Sebuah fragmen sejarah menceritakan bahwa ke-nabi-an Muhammad
lebih dahulu diketahui oleh seorang Kristen bernama Bukhaira. Berlatar Kota Basrah
dengan alur perdagangan, pertemuan Muhammad yang saat itu masih berusia 12 tahun
dengan Buhaira sang pendeta Kristen benar-benar telah diatur oleh Sang Penguasa
Alam. Bukhaira bertanya kepada Abu Thalib, pamanda Muhammad yang saat itu
menjadi wali bagi keponakannya yang telah yatim piatu, “Siapa anak ini?”
Sang paman menjawab, “Ini anak saya.”
Perasaan Bukhaira sebagai pendeta yang ‘sidiq paningal’
berkata lain. Dia merasa ada sesuatu yang lain yang tidak biasa, yang dimiliki
oleh anak dan tidak dimiliki oleh orang lain. Perasaan itu menyebabkan
ketidakpercayaannya terhadap jawaban Abu Thalib. Bukhaira pun menyangkal,“Tidak,
pasti dia anak yang telah ditinggal mati bapaknya.”
Dengan penuh kekaguman, Abu Thalib mengakuinya, “Memang
betul, saya pamannya.” Belum habis rasa kagumnya, Abu Thalib dikagetkan
lagi dengan pernyataan Bukhaira selanjutnya, “Hati-hati, dia akan menjadi
Nabi.”
28 tahun kemudian, tepatnya setelah Rasulullah berumur
40 tahun, sejarah membuktikan kembali keterlibatan pendeta Kristen dalam
menerangkan kenabian Muhammad. Kali ini, sejarah bercerita mengenai datangnya
wahyu pertama di Gua Hira, Jabal Nur, pada malam 17 Ramadhan. Rasulullah
seorang diri di dalam gua gelap nan sunyi, meratapi fenomena sosial masyarakat
dan lingkungannya.
Tiba-tiba datanglah Jibril berwujud makhluk aneh,
putih, merangkul-rangkul, terasa beban yang sangat berat. Seraya menguatkan
rangkulannya, makhluk itu berkata Iqra’ (bacalah). Rasulullah hanya
jawab ma ana biqari-in (saya tidak bisa membaca).
Keringat dingin Muhammad bercucuran, ia menggigil
ketakutan, lari keluar gua menuruni Jabal Nur. Rasulullah bergegas pulang
menemui Khadijah sang istri di rumah. Lalu Muhammad berkata zammiluni
(selimuti aku) tiga kali, “saya kedinginan kedatangan makhluk aneh apa jin,
apa setan entah aku tidak tahu.”
Dengan gemetaran, Muhammad menceritakan kepada sang
istri kejadian yang baru dialaminya di dalam Gua. Dengan tenang Khadijah sang
istri menjawab, “Wahai suamiku, kamu adalah orang baik, tidak pernah menyakiti
orang, tidak pernah berkhianat, tidak pernah menipu, suka menolong, karenanya
Aku yakin dia yang datang kepadamu membawa niat baik. Besok ikutlah denganku
menemui sepupuku yang bernama Waraqah bin Naufal, seorang Kristen yang buta.
Aku akan mencoba mencari keterangan mengenai kejadian yang baru saja kau
alami.”
Sesampainya di rumah Waraqah, Muhammad dan Khadijah bercerita
secara runut apa yang terjadi. Waraqah menjawab, “Yang datang kepadamu
semalam adalah an-Namus al-Akbar (malaikat senior), yang dulu pernah datang ke
Musa. Jadi jangat takut, karena kamu akan menjadi orang mulia. Mudah-mudahan
umur saya sampai ketika umatmu mengusir kamu. Ketika kaum Quraisy mengusir
kamu, mudah-mudahan saya bisa tahu,” begitu jawab Waraqah.
“Apakah mereka akan mengusir saya?” tanya Muhammad dengan nada tidak
percaya setelah mendengar ramalan itu.
Waraqah menjawab, “Setiap Nabi akan mendapatkan
tantangan dari kaumnya sendiri, dari familinya dan juga orang di sekelilingnya.”
Khadijah dan Muhammad semakin tersadar bahwa apa yang
terjadi dengannya bukanlah hal kecil, tetapi hal istimewa yang nantinya akan
mengubah dunia. Untuk ke sekian kali orang Kristen ikut ambil peran dalam
kenabian Muhammad.
Sejarah juga menyodorkan kepada kita, betapa hubungan Kristen
dengan Islam sangat erat. Tepatnya ketika Romawi yang Katolik berperang dengan
Persia yang Majusi. Saat itu Muhammad sudah menjadi Nabi. Beliau berdoa, “Ya
Allah, mudah-mudahan kaum Romawi yang Katolik menjadi pemenang mengalahkan
Majusi.”
Tetapi Allah berkehenak lain, dan Romawi kalah. Kejadian
itu membawa Muhammad Saw. bersedih, kaget dan bermuka murung seperti tidak
terima dengan kekalahan Romawi. Karena itulah turun sebuah surat dalam al-Quran
yang isinya menghibur Muhammad Saw., surat Romawi yang dalam bahasa Arabnya disebut
ar-Rum.
الٓمّٓۚ ﴿۱﴾ غُلِبَتِ الرُّومُ
﴿۲﴾ فِى اَدنَى الاَرضِ
وَهُم مِن بَعدِ غَلَبِهِم سَيَغلِبُونَۙ ﴿۳﴾ فِى بِضعِ سِنِينَؕ لِلّٰهِ الاَمرُ
مِن قَبلُ وَمِن بَعدُؕ وَيَومَٮِٕذٍ يَّفرَحُ المُؤمِنُونَۙ ﴿۴﴾
“Alif Lam Mim. Telah dikalahkan bangsa Romawi. Di
negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang dalam
beberapa tahun lagi. Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang).
Dan di hari (kemenangan bangsa Romawi) itu bergembiralah orang-orang yang
beriman.” (QS. ar-Rum
ayat 1-4).
Apa yang menimpa kaum Katolik Romawi sangat
berpengaruh terhadap keberlangsungan Islam baik secara politik maupun persaudaraan.
Betapa pentingnya kejadian tersebut hingga Allah Swt. mengabadikan di dalam al-Quran
dengan sebuah surat yaitu, ‘ar-Rum’. Ini menunjukkan bahwa Kristen dan Islam
sebenarnya mempunyai misi yang sama dalam membangun peradaban umat manusia,
sehingga kerugian dan kekalahan Romawi juga kerugian Islam.
Begitu juga dengan surat Maryam, surat ini adalah
bukti sejarah betapa Islam menghormati Sang Bunda. Tepatnya ketika Muhammad Saw.
hijrah ke Madinah. Sesampainya di Madinah, orang-orang Yahudi sudah mulai
membangun konflik dengan mengembangkan isu bahwa Yesus itu anak jadah, hasil
perzinahan antara Maryam dan Yusuf an-Najjar. Islam tidak membiarkan hal ini
berlarut-larut. Oleh karena itu, Allah menurunkan satu surat yang isinya
merehabilitasi nama baik Maryam.
وَاذكُر فِى الكِتٰبِ
مَريَمَۘ اِذِ انْتَبَذَت
مِن اَهلِهَا مَكَانًا شَرقِيًّا ۙ ﴿۱۶﴾
“Dan ceritakanlah (kisah) Maryam di dalam al-Quran,
yaitu ketika ia menjauhkan diri dari keluarganya ke suatu tempat di sebelah
timur.” (QS. Maryam
ayat 16).
Begitu pentingnya nama baik Maryam sehingga Allah
mengkhususkan dalam satu surat tersendiri yaitu surat Maryam.
Satu lagi bukti sejarah, ketika terjadi tragedi
pembunuhan massal oleh kaum Majusi yang dirajai oleh Dzun Nuwas terhadap
masyarakat Kristen di Najran (sekarang Saudi Selatan), mereka mengadakan
sweeping. Semua orang yang beragama Kristen ditangkap, dimasukkan parit lalu
dibakar hidup-hidup. Ini adalah cerita nyata yang tidak termaktub dalam Bibel,
tetapi malah ada di dalam al-Quran.
قُتِلَ اَصحٰبُ
الاُخدُودِۙ ﴿۴﴾ النَّارِ ذَاتِ
الوَقُودِۙ ﴿۵﴾ اِذ هُم عَلَيهَا
قُعُودٌ ۙ ﴿۶﴾ وَّهُم عَلٰى مَا
يَفعَلُونَ بِالمُؤمِنِينَ شُهُودٌ ؕ ﴿۷﴾ وَمَا نَقَمُوا
مِنهُم اِلَّا اَن يُّؤمِنُوا بِاللّٰهِ العَزِيزِ الحَمِيدِۙ ﴿۸﴾
“Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat
parit, yang berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar. Ketika mereka duduk di
sekitarnya, sedang mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap
orang-orang yang beriman. Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu
melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah yang Maha Perkasa
lagi Maha Terpuji.” (QS.
al-Buruj ayat 4-8)
Hubungan Kristen dan Islam tidak hanya sebatas
hubungan religiusitas saja, tetapi juga hubungan persaudaraan. Ketika Nabi
Muhammad Saw. mendapatkan hadiah dua perempuan dari Muqaukis Gubernur Mesir,
beliau sudi menikahi salah satunya. Yaitu Mariyah al-Qibthiyyah yang beragama
Kristen Koptik, sedangkan satu lagi yang bernama Sirin beliau hadiahkan kepada
Hasan bin Tsabit. Mariyah inilah yang nantinya mempunyai anak yang bernama Ibrahim
(yang meninggal masih kecil). Nabi Muhammad Saw. waktu itu tidak punya anak
laki-laki kecuali dari Mariyah itu.
Setelah menerima perempuan itu, Nabi Muhammad Saw.
berkata kepada sahabat Umar. “Umar, nanti Islam akan sampai ke Mesir berkat
tanganmu (perjuanganmu). Kalau nanti Islam sudah sampai ke Mesir, saya pesan
keluarganya bibimu ini (keluarga Mariyah) jangan kamu ganggu,” begitu kata
Nabi.
Benar saja, sejarah berjalan dan akhirnya Islam sampai
pula ke Mesir, yakni ketika Khalifah Umar dan ‘Amr bin Ash berhasil menaklukkan
Mesir. Saat itulah Umar teringat pesan Nabi Muhammad Saw. Karena itu, orang
Kristen Koptik tidak diganggu sama sekali hingga sekarang. Bahkan sampai detik ini,
pusat Kristen Koptik berada di Aleksanderia. Jadi, Nabi Muhammad Saw. saat itu
benar-benar menjaga eksistensi keselamatan, keutuhan, kehormatan, harga diri
masyarakat Kristen Koptik.
Tidak hanya Rasulullah Saw. yang selalu berniat baik
dan menjaga hubungan dengan Kristen, Khalifah Umar pun senantiasa mewarisi
kebijakan ajaran Rasul. Ketika pasukan Umar di bawah pimpinan Abu Ubaidah bin
Jarrah berhasil menguasai Pelestina, ia pun tidak semena-mena bertindak dalam mengambil
sikap. Hal ini tercermin pada waktu prosesi penyerahan kunci Kota Palestina,
dari sang penguasa lama kepada Sayyidina Umar.
Saat itu penyerahan diadakan di dalam gereja, sesaat
kemudian adzan Ashar berkumandang. Sang penguasa Palestina mempersilakan Khalifah
Umar untuk mengambil ruang di dalam gereja guna melakukan shalat. Tetapi ditolaknya,
Sayyidina Umar lebih memilih shalat di luar gereja dengan alasan, “Saya
tidak mau shalat di dalam gereja bukan apa-apa, saya khawatir kalau nanti ada
generasi Islam mendatang merebut gereja ini dengan dalih Umar shalat di sini.”
