Halaman

Senin, 14 September 2015

Mbah Kyai Ahmad Siroj Solo

KH. Ahmad Siroj, dikenal dengan sebutan Mbah Siroj Solo, berpakaian khas dengan memakai iket (blangkon), berbaju putih, bersarung ‘wulung’ dan memakai ‘gamparan’ tinggi walau sedang bepergian jauh. Beliau dikenal sebagai seorang ulama yang arif, shaleh dan mempunyai kharisma. Setiap ucapannya, konon, memiliki sejumlah makna (sasmita). Bahkan di jajaran Kota Solo, beliau dikenal sebagai seorang Waliyullah dengan beberapa karomah yang dimilikinya.

Putra Seorang Waliyullah

Kyai Ahmad Siroj adalah putra Kyai Umar (lebih dikenal dengan nama Kyai Imam Pura), salah seorang yang dikenal pula sebagai Waliyullah. Makam Kyai Imam Pura berada di Susukan, Kabupaten Semarang. Kyai Imam Pura masih memiliki garis keturunan dengan Sunan Hasan Munadi, salah seorang paman R. Fatah yang ditugaskan mengislamkan daerah lereng Gunung Merbabu sebelah utara, atau sekarang dikenal sebagai Desa Nyatnyono.

Kyai Ahmad Siroj mempunyai beberapa saudara, diantaranya adalah Kyai Kholil Kauman Solo dan Kyai Djuwaidi Tengaran Semarang. Keduanya sudah almarhum.

Semasa mudanya, Kyai Ahmad Siroj selalu ta’dzim pada gurunya. Bila berjanji selalu ditepati. Bila berkesanggupan, pasti dijalani. Sejak kecil memang beliau telah kelihatan menonjol bila dibandingkan dengan teman-teman seusianya.

Beliau bergaul dengan semua lapisan masyarakat tanpa membedakan suku, agama, ras maupun status sosial dan kelompok moral macam apapun. Dengan penjual bakso di Notosuman yang beragama Katolik dan seorang Tionghoa, beliau berhubungan baik dan saling berkunjung. Bahkan hingga kini setiap ada haulnya Kyai Ahmad Siroj, penjual bakso tersebut berkenan mengirim tiga kambing serta beberapa kuintal beras untuk menyukseskan acara tersebut.

Dengan Romo Petrus Sugiyanto, dijalin juga persahabatan. Kyai Ahmad Siroj sering diundang makan dan sering melakukan sholat di rumahnya. Begitupun Romo tersebut sering mengunjungi beliau.

Kyai Ahmad Siroj tidak segan makan satu piring dengan santrinya atau orang yang menginginkan mendekati beliau. Bila mereka butuh uang, beliau tidak segan-segan membantunya. Sebaliknya, bila beliau meminta uang, bukan untuk diri pribadi tapi untuk orang lain yang membutuhkannya.

Guru-guru Kyai Ahmad Siroj

Sewaktu masih muda, Kyai Ahmad Siroj berguru kepada beberapa ulama besar diantaranya:
- Di Pesantren Mangunsari Nganjuk Jawa Timur, beliau menimba ilmu kepada Kyai Bahri.
- Di Pesantren Tremas Pacitan Jawa Timur, beliau berguru kepada KH. Dimyati at-Termasi.
- Di Semarang, beliau berguru kepada Kyai Sholeh Darat.

Dikenal Ahli Ibadah

Kyai pengikut Thariqah Qadariyah Naqsabandiyah ini terkenal sebagai ‘abid (ahli ibadah). Beliau senantiasa berjamaah shalat lima waktu, jarang sekali beliau shalat sendirian. Shalat sunnah rawatib, qabliyah dan ba’diyah selalu dijalankan secara lengkap. Yang empat rakaat dijalankan empat rakaat.

Shalat Dhuha dilaksanakan oleh beliau secara kontinyu sebanyak delapan rakaat, meskipun sedang berada di rumah orang lain. Sedangkan antara Maghrib dan Isya, beliau melakukan shalat Awwabin.

Doa yang banyak dipanjatkan oleh beliau adalah: “Ya Allah, Tuhan kami, Engkaulah yang kami tuju dan ridhaMu yang kami cari. Berilah kepada kami ridhaMu dan kecintaanMu serta ma’rifatMu.”

Silaturahmi termasuk ibadah yang beliau gemari dan rajin dilakukan. Beliau acapkali menerima tamu dari pelbagai kalangan dan tamu-tamu itu dilayaninya dengan baik. Saat tengah malam tiba, beliau selalu bangun untuk menjalankan shalat Tahajjud atau qiyamullail.

Semasa hidup, beliau mendirikan pesantren di Jalan Honggowongso 57 Kelurahan Panularan, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah di atas tanah seluas 200 m². Kitab yang diajarkan oleh beliau, selain al-Quran dan al-Hadits, adalah Sullamut Taufiq, Safinatun Najah, Duratul Bahiyyah dan Fathul Qorib. Selain itu banyak pula ajaran beliau yang sifatnya hafalan.

Beberapa Karomah Mbah Siroj

Kyai Ahmad Siroj memiliki beberapa karomah sebagai perwujudan kewaliannya. Yang dimaksud karomah di sini adalah kejadian yang luar biasa, di luar kebiasaan, yang timbul dari Waliyullah. Kalau timbul dari Nabi disebut mu’jizat, sedangkan dari mukmin yang shaleh dinamakan ma’unah. Beberapa karomah yang ada pada diri beliau diantaranya adalah:

a. Kasyaf

Beliau mempunyai kemampuan melihat yang tidak diketahui oleh mata biasa (kasyaf). Peristiwa ini terjadi saat tentara Belanda akan masuk Kota Solo ketika aksi kolonial kedua atau dikenal sebagai clash ke-2 pada tahun 1948. Satu seksi lascar Hizbullah yang terdiri dari 50 orang, berkumpul di Begalon, Panularan. Kyai Ahmad Siroj tiba-tiba datang mengadakan inspeksi.

Seorang anggota lascar Hizbullah bernama Hayyun, 25 tahun, tiba-tiba didekati beliau lalu dipeluknya seraya berucap: “Ahlul jannah … ahlul jannah”.

Tak lama kemudian, datang tentara Belanda dengan sejumlah pasukan tank, lewat Pasar Kembang ke arah selatan. Hayyun maju dengan beraninya sendirian sambil membawa granat nanas, lalu dicabutnya dan melompat sambil melempar granat ke arah tank. Ketika tank meledak, terbakarlah tentara Belanda yang berada di dalam tank juga termasuk Hayyun, si pelempar granat tersebut.

Menurut salah seorang saksi mata, H. Abdullah Adnan, veteran pejuang RI eks Laskar Hizbullah dan pasukan “Lawa-Lawa” di bawah komandan Letnan Fathul Rujito yang kini tinggal di Yogyakarta, menuturkan bahwa tahulah kemudian Laskar Hizbullah, teman-teman Hayyun, mengapa beberapa saat sebelumnya mBah Siroj memeluknya sambil berucap “ahlul jannah … ahlul jannah”. Begitulah, Hayyun gugur sebagai syuhada, patriot bangsa.

b. Berulangkali berhaji

Secara lahiriah, Kyai Ahmad Siroj belum pernah menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Tetapi banyak orang yang ke tanah suci Mekkah bertemu beliau di sana. KH. Bulqin Zuhdi, salah seorang murid pertama Kyai Ahmad Siroj yang bermukim di Nglangak, Gemolong, Sragen menceritakan bahwa pada tahun 1937 dirinya menunaikan ibadah haji. Berangkat dengan naik kapal laut bersama 1960 orang jamaah haji lainnya.

Sehabis makan siang, Kyai Bulqin berkata dalam hati, bila sampai di Mekkah pada hari Jum'at waktu Shubuh, akan dicarinya Mbah Siroj. Sebab, sering didengarnya ada seorang waliyullah sering shalat Shubuh di Mekkah pada hari Jum'at. Sesaat kemudian, tiba-tiba datanglah Kyai Ahmad Siroj menemuinya di kapal. Ditanyakan antara lain, siapakah syaikhnya di tanah suci nanti. Setelah berbincang sejenak, Kyai Ahmad Siroj tidak dilihatnya lagi. Sudah barang tentu, muridnya tersebut merasa keheranan.

Ketika sudah sampai di Mekkah, Kyai Bulqin hendak menjalankan shalat Shubuh. Kyai Bulqin berpikir lagi tentang kemungkinan-kemungkinan gurunya juga menunaikan shalat Shubuh di Mekkah. Mungkinkah Kyai Ahmad Siroj juga datang seperti kisah yang pernah didengarnya.

Sewaktu berada di dekat Hajar Aswad, tiba-tiba tampak olehnya Mbah Siroj sedang melakukan tawaf, mengelilingi Ka’bah dengan memakai iket (blangkon), berbaju putih, bersarung ‘wulung’ tanpa gamparan. Diikutinya putaran demi putaran. Pada putaran ke tujuh Kyai Bulqin hendak menyalami Mbah Siroj, namun pada putaran terakhir sudah tidak tampak lagi.

Meski menyesal tidak dapat bersalaman dengan Mbah Siroj, kini Kyai Bulqin menjadi yakin bahwa yang tidak mungkin bagi orang biasa bagi waliyullah seperti Kyai Ahmad Siroj mungkin-mungkin saja.

c. Berjalan Super Cepat

Waktu Kyai Shoimuri, putra Kyai Ahmad Siroj, selesai mengadakan akad nikah dengan Nyai Latifah di daerah Boyolali, rombongan Kyai Ahmad Siroj hendak segera pulang ke Solo bersama 33 santrinya. Kyai Bulqin, salah seorang murid santrinya, disuruh mengantarkan pulang rombongan Nyai Siroj dengan naik kereta api. Ia disuruh berangkat lebih dahulu, sedangkan Kyai Ahmad Siroj akan menyusul dengan jalan kaki.

Anehnya, rombongan Kyai Bulqin baru sampai Ngapeman sedangkan Mbah Siroj sudah sampai di rumahnya di Panularan, Laweyan, Solo. "Bagaimana hal itu dapat terjadi?" pikir para rombongan yang berangkat lebih dahulu tersebut.

Kejadian serupa juga dialami oleh Nyai Sa’diyah Ali. Suatu ketika bersama Kyai Ahmad Siroj bepergian ke Boyolali dari Karang Gede. Waktu berangkat sudah adzan Maghrib. Sesampai di Masjid Dawung, Boyolali, belum qomat, masih pujian. Padahal kedua tempat itu jauh dan ditempuh dengan jalan kaki.

H. Dasuki pun pernah mengalami hal serupa. Suatu ketika diminta Mbah Siroj mengikuti beliau bepergian dari Desa Paesan ke Boyolali yang jaraknya sekitar 10 km. Sesampainya di tempat yang dituju, tasbih Kyai Ahmad Siroj masih tertinggal di Paesan. Lalu, disuruhnya H. Dasuki mengambilkannya, berjalan kaki pulang balik. Waktu berangkat sudah adzan Maghrib. Anehnya, waktu kembali di Masjid Kokosan, Boyolali, belum qomat Maghrib. Menurutnya, itu berkah Kyai Ahmad Siroj.

d. Nasi Satu Kendil

Suatu ketika Kyai Ahmad Siroj bepergian bersama 24 santrinya ke Susukan Semarang dari Solo. Tuan rumah yang dikunjungi termasuk orang tidak mampu (miskin). Untuk memuliakan tamu, dimasakkannya oleh Abdus Syakur, tuan rumah, satu kendil nasi. Karena nasi terbatas, Kyai Ahmad Siroj sendirilah yang dipersilakan makan di dalam kamar.

Namun Kyai Ahmad Siroj tidak bersedia. Nasi dimintanya dihidangkan di ruang depan. Para santrinya sedang duduk bersila di situ. Nasi satu kendil itu dibagi-bagikan kepada semua tamu. Anehnya, setiap orang mendapatkan satu piring penuh, cukup untuk makan kenyang.

e. Erat dengan Para Raja

Sekitar tahun 1935, Kyai Ahmad Siroj mengajak Imam Muslim bepergian. Sesampai di Pura Mangkunegara, mereka terus masuk. Di Pendapa Mangkunegaran, Kyai Ahmad Siroj bertemu dengan seseorang yang tidak dikenal oleh Imam Muslim. Dua insanpun segera saling berpelukan erat, menggambarkan saling melepas rindu, setelah lama tak bersua. Lalu, mereka menuju ke belakang, duduk berhadapan sambil berbincang seperlunya.

Akhirnya, mengertilah Imam Muslim bahwa yang saling berbincang antara Kyai Ahmad Siroj dengan orang tersebut tidak lain adalah Kanjeng Gusti Adipati Arya (KGAA) Mangkunegara VII. Perbincangan tersebut berakhir sekitar pukul 02.30 dini hari, lalu mereka segera meninggalkan Pura Mangkunegaran. Sesampai di Pasar Pon, pohon asam yang berdahan tinggi diraih Kyai Ahmad Siroj untuk menghentikan sepeda motor yang datang dari arah timur. Penumpangnya pun berhenti, lalu turun.
Sebagaimana kejadian di Pura Mangkunegaran, di tempat inipun keduanya saling berpeluk erat, menunjukkan keakraban. Setelah berbincang sejenak, berpisahlah keduanya.

Dari percakapan Kyai Ahmad Siroj dengan penumpang motor tersebut, Imam Muslim barulah mengetahui bahwa ternyata yang bersepeda motor lalu berhenti dan bercakap-cakap dengan Kyai Ahmad Siroj, tidak lain adalah Ingkang Sampeyandalem Sri Susuhunan Paku Buwono X, Raja Kasunanan Surakarta yang termahsyur.

f. Pintu Terkunci, Bisa Masuk

Semasa kecil, Ahmad Siroj, tinggal serumah dengan Kyai Abdus Syakur, kakak iparnya. Sesekali anak ini kena ‘slenthik’ karena kenakalannya. Suatu malam, Kyai Abdus Syakur pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat. Pintu rumah pun kemudian ditutup, dan dikunci dari luar. Maklum, Ahmad Siroj di kala itu sedang pergi ke luar rumah juga.

Sepulang shalat Isya, Kyai Abdus Syakur merasa heran. Sesampai di halaman rumahnya, dari dalam rumah sudah terdengar suara anak sedang tadarrus dengan suara yang nyaring. Anak yang sedang tadarrus itu adalah Ahmad Siroj. Lalu ditanya: “Kau lewat mana, Nak?”

Dijawab oleh Ahmad Siroj: “Inggih lewat mriku mawon.” (Ya melalui situ juga).

Sejak itu, Kyai Abdus Syakur tak pernah lagi memberi ‘slenthikan’ padanya. Kali yang lain, Kyai Abdus Syakur pergi ke Desa Petak untuk mendatangi acara syukuran perkawinan. Ahmad Siroj yang masih bocah di kala itu disuruh tinggal di rumah. Alangkah terkejutnya, sesampai di tempat upacara perkawinan, ternyata Ahmad Siroj telah berada di situ.

Seusai upacara perkawinan, Kyai Abdus Syakur pun pulang lebih dahulu. Tidak kurang herannya, sesampai di rumah, Ahmad Siroj telah berada di dalam rumah. Lalu, hal itu ditanyakan kepada Ahmad Siroj, dan dijawab: “Kang, jarene aku kon tunggu omah.” (Kak, katanya saya disuruh nunggu rumah).

g. Meski Hujan Tak Basah

Bersama dua santrinya, suatu ketika Kyai Ahmad Siroj bepergian ke  Desa Penggung. Ketika pulang, di tengah jalan turunlah hujan lebat. Terpaksalah berhenti, mampir ke Desa Grabagan. Kedua santri yang mengikuti Kyai Siroj basah kuyup bajunya, tetapi Kyai Ahmad Siroj tidak apa-apa, tetap kering bajunya.

h. Sungai Banjir Besar Terlewati

Suatu hari, Kyai Siroj bersama seorang santri pergi menuju ke Desa Magu. Untuk keperluan shalat Dhuha, berhentilah sebentar di Desa Rejasa. Seusai mengucapkan salam, santripun disuruhnya berangkat terlebih dahulu. Kyai Ahmad Siroj akan menyusulnya kemudian.

Dalam perjalanannya, santri tersebut terhenti di tengah jalan karena harus menyeberangi sungai yang airnya sedang besar-besarnya. Tak disangka, Kyai Ahmad Siroj dilihatnya telah berada di seberang sungai. Dengan berteriak, santri pun bertanya: “Gus, Sampeyan niku wau medal pundi?” (Gus, Anda tadi lewat mana?)

Jawab Kyai Ahmad Siroj: “Ah, ya metu kono kuwi ta, lha metu ngendi maneh!” (Ah, ya melalui situ juga, lha lewat mana lagi kalau bukan di situ!)

Karena santri tersebut disuruh menyeberang tidak berani, Kyai Ahmad Siroj perintahkan padanya agar pulang saja.

i. Bak Air Kosong, Penuh Tiba-Tiba

Pada suatu ketika, Kyai Ahmad Siroj sedang berkunjung ke rumah Muhyi di Cepogo. Bak air (pengaron) yang berada di rumahnya, diminta oleh Kyai Ahmad Siroj untuk dibersihkan agar supaya bisa diisi dengan air.

Setelah pengaron bersih, Muhyi lalu pergi ke sumur untuk mengambil air guna diisikan pada pengaron tadi. Namun, alangkah terkejutnya ketika Muhyi hendak menuangkan air ke dalam pengaron tersebut, ternyata pengaron kosong tadi telah penuh berisi air.

j. Impian Jadi Kenyataan

Pada suatu saat, Kyai Ahmad Siroj memerlukan shalat Jum'at berturut-turut selama 7 Jum'at di masjid yang di kemudian hari dikenal dengan nama Masjid Al-Muayyad yang terletak di Jalan KH. Samanhudi 64 Mangkuyudan, Solo.

Pada malam Jum'at minggu ke-7, Kyai Asfari (kala itu berstatus duda) mimpi dianjurkan Kyai Ahmad Siroj agar menikah dengan Nyai Syafi’ah. Jum'at siang, sehabis shalat Jum'at di Masjid Al-Muayyad, Kyai Ahmad Siroj singgah ke rumah dekat masjid tersebut. Di samping Kyai Asfari berada di situ, juga KH. A. Umar Abdul Mannan. Jamuan makan siang pun disajikan. Kebetulan yang menghidangkan Nyai Syafia’ah juga.

Seketika itu juga, Kyai Ahmad Siroj memerintahkan agar Kyai Asfari pergi (sowan) ke rumah Kyai Manshur di Popongan, Delanggu, Klaten. Ternyata perintah Kyai Manshur sama dengan Kyai Ahmad Siroj sebelumnya. Malah ditetapkan hari tanggalnya sekaligus. Setelah diingat-ingatnya, ternyata 3 tahun yang lalu KH. A. Umar Abdul Mannan pernah diperintah memotong kambing pada hari/tanggal tersebut (tepat pada hari/tanggal ijab Kyai Asfari dengan Nyai Syafi’ah).

k. Meninggal, Beri Impian

Ketika Kyai Ahmad Siroj sakit yang selanjutnya meninggal dunia pada Senin Pahing, 27 Muharram 138 H/10 Juni 1961 M, Kyai Zaenal Makarim (Karang Gede) mimpi bertemu Kyai Ahmad Siroj. “Mengapa saya sakit tak kau jenguk?” Tanya Kyai Ahmad Siroj kepada Kyai Zaenal Makarim dalam mimpi.

Terperanjatlah Kyai Zaenal Makarim, lalu seketika beliau berangkat ke Solo untuk menjenguk Kyai Ahmad Siroj. Sesampai di Solo, ternyata jenazah telah diberangkatkan sampai di Jalan Rajiman, Kadipolo. “Innalillahi wainna ilaihi raji’un. Dari Allah kita berasal, dan kepadaNya pula kita akan kembali” ucapnya kemudian.

Kejadian serupa juga dialami oleh Sayyid Abdullah di Kepatihan, Solo. Pada pagi hari itu, sekitar pukul 05.00 WIB mimpi didatangi Kyai Ahmad Siroj, dan membangunkannya seraya berucap “Sampun nggih Bib, kula rumiyin, sampeyan kantun.” (Sudah dulu ya Bib, saya duluan, Anda nanti menyusul).

Alangkah terkejutnya Sang Habib. Seketika itu pula, Sayyid Abdullah pergi ke Panularan di rumah Kyai Ahmad Siroj. Ternyata dapat berita, bahwa Kyai Ahmad Siroj telah meninggal dunia pada pukul 04.00 pagi hari itu. “Anehnya, pukul 04.00 pagi Kyai Ahmad Siroj meninggal, pukul 05.00 laksana berkunjung ke Kepatihan”, kata Sayyid Abdullah dalam hati tidak kurang herannya.

Doa pun segera dipanjatkan bagi almarhum Kyai Ahmad Siroj. Kyai Ahmad Siroj dikebumikan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Makam Haji, Kartasura, Sukoharjo.

Semasa hidup, Kyai Ahmad Siroj tidak pernah mengaku sebagai seorang waliyullah secara pribadi. Namun, banyak orang mengakui kewalian almarhum beserta karomahnya. Contoh di atas hanyalah sebagian karomah yang dimiliki Kyai Ahmad Siroj untuk membuktikan kewalian almarhum. Tentu saja masih banyak karomah lain yang belum terungkap di sini. Karena masih banyak cerita di masyarakat Solo perihal ‘keistimewaan’ Kyai Ahmad Siroj dalam kepribadiannya. (Disadur ulang dari: Hakim Adnan, 1989, Mengenang Jejak Kyai Ahmad Siroj/Sala Masyhur: Waliyullah, Berkaromah Banyak (1878-1981/83 Tahun), Sala: Pondok Pesantren As-Siroj).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar