Tulisan ini diposting atas perintah dari Ustadz Abdul Wahab. Ini adalah catatan pribadi simpanan saya dan mohon maaf jika ada kurang atau keterangan yang tidak lengkap juga jika ada kesalahan kata-kata akibat kealpaan dan keterbatasan saya.
Tegal, kota kecil ini menyimpan perbendaharaan ulama, tradisi dan akar sejarah Islam yang menakjubkan. Hampir setiap gang di desa-desa di kota ini setiap malam Jum’at tidak lepas dari rutinitas religius seperti membaca yasin, tahlil, asmaul husna dan istighatsah. Pengajian dan majelis taklim Ahlusunnah wal Jama'ah bertaburan dimana-mana bak permata yang menaburkan keindahan di setiap sudut kota yang kami cintai ini.
Kami berkesempatan mengunjungi acara Kliwonan di Cikura. Nama acara lengkapnya adalah “Pengajian Akbar dan Istighatsah Kubro Malam Jum’at Kliwon di Desa Cikura, Bojong Kab. Tegal” atau akrab dan pendeknya kami sebut “Kliwonan Cikura”. Acara besar ini merupakan acara rutin dari Pondok Pesantren Attauhhidiyyah di Tegal dan Cikura untuk masyarakat umum secara luas. Saat ini nama pondok pesantren di Giren berubah menjadi pondok Syeh Said Bin Syeh Armia dan di Cikura berubah nama menjadi pondok Syeh Armia Bin Syeh Kurdi. Susunan acara dimulai dari pembacaan yasin dan tahlil juga ziarah kubur, kajian kitab Sulam at-Taufiq dan ad-Dasuqi, pembacaan asmaul husna dan shalawat Mudhariyyah serta ditutup dengan istighatsah bersama.
Ribuan orang berbondong-bondong memadati acara dari berbagai penjuru datang ke desa ini melawan udara nan dingin menusuk. Ada yang datang dari Jakarta, Cirebon, Banjarnegara, Pemalang, Pekalongan, Batang, dan tentu dari Tegal sendiri dengan berbagai kendaraannya masing-masing menempuh jalan terjal dan berbukit. Mereka hadir dengan niat mencari ilmu, berkumpul bersama ulama dan para sholihin dan mencari keberkahan majelis dzikrullah.
Malam Jum’at Kliwon, 18 September 2015, saya tiba kira-kira sehabis Isya ketika maulid sedang dibaca. Setelah doa maulid selesai kemudian para hadirin membaca doa ta’lim dan kalamun qodimun yang dipimpin oleh pengasuh pondok pesantren, yaitu KH. Ahmad Saidi. Semoga Allah Swt. memanjangkan umur dan memberikan kesehatan senantiasa kepada beliau.
a. Pengajian KH. Ahmad Saidi
Pengajian pun dimulai dengan melanjutkan keterangan beliau perihal isi kitab Sulam at-Taufiq bab maksiat hati. Diterangkan bahwasanya, "kita perlu mewaspadai maksiat hati karena itu sifatnya samar-samar. Di dunia ini ada maksiat yang kelihatan ada yang tidak. Beberapa contoh maksiat yang tidak kelihatan seperti menganggap remeh orang lain, mengecilkan orang lain, riya dll."
"Misalnya ketika kita shalat Tahajud, tapi di hati berkata: "Wah orang-orang sedang terlelap tidur, sedang saya shalat". Atau ketika kita memakai pakaian, memakai minyak wangi, ternyata agar dipuji orang. Kita niat mengeluarkan makanan supaya dianggap murah hati, bukan niat lillahi ta'ala tapi niat karena manusia. Sesungguhnya maksiat itu secara pembagian ada yang khafi (tidak kelihatan) ada yang jalli (kelihatan). Berbagai contoh kongkrit dipaparkan dalam keterangan ini secara lengkap dan detail oleh Kyai Ahmad Saidi.
Ada contoh penting relevan dengan bulan haji ini tentang bagaimana orang yang kelihatan beribadah tapi ternyata sedang maksiat. Orangnya memakai kopyah tapi demi dipanggil haji, supaya terhormat, supaya terlihat di mata masyarakat sebagai “haji”. Ini adalah ibadah tapi aslinya sedang maksiat. “Amalnya bisa bubar semua pahalanya sebab maksiat hati”, pesan beliau.