Itulah beberapa potongan-potongan cerita sejarah yang menggambarkan
bagaimana sejak Islam lahir sebagai agama yang mempunyai garis keberagamaan
yang sangat moderat dalam berhubungan dan bermuamalah dengan agama lain. Islam
mempunyai rumus wasathan (tengah-tengah, moderat, tidak ekstrem kiri,
juga tidak ekstrem kanan), yang diambil dari ayat wakadzalika ja’alnakum
ummatan wasathan. Artinya, Islam memang dijadikan oleh Allah sebagai agama penyempurna
yang tidak terlalu legal formal seperti Yahudi yang segalanya berorientasi pada
hukum, dan juga tidak terlalu menonjolkan etika moral spiritual seperti
Kristen.
Islam agama yang menyeimbangkan antar keduanya. Karena
itu, al-Quran sebenanya tidak terlalu legal formal, tidak terlalu fiqih, dan
tidak terlalu kaku. Al-Quran juga tidak terlalu ruhani, tidak terlalu spritual.
Tetapi al-Quran mengambil seluruh aspek secara seimbang, antara tuntutan spritual
dan tuntutan materi, tuntutan hidup duniawi dan tututan hidup ukhrawi.
Salah kalau orang hidup hanya sebagai makhluk ibadah
saja, tetapi melupakan sisi khalifah fi al-ardh. Keliru kalau orang hidup
sadar sebagai khalifahnya saja, tetapi lupa sebagai makhlukNya. Jadi makhluk
harus beribadah dengan khusyuk dan menjadi khalifah yang kreatif dan produktif.
Itulah makna Islam wasathan. NU adalah sebagai representasi Islam wasathan
di Indonesia.
Untuk mengejawantahkan Islam yang berpola wasathan di bumi
Nusantara, umat Islam di Indonesia mempunyai motivasi lebih dari cukup.
Berbagai coretan sejarah Islam di atas, yang kesemuanya diambil dari sunnah
Rasulullah Saw. dan para sahabatnya, merupakan modal besar dan ide dasar guna mengembangkan
Islam yang sejuk nan damai. Belum lagi sejarah lokal yang penuh kebijakan dan
kebijaksanaan.
Mari kita tengok bersama metode dakwah para Wali Songo.
Sedikit demi sedikit, dengan penuh kesabaran, mereka mencoba memahami dan
memasuki relung kehidupan masyarakat Jawa paling dalam. Para wali telah
mempelajari terlebih dahulu sebelum akhirnya berhasil mewarnai Jawa dengan
corak Islam. Bil hikmah wal mau’idzatil hasanah, terbuka, menerima budaya,
tradisi, adat yang sudah ada di tengah-tengah masyarakat Jawa. Selama tidak
bertentangan dengan prinsip tauhid, para Wali Songo siap menerima apa yang ada
dari sini.
Apakah hal tersebut menyimpang dari ajaran Islam?
Tidak, justru di situlah terungkap jelas bagaimana ummatan wasathan
dibumikan dan dipraksiskan. Inilah bukti bahwa ummatan wasathan adalah
corak dakwah Islam yang paling sesuai di Indonesia.
Bukan hanya dalam hal akidah dan syariat saja para
Wali Songo berhasil menelusupkan Islam ke jantung kehidupan masyarakat Jawa,
tetapi juga dalam berbagai sendi kehidupan. Kesuksesan besar yang sangat berharga
adalah keberhasilan para Wali Songo memasukkan sekian ratus kata Arab ke dalam
bahasa Indonesia. Sebut saja nama-nama hari (mulai Ahad, Senin, sampai Sabtu),
kata seperti hakim, hukum, mahkamah, dahsyat, hebat, laknat, rahmat, lezat,
melarat, semuanya berasal dari bahasa Arab. Bahkan kata Majelis Permusyawaratan
Rakyat juga merupakan serapan dari bahasa Arab.
Metode dakwah para Wali Songo inilah yang dijadikan pondasi
bagi NU. Dengan strategi berbasis tradisi para wali mampu menjembatani berbagai
macam persoalan, dari kesenjangan intelektual, kesenjangan ekonomi, hingga
perbedaan kasta. Tradisi dikreasikan oleh para wali sebagai senjata ampuh penyebaran
ajaran Islam. Metode inilah yang turun-temurun diwarisi oleh para ulama NU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar