MANAQIB TUAN GURU KH. MUHAMMAD ZAINUDDIN ABDUL MAJID (1904-1997)
Daftar Isi:
a. Kelahiran Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid
b. Ayah Ibu Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid
c. Pernikahan Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid
d. Pendidikan Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid
e. Belajar ke Tanah Suci Makkah
f. Guru-guru Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid
g.
Kepulangan
Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid ke Tanah Air
h.
Kepemimpinan
Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid
i.
Perjuangan
Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid
j.
Karya-karya Tuan Guru
KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid
k. Karamah Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid
l.
Kewafatan Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid
a. Kelahiran Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid
Tuan Guru KH. Muhammad
Zainuddi Abdul Majid dilahirkan di Kampung Bermi Pancor Lombok Timur pada
tanggal 17 Rabi’ul Awal 1315 H. Nama kecil beliau adalah Muhammad Saqqaf dan
berganti nama menjadi Muhammad Zainuddin setelah menunaikan ibadah haji. Yang
mengganti nama beliau adalah ayahandanya sendiri, yaitu Tuan Guru KH. Abdul
Majid. Nama itu diambil dari mana
seorang ulama besar, guru di Masjidil Haram, yang akhlak dan kepribadiannya
sangat menarik hati sang ayah, yaitu Syaikh Muhammad Zainuddin Serawak.
Penamaan Muhammad
Saggaf memiliki cerita yang cukup unik. Tiga hari menjelang kelahirannya,
ayahnya didatangi oleh dua orang wali yang berasal dari Hadhramaut dan
Maghrabi. Kedua wali tersebut mempunyai nama yang sama, yakni Saqqaf. Keduanya
berpesan kepada Tuan Guru KH. Abdul Majid, jika mempunyai anak agar diberi nama
Saqqaf seperti nama mereka berdua.
Kata Saqqaf dalam
bahasa Arab berarti membuat atap atau mengatapi. Kata ini kemudian diIndonesiakan
menjaddi Saggaf dan dikarenakan berada di daerah Lombok Nusa Tenggar Barat yang
masih kental dengan budaya daerahnya sehingga nama tersebut didialekkan ke dalam
bahasa daerah yang biasa disebut bahasa sasak menjadi Segep, dan pada masa
kecilnya pun beliau kerap dipanggil dengan panggilan Gep.
Disamping itu, terdapat keunikan lain seputar
kelahirannya, yaitu adanya cerita gembira yang dibawa oleh seorang wali,
bernama Syaikh Ahmad Rifa’i yang juga berasal dari Maghrabi. Ia menemui Tuan
Guru KH. Abdul Majid menjelang kelahiran putranya. Syaikh Ahmad Rifa’i berkata
kepada Tuan Guru KH. Abdul Majid: “Akan segera lahir dari istrimu seorang
anak laki-laki yang akan menjadi ulama besar.”
Dengan adanya
keunikan-keunikan yang terjadi menjelang kelahiran putranya yang kemudian dinamakan
Muhammad Saggaf, Tuan Guru KH. Abdul Majid dan istrinya merasa senang dan
gembira karena kelahiran puteranya disambut dan dinantikan oleh para ulama dan
para wali-wali Allah.
b. Ayah Ibu Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid
Beliau adalah anak
bungsu yang lahir dari perkawinan antara Tuan Guru KH. Abdul Majid dengan
seorang wanita shalihah yang berasal dari desa Kelayu Lombok Timur, yang
bernama Inaq Syam dan lebih dikenal dengan nama Hajjah Halimatus Sa’diyah.
Beliau memiliki saudara
kandung sebanyak lima orang, diantaranya yaitu Siti Syarbini, Siti Chilah,
Hajjah Saudah, Haji Muhammad Shabur dan Hajjah Masyithah.
Sejak kecil beliau
terkenal sangat jujur dan cerdas. Kerena itu, tidak mengherankan kalau ayah
bundanya memberikan perhatian khusus dan menumpahkan kecintaan serta kasih
sayang demikian besar kepada beliau.
Tentang silsilah
keturunan beliau yang lengkap tidak dapat dikemukakan secara utuh dikarenakan
dokumen dan catatan silsilah keturunan beliau ikut terbakar ketika rumah
orangtua beliau mengalami kebakaran.
Namun yang jelas beliau terlahir dari keturunan keluarga yang terpandang dan
garis keturunan terpandang pula yaitu keturunan Selaparang. Selaparang adalah
nama Kerajaan Islam yang pernah berkuasa di Pulau Lombok.
c. Pernikahan Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid
Tuan Guru KH. Muhammad
Zainuddin Abdul Majid selama hayatnya telah menikah sebanyak tujuh kali. Dari
ketujuh perempuan yang pernah dinikahinya itu, ada yang mendapinginya sampai
wafat, ada yang wafat terlebih dahulu semasih ia hidup dan ada yang
diceraikannya setelah beberapa bulan menikah.
Disamping itu, ketujuh
perempuan yang telah dinikahinya itu, berasal dari berbagai pelosok daerah di
Lombok, dan dari berbagai latar belakang. Ada yang berasal dari keluarga biasa
dan ada pula yang berlatar belakang bangsawan, seperti istrinya yang bernama
Hajjah Baiq Siti Zuhriyah Mukhtar, berasal dari desa Tanjung, Kecamatan Selong.
Baiq adalah gelar
kebangsawanan bagi perempuan yang secara stratifikasi sosial masyarakat Lombok
berada satu tingkat di atas masyarakat umum, dan dua tingkat di bawah strata
tertinggi, yakni Datu Bini dan Denda. Biasanya gelar Baiq ditujukan kepada
mereka yang belum menikah. Setelah menikah gelar tersebut berubah menjadi Mamiq
Bini.
Adapun nama-nama
perempuan yang pernah dinikahi oleh Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul
Majid adalah:
1. Chasanah
2. Hajjah Siti Fatmah
3. Hajjah Raihan
4. Hajjah Siti Jauhariyah
5. Hajjah Siti Rahmatullah
6. Hajjah Baiq Siti Zuhriyah Mukhtar, dan
7. Hajjah Adniyah.
Tuan Guru KH. Muhammad
Zainuddin Abdul Majid sulit memperoleh keturunan, sehingga beliau pernah
dianggap mandul padahal beliau sendiri sangat mengiginkan keturunan yang akan
melanjutkan perjuangan beliau untuk mengembangkan dakwah Islam. Namun pada
akhirnya beliau dianugerahi dua orang anak dari istri yang berbeda yaitu Siti
Rauhun dari Siti Jauhariyah dan Siti Raihanun dari Siti Rahmatullah. Karena
dengan hanya memiliki dua orang anak tersebut beliau kerap dipanggil dengan
sebutan “Abu Rauhun wa Raihanun”.
d. Pendidikan Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid
Perjalanan Tuan Guru
KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid dalam menuntut ilmu pengetahuan diawali
dengan pendidikan yang dilakukan di dalam lingkungan keluarga. Beliau belajar
mengaji membaca al-Quran dan berbagai ilmu agama lainnya kepada ayahandanya
sendiri, Tuan Guru KH. Abdul Majid.
Pendidikan yang
diberikan oleh ayahnya tersebut dimulai semenjak beliau berusia 5 tahun dan
kemudian memasuki pendidikan formal semenjak berusia 9 tahun. Sekolah formal
yang beliau mesuki adalah sekolah umum yang pada saat itu disebut dengan
Sekolah Rakyat Negara (Sekolah Gubernemen) di Selong Lombok Timur. Di sekolah
tersebut beliau belajar selama 4 tahun hingga tahun 1919 M.
Setelah menamatkan
pendidikan formalnya pada Sekolah Rakyat Negara pada tahun 1919 M, ia kemudian
diserahkan oleh ayahnya untuk belajar ilmu pengetahuan agama yang lebih luas
lagi pada beberapa kyai lokal saat itu, antara lain Tuan Guru KH. Syarafuddin
dan Tuan Guru KH. Muhammad Sa’id dari Pancor serta Tuan Guru KH. Abdullah bin
Amaq Dulaji dari Kelayu Lombok Timur. Dari beberapa kyai ini, Tuan Guru KH.
Muhammad Zainuddin selain mempelajari ilmu-ilmu agama dengan menggunakan
kitab-kitab Arab Melayu, juga secara khusus mempelajari ilmu-ilmu gramatika
bahasa Arab, seperti ilmu nahwu dan sharaf.
Pola pengajaran yang
dilakukan oleh kyai-kyai lokal ini masih bersifat klasik, yaitu masih menggunakan
sistem halaqoh, yang dalam pembelajarannya murid-murid duduk bersila dan sang
guru memberi pengajaran dengan membacakan kitab yang dipelajari kemudian para
murid masing-masing membacanya saling bergantian satu persatu.
Bagi Tuan Guru KH.
Syarafuddin, Muhammad Saggaf merupakan murid yang istimewa. Keistimewaan
tersebut mendorong gurunya untuk membebaskannya dari membanntu gurunya bekerja
di sawah. Pada saat itu murid-murid yang mengaji di rumah seorang tuan guru
tidak dipungut bayaran. Sebagai gantinya, mereka dihariskan berkerja di sawah
tuan guru tersebut.
Berbeda dengan Muhammad
Saggaf, karena keinginan kuat ayahnya agar ia menjadi murid yang pandai,
ayahnya sanggup dengan membayar dengan 200 ikat padi setahun (sekitar 2 ton
padi atau gabah), sebagai ganti kewajiban bekerja di sawah. Maksud ayahnya
dengan kesediaan ini adalah agar anaknya tidak terganggu aktivitas belajarnya
sehingga ia berkonsentrasi pada pelajarannya.
e. Belajar ke Tanah Suci Makkah
Menjelang musim haji
pada saat itu sekitar tahun 1923 M, Muhammad Saggaf yang pada saat itu tengah
berusia 15 tahun, berangkat ke Tanah Suci Makkah untuk melanjutkan studinya,
memperdalam berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan islam dengan diantar
langsung oleh kedua orangtuanya bersama adiknya, yaitu Muhammad Faishal dan Ahmad
Rifa’i serta seorang kemenakannya.
Bahkan pada saat itu
salah seorang gurunya ikut serta dalam rombangan itu, yaitu Tuan Guru KH.
Syarafuddin dan beberapa anggota keluarga dekat lainnya.
Beliau belajar di Tanah
Suci Makkah selama 12 tahun. Di kota suci itu beliau mula-mula belajar di Masjidil
Haram. Ayahnya sangat selektif dalam mencarikan dan menentukan seorang guru
yang akan mengajar dan mendidik putra kesayangannya itu. Ayahandanya meyakini
bahwa seorang guru adalah sumber ilmu dan kebenaran serta menjadi contoh dan
panutan bagi muridnya dalam segala aspek kehidupan baik dalam pola berfikir dan
berperilaku, sehingga ilmu dan didikan yang diperoleh sang murid berguna dan
bermanfaat bagi kehidupan baik di dunia dan di akhirat.
Berhari-hari bahkan
berbulan-bulan ayahnya sibuk mencarikannya seorang guru yang tepat dan cocok
untuk mengajari dan mendidik anaknya. Kemudian bertemulah ayahnya dengan
seorang syaikh yang belakangan dikenal dengan Syaikh Marzuki. Dari cara dan
metode yang digunakan dalam mengajar, Tuan Guru KH. Abdul Majid merasa cocok
jika syaikh tersebut menjadi guru bagi anaknya.
Syaikh Marzuki adalah
seorang keturunan Arab kelahiran Palembang. Ia sudah lama tinggal di Makkah dan
mengajar mengaji di Masjidil Haram. Ia fasih berbahasa Indonesia dan Arab.
Kebanyakan muridnya berasal dari Indonesia. Ada yang berasal dari Palembang,
Jawa Barat, Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur maupun Lombok.
Salah seorang murid Syaikh
Marzuki yang berasal dari Lombok bernama H. Abdul Kadir dari desa Mamben Lombok
Timur. H. Abdul Kadir sudah setahun lebih belajar di Makkah pada waktu itu.
Namun pada akhirnya
Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid merasakan ketidakcocokan terhadap
Syaikh Marzuki karena dirasa tidak banyak mengalami perkembangan yang berarti
dalam menuntut ilmu. Karena pada saat itu sang guru mengajarkan kitab gundul
yang tidak memiliki baris sedangkan beliau masih murid baru dan dapat dikatakan
masih awam dalam mempelajari kitab-kitab gundul yang tidak memiliki baris tersebut,
sehigga beliau berfikiran ingin memulai pelajarannya dari awal agar mampu
membaca dan memahami makna yang terkandung dalam kitab gundul tersebut. Setelah
ayahnya pulang ke Lombok beliau langsung berhenti belajar mengaji pada Syaikh
Marzuki.
Dua tahun setelah
terjadinya huru-hara di Makkah karena perang ssaudara antara faksi Wahabi
dengan kekuasaan Syarif Husein, stabilitas keamanan relativ terkendali. Pada
saat itu Muhammad Zainuddin berkenalan dengan seorang yang bernama Haji Mawardi
yang berasal dari Jakarta. Dari perkenalan itu beliau diajak untuk ikut belajar
di sebuah madrasah legendaris di Tanah Suci, yakni Madrasah ash-Shaulatiyah
yang pada saat itu dipimpin oleh Syaikh Salim Rahmatullah putra Syaikh
Rahmatullah, pendiri Madrasah ash-Shaulatiyah.
Madrasah ini adalah
madrasah pertama sebagai permulaan sejarah baru dalam dunia pendidikan di Saudi
Arabia. Gaungnya telah menggema ke seluruh dunia dan telah banyak mencetak
ulama-ulama besar dunia. Di Madrasah ash-Shaulatiyah inilah beliau belajar
berbagai disiplin ilmu pengetahuan Islam dengan sangat rajin dan tekun di bawah
bimbingan ulama-ulama terkemuka Kota Suci Makkah waktu itu.
Pada hari pertama
beliau masuk di Madrasah ash-Shaulatiyah Makkah beliau bertemu dengan Syaikh
Hasan Muhammad al-Masysyath yang nantinya akan menjadi gurunya yang hubungannya
paling dekat.
Di sana juga ia bertemu
as-Sayyid al-Habib Muhsin al-Musawa, diantara temannya sewaktu belajar syair
pada as-Sayyid Amin al-Kutbi, yang ternyata juga sebagai salah seorang guru di
Madrasah ash-Shaulatiyah.
Sudah menjadi tradisi
di Madrasah ash-Shaulatiyah Makkah bahwa setiap murid baru yang masuk harus
mengikuti tes untuk menentukan kelas yang tepat dan cocok untuk murid baru
tersebut. Demikian juga halnya dengan Muhammad Zainuddin, beliau juga diuji
terlebih dahulu. Beliau diuji langsung oleh Syaikh Salim Rahmatullah dan Syaikh
Hasan Muhammad al-Masysyath.
Akhirnya Syaikh Hasan
Muhammad al-Masysyath menentukan ia masuk di kelas III. Padahal beliau belum
terlalu menguasai ilmu nahwu dan sharaf yang diajarkan di kelas II. Mendengar
keputusan tersebut, kemudian beliau meminta untuk diperkenankan masuk di kelas
II, dengan alasan ingin mendalami mata pelajaran nahwu dan sharaf. Walaupun
pada awalnya Syaikh Hasan Muhammad al-Masysyath bersikeras dengan keputusannya,
namun argumentasi yang dikemukakan oleh Muhammad Zainuddin membuatnya berfikir
kembali. Kemudian Syaikh Hasan pun mengabulkan permohonannya, dan resmilah
beliau diterima di kelas II.
Di Madrasah ash-Shaulatiyah
ini, Muhammad Zainuddin mulai tekun belajar. Ia ingin membuktikan kemampuannya
menguasai ilmu dengan baik. Di malam dan sore hari beliau belajar kepada
beberapa guru yang lain.
Di rumah juga beliau
manghabiskan waktunya untuk belajar. Salah satu bentuk ketekunannya dalam
belajar adalah besarnya porsi waktu yang disediakan untuk membaca kitab-kitab
mulai dari setelah shalat Tahajjud sampai waktu shalat Shubuh tiba.
Pernah suatu ketika
beliau tertidur pada saat membaca kitab, padahal di hadapannya terdapat sebuah
lampu minyak sebagai alat penerang beliau dalam membaca. Tanpa beliau sadari
sorbannya terlalap api dari lampu minyak tersebut dan terbakar. Mencium bau
benda terbakar, ibunya pun terbangun, sementra beliau masih tertidur dengan
lelapnya. Kemudian ibunya pun berteriak membangunkannya. Beliaupun terkejut dan
terbangun.
Kebiasaan beliau
membaca dan belajar dalam waktu yang cukup lama menyebabkan mata beliau
mengalami gangguan. Meskipun demikian beliau masih tetap mampu mempertahankan
kebiasaan membaca dan belajarnya tersebut sampai waktu yang cukup lama.
Ketekunannya dalam
belajar membuahkan hasil. Beberapa orang gurunya mengakui bahwa beliau
tergolong murid yang cerdas. Syaikh Salim Rahmatullah sebagai kepala Madrasah
ash-Shaulatiyah selalu mempercayakan beliau untuk menghadapi Penilik Madrasah
pemerintah Saudi yang sering kali datang ke madrasah itu. Penilik madrasah itu
menganut faham Wahabi. Dan beliaulah satu-satunya murid Madrasah
ash-Shaulatiyah yang dianggap menguasai faham Wahabi.
Pertanyaan penilik itu
biasanya menyangkut soal-soal hukum ziarah kubur, tawassul kepada anbiya’ dan
auliya’, bernadzar menyembelih kambing berbulu hitam atau putih dan sebagainya.
Dan beliau selalu berhasil menjawab pertanyaan penilik itu dengan memuaskan.
Prestasi akademiknya sangat
membanggakan, ia berhasil meraih peringkat pertama dan juara umum. Disamping
itu, dengan kecerdasan yang luar biasa, ia berhasil menyelesaikan studinya
dalam kurun waktu 6 tahun. Padahal waktu belajar normal adalah 9 tahun, yaitu
mulai dari kelas I sampai dengan kelas IX. Dari kelas II, ia langsung ke kelas
IV. Tahun berikutnya ke kelas VI, dan kemudian pada tahun-tahun berikutnya
secara berturut-turut naik ke kelas VII,VIII dan IX.
Sahabat sekelas
Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin bernama Syaikh Zakaria Abdullah Bila, mengakui
kejeniusannya dan mengatakan: “Syaikh Zainuddin itu adalah manusia ajaib di
kelasku, karena kejeniusannya yang tinggi dan luar biasa dan saya sungguh
menyadari hal ini. Syaikh Zainuddin adalah saudaraku, dan kawan sekelasku dan
saya belum pernah mampu mengunggulinya dan saya tidak pernah menang dalam
berprestasi pada waktu saya bersama-sama dalam satu kelas di Madrasah ash-Shaulatiyah
Makkah.”
Predikat
istimewa ini disertai pula dengan perlakuan istimewa dari Madrasah ash-Shaulatiyah.
Ijazahnya ditulis langsung oleh ahli khat terkenal di Makkah, yaitu al-Khathath
asy-Syaikh Dawud ar-Rumani atas usul dari direktur Madrasah ash-Shaulatiyah.
Prestasi istimewa itu memerlukan pengorbanan, ibu yang selalu mendampingi
selama belajar di Madrasah ash-Shaulatiyah berpulang ke rahmatullah di Mekah.
Tuan Guru KH.
Muhammad Zainuddin Abdul Madjid menyelesaikan studinya di Madrasah ash-Shaulatiyah
pada tanggal 22 Dzul Hijjah tahun 1353 H dengan predikat “mumtaz” (Summa
Cumlaude).
Setelah tamat
dari Madrasah ash-Shaulatiyah, Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin tidak langsung
pulang ke Lombok, tetapi bermukim lagi di Makkah selama dua tahun sambil
menunggu adiknya yang masih belajar, yaitu Muhammad Faisal. Waktu dua tahun itu
dimanfaatkan untuk belajar antara lain belajar ilmu fiqh kepada Syaikh Abdul
Hamid Abdullah al-Yamani. Dengan demikian, waktu belajar yang ditempuh selama
di Tanah Suci Makkah adalah 13 kali musim haji atau kurang lebih 12 tahun. Ini
berarti selama di Mekah sempat mengerjakan ibadah haji sebanyak 13 kali.
f. Guru-guru Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid
Para guru yang
mengajarkan al-Quran dan kitab Melayu di Lombok diantaranya adalah:
1. Tuan Guru KH. Abdul Majid
2. Tuan Guru KH. Syarafuddin Pancor Lombok Timur
3. Tuan Guru KH. Abdullah bin Amak Dujali Kelayu Lombok Timur.
Adapun para guru beliau
di Madrasah ash-Shaulatiyah Makkah adalah:
1. Asy-Syaikh Hasan Muhammad al-Masysyath
2. Asy-Syaikh Umar Bajunaid asy-Syafi’i
3. Asy-Syaikh Muhammad Said al-Yamani asy-Syafi’i
4. Asy-Syaikh Ali al-Maliki
5. Asy-Syaikh Marzuqi al-Palimbani
6. Asy-Syaikh Abubakar al-Palimbani
7. Asy-Syaikh Hasan Jambi asy-Syafi’i
8. Asy-Syaikh Abdul Qadir al-Mandili asy-Syafi’i
9. Asy-Syaikh Mukhtar Betawi asy-Syafi’i
10. Asy-Syaikh Abdullah al-Bukhari asy-Syafi’i
11. Asy-Syaikh Umar Hamdan al-Mihrasi al-Maliki
12. Asy-Syaikh Abdussattar ash-Shiddiqi Abdul Wahab al-Kutbi al-Maliki;
13. Al-‘Allamah al-Kabir al-Syeikh
14. Asy-Syaikh Abdul Qadir asy-Syibli al-Hanafi
15. Asy-Syaikh Muhammad Amin al-Kutbi al-Hanafi
16. As-Sayyid al-Habib Muhsin al-Musawa asy-Syafi’i
17. Asy-Syaikh Khalifah al-Maliki
18. Asy-Syaikh Jamal al-Maliki
19. Asy-Syaikh Muhammad Shalih al-Kalantani asy-Syafi’i
20. Asy-Syaikh Mukhtar al-Makhdumi al-Hanafi
21. Asy-Syaikh Salim Cianjur asy-Syafi’i
22. As-Syayid Ahmad Dahlan Shadaqi asy-Syafi’i
23. Asy-Syaikh Salim Rahmatullah al-Maliki
24. Asy-Syaikh Abdul Gani al-Maliki
25. As-Syayid Muhammad Arabi at-Tubani al-Jazairi al-Maliki
26. Asy-Syaikh Umar al-Faruqi al-Maliki
27. Asy-Syaikh Abdullah al-Farisi
28. Asy-Syaikh Malla Musa.
Jika diklasifikasikan
guru-gurunya berdasarkan latar belakang madzhab yang berbeda, maka akan
terlihat kategorisasi madzhab sebagai berikut: 11 orang bermadzhab Syafi’i, 6
orang bermadzhab Hanafi dan 11 orang bermadzhab Maliki.
Berdasarkan
kategorisasi madzhab di atas terlihat jelas bahwa semua guru-guru beliau masih
berada dalam satu landasan teologi yang sama, yakni faham Ahlussunnah wal
Jama’ah. Dengan kata lain, bahwa tidak ada seorang pun gurunya yang menganut
faham teologi yang berbeda, seperti Mu’tazilah, Syi’ah ataupun Wahabi.
g.
Kepulangan
Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid ke Tanah Air
Setelah selesai
menuntut ilmu di Makkah dan kembali ke tanah air, Tuan Guru KH. Muhammad
Zainuddin Abdul Madjid langsung melakukan safari dakwah ke berbagai lokasi di pulau Lombok,
sehingga dikenal secara luas oleh masyarakat. Pada waktu itu masyarakat
menyebutnya dengan sebutan “Tuan Guru Bajang”.
Semula, pada
tahun 1934 mendirikan pesantren al-Mujahidin
sebagai tempat pemuda-pemuda Sasak mempelajari agama dan selanjutnya pada
tanggal 15 Jumadil Akhir 1356 H/22 Agustus 1937 mendirikan Nahdlatul
Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI) dan
menamatkan santri (murid) pertama kali pada tahun ajaran 1940/1941.
h.
Kepemimpinan
Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid
Kesuksesan
perjuangan seseorang tokoh atau pemimpin banyak ditentukan oleh pola kepemimpinannya.
Kearifan seorang pemimpin dalam melaksanakan tugas kepemimpinannya akan
menentukan keberhasilan perjuangannya. Perjuangan dan kepemimpinan merupakan
dua hal yang saling mengkait, karena perjuangan itu akan berhasil baik, apabila
pola pendekatan yang dipergunakan dalam kepemimpinan itu baik. Disamping itu,
kepemimpinan yang arif dan bijaksana akan menghasilkan keberhasilan perjuangan.
Tuan Guru KH.
Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dikenal sebagai ulama besar di Indonesia karena ilmu yang dimiliki sangat luas
dan mendalam. Demikian juga kharisma beliau sebagai sosok figur ulama demikian
besar. Beliau adalah tokoh panutan yang sangat berpengaruh karena kearifan dan
kebijaksanaannya.
Perjuangan dan
kepemimpinan beliau senantiasa diarahkan untuk kepentingan umat. Penghargaan
dan penghormatan yang diberikan kepada seseorang yang telah berjasa kepadanya
terutama kepada guru-guru beliau diwujudkan dalam bentuk yang dapat memberikan
manfaat kepada umat.
Sebagai contoh
dapat dikemukakan bahwa penghargaaan beliau kepada mahaguru yang paling
dicintai dan disayangi, asy-Syaikh Hasan Muhammad al-Masysyath diwujudkan dalam
bentuk Pondok Pesantren Hasaniyah NW di Jenggik, Lombok Timur. Penghargaan
kepada mahagurunya asy-Syaikh as-Sayyid Muhammad Amin al-Kutbi diwujudkan dalam
bentuk Pondok Pesantren Aminiyah NW di Bonjeruk Lombok Tengah, dan penghargaan
kepada mahagurunya asy-Syaikh Salim Rahmatullah beliau sudah merencanakan untuk
mendirikan sebuah Pondok Pesantren di Lombok Timur.
Pola
kepemimpinan yang beliau contohkan di atas hanya dapat dilakukan oleh
orang-orang yang memiliki wawasan ilmu yang dalam serta pemimpin yang memiliki
kearifan dan kebijaksanaan. Demikian pula tentang pendekatan yang beliau
lakukan selalu bernilai paedagogik dalam arti mengandung nilai-nilai
pendidikan. Beliau tidak mau bahkan tidak pernah bersikap sebagai pembesar yang
disegani. Beliau selalu bertindak sebagai pengayom yang berada di tengah-tengah
jamaah dan senantiasa menempatkan diri sesuai dengan keberadaan dan kemampuan
mereka. Demikian juga halnya di kala beliau memberikan fatwanya selalu
disesuaikan dengan kondisi dan jangkauan alam pikiran murid dan santrinya.
Pembawaan dan
sikap hidup beliau selalu menunjukkan kesederhanaan. Inilah yang membuat beliau
selalu dekat dengan para warganya dan murid-muridnya dengan tidak mengurangi
kewibawaan dan kharisma yang beliau miliki. Keluhan yang disampaikan para warga
dan muridnya ditampung, didengar, dan dicarikan jalan penyelesaiannya dengan
penuh kearifan dan kebijaksanaan dengan tidak merugikan salah satu pihak.
Untuk
melanjutkan dan mengembangkan perjuangan Nahdlatul
Wathan di masa datang, beliau
sangat mendambakan munculnya kader-kader yang memiliki potensi dan militansi,
serta loyalitas yang tinggi, baik dari segi semangat, wawasan, maupun bobot
keilmuan.
Dalam banyak
kesempatan beliau sering menyampaikan keinginannya agar murid dan santri beliau
memiliki ilmu pengetahuan sepuluh bahkan seratus kali lipat lebih tinggi
daripada ilmu pengetahuan yang beliau miliki. Demikian motovasi yang selalu
beliau kumandangkan supaya murid dan santri beliau lebih tekun dan berpacu dalam
menuntut ilmu pengetahuan, baik di dalam maupun di luar negeri.
Dalam menerima
dan menghadapi para murid dan santri serta warga Nahdlatul
Wathan, beliau tidak pernah membedakan antara yang satu dengan yang lain.
Semua murid dan santri serta warga Nahdlatul
Wathan diberikan perhatian
dan kasih sayang yang sama besarnya, bagaikan cinta dan kasih sayang seorang
bapak kepada anak-anaknya.
Yang membedakan
murid dan santri di hadapan beliau adalah kadar keikhlasan dan sumbangsihnya
kepada Nahdlatul
Wathan. Dan, untuk membina dan memonitor kualitas kader Nahdlatul
Wathan, beliau mengeluarakan wasiat dalam bahasa Arab, yang artinya:
“Dengan
menyebut nama Allah dan dengan memujiNya semoga keselamatn
tetap tercurah padamu, demikian pula rahmat Allah, keberkatan, ampunan dan
ridhaNya.
Anak-anak yang
setia dan murid-muridku yang berakal. Sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisiku
ialah yang paling banyak bermanfaat untuk perjuangan Nahdlatul
Wathan. Dan sejahat-jahat
kamu di sisiku ialah yang paling banyak merugikan perjuangan Nahdlatul
Wathan.
Karena itu,
kuatkanlah kesabaranmu, tetaplah bersiap siaga, berjuanglah kemudian
berjuanglah di jalan Nahdlatul
Wathan untuk mempertinggi
citra agama dan negara. Niscaya kamu dengan kekuasaan Allah Swt. Tergolong
pejuang agama, orang shaleh dan mukhlish baik pada waktu sendirian maupun pada
waktu bersama orang lain.
Semoga Allah
membukakan pintu rahmat untuk kami dan kamu dan semoga ia menganugerahi kami
dan kamu serta para simpatisan Nahdlatul
Wathan masuk surga dan nikmat
tambahan yang tiada taranya, yaitu melihat DzatNya dari dalam surga.”
Demikianlah,
wasiat ini dikeluarkan setelah terlihat beberapa kader dari kalangan alumni
Madrasah NWDI, dan mereka yang sudah dibiayai beliau untuk melanjutkan ke
sekolah yang lebih tinggi keluar dari garis perjuangan oraganisasi. Tidak taat
pada kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh beliau.
Memang dalam
rangka kaderisasi beliau banyak memberikan bantuan kepada alumni NWDI dan
orang-orang lain untuk melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi dengan nawaitu
khusus dan perjanjian khusus pula, yaitu untuk setia membela dan memperjuangkan
cita-cita NWDI, NBDI dan NW.
Alhamdulillah tidak
sedikit diantara mereka yang benar-benar menepati janjinya dengan tulus.
Sebaliknya ada juga yang khianat pada janjinya, tidak malu merobek-robek nawaitu
pengirimannya. Eksistensi dan aplikasi dari wasiat ini menjadi tolok ukur
kualitas dan kader ketaatan serta keihklasan kader-kader Nahdlatul
Wathan.
Disamping itu,
untuk mempertegas Wasiat Renungan Masa I dan II berbahasa Indonesia dalam
bentuk puisi. Wasiat Renungan Masa ini berisikan nasihat, fatwa dan pedoman
bagi warga Nahdlatul
Wathan dalam berjuang.
Lahirnya
wasitat-wasiat tersebut merupakan konsekuensi logis dari pola kepemimpinan
beliau yang selalu menekankan hubungan guru dan murid. Beliau adalah figur
pemimpin yang selalu menekankan agar tetap terjalin dan terpelihara hubungan antara
guru dan murid. Menurut prinsip beliau bahwa tidak ada guru yang membuang murid
akan tetapi kebanyakan murid yang membuang guru.
i.
Perjuangan
Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid
Tuan Guru KH.
Muhammad Zainuddin Abdul Madjid belajar di Tanah Suci Mekah selama 13 tahun
kemudian kembali ke Indonesia atas perintah dari guru beliau yang paling dikagumi,
yakni Syaikh
Hasan Muhammad al-Masysyath, pada tahun 1934.
Setiba di Pulau
Lombok beliau mendirikan Pesantren al-Mujahidin pada tahun1934 M. Kemudian pada tanggal 15 Jumadil
Akhir 1356 H/22 Agustus 1937 M. beliau mendirikan Madrasah
Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI). Madrasah ini khusus untuk mendidik
kaum pria.
Kemudian pada
tanggal 15 Rabiul Akhir 1362 H/21 April 1943 M. beliau mendirikan madrasah
Nahdlatul Banat Diniah Islamiyah (NBDI) khusus untuk kaum wanita. Kedua
madrasah ini merupakan madrasah pertama di Pulau
Lombok yang terus berkembang
dan merupakan cikal bakal dari semua madrasah yang bernaung di bawah organisasi
Nahdlatul Wathan. Dan secara khusus nama madrasah tersebut diabadikan menjadi
nama Pondok Pesantren Dar an-Nahdlatain Nahdlatul Wathan. Istilah “Nahdlatain” diambil dari kedua madrasah tersebut.
Beliau aktif berdakwah keliling desa diPulau
Lombok dan mengajar.
Pada tahun 1952, madrasah-madrasah
cabang NWDI-NBDI yang didirikan oleh para alumni di berbagai daerah telah
berjumlah 66 buah. Maka untuk mengkoordinir, membina dan mengembangkan
madrasah-madrasah cabang tersebut beserta seluruh amal usahanya, Tuan Guru KH.
Muhammad Zainuddin Abdul Madjid mendirikan organisasi Nahdlatul Wathan yang
bergerak di dalam bidang pendidikan, sosial dan dakwah Islamiyah pada tanggal
15 Jumadil Akhir 1372 H/1 Maret 1953 M.
Sampai dengan
tahun 1997 M, lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola oleh organisasi
Nahdlatul Wathan telah berjumlah 747 buah dari tingkat taman kanak-kanak sampai
dengan perguruan tinggi. Begitu juga lembaga sosial dan dakwah islamiyah
Nahdlatul Wathan berkembang dengan pesat bukan hanya di NTB melainkan juga
diberbagai daerah di Indonesia seperti NTT, Bali, Jawa Timur, Jawa Barat, DKI
Jakarta, Riau, Sulawesi, Kalimantan, bahkan sampai ke mancanegara seperti
Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan lain sebagainya.
Pada zaman
penjajahan, Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid menjadikan madrasah
NWDI dan NBDI sebagai pusat pergerakan kemerdekaan, tempat menggembleng
patriot-patriot bangsa yang siap bertempur melawan dan mengusir penjajah.
Bahkan secara
khusus Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid bersama guru-guru Madrasah
NWDI-NBDI membentuk suatu gerakan yang diberi nama “Gerakan al-Mujahidin”.
Gerakan al-Mujahidin ini bergabung dengan gerakan-gerakan rakyat lainnya di Pulau
Lombok untuk bersama-sama
membela dan mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan Bangsa Indonesia.
Dan pada
tanggal 7 Juli 1946, Tuan Guru KH.
Muhammad Faisal Abdul Majid adik kandung Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul
Madjid memimpin penyerbuan tanksi militer NICA di Selong. Namun, dalam penyerbuan ini
gugurlah TGH. Muhammad Faisal Abdul Majid bersama dua orang santri NWDI sebagai syuhada sekaligus sebagai pencipta dan
penghias Taman Makam Pahlawan Rinjani Selong, Lombok
Timur.
Tuan Guru KH.
Muhammad Zainuddin Abdul Madjid sebagai ulama pemimpin umat, dalam kehidupan
bermasyarakat dan berbangsa telah mengemban berbagai jabatan dan menanamkan
berbagai jasa pengabdian, diantaranya:
·
Pada tahun 1934
mendirikan Pesantren al-Mujahidin
·
Pada tahun 1937
mendirikan Madrasah NWDI
·
Pada tahun 1943
mendirikan Madrasah NBDI
·
Pada tahun 1945
pelopor kemerdekaan RI untuk daerah Lombok
·
Pada tahun 1946
pelopor penggempuran NICA di Selong Lombok Timur
·
Pada tahun
1947/1948 menjadi Amirul Haji dari Negara Indonesia Timur
·
Pada tahun
1948/1949 menjadi anggota delegasi Negara Indonesia Timur ke Arab Saudi
·
Pada tahun 1950
Konsulat NU Sunda Kecil
·
Pada tahun 1952
Ketua Badan Penasehat Masyumi Daerah Lombok
·
Pada tahun 1953
mendirikan organisasi Nahdlatul Wathan
·
Pada tahun1953
Ketua Umum PBNW pertama
·
Pada tahun 1953
merestui terbentuknya parti NU dan PSII di Lombok
·
Pada tahun 1954
merestui terbentuknya PERTI Cang Lombok
·
Pada tahun 1955
menjadi anggota Konstituante RI hasil Pemilu I (1955)
·
Pada tahun 1964
mendiriakn Akademi Paedagogik NW
·
Pada tahun 1964
menjadi peserta KIAA (Konferensi Islam Asia Afrika) di Bandung
·
Pada Tahun 1965
mendirikan Ma’had Dar al-Quran wa al-Hadits al-Majidiyah asy-Syafi’iyah
Nahdlatul Wathan
·
Pada tahun
1972-1982 sebagai anggota MPR RI hasil Pemilu II dan III
·
Pada tahun
1971-1982 sebagai penasihat Majlis Ulama
Indonesia (MUI) Pusat
·
Pada tahun 1974
mendirikan Ma’had li al-Banat
·
Pada Tahun 1975
Ketua Penasihat Bidang Syara’ Rumah Sakit Islam Siti Hajar Mataram (sampai
1997)
·
Pada tahun 1977
mendirikan Universitas Hamzanwadi
·
Pada tahun 1977
menjadi Rektor Universitas Hamzanwadi
·
Pada tahun 1977
mendirikan Fakultas Tarbiyah Universitas Hamzanwadi
·
Pada tahun 1978
mendirikan STKIP Hamzanwadi
·
Pada tahun 1978
mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah Hamzanwadi
·
Pada tahun 1982
mendirikan Yayasan Pendidikan Hamzanwadi
·
Pada tahun 1987
mendirikan Universitas Nahdlatul Wathan Mataram
·
Pada tahun 1987
mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Hamzanwadi
·
Pada tahun 1990
mendirikan Sekolah Tinggi Ilamu Dakwah Hamzanwadi
·
Pada tahun 1994
mendirikan Madrasah Aliyah Keagamaan putra-putri
·
Pada tahun 1996
mendirikan Institut Agama Islam Hamzanwadi.
Oleh karena jasa-jasa beliau itulah,
maka pada tahun 1995 belau dianugerahi Piagam Penghargaan dan medali Pejuang
Pembangunan oleh pemerintah.
Disamping itu, Tuan Guru KH.
Muhammad Zainuddin Abdul Madjid selaku seorang mujahid selalu berupaya
mengadakan inovasi dalam gerakan perjuangannya untuk meningkatkan kesejahteraan
ummat demi kebahagian di dunia maupun di akhirat. Diantara inovasi atau rintisan-rintisan
beliau adalah:
·
Menyelenggarakan
pendidikan dan pengajaran agama Islam di NTB dengan sistem madrasi (madrasah)
·
Membuka lembaga
pendidikan khusus untuk wanita
·
Mengadakan ziarah
umum Idul Fitri dan Idul Adha dengan mendatangai jamaah di samping didatangi
·
Meyelenggarakan
pengajian umum secara bebas
·
Mengadakan gerakan
doa dengan berhizib
·
Mengadakan syafa’at al-kubra
·
Mengamalkan thariqat,
yakni thariqat Hizib Nahdlatul Wathan
·
Membuka sekolah
umum disamping sekolah agama (madrasah)
·
Menyusun nadzam
berbahasa Arab bercampur bahasa Indonesia
·
Dan lain-lain.
Sebagai seorang ulama mujahid beliau
telah memberikan keteladanan yang terpuji. Seluruh sisi kehidupan beliau,
beliau isi dengan perjuangan memajukan agama, nusa dan bangsa. Tegasnya, tiada
hari tanpa perjuangan. Itulah yang senantiasa terlihat dan terkesan dari
seluruh sisi kehidupan beliau yang patut dicontoh dan diteladani oleh seluruh
pengikut dan murid beliau.
j.
Karya-karya Tuan Guru KH.
Muhammad Zainuddin Abdul Majid
Tuan Guru KH. Muhammad
Zainuddin Abdul Majid, selain tergolong ulama yang berbobot dalam bidang
keilmuan, beliau juga termasuk penulis dan pengarang yang produktif. Bakat dan
kemampuannya tersebut tumbuh dan berkembang semenjak beliau belajar di Madrasah
ash-Shaulatiyah Makkah. Akan tetapi karena kepadatan dan banyaknya acara
kegiatan keagamaan dalam masyarakat yang harus diisi oleh beliau, sehingga
peluang dan kesempatan beliau untuk mengarang dan memperbanyak tulisannya
hampir tidak pernah ada.
Itulah sebabnya pada
beberapa kesempatan beliau seringkan mengungkapkan keadaannya kepada para muridnya.
Beliau teringat pada kawan seperjuangan di Madrasah ash-Shaulatiyah Makkah yang
juga telah tergolong ulama besar dan pengarang terkenal seperti asy-Syaikh Zakaria
Abdullah Bila, asy-Syaikh Yasin al-Faddani dan lain-lain. Mereka sekarang ini
memiliki karya-karya besar dalam bidang tulis menulis (kitab).
Dalam hal ini Tuan Guru
KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid tidak pernah berkecil hati, walaupun kawan
seperguruannya menonjol dalam bidang tersebut. Beliau menyadari akan hal ini,
karena situasi dan kondisi kehidupan ummat dan masyarakat yang dihadapi sangat
jauh berbeda, yaitu masyarakat Makkah di satu pihak dan masyarakat Indonesia di
lain pihak.
Beliau pernah
mengatakan: “Seandainya aku mempunyai waktu dan kesempatan yang cukup untuk
menulis dan mengarang, niscaya aku akan mampu menghasilkan karangan dan
tulisan-tulisan yang lebih banyak, seperti yang dimiliki Syaikh Zakaria
Abdullah Bila, Syaikh Yasin Padang, Syaikh Ismail dan ulama-ulama lain tamatan
Madrasah ash-Shaulatiyah Makkah.”
Dikarenakan seluruh waktu
dan kehidupan beliau dimanfaatkan dan dipergunakan untuk mengajar dan berdakwah
keliling untuk membina umat dalam upaya menanamkan iman dan taqwa, sehingga
membuat beliau tidak memiliki cukup banyak waktu untuk menulis dan mengarang.
Dan bahkan beliau tidak pernah putus semangat untuk menghabiskan waktunya
berjuang demi kepentingan umat, sebagaimana ucapan dan ikrar beliau sendiri: “Aku
wakafkan diriku untuk ummat.”
Sekalipun dalam keadaan
yang sangat sibuk seperti itu, beliau masih menyempatkan dirinya untuk
mengembangkan bakat dan kemampuannya tersebut. Bagi beliau mengarang dan tulis
menulis bukanlah suatu tugas dan pekerjaan yang sulit, karena hal ini merupakan
kemampuan dasar yang dianugerahkan Allah Swt. kepada beliau. Bakat dan
kemampuannya inilah yang terus dibawa sehingga tumbuh dan berkembang semenjak
beliau bersekolah di Madrasah ash-Shaulatiyah Makkah, sehingga tidak
mengherankan apabila beliau mendapatkan
banyak pujian dari guru-guru beliau.
Diantara karya tulis
dan karangan-karangan Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid adalah:
1. Risalat at-Tauhid (Ilmu tauhid dalam bentuk soal jawab).
2. Sullam al-Hija Syarh Safinat an-Naja (Ilmu fiqh).
3. Nahdhat az-Zainiyah (Ilmu faraidh dalam bentuk nadzam).
4. At-Tuhfat al-Ampenaniyah Syarh Nahdhat az-Zainiyah (Syarah nadzam ilmu faraidh).
5. Al-Fawakih al-Ampenaniyah (Ilmu faraidh dalam
bentuk soal jawab).
6. Mi’raj ash-Shibyan ila Sama’ ‘Ilm Bayan (Ilmu balaghah).
7. An-Nafahat ‘ala at-Taqrirat as-Saniyah (Ilmu mushtalahul
hadits).
8. Nail al-Anfal (Ilmu tajwid).
9. Hizb Nahdhat al-Wathan (Doa dan wirid kaum pria).
10. Hizb Nahdhat al-Banat (Doa dan wirid kaum wanita).
11. Shalawat Nahdhatain (Shalawat iftitah dan khatimah).
12. Thariqat Hizb Nahdhat al-Wathan (Wirid harian).
13. Ikhtishar Hizb Nahdhat al-Wathan (Wirid harian).
14. Shalawat Nahdhat al-Wathan (Shalawat iftitah).
15. Shalawat Miftah Bab Rahmatillah (Wirid dan doa).
16. Shalawat Mab’uts Rahmatan li al-‘Alamin (Wirid dan doa).
17. Batu Nompal (Ilmu tajwid).
18. Anak Nunggal Taqrirat Batu Ngompal (Ilmu tajwid).
19. Wasiat Renungan Masa I dan II (Nasihat dan petunjuk perjuangan untuk warga
Nahdlatul Wathan).
20. Dan masih banyak lagi.
Adapun karya beliau
dalam benuk nasyid atau lagu perjuangan dan dakwah dalam bahasa Arab, Indonesia
dan Sasak diantaranya adalah:
1. Ta’sis NWDI (Anti Ya Pancor Biladi)
2. Imamuna asy-Syafi’i
3. Ya Fata Sasak
4. Ahlan bi Wafdi az-Zairin
5. Tanawwar
6. Mars Nahdlatul Wathani
7. Bersatulah Haluan
8. Nahdlatain
9. Pau Gama’
10. Dan masih banyak lagi.
Dengan banyaknya karya
yang telah beliau terbitkan mencerminkan ketinggian ilmu yang dimilikinya,
sehingga oleh guru-gurunya Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid
mendapat pujian dan kepercayaan yang besar. Diantaranya ia pernah diberi
kesempatan untuk memberikan kata pengantar dari gurunya, yakni asy-Syaikh Hasan
Muhammad al-Masysyath.
Dalam kata pengantar
yang beliau tulis untuk kitab Baqi’ah al-Mustarsyidin karya asy-Syaikh
Hasan Muhammad al-Masysyath sambil mengutip hadits Nabi Saw. mengatakan:
“Janganlah kamu
mempelajari ilmu syariat dari seseorang kecuali dari orang yang baik riwayat
hidupnya dan hatinya dan kamu sekalian telah menyelidiki atas keamanahannya”
Dari asy-Syaikh Hasan
Muhammad al-Masysyath inilah, beliau pernah mendapatkan risalah atau ijazah
dengan seluruh isi kitabnya: “al-Irsyad bi adz-Dzikr ba’da Ma’alim al-Ijazah
wa al-Ashnaf”. Dari sinilah, beliau menukil sebagian ucapan gurunya tentang
kehidupan pribadinya yang mantap, tetapi tetap menganggap dirinya adalah orang
yang hina dan fakir dalam pengetahuan agama.
Asy-Syaikh Muhammad al-Masysyath
pernah memberikan sanjungan kepada Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid:
“Demi Allah saya kagum kepada Zainuddin, kagum pada kelebihannya atas orang
lain pada kebesaran yang tinggi dan kecerdasannya yang tiada tertandingi. Jasanya
bersih ibarat permata menunjukkan kebersihan ayah bundanya dan karya-karya
tulisnya indah lagi menawan penaka bunga-bungaan yang tumbuh di lereng
pegunungan. Di lapangan ilmu ia dirikan ma’had, tetap dibanjiri thullab dab
thalibat menuntut ilmu dan menggali kitab. Ia kobarkan semangat generasi muda
menggapai mustawa dengan karyanya Mi’raj ash-Sibyan ila Sama’i ‘Ilm al-Bayan.
Semoga Alah memanjangkan usianya dan dengan perantaraannya ia memajukan ilmu
pengetahuan agama di Ampanan bumi Selaparang. Terkirimlah salam penghormatan
harum semerbak bagaikan kasturi dari tanah Suci menuju “Rinjani” (Syaikh
Muhammad Zainuddin Abdul Majid dalam Mi’raj ash-Sibyan ila Sama’i ‘Ilm
al-Bayan).
Dengan demikian, Tuan Guru
KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid selain dikenal sebagai ulama yang memiliki
kepedulaian yang tinggi terhadap dunia pendidikan Islam, ia juga mampu
menuliskan pikiran-pikirannya untuk memberikan warisan yang paling berharga
bagi penerus-penerusnya.
k. Karamah Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid
Suatu hari salah satu kyai besar Nahdlatul Ulama (NU), KH. Ma’shum Ahmad
Lasem, ayahanda KH. Ali Ma’shum Krapyak, bersilaturrahim ke Lombok.
Menjelang waktu Maghrib kiai asal Lasem itu sampai di sana. Saat dijamu
oleh tuan rumah, Mbah Ma’shum (panggilan akrab KH. Ma’shum Ahmad) mengetahui
betapa ramainya pesantren sang kiai. Hiruk-pikuk
para santri yang melakukan aktifitasnya sangat tampak. Segenap santri terlihat
mengaji dan berdzikir.
“Alhamdulillah, pesantren Tuan sudah maju. Santrinya banyak. Semoga
mereka bisa jadi pemimpin kaumnya,” kata Mbah Ma’shum.
Setelah mengamini doa temannya itu, sang tuan rumah hanya tersenyum penuh
arti.
Akan tetapi keesokan harinya, tiba-tiba saja pesantren itu mendadak sepi.
Tak seorang pun santri yang terlihat berlalu lalang. Dan di tempat itu hanya
ada sang kiai saja, yang bersama keluarga rumahnya berada di tengah-tengah
pelataran pesantren. Lalu Mbah Ma’shum bertanya kepada sang tuan rumah: “Ke
mana gerangan para santrinya?”
Lalu Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid, pendiri organisasi
Nahdlatul Wathan (NW) pada tahun 1356 H atau bertepatan dengan tahun 1936 M,
itu pun menjelaskan bahwa santri-santrinya itu adalah segenap jin. Sang kiai itu memang sangat alim,
tangguh dan memiliki banyak kekeramatan, sehingga umatnya tidak saja manusia.
Kekeramatannya yang lain adalah air dari buah-buah kelapa yang tumbuh di
lingkungan pesantrennya. Air kelapa itu sangat mujarab untuk menyembuhkan
banyak penyakit. Mbah Ma’shum ketika berpamitan pun diberi bawaan (oleh-oleh)
berupa beberapa biji buah kelapa itu.
Pertemanan Mbah Ma’shum dengannya berawal ketika keduanya masih sama-sama
belajar di Makkah. Beliau sangat akrab dengan Mbah Ma’shum, dan keduanya
sama-sama saling menghormati meskipun dalam hal organisasi keduanya berbeda
jalan.
Dan masih banyak karamah Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid
yang lainnya yang belum kami tulis di sini.
l.
Kewafatan Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid
Akhir tahun 1997 menjadi masa kelabu Nusa Tenggara Barat. Betapa tidak,
hari Selasa 21 Oktober 1997 M/18 Jumadil Akhir 1418 H dalam usia 99 tahun
menurut kalender Masehi, atau usia 102 tahun menurut Hijriah, sang ulama kharismatis,
Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid, berpulang ke rahmatullah sekitar
pukul 19.53 WITA di kediaman beliau di desa Pancor, Lombok Timur.
Tiga warisan besar beliau tinggalkan: ribuan ulama, puluhan ribu santri,
dan sekitar seribu lebih kelembagaan Nahdlatul Wathan yang tersebar di seluruh
Indonesia dan mancanegara.
Beliau adalah ulama pewaris para nabi. Beliau sangat berjasa dalam
mengubah masyarakat NTB dari keyakinan semula yang mayoritas animisme, dan
dinamisme menuju masyarakat NTB yang Islami. Buah perjuangan beliau jugalah
yang menjadikan Pulau Lombok sehingga dijuluki Pulau Seribu Masjid. Karena di
seluruh kampung di Lombok pasti kita temukan masjid untuk tempat ibadah dan
acara sosial, baik yang berukuran kecil maupun besar.
Perjuangan beliau dalam menegakkan syiar Islam dan pendidikan di bumi
Indonesia tidak boleh terhenti begitu saja, namun harus terus dilanjutkan oleh
siapa saja, baik umat muslim Indonesia secara keseluruhan dan masyarakat Sasak
pada umumnya, maupun oleh kader-kader Nahdlatul Wathan yang telah dididik
melalui lembaga-lembaga pendidikan Nahdlatul Wathan serta seluruh warga
Nahdlatul Wathan (abituren, pencinta dan simpatisan) pada khususnya.
Wallahu al-Musta’an A’lam
Referensi bacaan:
·
“TGKH Muhammad
Zainuddin Abdul Majid, Nadzam Batu Ngompal Terjemah Tuhfatul Athfal”,
terbitan Nahdlatul Wathan Jakarta 1996.
·
“Visi Kebangsaan
Religius Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad
Zainuddin Abdul Majid 1904-1997”, karya Muhammad Noor
dkk. PT. Logos Wacana Ilmu Jakarta 2004.
·
“Mbah Ma’shum Lasem: The Authorized Biography of KH. Ma’shum Ahmad” karya M. Luthfi Thomafi Pustaka Pesantren 2007.
·
Majalah Aula no. 03/xxxii edisi Maret 2010.
·
“Tuan Guru KH Muhammad Zainuddin Abdul Majid Gagasan dan Gerakan
Pembaharuan Islam di Nusa Tenggara Barat” karya Masnun, Pustaka Al-Miqdad, Jakarta
2007.
·
Harian Umum Suara Nusa, Kobarkan Semangat Kemerdekaan, (Mataram: tanggal
19 November 1997).
·
“Maulana Syaikh TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid Menjadi Tauladan Bagi
Umat Islam” oleh KH. Abdullah Syafi’i (Pimpinan Pondok
Pesanteren asy-Syafi’iyah Jakarta) dalam Majalah Triwulan Sinar Lima, Jakarta 1995.
Sya’roni As-Samfuriy, Tegal 13 September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar