Halaman

Jumat, 21 September 2012

BAB 8; KEUTAMAAN TAUHID


BAB 8; KEUTAMAAN TAUHID


Pernyataan Abdullah bin Baz Mengenai Keutamaan Tauhid:

Saudaraku seiman, berikut ini saya persembahkan kepadamu beberapa kalimat ringkas tentang keutamaan tauhid serta peringatan terhadap hal-hal yang bertentangan dengannya, berupa syirik dengan berbagai macamnya, dan bid’ah dengan segala ragam dan coraknya, baik yang kecil maupun yang besar.
Sesungguhnya, tauhid adalah kewajiban pertama yang diserukan oleh para rasul, dan ia merupakan landasan utama dari misi dakwah mereka. Allah Ta’ala berfirman: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu.” (QS. an-Nahl ayat 36).
Tauhid adalah hal Allah yang paling besar atas hamba-hambanya. Di dalam kitab “ash-Shahihain” (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim) diriwayatkan dari Mu’adz, bahwa Rasulullah bersabda: “Hak Allah atas hamba-hambaNya ialah bahwa, mereka beribadah (hanya kepadaNya) dan mereka tidak menyekutukanNya dengan sesuatu yang lain.”
Maka barang siapa yang telah merealisasikan tauhid, dialah yang berhak masuk surga. Dan sebaliknya, barangsiapa yang melakukan atau meyakini sesuatu yang bertentangan dan berlawanan dengannya, maka dia akan menjadi penghuni neraka. Demi eksisnya tauhid, Allah memerintahkan para rasul memerangi kaumnya sampai mereka (mau) beriman kepadanya. Rasulullah bersabda: “Aku diperintahkan memerangi manusia sampai mereka (mau) bersaksi; bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah.” (HR.Bukhari dan Muslim).
Merealisasikan tauhid adalah jalan menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sedangkan menyalahinya merupakan jalan yang menjerumuskan ke jurang kesengsaraan. Merealisasikan tauhid adalah sarana untuk menyatukan umat, merapatkan barisan dan mencapai kebersamaan dan kesepakatan. Dan segala cacat (kekurangan) dalam pelaksanaan tauhid merupakan puncak perpecahan dan kehancuran.
Ketahuilah wahai saudaraku, semoga Allah merahmati kita semua bahwa tidak semua orang yang mengucapkan kalimat: “Laa ilaahaa illa Allah”, serta merta menjadi orang yang sudah bertauhid (merealisasikannya). Akan tetapi, menurut para ulama, agar menjadi seorang yang bertauhid (muahhid) mesti memenuhi tujuh syarat berikut ini:
1.    Ilmu, yaitu mengetahui makna dan maksud dari kalimat tauhid itu, baik dalam hal menetapkan (itsbat) maupun menafikan (nafi). Maka tiada (yang berhak) disembah selain Allah.
2.    Yakin, yaitu meyakini dengan seyakin-yakinnya akan komitmen (dari kalimat tauhid itu).
3.    Menerima dengan hati dan lisan (perkataan) segala konsekuensinya.
4.    Tunduk dan patuh kepada segala yang dikehendakinya.
5.    Benar dalam mengatakannya. Artinya, apa yang dikatakannya dengan lidah mesti sesuai dengan apa yang diyakininya dalam hati.
6.    Ikhlash dalam melakukannya, tanpa dicampuri riya.
7.    Mencintai kalimat tauhid ini dengan segala konsekuensinya.


Tanggapan Al-Habib Mundzir Al-Musawa Mengenai Keutamaan Tauhid:

Rasul Saw. bersabda: “Aku sungguh tidak merisaukan syirik menimpa kalian setelah aku wafat, yang kurisaukan adalah keluasan dunia yang membuat kalian saling hantam memperebutkannya.” (Shahih Bukhari). Inilah jawaban Nabi Saw. terhadap kekuasaan Wahabisme yang menguasai Haramain, mereka sangat merisaukan dan meributkan kesyirikan, namun mereka saling bunuh demi berebut kekayaan, mereka rela mengundang dan membayar ribuan pasukan AS ke negeri mereka demi membantai saudara mereka muslimin mereka sendiri demi memperebutkan minyak. Mereka rela tidak membantu Palestina yang dibantai Israel, demi naiknya harga minyak, inilah yang telah dikabarkan oleh Rasul Saw.: “Sungguh demi Allah aku tidak takut syirik menimpa kalian, namun yang kutakutkan adalah keluasan dunia yang kalian saling memperebutkannya.” (Shahih Bukhari). Jawaban Rasul Saw. ini membungkam semua lidah orang yang merisaukan syirik atas muslimin yang beribadah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar