Direktur
Eksekutif the WAHID Institute, Ahmad Suaedy, melakukan safari guna mendakwahkan
Islam damai di Australia, 7–22 April 2008. Kunjungannya ke Negeri Kangguru itu
atas undangan Flinders Asia Centre, Universitas Flinders di Adelaide dan Center
for Islam and Modernity (CIM), Universitas Monash di Melbourne, Victoria.
Selain
di dua perguruan tinggi tersebut, Suaedy juga menyampaikan pandangannya
mengenai Islam dan dinamika politik Indonesia di Universitas Melbourne yang
diprakarsai oleh Melbourne Inisiative (MI), dan Persatuan Mahasiswa Indonesia
Australia (Permiaus) di Adelaide.
Dalam
kunjungannya itu, Suaedy juga menyempatkan untuk membahas riset-riset dengan
mahasiswa S2 dan S3 di Victoria University di Melbourne. Dia diminta untuk
memberi masukan yang berkaitan dengan riset-riset tentang Islam di Indonesia
yang sedang berlangsung untuk S2 dan S3 di universitas tersebut.
Di
depan peserta seminar yang diselenggarakan CIM Monash University, Suaedy
menyampaikan makalah mengenai “Radical Islamism, the fatwa of the Indonesia
Council of Ulama (MUI) and Sectarianism in Contemporary Indonesia”.
Dia
mengatakan, basis ekspresi Islam Indonesia adalah dialogis, damai dan
multikutlural. Namun belakangan ini memang muncul berbagai gerakan yang
cenderung ke arah kekerasan dan radikal karena pengaruh Islam lokal yang sedang
terjadi peperangan dan kekerasan seperti di Afganistan, Irak dan Palestina.
Sistem
keanggotaan di Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang lebih bersifat organisasi
ketimbang individu membuat semua organisasi besar maupun kecil memperoleh
representasi yang sama dalam lembaga yang didirikan Soeharto untuk mengontrol
gerakan Islam tersebut. Dengan demikian, memungkinkan kelompok-kelompok radikal
yang jumlah anggotanya kecil tetapi organisasinya banyak, mampu menguasai
produk-produk atau fatwa-fatwa MUI.
Sedangkan
Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang jumlah anggotanya sangat besar,
karena representasinya sama, maka seolah tidak terlihat perannya yang
memadai. “Karena itulah fatwa-fatwa MUI untuk sekitar 10 tahun terakhir
cenderung ke arah radikal dan anti demokrasi serta anti Bhinneka Tunggal Ika,”
ujarnya mengutip acuan didirikannya negara Indonesia itu yang menjunjung
multikulturalisme.
“Dari sudut sistem keanggotaan, bisa dikatakan
sekarang ini MUI adalah bunker dari gerakan-gerakan radikal tersebut. Karena
pemerintah ikut membiayai MUI, itu sama dengan membiayai kelompok-kelompok
radikal tersebut,” ujar Suaedy.
Sementara
di Flinders Asia Centre, sebuah lembaga riset di bawah naungan Universitas
Flinders, Suaedy menyampaikan makalah “Reflections on the Ten Years of
Reformasi in Indonesia: Pluralism and Challenging for Democratization” (lihat: paper
dalam bahasa Indonesia).
Dalam
workshop itu Suaedy mengatakan bahwa secara konstitusional pasca reformasi
melalui amandemen konstitusi UU 1945, Indonesia praktis adalah negara sekuler,
dalam arti negara yang melindungi seluruh tumpah darah bangsa Indonesia dengan
tidak membedakan warna kulit, kepemelukan agama, etnisitas, gender dan lain
sebagainya.
Sayangnya
konstitusi yang nyaris sempurna tersebut, belum terimplementasikan ke dalam
praktik politik dan hukum. Dalam berbagai isu antar agama, hukum sering dipakai
oleh kelompok kuat untuk mendiskriminasi dengan melakukan tekanan massa
terhadap pengadilan, terutama tentang kasus-kasus, “penodaan agama atau
blashpemy.”
Dalam
penegakan hukum dan politik, pemerintah hampir tidak berdaya mencegah
terjadinya eskalasi kekerasan antar agama yang terus meningkat terutama
terhadap kelompok-kelompok kecil yang disebutnya sebagai religious creative
atau aliran baru.
Ketika
ditanya penyebab eskalasi kekerasan terhadap Ahmadiyah. Suaedy menjawab, ini
disebabkan ketidaktegasan Presiden SBY. Presiden, menurutnya, membiarkan
kekerasan itu terus berlangsung. Pemerintah daerah dan polisi dibiarkan
mengatasi persoalan penting ini tanpa petunjuk dari pusat.
“SBY sepertinya disandera oleh kelompok-kelompok
kecil tapi radikal ini, karena mereka itulah satu-satunya harapan dukungan dia
dalam pemilu 2009. Karena bagai pasangan suami istri, Jusuf Kalla dan Golkar
sebagai partai besar yang berkuasa, tinggal menunggu ketok palu KUA untuk
bercerai dengan SBY. Jadi, ini ironi seorang bekas jenderal militer yang lebih
mementingkan keuntungan jangka pendek dan jabatan untuk dirinya ketimbang
keselamatan bangsa. Karena itu mungkin kekerasan ini akan terus berlanjut,” ujar Suaedy.
Suaedy
memperkirakan kalau benar pemerintah akan melarang Ahmadiyah secara resmi
melalui keputusan politik dan tidak melalui proses hukum, maka SBY bisa
di-impeach, atau setidaknya akan ada kelompok politik dan masyarakat akan
mendorong ke arah sana. “Karena
pelarangan Ahmadiyah itu benar-benar melanggar konstitusi,” tegasnya.
(GF-mospagebreak).
REFLEKSI 10 TAHUN REFORMASI
“Pluralisme Pasca Reformasi Indonesia: Tantangan dan Arah Baru”
Oleh: Ahmad Suaedy
Pendahuluan
Fenomena
paling menonjol di Indonesia di ujung tahun 2007 dan awal 2008 adalah kekerasan
antar kelompok agama. Berbagai catatan akhir dan awal tahun oleh lembaga-lembaga
swadaya masyarakat yang menekuni bidang hak asasi manusia dan kebebasan
beragama dan berkeyakinan menunjukkan keprihatian yang mendalam dan deretan
catatan tentang arus pasang kekerasan antar kelompok agama (lihat Monthly
Report on Religious Issues- the Wahid Instituteselanjutnya disebut MRRI-WI No.
4, 5, dan 6).
Namun
yang lebih penting dari itu adalah bahwa peran Majelis Ulama Indonesia (MUI)
dan juga Ormas-ormas Islam lainnya dalam ikut menentukan persepsi masyarakat
tentang mana agama yang sah dan sesat --yang menimbulkan kekerasan-- atau
seharusnya dilenyapkan dari bumi Indonesia (MRRI-The WI,No. 4).
Dan
di sisi lain, masih dalam berbagai catatan tersebut, ketidakmampuan aparat
negara untuk menghentikan kekerasan dan memberi hukuman kepada para pelaku
kekerasan. Alih-alih, aparat negara justeru menangkap dan menghukum mereka yang
dituduh sesat atau dalam hal ini, korban.
Dengan
ilustrasi di atas hendak dikatakan bahwa dalam berbagai aksi kekerasan tersebut
terdapat setidaknya tiga dimensi. Yaitu, dimensi agama yang diperankan oleh
organisasi keagamaan seperti MUI dan ormas Islam yang menjadi salah satu aktor
penting dalam membentuk perspesi masyarakat; dimensi negara yang diperankan
oleh aparat keamanan dan hukum yang tidak mampu memberikan keamanan dan
perlindungan kepada korban; dan dimensi civil society yang diperankan para
pelaku kekerasan yang secara sosial semestinya memiliki batas-batas solidaritas
dan toleransi tertentu yang dibutuhkan. Jika masing-masing hal tersebut
diluaskan dimensinya maka, aparat negara bisa diikutkan di dalamnya berbagai
aturan dan perundang-undangan yang tidak mendukung atau bahkan cenderung
bertentangan dengan Konstitusi negara dan mengancam harmoni antar kelompok
masyarakat dalam Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika.
Dimensi
agama dalam realitasnya juga menyangkut berbagai ajaran dan metode dakwah yang
cenderung black campaign atas agama dan kelompok lain, termasuk di dalamnya
materi dan kirukulum pendidikan keagamaan. Hal ini sungguh-sungguh dirasakan tidak
membantu terbangunnya sebuah etika dan tatanan sosial yang kondusif bagi terjaganya
pluralitas dan ke-bhineka-an yang menjadi ciri utama bangsa Indonesia dan
tonggak penting bagi terbangunnya masyarakat dan negara Indonesia yang merdeka
dan berdaulat. Sedangkan dimensi civil society tercakup di dalamnya
terbangunnya berbagai kelompok anti pluralis dan fundamentalis dengan klaim
kelompoknya paling benar dan karena itu boleh melenyapkan pihak lain, baik oleh
dirinya maupun berupa desakan terhadap pemerintah.
Artinya
pula, 10 tahun reformasi Indonesia sejak jatuhnya rezim Orde Baru, masih
menyisakan suatu situasi yang mungkin saja berbalik (set back) jika hal
demikian tidak bisa diatasi oleh pemerintah melalui penegakan hukum, toleransi
beragama yang diperlukan serta terbangunnya solidaritas yang dibutuhkan dalam
suatu masyarakat yang dewasa. Prosedur demokrasi yang nyaris sepenuhnya liberal
di Indonesia seperti multipartai dalam pemilu yang relatif bebas (UU tentang
Partai Politik No. 31/Th. 2004, sedang diperbaharui di parlemen untuk Pemilu
2009) dan pemilihan langsung presiden serta kepala daerah (UU tentang Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden No. 23/Th. 2003), serta desentralisasi atau otonomi
daerah (UU No. 25 th. 2004 dan kemudian diperbaharui UU No. 32 Th. 2004))
menyisakan problem sosial yang besar berupa belum terbangunnya kultur demokrasi
yang lebih kokoh.
Kerangka Tinjauan
Pluralisme
dalam definisinya yang komprehensif bisa ditunjukkan seperti oleh
Merriam-Webster bahwa pluralisme adalah “a state of society in which members of
diverse ethnic, racial, religious, or social groups maintain an autonomous
participation in and development of their traditional culture or special
interest within the confines of a common civilization.” Dengan demikian,
pluralisme bisa tidak hanya menyangkut agama melainkan etnisitas, kelompok
sosial dan ras. Dengan kata lain, dengan menyebut pluralisme bisa dicakup di
dalamnya multikulturalisme dan aspek-aspek lain.
Namun,
definisi demikian perlu segera diberi catatan bahwa kata pluralisme harus tidak
diletakkan sebagai kata benda yang statis, dimana seolah situasi seperti itu
tercipta secara given dan dengan sendirinya, melainkan definisi demikian musti
dipahami sebagai kata kerja. Yakni, bisa diuraiakan bahwa pluralisme sebagai
suatu usaha untuk menciptakan situasi demikian. Diletakkan dalam kerangka
demokrasi, maka pluralisme sesungguhnya menjadi bagian terpenting dan
menentukan dalam proses demokratisasi. Tanpa pluralisme, artinya terciptanya
situasi demikian, bisa dikatakan demokrasi tidak akan pernah terjadi.
Dengan
demikian pula, betapapun secara prosedural Indonesia kini sudah demikian jauh,
bahkan mungkin melampaui apa yang dipersyaratkan oleh demokrasi liberal sekali
pun, jika kondisi pluralisme tidak tercipta, maka demokrasi prosedural tidak
berimplikasi apa-apa atas kehidupan masyarakat yang lebih dewasa dan sejahtera.
Pluralisme mungkin bisa disetarakan dengan adil atau terciptanya keadilan dalam
ekonomi dan kesejahteraan. Betapapun demokratisnya dalam prosedur politik, tak
memiliki implikasi apa-apa tanpa adanya peningkatan kesejahteraan rakyat dan
terciptanya keadilan dalam kehidupan ekonomi dan kesetaraan dalam hukum serta
kesempatan kerja, misalnya.
Mengikuti
refleksi dari Bob Hefner atas perkembangan peran kelompok-kelompok Islam atas
demokratisasi di Indonesia tahun 19990an, umpamanya, dikatakan bahwa “Democracy requires a noncoercive culture
that encourages citizens to respect the rights of others as well as to cherish
their own. This public culture depends on mediating institutions in which
citizens develop habits of free speech, participation, dan toleration”
(Hefner, 2000:13). Dengan kata lain pula, jaminan untuk kebebasan beragama dan
berekspresi, seharusnya lebih tinggi dari sebelumnya, baik jaminan hukum dan
politik oleh pemerintah maupun toleransi dan solidaritas dari masyarakat.
Tulisan
ini akan mencoba melihat perkembangan paska reformasi terhadap tiga dimensi
tersebut, bagaimanakah kenyataan pluralisme atau kebebasan beragama pada umumnya
dan apa tantangan-tantangan ke depan. Di akhir tulisan akan coba ditelusuri
sejumlah kelompok atau komunitas yang berperan sebagai, apa yang oleh Hefner
disebut, “mediating institutions,” untuk mengantar masa depan tersebut. Dan
pada akhirnya diperlukan penilaian, sejauhmana kelompok dan komunitas tersebut
mampu memerankannya.
Konstitusi dan Hukum dalam Teori dan Praktik
Dari
perspektif konstitusi-tekstual, mungkin boleh dikatakan, seperti juga dalam
prosedur demokrasi, Indonesia menuju sempurna dalam jaminan kebebasan beragama
dan berekspresi. Lebih dari itu mungkin bisa diekplisitkan bahwa eksistensi
negara Indonesia telah mendekati karakter negara sekular yang tidak memihak
salah satu agama tertentu dan memberikan jaminan bagi semua agama dan kepercayaan.
Ini bisa dilihat dari substansi dan pasal-pasal dalam konstitusi UU 1945
–amandemen--, misalnya pasal 28 ayat e yang secara eksplisit menjamin warga
negara untuk memeluk agama dan keyakinan tanpa batasan; adanya ratifikasi ICCPR
(International Covenant on Civil and Political Rights) melalui UU No. 12 Tahun
2005; serta UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia dan UU No. 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Semua
itu memberi jaminan kepada warga negara tanpa pandang bulu dalam kebebasan beragama
dan berkeyakinan, serta berekspresi. Dan yang jauh lebih penting lagi bahwa
semua UU tersebut menugaskan kepada negara terutama pemerintah untuk
melaksanakannya, tidak lupa ditimpali dengan sangsi jika pemerintah tidak
melakukannya.
Namun,
konstitusi yang bersifat tekstual itu ternyata jauh dari jaminan riil dalam
masyarakat. Dalam konteks hukum, ada dua masalah mendasar, belum dalam
praktiknya. Pertama, bahwa masih banyak perundang-undangan dan aturan yang bisa
mengeliminir dan bahkan bertentangan dengan jaminan-jaminan konstitusional
tersebut yang ada sebelumnya, namun tidak gugur dengan sendirinya dengan
lahirnya penyempurnaan konstitusi tersebut.
Salah
satu masalah yang nyata menjadi halangan bagi penegakan kebebasan beragama
adalah pasal 156a KUHP yang merupakan realisasi dari UU PNPS No. 1/1965. Yaitu
larangan seseorang atau sekelompok orang untuk mempraktikkan dan menafsirkan
keyakinan yang menyimpang dari agama utama, berupa enam agama, yaitu Islam,
Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Chu, atau pasal tersebut populer
disebut pasal “penodaan agama.” (Rumadi dkk., 2007)
Kedua
adalah penyusunan dan berbagai draf aturan atau perundang-undangan baru yang
sengaja maupun tidak bertabrakan dengan pasal dan prinsip dari penyempurnaan
konstitusi tersebut. Salah satu contoh paling menyolok adalah pasal-pasal dalam
RKUHP dalam masalah agama. Pasal tentang “penodaan agama” yang dalam KUHP hanya
satu pasal 156a, yang selama masa reformasi telah “memakan” banyak korban,
dirinci lebih jauh menjadi 8 pasal dalam RKUHP yang dari perspektif kebebasan
beragama, praktis sebagian besar bertentangan dengan prinsip dalam konstitusi
tersebut (Rumadi dkk., 2007).
Ini
belum termasuk masuknya berbagai pasal anti pluralisme dalam berbagai UU dan
RUU, seperti pasal tentang “agama yang diakui” dalam UU Kewarganegaan dengan
serta merta mengabaikan kepercayaan dan keyakinan non-agama resmi seperti
aliran kepercayaan (dalam konteks Indonesia) atau indgenous bilief; pasal-pasal
dalam draf RUU anti Pornografi, antara lain dengan mendefinisikan porno sebagai
jenis pakaian perempuan; Kesehatan, yang melarang transfusi darah orang lain
berbeda agama; serta Waris, larangan mewariskan orang berbeda agama meskipun
hubungan orang tua-anak; dan sebagainya.
Dalam
praktik hukum juga tidak kalah kontradiksinya dengan prinsip-prinsip
konstitusi. Berbagai kasus tuduhan penodaan agama melalui pasal 156a KUHP,
diterapkan kepada orang atau sekelompok orang yang dituduh sebagai menodai
agama oleh sekelompok lain yang secara sosial dan politik lebih kuat.
Namun
yang lebih mengenaskan adalah bahwa, pengadilan selalu mengikuti tuntutan
kalangan yang kuat ini yang melakukan apa saja termasuk demonstrasi, intimidasi
dan kekerasan untuk mempengaruhi keputusan pengadilan, ketimbang mencoba menegakkan
rasa keadilan masyarakat dan secara obyektif menegakkan konstitusi tentang
kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Jika
arah demikian diparalelkan dengan fenomena munculnya berbagai RUU termasuk di
dalamnya RKUHP yang dalam pasal-pasalnya terdapat berbagai kontradiksi dengan
konstitusi tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan, maka pesimislah yang
muncul akan masa depan Indonesia.
Perda Bernuansa Agama
Paralel
pula dengan perkembangan hukum, maka munculnya berbagai Peraturan Daerah
(Perda) yang bernuasa agama atau di Aceh disebut “Kanun”, perlu diberi catatan
tersendiri. Secara kuantitatif, Robin Bush (2007) telah menghitung maraknya
Perda yang bernuansa agama (khususnya Islam) akhir-akhir ini, mislanya,
berjumlah sekitar 78 Perda, di 52 Kabupaten dan Kota, belum termasuk SK Bupati,
Walikota dan Gubernur dan draf yang belum diputus oleh DPRD.
Maka,
jika pertumbuhan itu terus berlanjut, mau tidak mau memang mungkin akan
memengaruhi arah perkembangan hukum nasional atau bahkan konstitusi. Keputusan
Mahkamah Agung (MA) yang menolak Judicial Review atas Perda Tangerang (Nurun
Nisa dkk., 2007) tentang anti prostitusi yang diskriminatif terhadap perempuan
dengan alasan bukan ruang lingkup MA, telah menimbulkan kehawatiran lebih besar
tentang perkembangan tersebut.
Meskipun
tidak semua munculnya Perda-perda tersebut selalu dimotivasi oleh dorongan
agama melainkan juga disebabkan karena pragmatisme politik dan merupakan outlet
bagi mereka yang terdesak oleh tunutan hukum seperti korupsi, dan sebagian lagi
berkat kian canggihnya mesin fotocopy, namun perkembangan yang menyerupai deret
ukur dan cenderung menyebar di berbagai daerah patut menjadikan waspada.
Meski
demikian semua fenomena itu tidak perlu digeneralisir. Dalam analisis
keseluruhan Perda-perda tersebut bisa dibagi dalam tiga kategori. Pertama,
Perda-perda yang berkaitan dengan isu keprihatinan publik (public order) atau
pengaturan moral masyarakat seperti perda tentang anti perjudian, anti
prostitusi dan anti minuman keras. Sesungguhnya isu demikian bukan hanya
menjadi keprihatinan dan komitmen orang beragama tertentu melainkan hampir
semua orang dengan motivasi masing-masing.
Kedua,
aturan-aturan yang berkaitan dengan keterampilan beragama dan kewajiban ritual
keagamaan. Ini seperti aturan tentang kewajiban bisa baca al-Quran, membayar
zakat dan sebagainya. Aturan ini spesifik ditujukan untuk orang-orang Islam,
namun tetap berpotensi diskriminatif terhadap orang Islam sendiri maupun
terhadap orang lain. Sedangkan ketiga, adalah aturan yang berkaitan dengan
simbol-simbol keagamaan seperti kewajiban memakai jilbab bagi perempuan dan
baju koko bagi laki-laki di hari Jum’at. Aturan terakhir ini, pada praktiknya
sering menimbulkan diskriminatif baik dalam pelayanan publik oleh pemerintah
maupun di kalangan masyarakat sendiri. Bukan hanya kepada orang non-Muslim
melainkan bahkan diskriminatif terhadap kalangan Islam sendiri (Suaedy dkk.,
2007).
Dengan
kenyataan demikian memang tidak semua Perda-perda itu layak diangkat pada
tingkat konstitusi melainkan harus dilihat dalam beberapa level sehingga
responnya menjadi proporsional. Pertama-tama, perlu terlebih dahulu diberi
ukuran paradigmatik dan substansi tentang perda-perda atau aturan-aturan
tersebut dengan argumen yang memadahi. Misalnya, dasar negara Pancasila dan UUD
1945 dengan segala amandemannya adalah ukuran utama, sedangkan prinsip-prinsip
hak asasi manusia harus pula ikut mendukungnya.
Dalam
aturan-aturan yang dikategorikan sebagai public order atau keprihatinan umum
seperti perjudian, prostitusi dan minuman keras sangat sulit untuk direspon ke
tingkat substansi dan paradigamtik seperti itu, karena ia menjadi keprihatinan
dan komitmen bersama masyarakat.
Yang
harus dilakukan terhadap aturan semacam ini adalah pemantauan atas tujuan dan langkah-langkah
penerapannya, misalnya pelarangan yang tanpa jalan keluar sehingga menimbulkan
pengangguran massal dan penderitaan. Juga cara-cara penegakannya (enforcement),
misalnya menggunakan cara-cara kekerasan dan kriminalisasi yang berlebihan serta
diskriminatif. Dengan demikian advokasi yang dilakukan pun akan lebih memenuhi
sasaran. Tanpa ada ukuran yang nyata dan respon yang terukur seperti itu dikhawatirkan
akan terjadi perdebatan yang tanpa ujung pangkal.
Ukuran
berikutnya adalah prosedur pembuatan dan landasan atau konsideran dari
aturan-aturan tersebut. Salah satu ukuran penting dalam hal ini adalah UU no.
10 tahun 2004 tentang prosedur pembuatan perundang-undangan, termasuk di
dalamnya Perda dan aturan lainnya. Konsistensi konsideran yang mendasari
aturan-aturan tersebut penting untuk diuji dengan landasan hukum yang berlaku
di Indonesia. Ini penting mengingat, ada beberapa Perda yang diduga kuat hanya
merupakan fotocopy dari daerah lain sehingga mengabaikan partisipasi masyarakat
yang penuh sebagaimana diatur dalam UU tersebut dan niat baik tentang usaha
menyelesaikan masalah sosial di daerah itu.
Di
samping itu, juga ada beberapa aturan seperti SK Bupati dan Walikota yang
mendasarkan, misalnya, pada Fatwa MUI atau pendapat sekelompok orang dengan
mengabaikan landasan hukum yang ada. Dengan ukuran demikian, usaha untuk
melakukan advokasi akan terfokus pada kesalahan dan penyimpangan aturan itu
tanpa harus mengangkatnya terlalu tinggi pada level konstitusi, misalnya.
Namun, yang paling berbahaya dari semua itu adalah campur tangan pemerintah
atas penilaian salah atau benar dan sesuai atau sesat atas kepercayaan,
keyakinan dan agama tertentu, seperti diperankan Bakor-Pakem (Badan
Koordinasi-Pengawasan Agama dan Kepercayaan dalam Masyarakat) yang dikordinasi
oleh Kejaksaan (MRORI-The Wahid Institute, No. 6).
Ukuran
berikutnya adalah konteks politik lokal. Jika memang terbukti bahwa Perda atau
aturan sejenis benar-benar hanya komoditi politik seorang politisi untuk tujuan
meraih jabatan tertentu, advokasi bisa difokuskan pada komoditifikasi politik
tersebut. Di Sulawesi Selatan baru-baru ini, misalnya, terbukti bahwa
“dagangan” Syari’ah Islam tidak memberikan dampak signifikan bagi terpilihnya
seorang pasangan Gubernur. Daerah yang terkenal “maniak” Syari’ah Islam itu
justeru memilih pasangan Gubernur-Wakil Gubernur yang mengusung visi pluralisme
dan toleransi.
Terkadang
masalah politik memang menjadi masalah besar dan ini menuntut keberanian dan
visioner dari para pemegang pemerintahan di pusat. Tetapi kenyatannya itu tidak
dilakukan. Secara teoritik, SK-SK Bupati, Wakilkota dan Gubernur yang secara
hukum tidak prosedural, misalnya dengan mendasarkan pada fatwa MUI, dan juga
Perda-perda yang menyimpang seharusnya cukup dibatalkan oleh Mendagri. Tetapi
karena isu itu bersifat sensitif dan kandungan politiknya tinggi maka pemerintah
lebih memilih diam, khawatir dengan reaksi politik yang akan menjatuhkan
kepercayaan masyarakat. Dengan demikian, yang dibutuhkan adalah keberanian
pemerintah untuk mengambil resiko politik untuk meluruskan penyimpangan yang
terjadi (Suaedy, 2006).
Agama Privat dan Agama Publik
Sekali
lagi, penegasan konstitusi akan jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan
mendapatkan gangguan serius dari makin menguatnya kelompok-kelompok agama dalam
merespon perkembangan masyarakat dan kebijakan pemerintah namun bukan dalam
kerangka memperkuat demokrasi seperti pemberantasan korupsi dan kolusi,
melainkan sebaliknya memperkukuh primordialisme berdasarkan kelompok keagamaan
dan kesamaan keyakinan. Bagi ormas-ormas Islam, di era dimana orang bisa
berbicara apa saja dan pemerintah tidak memiliki pilihan lain kecuali mendengar
tuntutan mereka yang bersuara keras, apalagi dengan membawa-bawa atas nama
agama atau kelompok agama tertentu, maka penyimpangan prinsip-prinsip demokrasi
dan hukum makin menjadi mungkin.
Situasi
ini ditimpali dengan masih hijau pengalaman demokrasi dalam mengelola aspirasi
masyarakat terutama bagi para pemimpin dan kepala daerah. Tidak mengherankan
jika suatu pemerintahan, tidak hanya di daerah melainkan juga di pusat, bukan
hanya eksekutif melainkan juga legislatif dan judikatif, lebih mendengarkan dan
mengutamakan tunaian tuntutan mereka yang bersuara keras meskipun kecil
jumlahnya, ketimbang menunaikan keadilan bagi mereka yang berjumlah besar namun
diam (silent majority). Dengan demikian, menguatnya pengaruh kelompok agama ini
seiring belaka dengan menebalnya kendala bagi tegaknya demokrasi dan hukum.
Menguatnya
peran MUI dalam hal ini patut mendapatkan sorotan khusus. Kevokalan MUI dalam
menyuarakan berbagai pandangan dan tuntutannya juga paralel dengan
kecenderungan ini. Yang membuat MUI lebih kuat dari ormas keagamaan umumnya
adalah karena keterkaitan lembaga agama bikinan diktator Orde Baru Soeharto ini
dengan pemerintah. Karena sejak awal didirikannya diniatkan sebagai instrumen
pemerintah otoriter untuk menyangga kekuasaan dan menaklukkan gerakan keagamaan
anti pemerintah, maka ia memiliki fasilitas yang sangat besar.
Ia,
misalnya, memiliki cabang di seluruh Indonesia, secara formal dari kabupaten
hingga provinsi dan pusat dan memiliki struktur informal di tingkat kecamatan.
Seluruh struktur tersebut mendapatkan biaya dari pemerintah. Sementara di pihak
lain, MUI bisa mencari dana tambahan dari proyek-proyek keagamaan yang
diciptakannya tanpa harus dikontrol oleh pemerintah dan publik, seperti dari
sumber proyek labelisasi halal untuk makanan, kedudukannya yang penting dalam
Bank Syari’ah di seluruh perbankan yang membuka gerai Syari’ah, serta
proyek-proyek politik tertentu dari pemerintah seperti sosialisasi RUU tertentu
yang berkaitan dengan isu agama (Suaedy dkk., 2006).
Di
lain pihak, sistem keanggotaan MUI tidak bersifat individual melainkan ormas-ormas
Islam yang ada. Sehingga ormas Islam apapun yang doktrin dan akidahnya sesuai
dengan penilaian MUI, maka bisa bergabung. Akibatnya MUI seolah memiliki hak
prerogatif untuk menentukan sah dan tidak, sesuai dan sesatnya suatu keyakinan
untuk menjadi anggota. Ahmadiyah, misalnya, karena dianggap menyimpang bukan
saja tidak bisa menjadi anggota MUI melainkan MUI mendesak pemerintah untuk
melarangnya (MRRI-WI No. 4).
Sementara
betapapun subversifnya secara politik, jika MUI menilai tidak ada penyimpangan
secara akidah akan diakomodasi. Contoh paling nyata adalah Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI). Dalam doktrinnya, HTI menyatakan sebagai organisasi politik
yang anti demokrasi atau dalam bahasa agama meng-haram-kan demokrasi. Dengan
demikian, dari sudut manapun HTI anti Pancasila dan UUD 45 sebagai landasan
filosofi dan konstitusi Indonesia, namun keberadaanya diakomodasi oleh MUI, dan
bahkan anggota HTI menggurita di dalam struktur MUI dari pusat sampai daerah
(Suaedy dkk., 2006). Tidak bisa dibayangkan jika suatu saat HTI menjadi besar
dan hampir pasti akan berhadapan dengan eksistensi Indonesia sebagai negara
nasional.
Sistem
keanggotaan MUI yang demikian juga memungkinkan produk-produk dan fatwa yang
dikeluarkannya cenderung konservatif dan mengikuti arus radikal Islam. Ini
disebabkan karena ormas-ormas Islam yang moderat tidak terlalu banyak meskipun
dihitung dari jumlah anggotanya sangat besar. Sementara dalam persidangan dan
pengambilan keputusan setiap anggota MUI yang berupa ormas mendapatkan
representasi atau wakil yang sama. Bertapapun besarnya jumlah anggota
Muhammadiyah dan NU hingga 20 sampai 30an juta anggota karena satu organisasi
hanya akan mendapatkan representasi yang sama dengan FPI (Fron Pembela Islam),
HTI dan MMI (Majelis Mujahidin Indonesia) yang mungkin memiliki hanya ratusan
ribu anggota. Di sisi lain, jumlah ormas Islam moderat tidak terlalu banyak
dibandingkan dengan ormas konservatif dan radikal yang tumbuh bagai cendawan di
musim hujan.
Akibat
lanjutnya adalah bahwa organisasi Islam dengan doktrin apapun, termasuk
organisasi dan gerakan fundamentalis yang anti demokrasi dan anti Pancasila
sekalipun, terkecuali yang secara nyata dicap sebagai teroris seperti Jamaah
Islamiyah (JI), bisa menjadi anggota MUI dan mendominasinya. Dari kenyataan
demikian, maka MUI sesungguhnya bisa dikatakan sebagai bungker dari organisasi
dan gerakan fundamentalis dan subversif di Indonesia.
Lebih
dari itu, karena MUI dibiayai oleh pemerintah, maka organisasi dan gerakan
fundamentalis juga mendapatkan subsidi dari pemerintah melalui MUI tersebut
(Suaedy dkk., 2006). Fenomena ini menguat secara menyolok sejak pemerintahan
Susilo Bambang Yudoyono (SBY) disebabkan, saya kira, karena SBY lebih dekat ke
partai-partai politik Islamis yang setia mendukungnya menjadi presiden seperti
Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan PBB
(Partai Bulan Bintang). Terkecuali Partai Demokrat yang sekuler dimana SBY
menjadi salah seorang yang membidani kelahirannya, namun tidak memiliki
topangan intelektual yang cukup kuat, praktis SBY bertopang pada kalangan
Islamis.
Kaitan
SBY dengan partai-partai Islamis yang secara hidden dan open hendak menegakkan
pendasaran negara pada Syari’ah Islam, diperkuat dengan diangkatnya ketua dan
juru bicara paling vokal MUI tentang anti kebebasan beragama dan keyakinan, KH.
Ma’ruf Amin, sebagai anggota Watimpres (Dewan Pertimbangan Presiden) bidang
keagamaan. Dengan demikian, cukup jelas ke mana arah pandangan dan policy
keagamaan, kebebasan beragama dan keyakinan, presiden SBY (Lihat Van Zorge,
January 29, 2008).
Begitu
gegap gempitanya penyesatan dan kekerasan antar agama, hampir tidak pernah
terdengar suara presiden tentang keinginannya agar aparat negara lebih tegas
dan adil terhadap pelaku kekerasan agama serta keperpihakannya untuk melindungi
para korban penyesatan dan kekerasan. Juga tidak pernah terdengar suara
presiden SBY tentang keinginannya untuk menegakkan hak-hak asasi manusia dan
konstitusi dalam jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Sebaliknya,
presiden dalam suatu kesempatan membuka Rakernas MUI di bulan November 2007
justeru menunjukkan dukungannya secara eksplisit dan hendak mengikuti semua
keputusan MUI. Pada Rakernas tersebut MUI mengeluarkan fatwa 10 kriteria aliran
sesat sebagai pedoman masyarakat Muslim untuk memantau secara mandiri
aliran-aliran sesat. Akibatnya sudah jelas, makin tak terkendalinya kekerasan
antar agama yang cenderung liar (MRRI-WI No. 4).
Dengan
demikian konstitusi yang telah secara mapan menempatkan agama sebagai masalah
privat dan memberi kebebasan dan bahkan perlindungan tanpa pandang bulu kepada
semua warga negara dalam praktiknya, terjadi sebaliknya. Negara dengan segala instrumennya
di bawah pemerintahan SBY, ikut campur sangat dalam, dalam soal-soal keagamaan
dan keyakinan warga negara (Van Zorge Report, January 29 th, 2008).
Kelompok Agama: Permanen dan Non-permanen
Tidak
diragukan lagi, betapa gigih dakwah dan perjuangan yang dilakukan oleh kalangan
konservatif dan fundamentalis untuk mengajak masyarakat mengikuti ide dan
gerakan, bukan hanya mereka yang beragama di luar Islam dan mereka yang tidak
beragama melainkan kepada umat Islam itu sendiri.
Mereka
tampaknya juga melakukan dengan segala cara bukan hanya mengajak secara
sukarela tetapi berusaha keras agar negara dan pemerintah berpihak dan
mengikuti jejak mereka. Mereka misalnya secara gerilya mendatangi tokoh-tokoh
agama lokal yang kharismatis dan memiliki banyak pengikut untuk mendukung dan
mengikuti jejak mereka, kalau perlu diberi kedudukan yang tinggi dalam
organisasi tersebut meskipun bukan yang menentukan.
Sehingga
tidak heran jika cukup banyak tokoh-tokoh agama lokal yang selama ini cenderung
moderat dan tergabung dalam organisasi moderat, tiba-tiba menjadi pendukung dan
tidak jarang menjadi juru bicara mereka.
Kelompok
ini juga tidak tabu untuk masuk dalam segala lini dalam birokrasi pemerintah
dan menjadi bagian dalam organisasi semi pemerintah seperti MUI. Jika
dimungkinkan mereka merintis inisiatif berbagai aturan dan program untuk bisa
akses dan menyedot dana APBN dan APBD untuk memperkuat perjuangan mereka,
termasuk di dalamnya inisitaif Perda dan aturan lain untuk mengeluarkan
dana-dana publik tersebut. Contoh yang jelas adalah, Perda tentang kewajiban
bisa baca al-Quran bagi pegawai negeri yang hendak naik pangkat dan pelajar
yang ingin masuk jenjang pendidikan lebih tinggi dari sebelumnya.
Tidak
hanya terbatas pada itu, untuk menunjukkan dominasinya mereka menciptakan
kelompok-kelompok baru untuk melakukan intimidasi dan peyerangan jika perlu,
yaitu semacam aliansi organisasi-organisasi kelompok radikal dan fundamentalis
untuk kebutunan tertentu. FUUI (Forum Ulama Umat Islam) di Jawa Barat, misalnya,
disamping melakukan berbagai intimidasi dan kekerasan juga pernah mengeluarkan
fatwa hukuman mati secara Islam bagi Ulil Abshar Abdalla, koordinator dan tokoh
dalam Jaringan Islam Liberal (JIL).
GUII
(Gerakan Umat Islam Indonesia) di Bogor juga pernah melakukan penyerangan
terhadap komunitas Ahmadiyah di Parung dan Bogor. Sementara FUIY (Forum Umat
Islam Yogyakarta) berusaha keras untuk mengoordinir kelompok-kelompok Islam di
Yogyakarta untuk menuntut legislasi Syari’ah Islam di wilayah kerajaan itu.
Semua
gejala tersebut belum termasuk kelompok-kelompok yang secara permanen dan
spontan terbentuk untuk tujuan tertentu seperti merazia tempat hiburan seperti
bar dan diskotik, hotel dan sebagainya dengan dalih menegakkan moral Islam,
serta tidak jarang mengintimidasi dan memeras tempat ibadah non-Islam untuk
menarik pajak tak resmi kepada mereka. Ketidakpedulian pemerintah terhadap
gejala premanisme agama ini menjadikan masyarakat apatis, dan memilih diam
ketika terjadi peristiwa tersebut ketimbang mencoba menegakkan solidaritas dan
etika hidup bersama.
Arus Balik: Di Persimpangan Jalan
Cerita
panjang menguatnya arus utama anti pluralisme tidak mengabaikan adanya arus
balik yang menantang gerakan tersebut. Dalam laporan riset saya tentang sebuah riset
Gerakan Muslim Progresif (GMP), sesungguhnya gerakan tersebut memiliki potensi
sangat besar. Mereka juga tidak kalah gigih dan tersebar di semua daerah bahkan
sampai ke pelosok dimana ada perguruan tinggi atau pesantren (Islamic Boarding
School). Tiga tema utama dan satu tema bersifat lintas umumnya diusung oleh
mereka, yaitu pluralisme, kesetaraan gender dan keadilan dan satunya lagi
bersifat lintas bukan hanya diusung oleh kalangan GMP tetapi juga kalangan
sekuler dan fundamentalis, yaitu tema seperti korupsi, budget pro-poor dan
sebagainya.
Dalam
GMP tersebut, meskipun tidak semua mengusung tiga tema utama dalam waktu
bersamaan tetapi mereka umumnya memiliki perspektif yang tuntas tentang
masing-masing isu. Maksudnya, sebuah kelompok atau NGO yang mengusung tema
pluralisme di dalamnya terkandung perspektif kesetaraan gender dan keadilan,
dan sebaliknya. Mereka juga memiliki jaringan informasi dan advokasi yang cukup
kuat dan responsif. Mereka memiliki berbagai mailing lists untuk tujuan
komunikasi dan penyebaran informasi, namun yang paling konsisten dan efektif
adalah advokasi-kub@yahoogroups.com yang sejak tahun 2001an hingga kini masih
hidup dan efektif (Suaedy, 2007a).
Namun
berbeda dengan kalangan konservatif dan fundamentalis yang lebih terpusat dan
cenderung menghalakan segala cara, termasuk black campaign, intimidasi dan
kekerasan, GMP cenderung terdesentralisasi, anti kekerasan dan cenderung
menggunakan bahasa yang terukur. Pada isu atau kasus tertentu, suatu NGO bisa
berada di pusat atau menjadi koordinator, tetapi pada saat yang lain bisa
menjadi hanya partisipan atau pendukung. Itu semua tergantung wilayah kasus,
keterkaitan dengan program kelompok atau NGO itu, dan ketersediaan waktu dan
dana yang dibutuhkan. Namun mereka share dalam informasi, jaringan dan bahkan
pendanaan dan SDM.
Riset
saya tersebut menemukan dua pilar utama dalam GMP ini. Yaitu kelompok kerja
bisa berupa kelompok diskusi, NGO, dosen PT, dan peneliti yang bisa bekerja
secara sistematis dan membangun program berjangka secara terukur, serta
pencapaian secara bertahap, dan bahkan mendatangkan sumber dana meskipun belum
tentu mencukupi. Namun kelemahan mereka adalah mobilisasi local resources baik
berupa dukungan dan dana.
Di
lain pihak ada tiang berupa tokoh agama lokal, terutama kiai. Kiai lokal yang
memiliki berspektif GMP, bahkan seringkali menjadi juru bicara utama untuk
memberikan pemahaman kepada grassroots tentang paham yang dikembangkan. Mereka
memang tidak bisa bekerja sistematis seperti kelompok pertama, tetapi mereka
sangat efektif untuk memobilisasi dukungan lokal, dan bahkan sumber dana lokal.
Seorang kiai bisa berbicara (pengajian) di empat sampai lima tempat dalam
sehari, dan masing-masing event bisa diikuti ratusan sampai ribuan audiens.
Betapa besarnya peran tokoh agama lokal ini dalam mendesiminasi gagasan dan
dukungan tersebut.
Namun
tampaknya mereka masih ragu, untuk tidak dikatakan belum memiliki kemampuan,
untuk mengombinasikan antara gagasan dan dukungan dengan agenda perubahan
politik praktis, policy, dan mobilisasi dana publik. Jarang sekali kelompok ini
melahirkan sebuah peraturan atau perundangan yang di satu pihak ditujukan untuk
mengimplementasikan dan melindungi gagasan tersebut, tetapi di lain pihak mampu
memobilisasi dana publik semisal dari APBN dan APBD untuk memperkuat
terealisasinya agenda-agenda mereka (Suaedy, 2007b). Jadinya mereka hanya
berputar di sekitar pelatihan, penyadaran dan pendidikan belum banyak menyentuh
perubahan perundangan, policy dan kepemimpinan politik secara langsung.
Pada
waktunya, GMP harus bergerak maju mengambil posisi sentral dalam perubahan.
Sebagai contoh tiga partai utama yang mengusung nasionalisme dan
nasionalis-Islam adalah kuat, yaitu PDI-P (Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan) yang nasionalis-sekuler dan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) serta
PAN (Partai Amanat Nasional) yang keduanya Islam-nasionalis. Namun aktor dan
kelompok GMP tampaknya belum secara langsung mampu membangun sinergi untuk tujuan
realisasi agenda bersama.
Berbeda
misalnya dengan PKS-PPP-PBB dengan kalangan konservatif-fundamentalis dengan
menjadikan PD sebagai kuda tunggangan disebabkan karena kedekatannya dengan SBY
yang kebetulan sedang menjabat presiden. Sementara Partai Golkar cenderung
pragmatis, karena bisa berbeda wajah dan orientasi disebabkan karena perbedaan
waktu dan tempat.
Penutup
Pluralisme
sebagai salah satu tiang utama demokrasi belum menggembirakan dalam rentang 10
tahun reformasi Indonesia. Di satu pihak adanya kenyataan bahwa presiden yang
berkuasa SBY cenderung dekat dengan partai-partai Islamis yang membuatnya tidak
mampu bersikap tegas terhadap kecenderungan konservatifme yang berlebihan dan
bahkan intimidasi dan kekerasan. Kenyataan ini berimplikasi bukan hanya pada
pemerintah pusat melainkan membentuk sikap yang lebih ekstrim di kalangan
pejabat dan politisi daerah. Jika di pusat hanya membiarkan terjadinya gejala
tersebut, seringkali di daerah ikut menginisasi dan mendukung terjadinya hal
tersebut. Semua fenomena tersebut mengaburkan dan bahkan mengancam konstitusi
yang cukup tegas dan jelas akan karakter Indonesia sebagai negara Bhinneka
Tunggal Ika dan memberi jaminan penuh terhadap kebebasan beragama dan
berkeyakinan tanpa pandang bulu.
Jika
hal demikian dibiarkan terus bukan tidak mungkin, kombinasi antara agresivitas
dalam gerakan Islam fundamentalis dan konservatif dan penggerogotan melalui
aturan-aturan yang sesungguhnya bertentangan dengan konstitusi, berlanjut pada
set back, dalam praktik politik maupun terhadap perubahan konstitusi itu
sendiri. Demokrasi di Indonesia, dengan demikian, sampai rentang 10 tahun
sekarang ini, masih menyisakan lubang bagi terperosoknya negara berpenduduk
Muslim terbesar di dunia ini menjadi otoritarianisme berbasis agama. Ini jauh
lebih mengkhawatirkan ketimbang otoritariansime yang hanya berbasis militer,
karena agama bisa juga menjadi landasan bagi kembalinya militerisme ke tampuk
kekuasaan, seperti pengalaman yang melanda Pakistan.
Pemerintah
tidak ada jalan lain, kecuali memasang agenda secara konsisten untuk mem-break
down konstitusi yang ada dengan membatalkan berbagai perundangan dan aturan
yang ada sebelumnya yang bertentangan dengannya, dan menghindari adanya
aturan-aturan baru yang bertentangan dengan konstitusi. Dalam waktu yang sama
pemerintah dituntut untuk lebih tegas menegakkan hukum dan memperlakukan warga
negara secara sama di depan hukum.
Di
situlah kunci sesungguhnya dari tegaknya kebebasan beragama dan berkeyakinan
dan dengan demikian terjamin berlakunya demokrasi yang tidak hanya prosedural
melainkan ditopang oleh budaya dan lingkungan demokrasi yang kuat. Dengan
demikian pula cita-cita masyarakat yang adil dan makmur akan tercapai secara
substansial.
Sebagai
seorang yang terlibat di dalam gerakan GMP ini melalui keterlibatan saya di the
Wahid Institute, saya menganggap bahwa gerakan ini merupakan kunci dalam
menjaga masa depan Indonesia dan menjamin tegaknya demokrasi melalui penjaminan
dan perlindungan terhadap pluralisme. Mereka yang tergabung dalam GMP yang
menjadi salah satu elemen penting dari gerakan demokrasi, haruslah membuka diri
untuk terlibat lebih dalam dalam politik keseharian dan membangun kultur dan
aturan yang tangguh, dengan tetap berpegang pada prinsip dan landasan yang
kokoh.
Tanpa
keterlibatan mereka yang lebih dalam isu-isu dan agenda politik keseharian akan
dibajak oleh gerakan sebaliknya, fundamentalisme dan radikalisme. Saya sendiri
tidak menutup kemungkinan untuk terlibat di dalam politik keseharian, termasuk
partai politik, untuk mendukung tegaknya pluralisme. Dengan demikian, mobilisasi
dukungan grassroots dan dana local (local resources) lebih bisa dicapai dengan
lebih dekat. Harapan berikutnya adalah, pesimisme yang ada dengan maraknya
gerakan anti-pluralisme yang bersifat kombinasi, mendapatkan imbangannya dalam
diri GMP.
Ketelibatan
saya di dalam gerakan ini cukup dalam, mengingat sejak awal tahun 1990an,
begitu menyelesaikan S1 di IAIN Sunan Kalijaga, telah terlibat di dalam gerakan
seperti ini melalui Interfidei (Interfaith Dialogue) di Yogyakarta bersama
dengan Dr. TH Sumartana (almarhum). Saya beruntung ikut terlibat langsung
gerakan ini, karena mendapat topangan yang sangat kuat dari berbagai tokoh
terkenal dan berpengaruh di Indonesia ketika itu seperti Gus Dur atau
Abdurrahman Wahid; Romo Mangunwijaya (almarhum); Djohan Effendi dan lainnya.
Di
bawah Orde Baru yang otoriter, anak-anak muda ketika itu, termasuk saya,
mendapatkan perlindungan mereka dari kekejaman aparat Orde Baru. Namun, sebagai
sebuah gerakan awal yang jauh dari jangkauan negara, ketika itu memang belum
memiliki target-target terlalu jauh, misalnya ikut menentukan arah negara,
perundang-undangan dan menempatkan tokoh-tokoh pluralis di dalam struktur
politik negara. Kini saatnya, bagi penulis, gerakan GMP menempatkan agenda
penempatan tokoh pluralis di dalam struktur kekuasaan, ikut menentukan
perundang-undangan secara langsung, serta memobilisasi gerakan masyarakat dan
dana untuk tujuan penegakan pluralisme itu sendiri, sebagai prioritas utama.
Depok Indonesia, 31 Januari 2008
·
Paper
disampaikan pada Workshop Refleksi 10 Tahun Reformasi Indonesia di Flinders
University, Adelaide, Australia, 14–16 April 2008. Direktur eksekutif the Wahid
Institute, Jakarta. The Wahid Institute Jl. Taman Amir Hamzah No 8, Jakarta
10320, Indonesia. Phone: +62 21-3928233, 3145671 Fax: +62 21-3928250.
Bibliography:
Hefner, Robert W. 2000, Civil Islam Muslims and
Democratization in Indonesia Princeton, Princeton University Press.
-------- (ed.) 2005, “Introduction: Modernity and
the Remaking of Muslim Politics” dalam Hefner R.W. (ed.) Remarking Muslim
Politics, Pluralism, Contestation, Democratization Princeton, Princeton
University Press.
Noor, Fariz A., 2006, Islam Progresif: Peluang,
Tantangan, dan Masa Depannya di Asia Tenggara, Yogyakarta, SAMHA.
Roy, Olivier, 1995, Failure of Political Islam,
Cambridge MA, Harvard University Press.
-----, 2004, Globalized Islam, The Search for A
New Ummah New York, Columbia University Press.
Rumadi, Delik Penodaan Agama Dan Kehidupan
Beragama dalam R-KUHP, The Wahid Institute-TIFA, Jakarta 2007.
Rumadi, 2006, Post Tradisionalisme Islam: Wacana
Intelektualisme dalam Komunitas NU, disertasi untuk PhD. di UIN Jakarta (tidak
diterbitkan).
Safi , Omid (ed.), 2003, Progressive Muslims, On
Justice, Gender, and Pluralism, Oxford, Oneworld.
Sajoo, Amyn B. (ed.), Civil Society in The Muslim
World, Contemporary Perspectives, London, I.B. Tauris Publishers
Suaedy dkk., 2006, Kala Fatwa Jadi Penjara, The
Wahid Institute, Jakarta 2006.
Suaedy dkk., 2007, Politisasi Agama Dan Konflik
Komunal, The Wahid Institute,
Suaedy, 2007a, Gerakan Muslim Progresif Pska
Rejim Suharto di Indonesia,” (laporan riset, tidak diterbitkan).
Van Zorge Report, January 29 th 2008.
http://www.gusdur.net/indonesia/images/stories/monthlyreport/MonthlyReport-V-english.pdf
http://www.gusdur.net/indonesia/images/stories/monthlyreport/MonthlyReport-IV-english.pdf
http://www.gusdur.net/indonesia/images/stories/monthlyreport/MonthlyReport-VI-bahasa.pdf
http://www.wahidinstitute.org/indonesia/images/stories/Nawala/nawala-i.pdf
http://www.wahidinstitute.org/indonesia/images/stories/Nawala/nawala-v.pdf
http://www.wahidinstitute.org/indonesia/images/stories/Nawala/nawala-vi.pdf
http://www.wahidinstitute.org/indonesia/content/view/522/54/
(http://www.wahidinstitute.org).
0 komentar:
Posting Komentar