Halaman

Kamis, 30 Januari 2014

MENCEGAT LOMPATAN-LOMPATAN GUSDUR, TINJAUAN SUFISME AL-HIKAM



Banyak pihak dan banyak cara untuk memahami pola pikir dan spirit KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sejak ia terlibat dalam Jamiyah Nahdhatul Ulama (NU). Satu-dua pendekatan saja, terutama pendekatan sosiologis empirik, akan “terperangah” oleh hasil final dari realitas gerakan. Gus Dur dalam memimpin NU, atau Gus Dur sebagai pribadi. Kalau toh menggunakan pendekatan komprehensif, maka Gus Dur adalah totalitas ekspresi dari keseluruhan akumulasi NU itu sendiri, baik dari khazanah intelektual, kultural, politik dan harakah organisatoriknya.

Tidak banyak yang meninjau Gus Dur dari dimensi esoterik, sufistik, bahkan perenialistik. Padahal untuk memandang Gus Dur, ucapan tindakan dan manuvernya, harus pula melihat sisi fundamental yang menjadi pijakan spiritualistis Gus Dur, dan tentunya sangat mempengaruhi strategi-panjang pendek, universal-parsial, sakral-sekuler, ideal-real, nasionalisme-internasionalisme, dan sebagainya, bagi kepentingan NU, kebangsaan dan kemanusiaan dunia.

Dengan mengenal lebih dekat “hati” Gus Dur, akan mudah memahami lompatan-lompatan kultural ke depan, sehingga pasca Gus Dur kelak bisa lebih bisa melakukan antisipasi secara visional, tanpa harus membubarkan tatanan yang bertahun-tahun telah distrukturkan dalam piramida besar NU, sehingga para penerus Gus Dur tidak canggung bahkan menemukan spirit optimisme yang “suci” pasca Gus Dur.

a.      Hati Gusdur

Hati Gus Dur adalah “Rumah Ilahi” atau “‘Arasy Allah”. Rumah yang dipenuhi dengan jutaan dzikir dan gemuruh musik surgawi, setiap detik, setiap saat, setiap berdiri, bergerak (qiyaman) dan duduk diam (qu’udan) serta ketika tidur dalam kefanaan (‘ala junubihim). Rumah Ilahi selalu terjaga (mahfudz) dari segala godaan duniawi, prestisius, dan segala hal selain Allah, peringatan-peringatan Ilahi dan teguran-teguranNya, senantiasa “turun” ketika Gus Dur akan berbuat kesalahan, ketika Gus Dur “frustasi”, ketika Gus Dur terbuai oleh “iming-iming”, atau ketika Gus Dur terlalu bermimpi.

Itulah untungnya jadi Gus Dur, tapi juga demikianlah resiko besar yang harus diterima, manakala Gus Dur menyimpang dan dimensinya, melesat dari Rumah Ilahi, Berat sekali beban Gus Dur menjaga Rumah Ilahi, lebih berat ketimbang menjaga “rumah besar” NU, yang konon sebagai “rumah tua yang berwibawa” ini. Sukses Gus Dur menjaga Rumah Ilahi dalam kalbunya, adalah sukses besar NU. Karena itu di mata Gus Dur sendiri, menurut hati nuraninya -memimpin NU atau tidak, nilainya sebanding. Gus Dur bukanlah tipikal seorang yang berambisi menaiki tahapan derajat duniawi maupun berambisi mendapatkan megamat ruhani-ukhrawi, yang dalam dunia tasawuf disebut dengan al-Murid. Tetapi Gus Dur adalah sosok  yang diburu, dikejar dan dikehendaki oleh tahapan-tahapan tersebut, dicari oleh massa dan organisasi, bahkan secara radikal dalam sufisme ia adalah tokoh yang “dicari Tuhan” (al-Murad).

Gus Dur “dicari” Tuhan, dan ditemukan di lorong-lorong kebudayaan, di ketiak orang-orang miskin, dalam aliran derasnya keringat para buruh. Allah menemukan Gus Dur dalam alunan musik klasik, di gedung-gedung bioskop dan di tengah-tengah supporter sepak bola. Gus Dur diburu Tuhan, ketika berada di sela-sela kolom surat kabar dan majalah, bahkan diburu sampai ke Israel dan Bosnia. Dan Gus Dur “ditangkap” Allah, ketika pandangan matanya sudah setengah buta, ketika merunduk tersenguk-senguk di makam para Auliya. Sayang, Allah memeluk Gus Dur ketika Gus Dur sudah “gila”, dan memimpin arisan orang-orang yang “gila” kepadanya.

Benar kata Khalil Gibran, “Di tengah masyarakat yang terdiri dari orang-orang gila, orang yang paling waras disebut sebagai orang yang paling gila. Dan di tengah masyarakat yang terdiri orang-orang yang waras, orang yang paling gila disebut orang waras.”

Gus Dur dikatakan “gila” oleh masyarakat gila yang merasa waras. Dan ia disebut sebagai paling waras di tengah-tengah orang-orang “gila” yang tidak ingin waras. Kebudayaan “gila” dewasa ini harus diatur oleh orang paling waras, walaupun orang paling waras itu harus mendapatkan sebutan sebagai orang paling gila.

“Kegilaan” Gus Dur adalah tipikal paling relevan untuk memimpin masyarakat yang tergila-gila oleh kegilaan. Sebab Gus Dur adalah terali, tembok, pilar, atap, dan ornamen-ornamen bagi rumah Ilahi, yang terus mengalami “keterasingan” di tengah-tengah rumah besarnya sendiri, di tengah-tengah bangsanya sendiri, juga di sudut-sudut lapuk warga Nahdliyinnya.

Dia Sendiri Adalah Al-Hikam

NU sebenarnya adalah organisasi paling banyak jumlah kaum ‘arifin-nya dibanding organisasi keagamaan yang lainnya. Karena itu NU memiliki derajat sebagai satu-satunya organisasi “Yang Diridhai”, atau mungkin yang lain sekedar diakui, disamakan, atau “terdaftar” saja dalam catatan lembaran langit.

Kehadiran Gus Dur untuk mereformasi secara puritan melalui “Khittah 1926” adalah bentuk perenialisme NU dalam matra zaman yang lebih luas. Bukannya upaya memutar gerak jarum jam sejarah ke masa Ialu. Tetapi, mundur untuk melompat ke depan lebih jauh. Lompatan-lompatan dalam visi Gus Dur ketika menerjemahkan Khittah 1926, merupakan lompatan “spiritual NU” yang kemudian berakses kepada lompatan moral, politik, kebudayaan dan tradisi intelektual serta sosial-ekonomi. Lompatan-lompatan ini bisa dilihat dari dimensi paling sederhana, namun merupakan dimensi paling dalam. Yakni dimensi sufisme yang menjadi “akhlak” ulama salaf dan ulama-ulama generasi pendiri NU.

Hal yang tidak bisa dipungkiri, adalah kesatuan para ulama pendiri NU dan Gus Dur sendiri, dengan wacana-wacana Corpus Tassawuf yang ditulis oleh Taajuddin Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim bin Atha’illah as-Sakandari, yakni kitab al-Hikam. Hampir seluruh pesantren salaf di Indonesia, mengkaji kitab tersebut, dan sekaligus menjadi pijakan moralitasnya.

Kitab al-Hikam, merupakan magnum corpus kaum sufi, yang mengandung misteri-misteri spiritual dan sekaligus bisa digunakan untuk memprediksi gelombang pasang surut spriritual keagamaan semacam yang terjadi dalam tubuh NU, Gus Dur sendiri yang hafal di luar kepala setiap wacana (matan) kitab al-Hikam ini, tentu memahami secara lebih massif dan universal bagi kepentingan historis NU. Dalam bahasa yang paling “tradisional” kembali ke Khittah 1926, berarti kembali ke dalam dimensi “al-Hikam” tersebut. Karena itu sebelum memimpin NU, Gus Dur telah menyatu dengan “al-Hikam”, yang kelak ketika memimpin NU, al-Hikam menjadi instrumen “penggugat” dalam intern NU. Sayangnya, ribuan pesantren di Indonesia dewasa ini, telah merasa asing dengan kitab ini. Sebab, kitab ini merupakan kitab instrospektif, kitab yang bisa menusuk diri sendiri, kitab yang “ditakuti” oleh para kiai. Akhirnya, dari 6.000 pesantren yang ada, hanya beberapa gelintir saja yang masih mengkaji kitab ini. Fakta ini pula yang membuat gerakan moral ulama yang dilakukan Gus Dur banyak terhambat.

b.      Matan Al-Hikam, Khittah 1926 dan Pasca Gus Dur

Coba kita renungkan sukses besar para pendiri NU ketika mendirikan NU tahun 1926. Kesuksesan ini erat dengan matan pertama dari al-Hikam:  “Diantara tanda bersiteguh terhadap amal, adalah berkurangnya harapan (kepada Allah) ketika terjadi tindakan dosa.”

Para ulama pendiri NU dan Gus Dur tidak pernah mengajak warganya untuk bersikap menggantungkan diri pada upaya dan amalnya, dengan asumsi bahwa amal itu bisa menyelamatkannya. Kerja organisasi, perjuangan, aktivitas Nadliyin, harus terjauhkan dari sikap I’timad terhadap amal. Sebab, sikap I’timad seperti itu, hanya melahirkan ketamakan dalam organisasi dan ambisi historis. I’timad terhadap amal, ikhtiar, dan upaya-upaya manusiawi hanyalah bentuk “penghalang” antara hamba dengan Sang Khalik. Amal hanyalah makhluk, bukan Khalik. Membanggakan makhluk adalah bentuk immoral yang jauh dari harapan spiritual yang menghantar sukses besar.

Para mujahid di kalangan ulama NU yang turut menghantar kemerdekaan bangsa ini, sama sekali menepiskan ketergantungannya terhadap amal dan sejarah. Satu-satunya tempat I’timad hanyalah Allah. Karena itu Khittah 1926 dulu jauh dari rekayasa-rekayasa ambisi politik, kalau toh pun ada akan tersingkir oleh sejarah. Ibnu Atha’ilah mengaitkan kebergantungan terhadap amal tersebut dengan tindakan dosa. Dalam konteks Khittah 1926, kembali ke Khittah 1926, tidak harus disertai “rasa bersalah” yang terus menerus,  sehingga mengurangi optimisme masa depan (raja’) itu sendiri. Sebab siapapun yang merasa “miris” dan pesimis terhadap rahmat Allah ketika ia berbuat dosa, berarti ia belum bergantung kepada Allah, masih bergantung kepada amalnya. Begitu juga, warga NU yang masih merasa bersalah atas “dosa sejarah” yang mengakibatkan dirinya ekslusif, tersingkir, pesimis, dan bahkan cenderung “membangkang” berarti masih I’timad terhadap upaya amal, bukan I’timad kepada Allah. Sikap demikian inilah yang ingin “diberantas” Gus Dur.

Fakta demikian sesuai dengan wacana al-Hikam berikutnya: “Keinginanmu untuk tajrid, sementara Allah masih memposisikan dirimu pada dimensi sebab akibat (duniawi) merupakan bagian dari nafsu tersembunyi. Dan keinginanmu kembali pada sebab akibat (duniawi), sementara Allah sudah memposisikan dirimu dalam dimensi tajrid, merupakan penurunan (degradasi) dari cita-cita yang luhur.”

Tajrid merupakan bentuk eskapisme kepada Allah tanpa menghiraukan dimensi selain Allah. Dalam konteks ke-Gus Dur-an, adalah “tidak mau tahu” urusan organisasi, urusan kemasyarakatan, urusan kemiskinan dan kebudayaan, bahkan urusan demokratisasi. Sikap demikian merupakan bentuk eskapisme nafsu yang tersembunyi, bukan eskapisme kesucian Ilahi. Padahal mayoritas warga NU belum sampai ke tahap tajrid ini. Lebih ekstrim lagi banyak tokoh-tokoh NU menggunakan baju tajrid untuk kepentingan pribadinya, kepentingan nama dan perutnya, ya kepentingan nafsunya. Lebih jauh lagi untuk kepentingan politik kelompok tertentu.

Sebaliknya, mereka yang sudah sampai pada maqam tajrid dalam konteks ke-NU-an- tiba-tiba masih berambisi terjun ke dunia kausalitas NU. Tentu, tindakan demikian merupakan degradasi moral bagi ketokohannya. Para tokoh yang seharusnya “pensiun” dari NU, untuk lebih mendekatkan diri dalam “wilayah muraqabah dan taqarrub Ilahi”, ternyata banyak yang “cawe-cawe” ke dunia empirik, yang membuat keruwetan di tubuh NU. Padahal Allah sudah memberikan “kursi empuk spiritual”, malah memilih kursi empuk duniawi. Inilah agenda Gus Dur sampai saat ini. Bahwa transformasi dari tahap kausalitas menuju tahap tajrid dalam NU, adalah tahap perjuangan dari unsur kepentingan menuju unsur “kepentingan Ilahi”, dari hal-hal yang bersifat empirik ke esoterik. Sukses besar NU manakala NU mampu melakukan transformasi menuju “tajrid” peradaban yang luhur.

Matan al-Hikam selanjutnya adalah: “Tercapainya cita-cita tidak bisa mengubah dinding takdir.”

Gagalkah Gus Dur? Gagal dan tidak, harus ditinjau dari prespektif yang luas. Ditinjau dari segi al-Hikam, keberhasilan Gus Dur dengan Khittah 1926, bukan karena Gus Dur atau para pendukungnya. Hakikat keberhasilan Gus Dur yang ada, sama sekali tidak takdir Ilahi terhadap NU.

Ikhtiar, upaya, semangat, jihad, adalah “tanda-tanda” sukses NU, bukannya faktor penentunya. Dalam dimensi tasawuf al-Hikam, apabila NU ditakdirkan berhasil dan sukses, akan banyak Gus Dur lain yang memiliki visi dan ruh yang sama. Bukan sebaliknya. Namun kenyataannya, justru sebaliknya. Banyak tokoh-tokoh NU yang merasa mampu mengubah takdir Allah, dan ketika berhasil menganggap sebagai upayanya sendiri tanpa campur tangan Ilahi. Kecuali kalau gagal, baru mengatakan, “Demikianlah takdir Allah…!”

Karena itulah, al-Hikam menyarankan pada matan selanjutnya: “Abaikanlah dirimu untuk ikut campur (urusan Allah), sebab apa yang sudah diurus oleh selain dirimu berkaitan dengan dirimu, Anda jangan ikut campur di dalamnya untuk kepentinganmu.”

Selanjutnya Gus Dur pun sering menghimbau kepada para kiai dan ulama, khususnya kalangan NU, agar tidak ikut mencampuri urusan yang bukan bidangnya. Misalnya urusan pencalonan presiden maupun gubernur, ataupun bupati. Urusan tersebut ada yang berwenang menangani. Ikut campur di luar bidangnya adalah bentuk salah kaprah yang fatal, dan menjadi kerumitan dinamika NU.

Dan matan al-Hikam berikutnya berbunyi: “Ijtihad Anda pada hal-hal yang sudah dijamin untuk diri Anda, dan sikap teledor Anda terhadap kewajiban yang harus Anda penuhi, merupakan bukti atas kekaburan mata hati Anda.”

Bayangkan, berapa ribuan tokoh-tokoh NU yang mata hatinya kabur, karena etika dan sikap moralnya yang teledor, hanya karena mementingkan tuntutannya dibandingkan mementingkan tugasnya?

Gus Dur tidak pernah putus asa. Walaupun ia dituntut terus menerus, khususnya pada setiap even dan momen tertentu. Gus Dur hariya bisa kembali sebagaimana wacana al-Hikam dari matan ke matan berikutnya.

Dan sungguh, matan-matan al-Hikam, tertib dan strukturnya, mulai awal hingga akhir, yang memenuhi lembaran-lembaran kitab, merupakan kesimpulan dari perjalanan spriritual penempuh jalan sufi, sekaligus juga peristiwa-peristiwa dalam konteks NU yang bakal maujud dalam sejarah NU dan umat Islam. Karena itu membaca NU pasca Gus Dur akan sangat mudah dengan membaca al-Hikam dengan penafsiran dinamika NU, karena di sana penuh dengan solusi-solusi langsung dan aktual.

Dalam prediksi matan al-Hikam, NU pasca Gus Dur adalah pertama-tama NU akan melewati perebutan-perebutan ambisi yang saling menyodorkan alternatif. Sedangkan alternatif yang disodorkan oleh Khittah 1926, sebagai visi Gus Dur, dianggap belum tuntas. Padahal Gus Dur, sebagaimana al-Hikam, menyandarkan titik akhir sejarah NU hanya kepada “alternative yang terbaik menurut Allah”, alternatif konsepsionalisasi yang direkayasa atau dipaksakan menurut penilaian tarbaik manusia. Kapan dan bagaimana allternatif Ilahi NU teraktualisasi dalam sejarah. Menurut Gus Dur dan al-Hikam, hanya Allah saja yang tahu kapan aktualisasi historis idealisme itu maujud secara proporsional.

Paling tidak, Gus Dur walaupun belum maksimal telah melampaui tiga matan al-Hikam di atas, dalam konstelasi ke-NU-annya. Tugas pelanjut Gus Dur adalah menerjemahkan matan-matan berikutnya dan konteks spirit NU masa depan, melalui solusi yang ditawarkan oleh al-Hikam. Dalam hal ini, sangat dibutuhkan suatu Syarah al-Hikam yang konstektual dengan NU modern. Suatu tantangan bagi kaum spiritulis NU yang memiliki “kearifan” dalam sejarah.

Sebagaimana para pembaharu atau mujtahid dalam dunia Islam, pasca mujtahid adalah para komentator, interpretator, dan kreator yang lebih spesialis dan detil. Maka, pasca Gus Dur, adalah Gus Dur-Gus Dur “kecil” yang “cantik” dan “indah” yang mampu mengepakkan sayap-sayapnya menjadi tarian yang rampak. Tarian “Gusduriyah”.

(Diedit ulang dari tulisan KH. Muhammad Luqman Hakim (PETA Tulungagung).

Sya’roni As-Samfuriy, Cilangkap Jaktim 31 Januari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar