KH. Masruri
Abdul Mughni, pernah sama-sama nyantri bersama Gus Dur kepada KH. Abdul Fatah
Hasyim di Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang. “Kamar saya
dan Gus Dur bersebelahan. Saya di kamar Pangeran Diponegoro 7, Gus Dur di kamar
Pangeran Diponegoro 6,” katanya.
“Tapi dia
berkali-kali bilang kalau yang benar-benar menjadi gurunya adalah Mbah Fatah
(KH. Abdul Fatah Hasyim) dan Mbah Chudlori (KH. Chudlori) Tegalrejo Magelang,” lanjut
Abah Masruri.
Ketika semua
orang mengecam Gus Dur karena mau berangkat ke Israel, ia mengatakan, “Biar
semua orang mau bilang apa yang penting Mbah Fatah dan Mbah Chudlori mangestoni
(memberi restu).” Padahal kedua gurunya itu sudah wafat. Karena itulah
banyak yang yakin cucu KH. Hasyim Asy’ari itu punya kemampuan berkomunikasi
dengan dunia ghaib.
“Gus Dur yakin
betul melawan Israel tidak bisa dengan kekerasan, tetapi mau tidak mau harus
pakai jalur diplomatik. Ya harus ke sana bicara baik-baik,”
tutur Kiai Masruri, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikmah-2, Benda, Sirampog,
Brebes itu.
Demikian pula
saat terjadi penembakan terhadap umat Islam minoritas di India, KH. Abdurrahman
Wahid di Bali malah mengatakan, “Kalau Mahatma Gandhi Islam, ia adalah wali
besar.”
Pernyataannya
itu kemudian dikutip sebuah majalah Ibu Kota tanpa kata-kata “Kalau”. Sehingga
seolah-olah Gus Dur menyebut Mahatma Gandhi wali besar. Gegerlah semua kiai dan
habaib di Indonesia. Melalui jalur Forum Demokrasi (Fordem) India, Gus Dur
menempuh jalur diplomasi. Hasilnya umat Islam minoritas tidak ditembaki lagi.
“Saya sedih
dihujat umat Islam Indonesia, tetapi saya senang karena umat Islam India tidak
ditembaki lagi,” tutur Gus Dur seperti ditirukan Kiai Masruri.
Banyak hal yang
sudah dilakukan Gus Dur tanpa orang lain mengetahui apa yang sebenarnya
terjadi. Contoh bagaimana humanisnya cucu KH. Hasyim Asy’ari itu disampaikan
Drs. H. Ali Mufiz MPA. Saat itu ia yang menjadi Wakil Gubernur Jateng menemui
Gus Dur di kantor PBNU. “Gus Dur satu mobil bersama pamannya, KH. M. A.
Sahal Mahfudh keluar dari kantor mengambil honor tulisan di Kantor Majalah
Tempo,” katanya.
Pada saat tiba
kembali di kantor PBNU, tiba-tiba datang seorang temannya yang mengeluh butuh
biaya untuk mengobati keluarganya yang sakit. Tanpa menengok kanak-kiri, amplop
honor tulisan yang baru saja diambil dari Majalah Tempo langsung diserahkan
kepada temannya itu, tanpa sempat membuka isinya terlebih dahulu. Ya, Gus Dur
telah tiada, tetapi spiritnya akan terus ada ila akhir zaman. (Sumber: fiqhmenjawab.blogspot.co.id)
Subhanallah... Kangen sama Abah marsur dan juga Gus Dur.. Moga Allah menempatkan beliau-beliau di tempat yang paling baik disisi Allah.. Amiin Ya Robb..
BalasHapusAbah Masruri dan Gusdur adalah dua sosok ulama yang tegas dan dermawan walaupun Allah memanggil beliau berdua di usia yang belum terlalu sepuh. Lahumal fatihah...
BalasHapusBeliau berdua adalah sosok ulama yg tak tergantikan. Semoga Abah Masruri & gus dur mendapatkan nikmat dari Allah yg limpah meruwah di Alam sana.
BalasHapusAl fatihah,..
BalasHapus