muhadditsin Mengenai Bid’ah
1. Al-Hafidz
al-Muhaddits al-Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i rahimahullah (Imam
Syafi’i).
Berkata Imam
Syafi’i bahwa bid’ah terbagi dua, yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan
bid’ah madzmumah (tercela). Maka yang sejalan dengan sunnah maka ia
terpuji dan yang tidak selaras dengan sunnah adalah tercela. Beliau berdalil dengan
ucapan Umar bin Khaththab ra. mengenai shalat Tarawih: “Inilah sebaik-baik
bid’ah.” (Tafsir Imam Qurthubiy juz 2 halaman 86-87).
2. Al-Imam
al-Hafidz Muhammad bin Ahmad al-Qurtubiy rahimahullah.
“Menanggapi
ucapan ini (ucapan Imam Syafi’i), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa
makna hadits Nabi Saw. yang berbunyi: “Seburuk-buruk permasalahan adalah hal
yang baru. Dan semua bid’ah adalah dhalalah.” (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha
wa kullu bid’atin dhalaalah), yang dimaksud adalah hal-hal yang tidak sejalan
dengan al-Qur’an dan sunnah Rasul Saw., atau perbuatan sahabat
radhiyallahu‘anhum, sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits
lainnya: “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam Islam, maka baginya
pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari
pahalanya, dan barangsiapa membuat-buat hal baru yang buruk dalam Islam, maka
baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya.” (Shahih
Muslim hadits no.1017), dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai
bid’ah yang baik dan bid’ah yang sesat.” (Tafsir Imam Qurthubiy juz 2
halaman 87).
3. Al-Muhaddits
al-Hafidz al-Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawiy rahimahullah
(Imam Nawawi).
“Penjelasan
mengenai hadits: “Barangsiapa membuat-buat hal baru yang baik dalam Islam, maka
baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang
sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat-buat hal baru yang
dosanya…”. Hadits ini merupakan anjuran untuk membuat kebiasaan-kebiasaan yang
baik dan ancaman untuk membuat kebiasaan yang buruk dan pada hadits ini
terdapat pengecualian dari sabda beliau Saw.: “Semua yang baru adalah bid’ah,
dan semua yang bid’ah adalah sesat”. Sungguh yang dimaksudkan adalah hal baru
yang buruk dan bid’ah yang tercela.” (Syarh an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim
juz 7 halaman 104-105).
Dan berkata
pula Imam Nawawi bahwa: “Ulama membagi bid’ah menjadi 5, yaitu bid’ah yang
wajib, bid’ah yang mandub, bid’ah yang mubah, bid’ah yang makruh dan bid’ah
yang haram. Bid’ah yang wajib contohnya adalah mencantumkan dalil-dalil pada
ucapan-ucapan yang menentang kemungkaran. Contoh bid’ah yang mandub (mendapat
pahala bila dilakukan dan tak mendapat dosa bila ditinggalkan) adalah membuat
buku-buku ilmu syariah, membangun majelis taklim dan pesantren. Dan bid’ah yang
mubah adalah bermacam-macam dari jenis makanan. Dan bid’ah yang makruh dan
haram sudah jelas diketahui. Demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari
makna yang umum. Sebagaimana ucapan Umar Ra. atas jamaah Tarawih bahwa inilah sebaik-baik
bid’ah.” (Syarh Imam an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim juz 6 halaman
154-155).
4. Al-Hafidz
al-Muhaddits al-Imam Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthiy rahimahullah.
5. “Mengenai
hadits “bid’ah dhalalah” ini bermakna “’aammun makhsush”, (sesuatu yang umum
yang ada pengecualiannya). Seperti firman Allah: “…yang Menghancurkan segala
sesuatu.” (QS. al-Ahqaf ayat 25) dan kenyataannya tidak segalanya hancur, (atau
pula ayat: “Sungguh telah kupastikan ketentuanKu untuk memenuhi jahannam dengan
jin dan manusia keseluruhannya.” (QS. as-Sajdah ayat 13), dan pada kenyataannya
bukan semua manusia masuk neraka, tapi ayat itu bukan bermakna keseluruhan tapi
bermakna seluruh musyrikin dan orang dzalim-pen.), atau hadits: “Aku dan hari
kiamat bagaikan kedua jari ini.” (dan kenyataannya kiamat masih ribuan tahun
setelah wafatnya Rasul Saw.).” (Syarh as-Suyuthiy juz 3 halaman
189).
Maka bila
muncul pemahaman di akhir zaman yang bertentangan dengan pemahaman para
muhaddits maka kita harus berhati-hati, dari manakah ilmu mereka? Berdasarkan
apa pemahaman mereka? Atau seorang yang disebut imam padahal ia tak mencapai
derajat al-Hafidz atau muhaddits? Atau hanya ucapan orang yang tak punya sanad,
hanya menukil-menukil hadits dan mentakwilkan semaunya tanpa memperdulikan
fatwa-fatwa para Imam?
0 komentar:
Posting Komentar