Saya mencintai
seorang Muslim, meskipun ia berselisih pendapat dengan saya dalam masalah
agama, walaupun ia mengkafirkan saya, walaupun ia menghalalkan darahku,
walaupun ia tampakkan kebencian di hadapan saya, saya tetap mencintainya. Saya benci
akhlaknya, tapi saya mencintainya. Di dalam dirinya ada cahaya La Ilaha
illallah. Dia dinisbatkan kepada Sayyidina Muhammad Saw. karena dia bagian
dari ummatnya.
Begitupula,
saya mencintai non-Muslim. Nasrani? Ya, saya mencintai orang Nasrani (Kristen).
Bahkan lebih dari itu, saya mencintai (orang) Yahudi. Saya benci penjajah
dengan jajahannya di sana, yakni Zionis. Yang menghalalkan tanah dan harga diri
saya, dan saya siap memeranginya tapi hati saya menginginkan hidayah untuknya
dan ingin ia kembali kepada kebenaran. Tapi tidak, saya tidak membenci Yahudi
karena dia Yahudi (ke-Yahudiaannya). Dia membenciku, Allah mengajarkan saya (dalam
al-Quran) bahwa ia (Yahudi) akan menjadi orang yang paling memusuhiku dan
kenyataan menjadi saksinya. Tapi saya cinta kepada orang Nasrani, Yahudi, Budha,
dan (bahkan) Atheis.
Saya benci
kekafiran seorang kafir, tapi tidak benci kepada orangnya. Saya benci
kemaksiatan pendosa, tapi saya tidak benci sosoknya. Saya siap mengekspos hal
ini dan bertukar pikiran dengan para ulama dari golongan yang memandang ucapan
saya tidak benar. Saya akan cium tangan mereka tapi saya berbeda pendapat
dengan mereka dalam hal ini. Ini yang saya pelajari. Ini yang saya pelajari
dari akhlak Rasulullah Saw. Ta’dzim terhadap karunia Allah Swt. atas seseorang
(manusia, sebagaimana firmanNya):
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا
بَنِي آدَمَ
“Kami telah memuliakan
anak-anak Adam.” (QS. al-Isra’
ayat 70).
(Pernah terjadi) jenazah seorang Yahudi sedang
lewat di hadapan Rasulullah Saw. Lalu beliau Saw. berdiri. (Salah seorang
sahbat berkata): “Ya Rasullah, itu adalah jenazah seorang yahudi.”
أَلَيْسَتْ
نَفْسًا؟
Jawab Rasulullah Saw.: “Bukankah ia (juga)
seorang manusia?” Sebagaimana dalam hadits shahih, beliau Saw. mengajarkan kepada
kita adab yang tinggi ini.
Baik, apa makna dakwah jika kosong dari makna
cinta? Dakwah adalah keinginan menyampaikan hidayah. Bukankah demikian? Hidayah
untuk pendosa, hidayah untuk orang kafir agar masuk Islam. Lalu Anda ingin
mengajarkan saya bahwa dakwah adalah secara rasio (dengan pemikiran) yang benar
dan lurus secara ruh dan akal agar saya berkata, “Saya benci dan tidak suka
kepadamu karena Allah dan saya mengajakmu untuk masuk Islam! Saya benci
kepadamu dan marilah masuk Islam! Agama saya menyuruh saya membencimu dan saya
nasihati Anda agar masuk ke agama ini yang telah menyuruh saya membencimu”. Bagaimana
mungkin ini benar!?
Agama saya mengajarkan saya agar saya membenci
kebatilan yang ada padamu, bukan membenci sosokmu. Pemahaman-pemahaman ini dulu
di diri para (ulama) salaf kita adalah demikian. Itu hasil dari didikan, bahkan
mereka tidak perlu menjadikannya kurikulum di kitab-kitab. Karena dulu mereka
menjalaninya di dalam kehidupan mereka. Bahkan ketika mereka mengangkat senjata
untuk menjalankan kewajiban jihad yang suci dalam peperangan menghadapi musuh
yang menjajah. Dulu pandangan mereka dalam memerangi musuh adalah karena
terdesak sebab didzalimi atau sebab tidak diberikannya hak orang-orang dalam
Islam, karena mereka masuk Islam dengan kehendak mereka sendiri. Bersamaan dengan
itu mereka mengharapkan hidayah untuk musuh, bukan perang.
Nabi Saw. pernah berdiri di hadapan seorang
wanita yang memegang senjata bersama orang-orang kafir yang dzalim yang
memerangi Muslimin. Lalu wanita itu ikut berperang dan terbunuh. Lalu Nabi Saw.
berdiri di depan mayatnya setelah usai perang, dan beliau tersentuh serta
kecewa. Nampak kekecewaan beliau Saw., lalu berkata:
ماَ كَانَ
لِهَذِهِ أَنْ تُقَاتِلَ فَتُقْتَلُ
“Tidak
seharusnya wanita ini ikut berperang lalu terbunuh.”
Rasulullah Saw. ajarkan makna ini. Beliau Saw.
mengajari kita bahwa pada asalnya adalah keinginan kesejahteraan dan
keselamatan untuk umat manusia, bukan peperangan. Dan bahwa perang adalah keadaan
darurat untuk menjaga kehidupan dengan maknanya yang lebih besar. (*IBJ, ditranskrip
dari video ceramah Habib Ali al-Jufri: https://youtu.be/wP73o4CfOpk).
0 komentar:
Posting Komentar