Allah Swt.
dalam memberikan fadhail (keutamaan-keutamaan) kepada para nabi, sampai
kepada para waliNya dan para ulama shalihin pun berbeda. Sampai kenikmatan apa
yang diberikan kepada kita semua hari ini (Jum’at Kliwon) sampai hari kiamat
tidak akan ketemu lagi nikmat seperti hari ini, walaupun Jum’at Kliwonnya tidak
berubah. Kenikmatan demi kenikmatan walau berganti-ganti waktu semuanya itu
tidak akan kita temukan (kenikmatan yang sama) sampai hari kiamat. Karena
begitu agungnya fahmat dan fadhal Allah Swt.
Allah Swt.
apabila memberikan keistimewaan, seperti contoh yang kecil tapi kita akan
mengalami semuanya, diantaranya diberi tawassul; kelak manusia akan
menghadapi timbangan (mizan)Nya. Jika kita bertanya secara tauhid, Allah
Swt. tidak (mustahil) ta’alluq (bergantung) kepada sesuatu apapun.
Memberikan timbangan kelak amal seseorang akan ditimbang bukan berarti Allah
tidak mengetahui amal-amal yang telah diperbuat oleh manusia. Dan manusia,
setiap hamba yang shalih akan mendapatkan suatu imbalan atau pahala. Pahala
diberikan kepada hambaNya itu fadhal dari Allah Swt. Kita bisa menjalankan amal
yang shalih juga tidak terlepas dari fadhalNya (Allah Swt.).
Dalam dunia tasawuf,
sampai akhirat pun maqamatil ananiyah (akuisme/ego) di hadapan Allah
Swt., supaya kita tidak mempunyai ananiyah, maka diberi timbangan sendiri oleh
Allah Swt. Supaya tau bahwa Allah Swt. Mahamengetahui dan Mahamengerti, tapi
hambaNya yang tidak mengerti.
Terkadang kita
sendiri lupa kalau sudah merasa setiap malam beribadah lebih untuk mendekatkan
diri kepada Allah Swt. Kita bisa beribadah malam hari dan lain sebagainya,
merupakan thariqah-thariqah (perjalanan) untuk menuju dekat kepada Allah
Swt. Tapi terkadang sifat lupa kita ini selalu mengiringi bahwa pendekatan diri
kita, dekat kita kepada Allah, itu karena fadhalNya.
Hingga kemudian
yang muncul adalah “Aku”, merasa mampu bisa begini dan begitu. Keakuan itu
tidak diiringi dengan perasaan bahwa semua itu adalah fadhal dari Allah
Swt. Padahal kalau kita ngomong dalam bahasa tasawuf atau dalam bahasa filosofi
mengatakan, aku, kami, semunya itu tidak abadi. Kalau orang itu sudah mati,
aku-nya ke mana? Aku yang abadi punya siapa? La Ilaha illa Ana (Tidak
ada dzat yang wajib disembah kecuali Aku (Allah Swt.), yang tidak pernah
melentur Aku-nya).
Mahasempurna
Allah Swt. Aku-nya Allah Swt. abadi, aku-nya kita hawadits (makhluk/tidak
abadi), aku-nya kita dha’if (lemah). Kalau sudah demikian mau ngomong
apa? Dengan keakuan yang bisa menghilangkan di hadapan Allah Swt., justru di
situlah pintu mustajabah dari Allah Swt. Karena membuang sifat akunya bahwa
orang itu atau hamba tersebut merasa dirinya faqir (merasa sangat
butuh).
Kelak di hari
akhir ketika menghadapi timbangan (mizan) Allah Swt., supaya kita membuka mata
lebih jauh apa yang kamu perbuat di dunia ini sudah mampu begini dan begitu,
agar kita mengetahui keagungan dan qadar Allah Swt. yang diberikan kepada kita
dengan muamalah yang kita amalkan. Amal shalih kita ketika di dunia ini untuk
menggapai dan mengetahui rahmat Allah Swt., ternyata amal kita setelah
ditimbang, kita mengetahui dengan mata kepala sendiri, belum ada apa-apanya
dibanding dengan betapa besar rahmat Allah Swt. yang diberikan kepada kita. Bagaikan
satu ujung rambut yang paling kecil di tengah lautan, tak ada artinya apa-apa.
Begitupula
bagaimana perjuangan-perjuangan para nabi terdahulu. Bagaimana Nabi Nuh As.
menghadapi perjuangannya pada waktu itu, yang paling berat ketika berhadapan
dengan anaknya sendiri. Ketika berhadapan dengan anak, untuk tarbiyah
(didikan) kita semua, mungkin agak pedas dan semoga tidak terjadi. Kita
contohkan diri sendiri, terkadang kita bisa mengajar di lingkungan yang
didatangi oleh ribuan dan ratusan orang dengan memberikan fatwanya yang luar
biasa, dengan keindahan tutur kata, dengan bacaan-bacaan dari para ulama shalihin
al-‘arifin yang telah dipahami, begitu enaknya saat menasehati (taushiyah),
dan lain sebagainya. Tapi Ketika kita berhadapan dengan anak kita sendiri yang
kebetulan tidak menaati peraturan orangtuanya, mungkin lebih mudah kita mengajak
dengan jumlah yang sekian banyaknya daripada menghadapi anak kita sendiri. Itu
cobaan yang paling top, memerlukan kesabaran.
Ketika anak
kita nakal takut nama kita jelek, kita perang dengan nafsu diri sendiri dengan
faktor anak. Ini tidak sadar dihantui, melekat pada hati diri kita
masing-masing. Terkadang kita malu kepada manusia tapi tidak malu kepada Allah
Swt. Ini tantangan, gengsi dan sebagainya. Itulah diantaranya yang dihadapi
Nabi Nuh As. dengan anaknya. Nabi Nuh mampu melepaskannya dari pengaruh siapa
saya, berjuang terus tidak ambil pusing mau dikatakan apapun oleh umatnya. Kita
terkadang memberi dan mengambil contoh, tapi terkadang salah untuk menutupi
aibnya sendiri lalu mengatakan orang lain, mengambil contoh dari orang lain.
Ini anaknya Nabi Nuh As. untuk meningkatkan martabat ayahnya.
Nabi Ulul Azmi
hanya 5; Nabi Nuh, Nabi Ibrahim (Khalilullah), Nabi Musa (Kalimullah), Nabi Isa
(Ruhullah), dan Nabi Muhammad Saw. (Habibullah). Pembesar Ulul Azmi adalah nabi
dan junjungan kita Sayyidina Muhammad Saw.
Apa yang
dihadapi Nabi Nuh As. adalah percontohan yang luar biasa. Hebatnya, Yang Maha
Kuasa (Allah Swt.) menggunakan kalimat (ayat al-Quran) yang luar biasa. Tetap
menjaga keistimewaan dan kebesaran Nabi Nuh. Dengan apa ayatnya? Tidak dengan mengatakan
“Innahu laisa min abnaik” (Dia bukan anakmu), tapi dibawa oleh Allah
Swt., “Innahu laisa min ahlik” (Sesungguhnya dia bukan termasuk
keluargamu). Betapa halusnya Allah Swt. kepada kekasihNya, begitu hebat akhlak
dan adab Yang Maha Kuasa terhadap rasulNya, kepada nabiNya, kepada kekasihNya.
إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ
ۖ
“Sesungguhnya dia (mereka) bukan keluargamu (ya Nuh).” (QS.
Hud ayat 46).
Menggunakan
kata “ahlun” karena bisa berarti keponakan, anak kandung, anak
keponakan, santri yang tinggal di rumahnya, anak adopsi juga bisa. (Nabi Nuh)
diangkat (derajatnya) oleh Allah Swt. Anak adalah anak, apapun (dan
bagaimanapun) anak nabi dan rasul, Nabi dan Rasul adalah bapaknya.
Begitupula apa
yang terjadi pada Nabi Muhammad Saw. dalam menghadapi pamannya sendiri, Abu
Lahab. Jangan dikira Abu Lahab tidak mengetahui bahwa Rasulullah itu benar. Dia
mengakui, jangan dikira tidak. Hanya saja dia tidak percaya atas nubuwah
(kenabian) dan risalah yang dibawa Rasulullah Saw.
Sifat Abu Lahab
adalah sifat bapak. Betapa Rasulullah Saw. menjaga akhlak dan adabnya
menghadapi pamannya yang demikian dengan penuh kesabaran yang luar biasa.
Rasulullah Saw. mengerti bahwa taufiq dan hidayah bukan di tangan para nabi,
rasul, wali, malaikat dan manusia, mutlak kehendak Allah Swt. Kita melangkah
untuk mengajak, untuk berikhtiar, untuk mendapatkan taufiq dan hidayah.
Sebagai ibrah
(pelajaran) untuk kita semua, hebatnya Allah Swt. ketika memberikan khabar
tidak ada dhamir (kata ganti yang mengarah kepada Nabi Saw.). Karena siapa,
karena apa? Karena Allah Swt. menghormati kekasihNya (Nabi Muhammad Saw.).
Walaupun Abu Lahab demikian, apapun dia adalah paman Nabi Saw. Maka suratnya
yang datang adalah surat al-Lahab, tidak pakai dhamir tapi langsung mukhathab,
kasih khabar ayatnya karena ta’dziman (menghormati) kepada Baginda Nabi
Muhammad Saw.
Bahkan para
ulama besar jika membaca surat Tabbat (al-Lahab) mereka tidak mau membacanya
dengan keras. Padahal mereka tahu betul kalau ini adalah wahyu dari Allah Swt.,
tapi karena ta'dziman. Sejahat-jahatnya Abu Lahab dia adalah pamannya Nabiy
Muhammad Saw. Jadi kita membaca surat Tabbat tidak keras karena ta'dziman
kepada Baginda Nabi Muhammad Saw. Itu akhlak dan adab yang dimiliki oleh
Baginda Nabi Muhammad Saw.
Begitupula
bagaimana ketika Rasulullah berhadapan di Thaif sampai giginya patah separo
terkena lemparan batu. Padahal kalau mau, Malaikat Jibril As. sudah siap (turun
tangan) untuk menimpakan gunung, tinggal menunggu perintah Nabi Saw. Tapi
Rasulullah Saw. tidak mempunyai sifat seperti itu. Malah didoakan “Allahummahdi
qaumiy fainnahum la ya’lamun” (Ya Allah, berilah hidayah untuk ummatku
karena sesungguhnya mereka belum mengetahui).
Sebetulnya kita
harus banyak bercermin kepada akhlaknya Baginda Nabi Saw. Di kehidupan sehari-hari
kita bercermin kepada Rasulullah Saw. Kita mau begini dan begitu selalu melihat
dan mengikuti sunnah-sunnahnya Rasulullah Saw. Wallahu a’lam. (Sumber: Fp Habib Muhammad Luthfi Bin
Yahya. Simak videonya di sini: https://youtu.be/2_0_y7PBPbE).
0 komentar:
Posting Komentar