MAJELIS TA’LIM
NURUL YAQIN
Daftar Isi:
1.
Khazanah Al-Quran MT. Nurul Yaqin
2.
Mengenal Orientasi Majelis Ta’lim Nurul Yaqin
3.
Undangan Untuk Umum
1.
Khazanah Al-Quran MT. Nurul Yaqin
Sebagai
seorang muslim dan muslimah, kita yakin al-Quran adalah sumber petunjuk hidup,
harta simpanan yang sangat besar serta pelita penyinar hidup. Dalam posisinya
itu Ia selalu mengarahkan kehidupan manusia menuju kepada kebenaran sejati,
yakni kebenaran yang dikehendaki oleh Allah Swt. untuk diikuti oleh segenap
manusia. Terlebih lagi bagi mereka yang menyandang identitas sebagai muslim.
Karena
itu menjadi tugas kita semua untuk menggali dan menemukan Khazanah Mutiara
Ilahi tersebut dalam al-Quran. Kemudian secara utuh dan paripurna hendaknya
kita aplikasikan dalam lapangan nyata kehidupan. Tentu tidak mudah untuk
mencapai cita-cita ideal ini. Namun setidaknya kita telah berusaha serius ke
arah sana. Ikhtiar inilah yang akan dilihat dan dinilai kualitasnya di hadapan
Allah Azza wa Jalla.
Al-Quran
al-Karim adalah mata air yang jernih, mengalirkan hikmah, nasehat kebaikan,
syariat, pengetahuan, akhlak dan petunjuk hidup manusia. Surat-surat dan
ayat-ayatnya mencangkup segala hal yang dapat dan mungkin dicapai oleh akal
manusia melalui penelitian ilmiah, sosiologis dan psikologis. Kandungan al-Quran
juga bertujuan untuk mensejahterakan kehidupan manusia, mengatur tata sosial
dan interaksi dengan orang lain.
Diantara
ikhtiar itu kewajiban kita terhadap al-Quran adalah mengajak anak-anak dan
generasi kita untuk membudayakan membaca dan mengambil kandungannya. Hendaklah
kita mengajak mereka untuk memetik sinaran al-Quran yang akan menerangi
kehidupan mereka, mensucikan jiwanya, menjadikan hidup mereka bahagia dan
sejahtera, serta menjamin limpahan rahmat dan pahala bagi mereka. Aamiin
2.
Mengenal Orientasi Majelis Ta’lim Nurul Yaqin
الدنيا
ملعونة
ملعون ما فيها إلا ذكر الله وما والاه وعالماً أو متعلماً
“Dunia
seisinya terlaknat, kecuali dzikir kepada Allah dan apa saja yang menyertainya,
orang-orang yang berilmu atau orang-orang yang menuntut ilmu.” (HR. at-Tirmidzi).
Rasulullah
Saw. juga bersabda:
أحبّ
العباد إلى الله تعالى أنفع الناس للناس، وأفضل الأعمال إدخال السرور على قلب
المؤمن يطرد عنه جوعا ويكشف عنه كربا ويقضي له دينا، وخصلتان لا شيء أخبث منهما:
الشرك بالله والضرّ بالمسلمين
“Hamba
yang paling dicinta Allah adalah orang yang bermanfaat untuk sesamanya. Amal yang
paling utama adalah memberikan kebahagiaan ke dalam hati seorang mukmin dengan
menghilangkan rasa laparnya, meringankan kesulitannya, serta melunasi
hutangnya. Dan dua perkara yang tidak ada satupun lebih buruk dari keduanya: menyekutukan
Allah dan menyusahkan orang-orang muslim.”
Apa
sebenarnya yang terdapat dalam diri manusia? Sifat-sifat apa saja yang membuat
mereka gembira, bahagia dan tentram. Juga sifat-sifat apa saja yang membuat
mereka sengsara, terhina dan buruk menurut Allah? Lalu muncullah pertanyaan
apakah manusia ananiyah (egois) sehingga lebih mencintai dirinya sendiri
ketimbang kemaslahatan orang lain? Ataukah mereka lebih itsar
(mendahulukan) kemaslahatan orang lain ketimbang kemaslahatan bagi dirinya?
Maka jika kita mencoba mengkaji, akan memakan waktu lama dan melibatkan banyak
bidang keilmuan diantaranya psikologi, moral dan ilmu sosial.
Para
ilmuan mendefinisikan bahwa manusia sudah mempunyai dua sifat di dalam dirinya
yaitu ananiyah dan itsar. Manusia tatkala mereka melihat adanya
kemaslahatan bagi segenap manusia, maka sesungguhnya ia telah dibekali naluri
untuk mendahulukan kemaslahatan ummat ketimbang kemaslahatan pribadi. Namun,
sementara itu di satu sisi ada yang melihat bahwa tadh-hiyah
(pengorbanan), fidha (pembelaan) tidak lain adalah sebuah sifat egoistis
pribadi.
Tidak
dipungkiri lagi bahwa manusia itu adalah makhluk sosial, sudah barang tentu
memerlukan ta’awun (gotong-royong) atau bekerja sama dalam aktivitas
sosialnya. Terdapat beberapa kondisi dimana seorang manusia lebih memilih untuk
mementingkan kemaslahatan bersama ketimbang mengisolasi diri. Kecenderungan
untuk tidak bisa terlepas dari hak-hak orang lain menimbulkan manfaat bersama
berupa buah dari ta’awun di antara mereka. Sehingga kemuliaan, kehormatan serta
kemaslahatan bersama pun muncul sebagai wujud nyata kebersamaan, disebabkan
manusia tidak akan hidup mulia dan tenang tanpa mengimplementasikan sifat ta’awun
dan i’tsar diantara mereka. Maka tadh-hiyah dan itsar merupakan sebuah
kebutuhan yang sangat penting dalam bermasyarakat dan itu harus terwujudkan
bersama.
Kalaulah
tidak terikat dengan sebuah sistem dalam kehidupan maka sudah barang tentu akan
terjadi kekacauan di muka bumi ini. Adanya sifat ta’awun dan i’tsar itulah yang
melahirkan sistem hukum, hidup, bermasyarakat, interaksi, dan sebagainya serta
bisa berjalan dengan lancar. Kalaulah kedua sifat itu tidak ada dalam diri
manusia, dan manusia lebih memilih ananiyah maka yang timbul adalah kekacauan.
Masing-masing menginginkan bersaing dan berusaha keras agar kehendaknya dapat
teralisasi dan terwujud.
Sebagai
satu contoh konkrit yakni para pemakai jalan, apabila para pemakai jalan tidak
memiliki peraturan dan tidak tertegak sifat ta’awun dan i’tsar maka apa yang
akan terjadi. Antara pemakai jalan yang berkendaraan dengan pejalan kaki tidak
ada yang mau mematuhi lampu merah, sudah barang tentu kekacuan dan kemacetan
berkepanjangan, semrawut, dan kacau balau di jalan akan terjadi. Terlebih lagi
bila kemudian kondisi tersebut memakan korban, misalnya pejalan kaki yang men
jadi korban pengendara mobil.
Dalam
hal bermuamalah (interaksi) jual-beli pun kita dapat membayangkan jika tidak
ada sifat itsar dan ta’awun, maka yang terpikirkan pada diri setiap individu
adalah bagaimana tidak menerima barang dari orang lain, tidak mau berinteraksi
dengan lainnya. Secara otomatis tidak mungkin kita mendapatkan keuntungan, juga
tidak akan terpenuhi kebutuhan hidup. Rasa aman juga tidak akan dapat terwujud
di antara keduanya, jika tidak terdapat rasa tadh-hiyah dan itsar. Penjual
memberikan harga melebihi sedikit dari modal produksi, tidak lain agar ada
keuntungannya dan menyambung hidupnya, di sisi lain pembeli mengeluarkan
uangnya untuk mendapatkan barang yang butuhkan. Di sinilah dibutuhkan adanya
keridhaan serta timbal balik dari masing-masing pelaku.
Sementara
i’tsar manusia terhadap diri kita kalau dihitung amatlah banyak. I’tsar yang
dipuji oleh syariat dan dihormati oleh prinsip-prinsip akhlak, yaitu adanya itsar
memilih (ikhtiar) di dalam undang-undang dan tidak dipaksakan. Bagaimana
memberikan itsar bagi mereka yang memilih kehormatan ketimbang harta, memilih
berlelah-lelah bekerja dibandingkan beristirahat, menikmati lapar ketimbang
kenyang, memilih mati daripada hidup. Bukankah ini semua adalah bentuk
keindahan dari tadh-hiyah, yang tidak lain adalah hanya menginginkan pahala dan
pujian dari Allah.
