Pernah suatu ketika saat Gus Ishom masih seorang pelajar, ketika ujian madrasah beliau ditempatkan paling ujung kanan depan. Sehingga beliau orang pertama yang menerima soal dan lembar jawaban. Seketika itu beliau pun mengerjakannya.
Ajaibnya, Gus Ishom telah selesai mengerjakan jawabannya ketika guru masih membagikan soal dan lembar jawaban pada murid-murid lainnya. Alhasil betapa cerdasnya beliau dalam menjawab soal ujian yang diberikan.
Di lain waktu, ketika beliau sedang mengendarai mobil, di tengah perjalanan bertemu dengan seorang kakek-kakek yang sedang mengendarai sepeda. Gus Ishom tidak berani mendahuluinya meskipun dirinya sedang mengendarai mobil. Sampai akhirnya seorang kakek itu berhenti, ia pun ikut berhenti.
Lalu Gus Ishom turun dari mobil dan menghampiri kakek-kakek tersebut. Langsung saja Gus Ishom mencium tangan si kakek dan mengucapkan: "Dulu Panjenengan adalah guru ngaji al-Quran saya sewaktu saya masih kecil." (Diceritakan saat Haul KH. Ishomuddin Hadziq yang ke 13 di Tebuireng).
Mengenal Lebih Dekat Sosok Gus Ishom
Gus Ishom lahir pada 18 Juli 1965 dari pasangan Hj. Khodijah binti Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari dan Kiai Hadziq. Beliau merupakan putra pertama dari tiga bersaudara tunggal ayah-ibu (Fahmi Amrullah dan Zaki). Beliau dilahirkan di Kediri Jawa Timur.
Pada saat kelahirannya, ibunya Hj. Khodijah mengalami kesulitan. Secepatnya Kiai Hadziq sowan KH. Mahrus Ali Lirboyo meminta minuman dan doa. Kiai Mahrus Ali langsung datang sendiri saat proses kelahirannya dan berdoa agar Allah memberikan kemudahan dan kelancaran. Alhamdulillah bayi lahir dengan selamat dan lancar.
Kiai Mahrus Ali langsung berkata: “Bayi ini akan menjadi anak yang shalih”, seraya memberi nama bayi itu dengan “Ishomuddin” yang artinya orang yang mampu menjaga agama. Kiai Mahrus Ali yakin bahwa bayi ini kelak akan menjadi orang besar yang mampu menyebarkan dakwah Islam dan mampu meneruskan estafet kepemimpinan kakeknya, Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari.
Semasa kecilnya, kelebihan Gus Ishom sudah kelihatan. Rajin, disiplin, sopan santun dan menunjukkan minat yang besar pada ilmu pengetahuan. Pada usia sekitar 4 tahun, Gus Ishom sudah membaca berita di Koran Duta Masyarakat, sebuah tradisi yang tidak lazim bagi anak seusia 4 tahun.
Gus Ishom kecil sangat disayang Kiai Idris Kamali (menantu Mbah Hasyim Asy’ari) yang terkenal alim dan wara’. Gus Ishom selalu mengerjakan shalat Maghrib tepat waktu dan persis di belakang Kiai Idris. Menurut banyak orang, itulah salah satu faktor yang membuat Gus Ishom dikaruniai otak cerdas dan daya ingat yang luar biasa. Gus Ishom mampu menangkap pelajaran dengan cepat dan mengingatnya dengan baik. Konon, Syaikh Ihsan Jampes (kiai pengarang kitab Sirajut Thalibin) selalu datang ke Tebuireng untuk menemui Gus Ishom dan memberinya uang seratus rupiah.
Sejak berusia sekitar 7 tahun, ketika duduk di kelas 2 SD, pada waktu Ramadlan Gus Ishom selalu mengerjakan shalat Tarawih dengan tuntas dari awal sampai selesai. Uniknya, beliau selalu berpindah-pindah dari satu imam ke imam yang lain. Ternyata hal ini mempunyai tujuan, yakni mencari orang yang paling fasih bacaan al-Qurannya.
Seusai Ramadlan, Gus Ishom minta izin kepada ibunya: “Bu, aku ingin ngaji al-Quran sama kiai ini."
"Kenapa harus ke kiai ini?" tanya ibunya.
“Saya sudah mendengarkan semua bacaan imam shalat saat Tarawih, dan yang paling fasih bacaannya adalah kiai ini," jawab Gus Ishom.
Mendengar jawaban anaknya, Hj. Khodijah kaget, dan dengan legowo memberikan ijin.
Ini menunjukan Gus Ishom sejak kecil sudah lihai dan cerdas memilih guru yang betul-betul mendalam ilmunya dan tinggi moralitasnya, tidak sembarangan memilih guru. Karena pengaruh guru sangat besar dalam menyukseskan pendidikan murid-muridnya.
Pendidikan
Pendidikan Gus Ishom mulai tingkat Ibtidaiyah, Tsanawiyah sampai Aliyah diselesaikan di Tebuireng. Beliau selalu naik kelas dengan nilai yang tinggi. Setelah selesai pada tahun 1981, beliau melanjutkan studi di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur sampai tahun 1991 (sekitar 10 tahun). Lirboyo adalah pesantren yang sangat terkenal sebagai ‘gudang kitab kuning’, dimana kedalaman dan ketajaman memahami kitab kuning dikaji dan dikembangkan secara serius di pesantren ini.
Di Lirboyo inilah, cerita besar tentang Gus Ishom terukir indah. Sejak bersinar di Pondok ini, figur Gus Ishom digadang-gadang mampu menjadi pemimpin masa depan NU dan mampu mengembalikan kejayaan Pondok Pesantren Tebuireng seperti masa kakeknya dulu yang mampu menelurkan kiai-kiai alim hampir di seluruh pelosok Nusantara. Ekspose media terhadap figur Gus Ishom sangat besar. Ekspektasi besar media dan masyarakat bukan berakhir dengan kekecewaan. Gus Ishom benar-benar menempa diri dengan sungguh-sungguh di Pondok ini.
Gus Ishom mendapat perhatian khusus dari KH. Mahrus Ali. Beliau digembleng sendirian. Ada jadwal khusus mengaji antara Gus Ishom dan KH. Mahrus Ali. Hal ini didorong agar salah satu ‘putra mahkota Tebuireng’ ini mampu meneruskan estafet kepemimpinan Pondok Pesantren Tebuireng yang sarat dengan prestasi besar sebagai salah satu cikal bakal pondok pesantren di Indonesia.
Gaung bersambut. Harapan besar KH. Mahrus Ali tidak disia-siakan Gus Ishom. Beliau serius belajar untuk menguasai semua pelajaran dari guru-gurunya. Beliau menunjukkan minat yang besar pada seluruh bidang, fiqh, ushul fiqh, tafsir, hadits, balaghoh, nahwu, dan lain-lain. Gus Ishom mengaji hampir ke semua kiai di Lirboyo.
Ketika di Lirboyo ini, Gus Ishom langsung masuk kelas 1 Aliyah karena lulus tes seleksi, sebuah prestasi awal yang sangat membanggakan. Pada saat awal-awal di Lirboyo ini, kelebihan Gus Ishom belum kelihatan. Namun, menjelang tamat kelas 3 Aliyah, hampir semua orang angkat topi padanya. Kecerdasan yang digabungkan dengan kekuatan daya ingat yang luar biasa menjadikannya sebagai sosok yang unik, prestisius dan sulit tertandingi. Dari prestasi inilah, Gus Ishom sering menjadi delegasi Pondok Pesantren Lirboyo di berbagai acara Bahtsul Masail di berbagai pondok pesantren sebagai wahana 'uji kemampuan dalam mengkaji dan mengasah analisa dalam menjawab sebuah problematika'.
Di Lirboyo ini, Gus Ishom mendapat julukan “Mbah Wali”, karena beliau tidak pernah hadats, selalu dalam keadaan suci, selalu menjaga wudhu kapanpun dan dimanapun. Hebatnya lagi, Gus Ishom selalu membaca shalawat, bahkan saat mengaji sekalipun. Dus, saat mengaji, tangan menulis makna yang diberikan kiai sebagaimana tradisi di pesantren, pikiran mencerna dan memahami keterangan dan ulasan kiai, sedangkan mulutnya membaca shalawat.
Ketika datang bulan Ramadhan, Gus Ishom pergi ke pondok-pondok lain untuk 'pasanan' atau ‘pasaran’ seperti di Pesantren Kewagean Kediri Jatim dan Pesantren Kaliwungu Kendal Jateng. Pernah juga beliau pasanan bersama Gus Kafabih (putra KH. Mahrus Ali) mengaji kitab Fathul Wahhab.
Melihat kelebihan dan kecermelangan Gus Ishom ini, beliau pun diamanati menjadi pengajar (ustadz) di Pondok Lirboyo. Menurut penuturan murid sekaligus sahabatnya Gus Umar Shahib, saat mengajar, Gus Ishom jarang membawa kitab. Beliau sudah hafal pelajaran yang akan diajarkannya. Keterangannya enak dicerna, mudah dipahami, bisa mempermudah hal-hal sulit dan mempunyai muatan sastra yang tinggi. Selain itu, beliau juga dipercaya sebagai mustahiq (semacam wali kelas), bahkan yang termuda.
Prestasi demi prestasi mengantarkan Gus Ishom menduduki posisi Rais Aam M3HM (Majlis Musyawarah Madrasah Hidayatul Mubtadi’in), sebuah lembaga yang membawahi seluruh kegiatan Bahtsul Masail di Pesantren Lirboyo. Jabatan sebagai Rais Am ini sebagai lambang supremasi dan otoritas bidang kitab kuning, disamping menunjukkan kemampuan di bidang kepemimpinan dan management. Waktu itu, Gus Ishom sering menjadi moderator kegiatan tersebut. Dengan cerdas, tangkas dan efektif, Gus Ishom mampu memimpin jalannya Bahtsul Masail dengan enak dan segar. Setelah lama menjadi moderator, posisinya naik sebagai tim perumus yang menyimpulkan permasalahan yang ada dan merumuskan jawaban peserta.
Kuliah
Seakan tidak puas dengan ilmu yang didapat, di sela padatnya aktivitas yang harus dijalaninya Gus Ishom menyempatkan diri menimba dan mencari wacana baru di Perguruan Tinggi. Gus Ishom melanjutkan studi di Universitas Islam Kediri (UNIK) yang sekarang berubah menjadi UNIKA. Uniknya, ketika kuliah di UNIK ini, Gus Ishom juga mendaftarkan diri di Universitas Tribakti (Perguruan Tinggi di bawah naungan Pondok Pesantren Lirboyo) dan di IKAHA (Institut Keislaman Hasyim Asy’ari). Namun karena padatnya kegiatan, Gus Ishom hanya mampu menamatkan studinya di UNIK saja.
Saat kuliah, Gus Ishom selalu mendapat nilai A. Menurut dosennya, referensi yang digunakan Gus Ishom tergolong unik. Buku-bukunya rata-rata kuno (ejaan lama, sehingga sulit dibaca) yang luput dari perhatian orang. Menurut adiknya, Gus Zaki, hal ini karena Gus Ishom rajin datang di pasar Loak untuk mencari buku-buku lama yang tidak ada di pasaran. Buku-buku langka yang ditemukannya sangat membantu untuk menemukan ide dan inspirasi baru, seperti dalam penyusunan skripsi. Inilah yang menjadi salah satu alasan Gus Ishom mendapat tempat sendiri di kalangan para dosen.
Setelah selesai kuliah, Gus Ishom mendapat tawaran menjadi dosen dari pihak universitas, namun Gus Ishom tidak berminat. Saat lulus dari UNIK ini secara bersamaan Gus Ishom juga selesai menjalankan tugasnya sebagai seorang mustahiq selama kurang lebih 6 tahun.
Kepribadian
Kepribadian yang terpancar dari Gus Ishom sangat beragam dan penuh pesona. Beliau adalah orang yang tidak elitis, selalu akrab dengan murid-muridnya. Beliau tidak merasa ada jarak dengan murid-muridnya. Bahkan, ketika berbicara dengan murid-muridnya, Gus Ishom menggunakan bahasa Kromo Inggil (bahasa Jawa yang sangat halus) atau memakai bahasa Indonesia. Beliau senang menolong murid-muridnya yang sedang menghadapi kesulitan. Ketika ada muridnya yang kurang memahami pelajaran di kelas, beliau menerangkan lagi di kamar, tidak ada kesan ‘jual mahal’.
Gus Ishom adalah seorang low profile. Penampilannya apa adanya, tidak terlalu mencolok, sangat sederhana. Walaupun mampu membeli barang-barang mahal, namun beliau lebih menyukai kesederhanaan. Beliau terbiasa memakai sepeda mini jelek, vespa buntut, dan hal-hal yang menurut kebanyakan orang sangat remeh dan tidak pantas dipakai oleh seorang kiai atau gus. Gus Ishom cuek, tidak pusing dengan gunjingan orang. Beliau selalu percaya diri dan sangat yakin dengan apa yang dilakukannya.
Seringkali ketika diundang pada acara pengajian, sandal yang dibawa tidak pas (sisihan; istilah orang Jawa), satu merah dan satunya lagi hijau. Bahkan pernah ketika memberikan pengajian, sandalnya diambil orang. Akhirnya beliau pulang sambil nyeker (tanpa alas kaki).
Kedalaman ilmu dan kematangan dirinya membuat Gus Ishom menjadi sosok yang enak dan menawan, tidak senang menjadi beban orang lain dan sebisa mungkin membantu dan membahagiakannya. Dalam keluarga, ketika Gus Ishom marah, tidak pernah berbuntut panjang sehingga cepat selesai. Ketika ada masalah dan beliau tidak setuju, lebih memilih tidak berkomentar dan tidak ikut cawe-cawe.
Beliau fleksibel, tidak terlalu fanatik, moderat dan terbuka. Namun, dalam memegang prinsip hidup pada sesuatu yang diyakini kebenarannya beliau perjuangkan semaksimal mungkin, seperti tidak ada yang mampu menahannya. Misalnya ketika beliau sedang sakit, ada undangan pengajian di Cilacap. Kiai Yusuf Hasyim, pamannya, telah melarangnya untuk menghadiri acara pengajian atau diskusi. Namun karena sudah janji, beliau tetap pergi walau dalam keadaan sakit. Ini tidak lepas dari tanggungjawab besarnya pada umat. Gus Ishom lebih mementingkan kepentingan umat daripada kepentingannya sendiri.
Dalam menyampaikan ilmu, beliau menghindari kesan menggurui. Obyektivitas, kerendahdirian, dan kejujuran ilmiah sangat dijunjung tinggi. Beliau bukan sosok yang obsesif, ambisius dan meledak-ledak. Penyampaiannya datar, suaranya enak dan mudah dicerna, dan joke-jokenya mengalir dengan segar.
Hal lain yang menarik untuk digarisbawahi dari Gus Ishom adalah, beliau tidak suka menggunjingkan aib orang lain. Kalau ada orang yang menggunjing aib orang lain, beliau lebih memilih diam atau menghindar. Kalau beliau ikut, hanya dalam batas yang sangat proporsional, tidak berlebih-lebihan dan di sana ada unsur ta’dib (mendidik).
Dalam melangkah, Gus Ishom tidak tergesa-gesa, santai. Beliau mempunyai perhitungan dan pertimbangan yang matang dan tepat. Kesabaran, kedewasaan, kearifan dan kebijaksanaan Gus Ishom selalu terpancar dalam sikap perilakunya.
Penghormatannya kepada guru sangat besar. Ketika salah satu gurunya, KH. Idris Marzuki, menyuruhnya maka tidak ada kata tidak, pasti dilaksanakan. Hal ini tidak hanya ketika menjadi santri, tapi juga sesuah menjadi orang terkenal, penghormatan terhadap gurunya tidak berubah.
Setelah lama menempa diri di Lirboyo, akhirnya Gus Ishom boyong, kembali ke daerah asalnya, Tebuireng Jombang pada tahun 1991 dengan segenap ekspektasi yang tinggi dari masyarakat dan dengan segenap tanggungjawab besar yang menunggunya di Tebuireng.
Karir
Status darah biru yang diimbangi dengan kecermelangan dan kematangan menempatkan Gus Ishom sebagai 'the rising star' bak roket yang meluncur cepat ke angkasa. Tidak lama setelah kembali ke Tebuireng, berbagai aktivitas internal dan eksternal dijalani dengan intensitas yang tinggi. Mobilitas Gus Ishom semakin padat, selain harus mengajar di pesantren dan madrasah, ceramah di berbagai tempat, mengisi acara diskusi, seminar dan sejenisnya di berbagai forum ilmiah, juga aktivitasnya di bidang keorganisasian yang menyita banyak waktu.
Akhirnya, dalam usia yang relatif muda, jabatan-jabatan strategis disandangnya, antara lain:
1. Salah satu Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang.
2. Pengasuh Pondok Pesantren al-Masruriyah (khusus putri) Tebuireng Jombang.
3. Rais Syuriyah PWNU Jawa Timur.
4. Wakil Ketua RMI Pusat (Rabithah Ma’ahid Islamiyah, asosiasi pondok pesantren
seluruh Indonesia).
5. Politisi PPP meneruskan karir ibunya, bahkan pernah menjadi anggota DPRD Jombang.
6. Dan lain-lain.
Karya
Tidak seperti seorang kiai di Indonesia yang miskin karya, Gus Ishom sangat kelihatan dan menonjol di bidang ini. Beliau adalah seorang penulis handal di berbagai media masa, Nasional maupun lokal. Tulisan dalam bentuk opini, essai, cerpen, dan lain sebagainya tidak terhitung. Khusus dalam bidang sastra, Gus Ishom mempunyai keunikan sendiri. Bahasanya yang khas, dan sentuhan spiritualitasnya yang tinggi membuat sastra Gus Ishom bernilai tinggi. Kemampuan sastra Gus Ishom ini dilatarbelakangi oleh kesenangannya dalam bidang balaghoh, terutama bab badi’ yang bermuatan sastra tinggi.
Penulis ketika menghadiri bedah buku “Kun Fayakun” di Aula Pondok pesantren Tebuireng, dimana Gus Ishom menjadi salah satu narasumbernya, beliau tampil memukai dengan data-data yang segar dan ilmiah. Waktu diskusi itu, Gus Ishom menceritakan Kiai Hasyim ketika menjenguk Hj. Khodijah, ibu Gus Ishom, di RS Sumobito Jombang. Saat Kiai Hasyim melilhat ada sebuah gereja di sebelah rumah sakit yang ada kentongannya. Selepas Hj. Khodijah pulang dari rumah sakit, Kiai Hasyim memberikan fatwa haramnya menggunakan kentongan di Masjid atau tempat ibadah lainnya, seperti Mushalla. Yang dibolehkan hanya beduk.
Namun, Kiai Anwar Paculgowang Jombang tidak sepakat dengan pendapat Kiai Hasyim. Mereka kemudian berdiskusi, beradu argumentasi dan berpolemik lewat lisan maupun tulisan. Kiai Hasyim mengarang kitab “al-Jasus fi Ahkam an-Nuqush”, yang membahas haramnya kentongan karena ada unsur tasyabbuh (menyerupai) orang Kristen. Sedangkan Kiai Anwar konsisten dengan pandangan bolehnya kentongan karena sudah menjadi tradisi (adat) dan tidak ada pengaruhnya terhadap agama dan kepercayaan seseorang. Ia murni ikhbar (pemberitahuan) kepada masyarakat. Cerita-cerita unik semacam inilah yang mengasah kemampuan Gus Ishom membuat karya sastra semacam cerpen dan sejenisnya.
Ketika diundang dalam forum diskusi, beliau juga membuat makalah ilmiah yang argumentatif. Sayang, tulisan Gus Ishom di berbagai media massa dan makalah di berbagai forum tidak terdokumentasi dengan baik. Hanya naskah buku dan kitab yang dapat dinikmati hingga sekarang. Diantara karya-karya Gus Ishom yaitu:
1. Irsyad al-Mu'mimin
2. Audhah al-Bayan fi Ma Yata’allaq bi Wadzaif Ramadhan
3. Miftah al-Falah fi Ahadits an-Nikah
4. Biografi Kiai Hasyim Asy’ari
5. Tulisan di berbagai media massa dan makalah di berbagai forum diskusi.
Menemukan Karya Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari
Salah satu prestasi penting yang ditelurkan Gus Ishom adalah keberhasilannya menemukan karya-karya orisinil kakeknya, guru besar umat Islam Indonesia Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari. Bahkan sejak di Lirboyo menurut Gus Umar Shohib, Gus Ishom sudah rajin mencari, mengumpulkan dan mensistematisir karya-karya Mbah Hasyim Asy’ari untuk dijadikan dokumen yang bisa disebarluaskan. Namun saat di Lirboyo Gus Ishom belum sempat menerbitkannya. Baru ketika kembali ke Tebuireng, karya-karya Mbah Hasyim Asy’ari yang sangat berharga bagi komunitas NU khususnya dan umat Islam umumnya dapat diterbitkan untuk umum.
Gus Ishom mendapatkan karya Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari dengan perjuangan berat yang berliku-liku. Adakalanya beliau mencari kepada murid-murid Mbah Hasyim Asy’ari atau diberi naskah seseorang. Gus Ishom tidak menerima begitu saja naskah yang ada. Terlebih dahulu beliau memohon kepada ulama yang alim dan mempunyai kedekatan dengan Mbah Hasyim Asy’ari untuk mentashih dan mentahqiq (meneliti secara mendalam). Setelah itu, baru kitab tersebut diterbitkan.
1. Adab al-'Alim wa al-Muta’llim
2. Ziyadah at-Ta’liqat, berisi jawaban argumentasi untuk Syaikh Abdullah bin Yasin Pasuruan dalam kitab nadzamnya yang tidak sepakat dengan pengikut organisasi Nahdlatul Ulama
3. At-Tanbihat al-Wajibat li Man Yashna’ al-Maulid bi al-Munkarat
4. Arl-Risalah al-Jami’ah
5. An-Nur al-Mubin fi Mahabbat Sayyid al-Mursalin
6. Hasyiyah 'ala Fath ar-Rahman bi Syarh Risalah al-Wali Ruslan li Syaikh Islam
Zakariyya al-Anshari
7. Ad-Durar al-Muntasirah fi al-Masail at-Tis’a ‘Asyarah
8. At-Tibyan fi an-Nahyi an Muqatha’at al-Ikhwan
9. Ar-Risalah at-Tauhidiyyah
10. Al-Qalaid fi Bayan Ma Yajibu min al-Aqaid
11. Dan masih banyak lagi lainnya.
Secara global semua karya Kiai Hasyim Asy’ari sekarang dijadikan satu jilid dengan nama “Irsyad as-Sari” oleh adik Gus Ishom, Gus Zakki. Kitab ini sudah beredar luas di berbagai tempat di Indonesia. Sehingga sangat penting dibaca dan dipahami, khususnya kalangan NU.
Keluarga
Gus Ishom menikah dengan seorang santri dari Pondok Pesantren Seblak asal Pacitan Jawa Timur, namanya Nia Daniati binti KH. Abdul Mu'id Anwar. Dari pernikahan ini lahirlah satu orang putra bernama Muhammad Hasyim Anta Maulana dan satu orang putri bernama La Tahzani Innallaha Ma’ana.
Menurut pengakuan mertuanya, KH. Abdul Mu'id Anwar yang merupakan alumni Pondok Pesantren Tebuireng, Gus Ishom adalah orang yang mampu membina mahligai rumah tangga secara harmonis. Ketika sedang di rumah mertua di Pacitan, Gus Ishom tidak mau makan kalau tidak bersama istri. Beliau siap menunggu kadatangan Sang istri walau harus menunggu lama.
Walaupun sebagai menantunya, KH. Abdul Mu'id Anwar menganggap Gus Ishom adalah sebagai gurunya. Karena sejak di Tebuireng, ia selalu melihat Kiai Idris Kamali mencium kening Gus Ishom selepas shalat. Dan tidak sembarang orang yang keningnya bisa dicium Kiai Idris.
Wafatnya
Di tengah padatnya kegiatan yang dijalaninya, tidak terasa Gus Ishom kurang perhatian terhadap kondisi kesehatan tubuhnya. Akhirnya beliau jatuh sakit. Salah satu penyakitnya adalah asam urat. Ketika sudah kelihatan sembuh, beliau kembali beraktivitas lagi yang memerlukan kesehatan fisik prima. Beberapa saat kemudian beliau jatuh sakit lagi.
Ternyata Allah berkehendak mengambil ruh suci dari raga kiai muda, sang penerus estafet keilmuan sang kakek pada hari sabtu 26 Juli 2003 sekitar pukul 06.30 WIB. di Rumah Sakit William Booth Surabaya pada usia yang masih sangat muda 37 tahun. Kewafatan Gus Ishom sontak menggemparkan Jawa Timur. Halaman Pondok Pesantren Tebuireng sesak dengan para pelayat dan pentakziah dari berbagai penjuru, mulai para kiai, santri, murid, birokrasi, politisi dan masyarakat umum.
Saat pemakaman ini, Allah menurunkan hujan pertanda bahwa Gus Ishom adalah hambaNya yang dicintai dan disayangiNya. Semoga ruh Gus Ishom diterima di sisi Allah, ditinggikan derajatnya, diampuni dosanya, dan mendapatkan balasan yang berlipat-lipat dari amal perbuatan yang dilakukannya di dunia, berupa benih-benih kebaikan di masyarakat. (Disarikan dari tulisan Jamal Ma’mur Asmani, murid Gus Ishom Hadziq).
Saya selalu meRasa sedih kalau membaca kisah gus ishom, bahkan sdh beberapa kali baca
BalasHapusInsyaallah..sinar gus ishom akan semakin terang melalui muhammad hasyim...