Banyak pihak
dan banyak cara untuk memahami pola pikir dan spirit KH. Abdurrahman Wahid (Gus
Dur) sejak ia terlibat dalam Jamiyah Nahdhatul Ulama (NU). Satu-dua
pendekatan saja, terutama pendekatan sosiologis empirik, akan “terperangah”
oleh hasil final dari realitas gerakan. Gus Dur dalam memimpin NU, atau Gus Dur
sebagai pribadi. Kalau toh menggunakan pendekatan komprehensif, maka Gus Dur
adalah totalitas ekspresi dari keseluruhan akumulasi NU itu sendiri, baik dari
khazanah intelektual, kultural, politik dan harakah organisatoriknya.
Tidak banyak
yang meninjau Gus Dur dari dimensi esoterik, sufistik, bahkan perenialistik.
Padahal untuk memandang Gus Dur, ucapan tindakan dan manuvernya, harus pula
melihat sisi fundamental yang menjadi pijakan spiritualistis Gus Dur, dan
tentunya sangat mempengaruhi strategi-panjang pendek, universal-parsial,
sakral-sekuler, ideal-real, nasionalisme-internasionalisme, dan sebagainya,
bagi kepentingan NU, kebangsaan dan kemanusiaan dunia.
Dengan mengenal
lebih dekat “hati” Gus Dur, akan mudah memahami lompatan-lompatan kultural ke depan,
sehingga pasca Gus Dur kelak bisa lebih bisa melakukan antisipasi secara
visional, tanpa harus membubarkan tatanan yang bertahun-tahun telah
distrukturkan dalam piramida besar NU, sehingga para penerus Gus Dur tidak
canggung bahkan menemukan spirit optimisme yang “suci” pasca Gus Dur.
a.
Hati
Gusdur
Hati Gus Dur
adalah “Rumah Ilahi” atau “‘Arasy Allah”. Rumah yang dipenuhi dengan jutaan
dzikir dan gemuruh musik surgawi, setiap detik, setiap saat, setiap berdiri, bergerak
(qiyaman) dan duduk diam (qu’udan) serta ketika tidur dalam kefanaan (‘ala junubihim).
Rumah Ilahi selalu terjaga (mahfudz) dari segala godaan duniawi, prestisius,
dan segala hal selain Allah, peringatan-peringatan Ilahi dan teguran-teguranNya,
senantiasa “turun” ketika Gus Dur akan berbuat kesalahan, ketika Gus Dur
“frustasi”, ketika Gus Dur terbuai oleh “iming-iming”, atau ketika Gus Dur
terlalu bermimpi.
Itulah
untungnya jadi Gus Dur, tapi juga demikianlah resiko besar yang harus diterima,
manakala Gus Dur menyimpang dan dimensinya, melesat dari Rumah Ilahi, Berat
sekali beban Gus Dur menjaga Rumah Ilahi, lebih berat ketimbang menjaga “rumah
besar” NU, yang konon sebagai “rumah tua yang berwibawa” ini. Sukses Gus Dur
menjaga Rumah Ilahi dalam kalbunya, adalah sukses besar NU. Karena itu di mata
Gus Dur sendiri, menurut hati nuraninya -memimpin NU atau tidak, nilainya
sebanding. Gus Dur bukanlah tipikal seorang yang berambisi menaiki tahapan
derajat duniawi maupun berambisi mendapatkan megamat ruhani-ukhrawi, yang dalam
dunia tasawuf disebut dengan al-Murid. Tetapi Gus Dur adalah sosok yang diburu, dikejar dan dikehendaki oleh tahapan-tahapan
tersebut, dicari oleh massa dan organisasi, bahkan secara radikal dalam sufisme
ia adalah tokoh yang “dicari Tuhan” (al-Murad).
Gus Dur
“dicari” Tuhan, dan ditemukan di lorong-lorong kebudayaan, di ketiak
orang-orang miskin, dalam aliran derasnya keringat para buruh. Allah menemukan
Gus Dur dalam alunan musik klasik, di gedung-gedung bioskop dan di
tengah-tengah supporter sepak bola. Gus Dur diburu Tuhan, ketika berada di sela-sela
kolom surat kabar dan majalah, bahkan diburu sampai ke Israel dan Bosnia. Dan
Gus Dur “ditangkap” Allah, ketika pandangan matanya sudah setengah buta, ketika
merunduk tersenguk-senguk di makam para Auliya. Sayang, Allah memeluk Gus Dur
ketika Gus Dur sudah “gila”, dan memimpin arisan orang-orang yang “gila”
kepadanya.
Benar kata
Khalil Gibran, “Di tengah masyarakat yang terdiri dari orang-orang gila, orang
yang paling waras disebut sebagai orang yang paling gila. Dan di tengah
masyarakat yang terdiri orang-orang yang waras, orang yang paling gila disebut
orang waras.”
Gus Dur
dikatakan “gila” oleh masyarakat gila yang merasa waras. Dan ia disebut sebagai
paling waras di tengah-tengah orang-orang “gila” yang tidak ingin waras.
Kebudayaan “gila” dewasa ini harus diatur oleh orang paling waras, walaupun
orang paling waras itu harus mendapatkan sebutan sebagai orang paling gila.
“Kegilaan” Gus
Dur adalah tipikal paling relevan untuk memimpin masyarakat yang tergila-gila
oleh kegilaan. Sebab Gus Dur adalah terali, tembok, pilar, atap, dan
ornamen-ornamen bagi rumah Ilahi, yang terus mengalami “keterasingan” di
tengah-tengah rumah besarnya sendiri, di tengah-tengah bangsanya sendiri, juga
di sudut-sudut lapuk warga Nahdliyinnya.
Dia Sendiri Adalah Al-Hikam
NU sebenarnya
adalah organisasi paling banyak jumlah kaum ‘arifin-nya dibanding organisasi
keagamaan yang lainnya. Karena itu NU memiliki derajat sebagai satu-satunya
organisasi “Yang Diridhai”, atau mungkin yang lain sekedar diakui, disamakan, atau
“terdaftar” saja dalam catatan lembaran langit.
Kehadiran Gus
Dur untuk mereformasi secara puritan melalui “Khittah 1926” adalah bentuk
perenialisme NU dalam matra zaman yang lebih luas. Bukannya upaya memutar gerak
jarum jam sejarah ke masa Ialu. Tetapi, mundur untuk melompat ke depan lebih
jauh. Lompatan-lompatan dalam visi Gus Dur ketika menerjemahkan Khittah 1926,
merupakan lompatan “spiritual NU” yang kemudian berakses kepada lompatan moral,
politik, kebudayaan dan tradisi intelektual serta sosial-ekonomi.
Lompatan-lompatan ini bisa dilihat dari dimensi paling sederhana, namun
merupakan dimensi paling dalam. Yakni dimensi sufisme yang menjadi “akhlak”
ulama salaf dan ulama-ulama generasi pendiri NU.
Hal yang tidak
bisa dipungkiri, adalah kesatuan para ulama pendiri NU dan Gus Dur sendiri,
dengan wacana-wacana Corpus Tassawuf yang ditulis oleh Taajuddin Ahmad bin Muhammad
bin Abdul Karim bin Atha’illah as-Sakandari, yakni kitab al-Hikam.
Hampir seluruh pesantren salaf di Indonesia, mengkaji kitab tersebut, dan
sekaligus menjadi pijakan moralitasnya.
Kitab al-Hikam,
merupakan magnum corpus kaum sufi, yang mengandung misteri-misteri spiritual
dan sekaligus bisa digunakan untuk memprediksi gelombang pasang surut
spriritual keagamaan semacam yang terjadi dalam tubuh NU, Gus Dur sendiri yang
hafal di luar kepala setiap wacana (matan) kitab al-Hikam ini, tentu
memahami secara lebih massif dan universal bagi kepentingan historis NU. Dalam
bahasa yang paling “tradisional” kembali ke Khittah 1926, berarti kembali ke
dalam dimensi “al-Hikam” tersebut. Karena itu sebelum memimpin NU, Gus Dur
telah menyatu dengan “al-Hikam”, yang kelak ketika memimpin NU, al-Hikam
menjadi instrumen “penggugat” dalam intern NU. Sayangnya, ribuan pesantren di
Indonesia dewasa ini, telah merasa asing dengan kitab ini. Sebab, kitab ini
merupakan kitab instrospektif, kitab yang bisa menusuk diri sendiri, kitab yang
“ditakuti” oleh para kiai. Akhirnya, dari 6.000 pesantren yang ada, hanya
beberapa gelintir saja yang masih mengkaji kitab ini. Fakta ini pula yang
membuat gerakan moral ulama yang dilakukan Gus Dur banyak terhambat.
b.
Matan
Al-Hikam, Khittah 1926 dan Pasca Gus Dur
Coba kita
renungkan sukses besar para pendiri NU ketika mendirikan NU tahun 1926. Kesuksesan
ini erat dengan matan pertama dari al-Hikam: “Diantara tanda bersiteguh terhadap amal,
adalah berkurangnya harapan (kepada Allah) ketika terjadi tindakan dosa.”
Para ulama pendiri
NU dan Gus Dur tidak pernah mengajak warganya untuk bersikap menggantungkan
diri pada upaya dan amalnya, dengan asumsi bahwa amal itu bisa
menyelamatkannya. Kerja organisasi, perjuangan, aktivitas Nadliyin, harus
terjauhkan dari sikap I’timad terhadap amal. Sebab, sikap I’timad seperti itu,
hanya melahirkan ketamakan dalam organisasi dan ambisi historis. I’timad
terhadap amal, ikhtiar, dan upaya-upaya manusiawi hanyalah bentuk “penghalang”
antara hamba dengan Sang Khalik. Amal hanyalah makhluk, bukan Khalik.
Membanggakan makhluk adalah bentuk immoral yang jauh dari harapan spiritual
yang menghantar sukses besar.
Para mujahid di
kalangan ulama NU yang turut menghantar kemerdekaan bangsa ini, sama sekali
menepiskan ketergantungannya terhadap amal dan sejarah. Satu-satunya tempat I’timad
hanyalah Allah. Karena itu Khittah 1926 dulu jauh dari rekayasa-rekayasa ambisi
politik, kalau toh pun ada akan tersingkir oleh sejarah. Ibnu Atha’ilah
mengaitkan kebergantungan terhadap amal tersebut dengan tindakan dosa. Dalam
konteks Khittah 1926, kembali ke Khittah 1926, tidak harus disertai “rasa
bersalah” yang terus menerus, sehingga
mengurangi optimisme masa depan (raja’) itu sendiri. Sebab siapapun yang merasa
“miris” dan pesimis terhadap rahmat Allah ketika ia berbuat dosa, berarti ia
belum bergantung kepada Allah, masih bergantung kepada amalnya. Begitu juga,
warga NU yang masih merasa bersalah atas “dosa sejarah” yang mengakibatkan
dirinya ekslusif, tersingkir, pesimis, dan bahkan cenderung “membangkang”
berarti masih I’timad terhadap upaya amal, bukan I’timad kepada Allah. Sikap
demikian inilah yang ingin “diberantas” Gus Dur.
Fakta demikian
sesuai dengan wacana al-Hikam berikutnya: “Keinginanmu untuk tajrid,
sementara Allah masih memposisikan dirimu pada dimensi sebab akibat (duniawi)
merupakan bagian dari nafsu tersembunyi. Dan keinginanmu kembali pada sebab
akibat (duniawi), sementara Allah sudah memposisikan dirimu dalam dimensi
tajrid, merupakan penurunan (degradasi) dari cita-cita yang luhur.”
Tajrid merupakan
bentuk eskapisme kepada Allah tanpa menghiraukan dimensi selain Allah. Dalam
konteks ke-Gus Dur-an, adalah “tidak mau tahu” urusan organisasi, urusan
kemasyarakatan, urusan kemiskinan dan kebudayaan, bahkan urusan demokratisasi.
Sikap demikian merupakan bentuk eskapisme nafsu yang tersembunyi, bukan
eskapisme kesucian Ilahi. Padahal mayoritas warga NU belum sampai ke tahap
tajrid ini. Lebih ekstrim lagi banyak tokoh-tokoh NU menggunakan baju tajrid
untuk kepentingan pribadinya, kepentingan nama dan perutnya, ya kepentingan
nafsunya. Lebih jauh lagi untuk kepentingan politik kelompok tertentu.
Sebaliknya,
mereka yang sudah sampai pada maqam tajrid dalam konteks ke-NU-an- tiba-tiba
masih berambisi terjun ke dunia kausalitas NU. Tentu, tindakan demikian merupakan
degradasi moral bagi ketokohannya. Para tokoh yang seharusnya “pensiun” dari
NU, untuk lebih mendekatkan diri dalam “wilayah muraqabah dan taqarrub Ilahi”,
ternyata banyak yang “cawe-cawe” ke dunia empirik, yang membuat keruwetan di
tubuh NU. Padahal Allah sudah memberikan “kursi empuk spiritual”, malah memilih
kursi empuk duniawi. Inilah agenda Gus Dur sampai saat ini. Bahwa transformasi
dari tahap kausalitas menuju tahap tajrid dalam NU, adalah tahap perjuangan
dari unsur kepentingan menuju unsur “kepentingan Ilahi”, dari hal-hal yang
bersifat empirik ke esoterik. Sukses besar NU manakala NU mampu melakukan
transformasi menuju “tajrid” peradaban yang luhur.
Matan al-Hikam
selanjutnya adalah: “Tercapainya cita-cita tidak bisa mengubah dinding
takdir.”
Gagalkah Gus
Dur? Gagal dan tidak, harus ditinjau dari prespektif yang luas. Ditinjau dari
segi al-Hikam, keberhasilan Gus Dur dengan Khittah 1926, bukan karena
Gus Dur atau para pendukungnya. Hakikat keberhasilan Gus Dur yang ada, sama
sekali tidak takdir Ilahi terhadap NU.
Ikhtiar, upaya,
semangat, jihad, adalah “tanda-tanda” sukses NU, bukannya faktor penentunya.
Dalam dimensi tasawuf al-Hikam, apabila NU ditakdirkan berhasil dan
sukses, akan banyak Gus Dur lain yang memiliki visi dan ruh yang sama. Bukan
sebaliknya. Namun kenyataannya, justru sebaliknya. Banyak tokoh-tokoh NU yang
merasa mampu mengubah takdir Allah, dan ketika berhasil menganggap sebagai
upayanya sendiri tanpa campur tangan Ilahi. Kecuali kalau gagal, baru
mengatakan, “Demikianlah takdir Allah…!”
Karena itulah, al-Hikam
menyarankan pada matan selanjutnya: “Abaikanlah dirimu untuk ikut campur
(urusan Allah), sebab apa yang sudah diurus oleh selain dirimu berkaitan dengan
dirimu, Anda jangan ikut campur di dalamnya untuk kepentinganmu.”
Selanjutnya Gus
Dur pun sering menghimbau kepada para kiai dan ulama, khususnya kalangan NU,
agar tidak ikut mencampuri urusan yang bukan bidangnya. Misalnya urusan
pencalonan presiden maupun gubernur, ataupun bupati. Urusan tersebut ada yang
berwenang menangani. Ikut campur di luar bidangnya adalah bentuk salah kaprah
yang fatal, dan menjadi kerumitan dinamika NU.
Dan matan al-Hikam
berikutnya berbunyi: “Ijtihad Anda pada hal-hal yang sudah dijamin untuk
diri Anda, dan sikap teledor Anda terhadap kewajiban yang harus Anda penuhi,
merupakan bukti atas kekaburan mata hati Anda.”
Bayangkan,
berapa ribuan tokoh-tokoh NU yang mata hatinya kabur, karena etika dan sikap
moralnya yang teledor, hanya karena mementingkan tuntutannya dibandingkan mementingkan
tugasnya?
Gus Dur tidak
pernah putus asa. Walaupun ia dituntut terus menerus, khususnya pada setiap
even dan momen tertentu. Gus Dur hariya bisa kembali sebagaimana wacana al-Hikam
dari matan ke matan berikutnya.
Dan sungguh,
matan-matan al-Hikam, tertib dan strukturnya, mulai awal hingga akhir,
yang memenuhi lembaran-lembaran kitab, merupakan kesimpulan dari perjalanan
spriritual penempuh jalan sufi, sekaligus juga peristiwa-peristiwa dalam
konteks NU yang bakal maujud dalam sejarah NU dan umat Islam. Karena itu
membaca NU pasca Gus Dur akan sangat mudah dengan membaca al-Hikam
dengan penafsiran dinamika NU, karena di sana penuh dengan solusi-solusi
langsung dan aktual.
Dalam prediksi
matan al-Hikam, NU pasca Gus Dur adalah pertama-tama NU akan melewati
perebutan-perebutan ambisi yang saling menyodorkan alternatif. Sedangkan
alternatif yang disodorkan oleh Khittah 1926, sebagai visi Gus Dur, dianggap
belum tuntas. Padahal Gus Dur, sebagaimana al-Hikam, menyandarkan titik
akhir sejarah NU hanya kepada “alternative yang terbaik menurut Allah”,
alternatif konsepsionalisasi yang direkayasa atau dipaksakan menurut penilaian
tarbaik manusia. Kapan dan bagaimana allternatif Ilahi NU teraktualisasi dalam
sejarah. Menurut Gus Dur dan al-Hikam, hanya Allah saja yang tahu kapan
aktualisasi historis idealisme itu maujud secara proporsional.
Paling tidak,
Gus Dur walaupun belum maksimal telah melampaui tiga matan al-Hikam di
atas, dalam konstelasi ke-NU-annya. Tugas pelanjut Gus Dur adalah menerjemahkan
matan-matan berikutnya dan konteks spirit NU masa depan, melalui solusi yang
ditawarkan oleh al-Hikam. Dalam hal ini, sangat dibutuhkan suatu Syarah al-Hikam
yang konstektual dengan NU modern. Suatu tantangan bagi kaum spiritulis NU yang
memiliki “kearifan” dalam sejarah.
Sebagaimana
para pembaharu atau mujtahid dalam dunia Islam, pasca mujtahid adalah para
komentator, interpretator, dan kreator yang lebih spesialis dan detil. Maka,
pasca Gus Dur, adalah Gus Dur-Gus Dur “kecil” yang “cantik” dan “indah” yang
mampu mengepakkan sayap-sayapnya menjadi tarian yang rampak. Tarian “Gusduriyah”.
(Diedit ulang dari tulisan KH. Muhammad Luqman Hakim (PETA
Tulungagung).
Sya’roni As-Samfuriy, Cilangkap Jaktim 31 Januari 2014
0 komentar:
Posting Komentar