Sesungguhnya
kita membutuhkan kesenangan, baik itu kesenangan hidup berupa materi atau non
materi. Itu semua sudah barang tentu dibutuhkan pula oleh mereka yang memang
mensifati dirinya dengan tadh-hiyah, itsar dan fidha. Kita membutuhkan listrik,
mobil, pesawat terbang, siaran tv dan radio. Mereka para ilmuan yang jenius
telah merelakan waktunya untuk melakukan riset dan mengadakan eksperimen,
mengorbankan waktu siang dan malam, semua dalam rangka mempersembahkan yang
terbaik bagi insan manusia untuk mempermudah, dan demi kelangsungan hidup di
dunia. Kita bersama-sama bisa menikmati atas jerih payah mereka, bahkan beribu
manusia dapat merasakan karya mereka. Itulah wujud tadh-hiyah, fidha dan itsar
yang mereka persembahkan kepada kita.
Bagaimanapun
juga kita membutuhkan contoh orang-orang yang mengagungkan aqidah dan agama
yang dengannya kita menjadi terhormat. Jika berbicara kenikmatan yang telah
Allah berikan kepada kita maka hal itu berbentuk hidayah dan taufikNya.
Sedangkan para salafus shaleh, yakni mereka yang mengemban risalah dakwah,
tidak terlepas dari ujian berupa siksaan dan kehormatan. Mengerahkan sekuat
tenaga, darah dan jiwa untuk menyebarkan agama bagi generasi sesudahnya, hingga
akhirnya mereka mendapat pertolongan dari Allah atas perjuangan yang mereka
lakukan.
Demikianlah
kita hidup selalu membutuhkan kepada generasi pendahulu kita terutama dalam
mengambil contoh serta teladan hidup. Kita bisa merasakan bagaimana tadh-hiyah,
fidha dan itsar mereka hingga sekarang kita memetik hasilnya. Demikian generasi
yang akan datang akan mengambil manfaat dari jerih payah kita dalam ikhlas
melakukan tadh-hiyah, fidha dan itsar. Begitulah sirkulasi hidup, di setiap
zaman, waktu, keadaan dan peristiwa. Selalu akan saja membutuhkan orang-orang
yang ikhlas dalam mengemban misi hidup. Sekarang yang menjadi pertanyaan bagi
kita adalah apakah generasi sekarang mampu untuk menyelami arti fidha dan itsar?
Apakah mereka menghiasi dirinya dengan akhlak yang telah digariskan oleh
syariat Allah?
Kenyataan
yang ada sekarang adalah bahwa manusia hidup di zaman ini seakan menghilangkan
jejak, dari misi penciptaan manusia yang baik dan sebaik-baiknya penciptaan. Dimana
kita akan melihat ketika kita berjalan dan melihat di setiap sudut masyarakat
sekarang, selalu saja kita mendapatkan perbuatan ananiyah telah menguasasi
manusia pada setiap sisi. Kita mendapatkan bagaimana hubungan ananiyah seorang
bapak mendzalimi anaknya dengan sewenang-wenang, mendapati seorang suami
sewenang-wenang terhadap istrinya, seorang pemimpin sewenang-wenang terhadap rakyaknya,
bagaimana ananiyah orang-orang kaya kepada masyarakat, pedagang hanya
memikirkan dagangannya saja, petani juga hanya memikirkan panenannya, para
pekerja di kantor hanya kasih sayang jika ada hubungan keluarga.
Pada
sisi yang sama kita sesama insan memerlukan kebersamaan dalam memecahkan
problematika hidup, agar selamat dari tragedi dan kemalangan. Sehingga terpecahkan
segala aral melintang dalam kehidupan ini. Kalaulah para insan di dunia hanya
memikirkan dirinya sendiri, maka yang tampak dalam kehidupan ini adalah adanya
kesewenang-wenangan yang kental dalam tatanan kehidupan.
Ketika
hijrahnya Rasulullah bersama para sahabat ke Madinah, kaum mukminin Makkah (Muhajirin)
dipersaudarakan dengan mukminin Madinah (Anshar) oleh Rasulullah Saw. Mempersaudarakan
setiap Anshar dengan seorang Muhajirin. Masing-masing Anshar yang telah dipersaudarakan,
membawa saudaranya Muhajirin ke rumah masing-masing, dan membagi dua harta yang
berada di rumahnya membagi baju, harta, makanan dan kendaraan. Mereka ditempatkan
dalam keluarga sebagai saudara sendiri. Sehingga para Muhajirin yang telah
meninggalkan harta, sanak keluarga, ladang, tempat tinggalnya merasakan jati
dirinya kembali juga tidak ada rasa sungkan tinggal bersama saudara Anshar yang
baru dikenal tersebut.
Maka
al-Quran mengabadikan peristiwa yang luar bisa bersejarah ini dalam surat al-Hasyr
ayat 9: “Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman
(Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang
berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka
terhadap apa-apa yang diberikan kepada (orang Muhajirin), dan mereka mengutamakan
(orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan
(apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran
dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Pada
zaman Khalifah Umar terjadi peristiwa musim paceklik dan kelaparan, Umar Ra.
tidak tidur malam kecuali sedikit adan tidak pula istirahat kecuali sedikit.
Dalam dirinya selalu saja memikirkan bagaimana agar masyarakat terbebas dari
lapar. Terus saja Umar Ra. dalam kesehariannya memikirkan hingga sedikit dalam
tidur, makan dan istirahat. Maka ketika orang melihatnya dan berkata: “Kalaulah
musim ini berkepanjangan hingga satu bulan ke depan maka Umar akan meninggal.”
Suatu
hari datanglah rombongan dari Mesir yang membawa daging, minyak samin, makanan
dan pakaian. Mereka sendirilah yang membagi-bagikan kepada masyarakat, Umar Ra.
pun turut membagikannya. Sedangkan Umar Ra. menolak untuk makan barang-barang
yang telah dibawa mereka. Berkata Sayyidina Umar Ra. kepada kepala rombongan:
“Kamu nanti makan di rumah saya.”
Harapan
orang itu akan menyantap makanan yang lezat. Mengira bahwa makanan Amirul
Mukminin ini lebih baik dari yang lainnya. Tibalah mereka berdua di kediaman
Umar ra. Kemudian diserukan untuk menyediakan makanan, maka tersedialah
makanan. Betapa terkejutnya kepala rombongan tersebut, ternyata makanan yang
dikira enak itu luluh, hilang seketika tatkala di hadapannya hanya sepotong
roti hitam kering dan minyak ditaruhkan di piring.
Terjadilah
dialog di antara keduanya, kepala rombongan itu berkata: “Kenapa Engkau melarangku
untuk makan bersama orang-orang dengan daging dan samin, dan menyediakan
makanan seperti ini?”
Umar
Ra. menjawab: “Inilah makanan yang sehari-hari aku makan.”
Kepala
rombongan bertanya lagi: “Apa yang melarang dirimu untuk tidak makan daging
dan samin, padahal dirimu tadi yang telah membagikan makanan tersebut kepada
mereka?”
Umar
Ra. pun menjawab: “Aku telah berjanji kepada diriku, untuk tidak merasakan
samin dan daging hingga kaum muslimin kenyang dengan keduanya.”
Wahai
saudaraku muslimin dan muslimat, ingat selalu firman Allah dalam al-Quran surat
al-Insan ayat 8-9: “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada
orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberikan
makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak
menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.”
3.
Undangan Untuk Umum
Majelis Nurul
Yaqin “Pengajian Islam
Rahmatan lil ‘Alamin”
Gerakan
Pelestarian: Membaca Al-Quran - Dzikir dan Shalawat - Kajian Kitab Salaf
Bersama: KH.
Thobary Syadzily Al-Bantani, KH. Masrur ‘Ainun Najih, KH. Munawir Muslih
Hari/tanggal:
Ahad 16 Maret 2014
Tempat: Gedung
An-Nahdhoh Jl. Pratama (Puskesmas) RT. 05/03 No. 100 Kel. Ceger Kec. Cipayung
Jakarta Timur 13820
0 komentar:
Posting Komentar