Beliau melanjutkan dengan satu cerita, "pernah terjadi di Jaman Mbah Kholil Bangkalan. Suatu hari Mbah Kholil mengumumkan pada santri-santrinya bahwasanya beliau akan kedatangan Nabi Khidir. Santri-santripun kemudian bergegas bersiap-siap, memakai wewangian dan pakaian-pakaian terbaiknya untuk menyambut Nabi Khidir ini.
Kemudian di luar dugaan mereka, datanglah seorang tentara Belanda yang mukanya sangat bengis dan seram sehingga murid-murid Mbah Kholil pun panik dan mengambil senjata-senjata seadanya seperti bambu, parang dan lain-lainnya takut-takut gurunya akan disakiti oleh tentara itu. Tetapi Mbah Kholil menerimanya dengan lembut dan menyuruhnya masuk kemudian menutup pintu.
Di luar santri-santri menunggunya dengan khawatir. Beberapa santri juga mengintip di luar kamar dengan harap-harap cemas. Kemudian keluarlah dari ruangan itu seorang pengemis dan santri-santri pun enggan bersalaman dan orang itu pun telah pergi. Setelah itu baru santri-santri menyesal karena Mbah Kholil berkata itu yang barusan masuk dan keluar adalah Nabi Khidir."
KH. Ahmad melanjutkan ceritanya, "Di Tanah jawa jaman dahulu kala juga ada majelis wali kemudian ada orang berpakaian seperti orang ngarit, ternyata dia adalah pemimpin wali pada masa itu. Semua yang hadir terheran-heran dan kemudian meminta bukti. Wali tersebut berdoa meminta bukti dan kemudian hujan besarlah seluruh tanah Jawa tetapi di majelis itu tidak kehujanan sedikitpun."
"Ada pula wali yang berkumpul di Lebanon untuk membahas masalah yang penting. Siapa yang paling tinggi pangkatnya di sana? Ternyata ada orang memakai kuda dan dikawal berwujud tentara. Ternyata itu adalah wali quthub," tutur Kyai Ahmad.
Poin KH. Ahmad Saidi dari kisah sejarah ini adalah, kita jangan meremehkan orang lain (jangan melihat luarnya saja) karena kita tidak tahu siapa dia dan juga itu merupakan maksiat hati. Penjelasan berlanjut, "apabila kita disuruh untuk mengaji tapi tidak mau, itu juga takabbur."
"Analoginya ketika ada orang yang melarat, orang susah sedang lapar tapi menolak diberi nasi/makanan tapi dia menolak diberi makanan itu dengan kecongkakannya. Itu berarti sombong. Nah kalau panjenengan diajak pengajian tidak mau itu juga sombong kepada Allah. Ada adzan Dzuhur tidak mau shalat, itu juga sombong. Sebab sombong bukan hanya omongan, ketinggian kata-kata dan hati tapi ketika perintah Allah diabaikan. Sebab perintah Allah merupakan perintah tertinggi. Kita membandingkan perintah antar manusia saja itu kadang wajib dipatuhi (misal tentara) apalagi antara Tuhan dan makhlukNya. Kurang ajar terhadap Tuhan adalah ketika kita mengabaikan perintahnya.
Kita minum air siapa? Siapa yang menjalankan jantung? Diundang Allah tidak mau? Kalau tangan kita tak bisa bergerak bagaimana? Telinga kita tidak bisa mendengar bagaimana? Kita begitu sering mengabaikannya, kurang ajar. Tetapi, begitu baiknya Allah karena lebih mendahulukan rahmatNya kepada kita." Papar Kyai Ahmad.
"Puncaknya kebaikan adalah husnul khatimah. Dan puncaknya kejahatan adalah mati kafir. Kuburan kita makin dekat. Kita harus menjadi makin baik selalu, dari hari ke hari. Jangan mengecilkan orang lain, kita lihat meskipun kepada Yahudi, Nabi masih hormat. Kita tidak tahu dia nanti dapat hidayah, masuk surga. Kita jangan sampai menganggap orang lain kecil. Ini maksiat yang tidak kelihatan." Kata KH. Ahmad Saidi bin KH. Said bin Syaikh Armia.
Kajian pun dilanjutkan dengan mengaji tauhid kitab ad-Dasuqi halaman 167 yang membahas tentang sifat qudrat, iradat, ilmu dan hayat. Empat sifat ini wajib (harus secara logika) ada di Sang Pencipta. Qudrat kuasa, iradat kersa/mau, ilmu itu mengerti, dan hayat itu hidup. Berbagai contoh logika dan analogi dipaparkan KH. Ahmad sebagai penjelasan untuk memudahkan audiens. Waktu bergulir dan kemudian KH. Ahmad mempersilakan adiknya, KH. Muhammad Hasani untuk melanjutkan mauidzah hasanah.
b. Pengajian KH. Muhammad Hasani
KH. Hasani mengucap salam dan kemudian mengucapkan selamat datang kepada dai-dai Allah dari yang jauh-jauh datang dari Republik Yaman. Pada kesempatan ini KH. Chasani membuka dengan kalam pesan Syaikh Muhammad Ibn Fadhal al-Balkhi (Balkh/Afganistan yang wafat sekitar tahun 319 H/931 M). Imam Ibn Fadhal ditanya perihal siapa orang yang celaka? Kemudian beliau menjawab: "Adalah orang-orang yang: 1) Diberi rizki ilmu tapi tidak diberi rizki amal. 2) Diberi ibadah yang banyak tapi tidak diberi ikhlas dalam beribadah. 3) Diberi rizki mengenal orang-orang shaleh tapi tidak mau memuliakan mereka."
KH. Hasani merinci penjelasan bab 'ilmu yang bermanfaat' di atas dengan perkataan Imam Syafi'i: “Ilmu bukan yang dihapalkan oleh lisan tapi ilmu adalah yang bermanfaat”.
Dilanjutkan dengan kutipan dari kalam Syaikh Yahya bin Muadz ar-Razi (wafat di Naishabur/Iran tahun 258 H), beliau berkata bahwa: "Barangsiapa yang mencari ilmu tujuannya hanya semata-mata ilmunya tapi bukan amalnya maka ilmu itu tidak akan bermanfaat baginya. Tetapi barangsiapa yang pergi mencari ilmu dengan tujuan amal, maka sekalipun ilmunya sedikit tetapi pasti akan manfaat baginya."
Penjelasan dilanjutkan dengan kutipan kalam al-Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad atau terkenal dengan Imam Haddad (meninggal di Tarim 1132 H): “Barangsiapa menempatkan dirinya di hadapan Allah seperti budak di hadapan tuannya, maka dia akan meraih semua kesempurnaan."
KH. Hasani mengajak hadirin bermuhasabah, “bila kita mengukur ketaatan kita sesama manusia pada majikan, jika diibaratkan karyawan lalu dianalogikan ketaatan kita kepada Allah maka kita itu hamba yang disenangi, dipuji, atau dicaci oleh Allah? Kita beribadah harus ikhlas."
Ada sebuah kisah yang diceritakan KH. Hasani untuk menerangkan poin ini. Suatu hari seorang kyai yang bekerja sebagai penenun, dengan sangat hati-hati menenun berharap harganya bisa mahal. Setelah tenunannya rampung, kemudian hendak dijual ke Pasar ternyata ditawar dengan harga rendah. Maka Kyai itu pun menangis, bukan karena kain hasil tenunannya ditawar dengan harga murah, tapi karena teringat pada amal-amalnya. "Bagaimana jika amalnya tidak diterima atau dihargai murah oleh Allah?"
Beliau juga menceritakan perihal kisah di dalam kitab Thabaqat al-Auliya tentang seseorang yang tidak memperoleh faedah dari Syaikh Muhammad Fadhal karena tidak takdzim dan menghormati ulama besar ini. KH. Hasani pun mengakhiri mauidzah hasanahnya.
KH. Ahmad Saidi juga mengucapkan selamat datang kepada para tamu ulama dari Yaman, seraya memperkenalkan kepada para hadirin. Datang di tengah-tengah kita adalah Habib Muhammad bin Abdullah al-Junaid, tangan kanan Habib Umar bin Hafidz. Datang pula Habib Husein bin Hamid Ba’alawi, Habib Alwi bin Ibrahim Bilfaqih (putra Munsyid Ba’alawi). Ada pula Habib Hilmi bin Khalid Alkaff dari Jakarta, murid Habib Umar bin Hafidz yang akan menerjemahkan dari bahasa Arab ke Indonesia.
c. Ceramah Habib Muhammad Al-Junaid
Habib Muhammad bin Abdullah Aljunaid pun dipersilakan untuk memberikan mauidhoh hasanahnya. Habib Muhammad mengucap salam dan membuka dengan shalawat.
"Kita wajib bersyukur bahwasanya kita hadir di tempat yang mulia ini. Beliau berkata bahwa kedatangan ini mengingatkannya pada memorinya dulu. Habib Mundzir sering meminta beliau untuk mendatangi KH. Ahmad Saidi, tapi waktu belum mempertemukannya di sini. Mungkin hikmahnya supaya kerinduan bertambah. Tetapi alhamdulillah malam hari ini bisa datang ke sini. “Tugas saya berkhidmah kepada ulama dan mematuhi perintah ulama. Itulah yang diperintahkan guru saya, Habib Umar bin Hafidz."
Baginda Rasul Saw. berpesan: "Muslim adalah satu badan, akan sakit jika satu badan yang lain sakit." Ini adalah maksud dari perkumpulan ini (Jum’at Kliwonan). Kumpulan ini menghasilkan kasih sayang yang tinggi. Inilah yang diinginkan Allah dan diperjuangkan Nabi agar kita menjaga Islam dan memenangkan agama Islam. Umat Islam harus bersatu, jangan ada sekat antara Arab-Jawa, perbedaan membuahkan perpecahan. Kita berkumpul dan bersatu di sini untuk memenangkan agama Islam. “Buahnya adalah kita menebarkan kasih sayang. Kita semua menjaga ini. Tetap menjaga kasih sayang dimana-mana. Ini akan terjaga dengan perkumpulan-perkumpulan seperti ini."
Beliau menyampaikan pujian majelis ini dari ulama-ulama Hadhramaut, "kalian di sini memiliki semua cahaya Baginda Rasul, kalian memiliki perjuangan Rasulullah dan mendapatkan bagian dari perjuangan Rasul."
"Kelebihan orang Indonesia adalah lebih mirip kepada ahlul Madinah, orang yang hatinya lapang dalam menerima agama Islam. Mereka orang Madinah begitu rindu pada Rasulullah, kalian punya sifat yang tidak jauh dari ini," kata habib Muhammad memuji pengajian Kliwonan ini dengan rasa gembira.
Beliau berpesan kita mesti mengupas dan belajar sejarah ulama terdahulu. Tapi juga perjuangan kita tidak cukup sampai di sini karena kita mesti mengajak jumlah yang lebih besar sebagai kekuatan Islam. Beliau berharap majelis Kliwonan ini istiqomah, melanjutkan yang telah dilakukan Rasulullah yang dulu juga bermajelis seperti ini. Paling penting bukan umat yang datang banyak tetapi adalah kebersamaan kita, berkumpul dengan guru dan orang-orang shalih. Kebersamaan ini penting karena bersambung dengan sanad guru-guru kita.
Dahulu ada kisah anjing yang masuk surga karena menemani ashabul kahfi, hikmahnya kita harus melihat dengan siapa kita berteman. Apabila anjing bisa masuk surga karena menemani orang shalih maka bagaimana dengan kita manusia yang khidmat ke para shalihin? Tentu akan lebih dari ini.
Habib Muhammad juga berkisah tentang pelepah pohon kurma yang tidak dipakai lagi di mimbar Rasulullah. Pelepah itu menangis dan Rasululah pun memeluknya dan membisikkan kata-kata kepadanya: “Engkau akan terus menemaniku di dunia dan akan hidup sampai kiamat, atau engkau berhentilah menangis dan selamanya akan menemaniku di surga?"
Pelepah itu memilih berhenti menangis dan menemani Nabi di Surga. “Bagaimana keadaan dekat kita dengan Rasulullah? Bagaimana hubungan kita dengan guru-guru kita?" Ajak beliau sebagai instrospeksi bersama.
Terakhir, beliau menyampaikan bahwa kedatangannya di Majelis Kliwonan ini juga tidak lepas dari sebab Habib Abdurrahman bin Syaikh Alattas. Hubungan KH. Ahmad dengan Habib Syaikh Alattas sangat baik. Beliau mengajak kita semua berdoa agar KH. Ahmad dan KH. Hasani panjang umur dan senantiasa sehat selalu.
d. Ceramah Habib Husein Ba'alawi
Kemudian Habib Husein bin Hamid Ba’alawi dipersilakan oleh KH. Ahmad untuk menyampaikan mauidzah penutup setelah Habib Muhammad. Habib Husein menyampaikan mauidzah pendek tentang keutamaan malam Jum’at yang kita semua di sini sedang memuliakannya.
"Banyak-banyaklah membaca shalawat di malam Jum'at atau di hari Jum'at, khususnya membaca Dalailul Khairat." Beliau juga bercerita bagaimana sejarah Dalailul Khairat ditulis. Acara pun dilanjutkan dengan Istighatsah dan doa bersama. (Oleh M. Budi Mulyawan via Santrijagad.org).
0 komentar:
Posting Komentar