Pernah ada seseorang yang mengaku-aku sebagai pemilik tanahnya
al-Habib Umar bin Hafidz. Ia mengatakan bahwa tanah itu adalah miliknya. Maka keesokan
harinya Habib Salim, putera Habib Umar, mendatangi orang tersebut dan menjelaskan
panjang lebar bahwa tanah itu bukan miliknya tapi milik Habib Umar. Surat-surat
resminya pun ada di tangan Habib Umar.
Namun orang tersebut tidak bergeming, tetap ngotot
mengakui tanah itu adalah miliknya. Akhirnya dengan terpaksa Habib Salim mendatangi
sang ayah, Habib Umar bin Hafidz, seraya menjelaskan semuanya. “Abah, si
fulan mengaku-aku tanah kita yang ada di daerah sana adalah miliknya,” tutur
sang anak.
Habib Umar malah menanggapi perkataan anaknya itu
dengan senyuman, lalu berkata: “Kalau begitu kita ikhlaskan saja tanah itu
untuk dia.”
Sang anak menjadi terheran-heran, barangkali ada yang
salah didengar ia mencoba memastikan: “Tapi, bukankah surat-surat resmi
tanah itu ada di tangan kita?
Habib Umar kemudian menjawab: “Salim... kita tidak
akan berseteru dengan saudara Muslim kita hanya karena urusan duniawi. Kita tidak
akan pernah memperebutkan dunia dengan siapapun. Seandainya dia juga mengakui
rumah kita ini, kita akan ikhlaskan rumah ini untuknya. Kita masih bisa tidur
di mobil kita.”
(Diolah dari
tulisan Ahmad Afif Tawes, santri
Indonesia di Yaman, yang mendengar langsung dari penuturan al-Habib Salim bin Umar
bin Hafidz sewaktu mengadakan “ijtima’ khusus” dengan jamaah haji tahun ini).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar