Halaman

Kamis, 17 September 2015

MENJADI KYAI TIDAK PERLU RENCANA

Meski dirinya sudah masyhur sebagai kyai ternama, murid dari Mbah Khozin Buduran, Mbah Munir Jambu Madura, Mbah Kholil Bangkalan, Mbah Hasyim Asy'ari dan Mbah Romli Tamim, yang sejak usia mudanya sudah menjadi singa podium, hidup Kyai Utsman al-Ishaqi tidak semudah dan senyaman yang kita bayangkan. Pernah beliau bekerja di PLN di Surabaya selama 5/7 bulan tak digaji sedikitpun. Begitupun saat mengajar di Tasywirul Afkar, bentukan Mbah Wahab Hasbullah, selama beberapa bulan tak digaji. "Namanya saja baru berdiri, itung-itung dalam masa percobaan," jawab Mbah Wahab. Tidak ada keluhan sedikitpun dari Kyai Utsman.

Pada akhirnya beliau diminta oleh gurunya untuk fokus mengajar. Proses pertama mengajarnya Mbah Utsman dimulai dari mengajar anak-anak kecil dari masyarakat sekitar Jatipurwo dan menempati sebuah mushalla di kampung Sawahpulo yang bersebelahan dengan kampung Jatipurwo. Model pengajaran pertama beliau adalah dengan mengajak anak-anak didiknya berkeliling kampung dengan bacaan-bacaan ayat suci al-Quran, doa-doa dan bacaan shalawat (Burdah). Setelah berkeliling, barulah berkumpul di mushalla dan memulai pelajaran mengajinya.

Karena banyaknya anak-anak yang mengaji, akhirnya masyarakat sekitar bermusyawarah agar Mbah Utsman mendapatkan tempat yang lebih layak dalam menjalani praktek ajar-mengajar. Keputusan musyawarah adalah dengan memindahkan mushalla yang tidak terpakai dan berukuran agak besar di kampung Jatisrono, kampung sebelah utara dari kampung Jatipurwo.

Seiring berkembangnya waktu, ada banyak tamu dari luar kota yang sering menginap di mushalla tersebut dan disinyalir merupakan kyai-kyai sepuh termasuk diantaranya Mbah Zubeir Sarang, Mbah Wahab Hasbullah, Mbah Dimyathi Termas hingga sang gurunya sendiri yaitu Mbah Romli. Hal yang demikian mengetuk hati salah satu pengusaha keturunan Arab menyumbangkan kayu dan beberapa kebutuhan untuk membangun 4 ghota'an (kamar-kamar yang dibangun sejajar) di sebelah timur mushalla, persis di depan kediaman Mbah Utsman.

Di kemudian hari, dari 4 ghota'an inilah akhirnya menarik perhatian orang yang ingin memasrahkan anaknya untuk dididik Mbah Utsman. Terutama dari Pulau Bawean yang perjalanannya ditempuh selama 3 hari 3 malam dengan menggunakan perahu kayuh.

Di saat mengajar anak-anak kecil itu Mbah Utsman sering mendapatkan teror dari orang-orang yang tidak berkenan terhadap praktek mengajar ngaji yang dijalani beliau hingga pada ancaman pembunuhan. Beberapa kali Mbah Utsman dikalungi celurit. Maklum, karena Jatipurwo dari sejak jaman penjajahan dulunya merupakan tempat bersarangnya lokalisasi PSK, sarang pemabuk, sarang judi, dlsb.

Pernah suatu ketika para santri Jatipurwo diboyong ke Rejoso Jombang karena situasi politik Indonesia yang tidak stabil, yakni maraknya kerusuhan-kerusuhan yang didalangi partai PKI. Mbah Utsman pun turut memboyong semua anggota keluarganya ke Jombang. Konon Mbah Utsman tinggal di desa sebelah barat yang bersebelahan dengan Rejoso dan para santrinya tinggal di pesantren sang guru, di Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso Jombang.

Saat di Jombang itulah, disamping mengajar para santri, rutinitas beliau dalam menafkahi keluarga dengan berjualan tembakau. Jangan dikira dari jualan tembakau itu beliau meraup untung banyak, laku pun tidak. Malah dalam situasi seperti ini yang sangat merasakan untungnya adalah santri-santri Pondok Darul Ulum (teman Mbah Utsman) karena dapat tembakau geratis. Namun sekali lagi hal itu tetap dijalani dan dihadapinya dengan sabar dan tawakkal. Sampai akhirnya kembali ke Jatipurwo Surabaya saat situasi sudah aman. 

Dari mushalla kecil dan 4 ghota'an itulah cikal-bakal berdirinya Pondok Pesantren Darul Ubudiyyah Raudhatul Muta'allimin Jatipurwo, Semampir, Surabaya. Dan sampai sekarang pesantren tersebut tetap eksis menampung dan mendidik para santri. Dengan pengasuh salah satu putra Mbah Utsman, yakni KH. Ahmad Minanurrahman bin M. Utsman al-Ishaqi. Hadhratus Syaikh KH. M. Utsman al-Ishaqi wafat pada tahun 1984 M. (Sumber cerita: KH. A. Danyalin bin KH. A. Minanurrahman bin KH. M. Utsman al-Ishaqi).

5 komentar: