Asy-Syaikh al-Munawar
Abdul Kabir bin Abdullah Bahmid pernah bertanya: “Apakah obat bagi orang
yang merasa berat untuk melakukan kebaikan dan cenderung memperturutkan hawa
nafsu, meskipun ia mencintai kebaikan serta para pelakunya dan membenci
kejahatan serta para pelakunya?”
Al-Quthb
al-Imam al-Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad Ra. Menjawab: “Malas beribadah dan
cenderung memperturutkan hawa nafsu dapat disebabkan oleh 4 hal:
1.
Kebodohan, mengatasinya
dengan mencari ilmu yang bermanfaat.
2.
Lemah iman,
mengobatinya dengan bertafakkur mengenai kekuasaan Allah di langit dan bumi
serta tekun beramal saleh.
3.
Panjang angan-angan[1],
mengobatinya dengan mengingat mati dan menyadari bahwa kematian dapat datang
setiap saat.
4.
Makan sesuatu
yang syubhat, cara mengatasinya dengan bersikap wara’ (menjaga diri dari kesyubhatan)
dan sedikit makan.
Siapapun yang
berhasil menghilangkan penyakit-penyakit tersebut dengan cara di atas, maka ia
tidak akan mudah merasa bosan dalam beribadah dan beramal saleh di setiap waktu.
Dan ia tidak akan memperturutkan hawa nafsu serta tidak terlalu mengejar
kenikmatan duniawi.
Janganlah
mengharapkan kenikmatan ibadah pada tahap awal perjuangan, sebab hal itu tidak
mungkin dapat dicapai sebelum seseorang benar-benar bermujahadah. Begitulah
sunnatullah:
وَ لَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللهِ تَبْدِيْلاً
“Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapatkan perubahan pada
sunnatullah.” (QS. al-Ahzab ayat 62).
Tahap awal
perjuangan adalah menjauhi hal-hal yang diharamkan syariat, mengendalikan hawa
nafsu dan memaksanya untuk taat kepada Allah. Semua ini akan terasa berat dan
sulit.[2] Apabila
Allah Swt. telah mengakui kesungguhan hatinya, ketulusan niatnya untuk
menyucikan jiwa, dan kelurusan budinya, maka saat itulah Allah akan melindungi
orang itu dan meliputinya dengan luthf-Nya yang tersembunyi. Sehingga dalam
beribadah dan beramal, ia dapat merasakan kenikmatan dan kelezatan yang tiada
tara, kenikmatan yang tidak akan membuatnya lalai lagi dari Allah. Sebaliknya,
ia akan merasakan kepedihan yang dalam ketika bermaksiat[3];
ia tidak akan tergoda dan tertipu oleh nafsunya. Allah mewahyukan:
ذلِكَ فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيْهِ مَنْ يَّشآءُ
“Itulah karunia Allah yang diberikan kepada siapa saja yang Ia
kehendaki.” (QS. al-Jumu‘ah ayat 4).
وَ الَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ
سُبُلَناَ
“Dan orang-orang yang berjihad (untuk mencari keridhaan Kami),
benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (QS.
al-Ankabut ayat 69).
وَ تَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ الْحُسْنَى عَلَى بَنِيْ
إِسْرَآئِيْلَ بِمَا صَبَرُوْا
“Dan telah sempurnalah kalimat Tuhanmu yang baik (sebagai janji)
untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka.” (QS. al-A’raf ayat 137).
وَعَدَ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوْا مِنْكُمْ وَعَمِلُوْا
الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِيْ اْلأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِيْنَ
مِنْ قَبْلِهِمْ
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara
kalian dan mengerjakan amal-amal saleh, bahwa Ia sungguh-sungguh akan
menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan
orang-orang yang sebelum mereka berkuasa.” (QS. an-Nur
ayat 55).
(Sumber: An-Nafais al-‘Ulwiyyah fi al-Masail ash-Shufiyyah hal.23-24
karya al-Quthb al-Imam al-Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad. Disarikan dari: kyaijawab.com.
Download kitabnya di sini: http://maktabahkita.blogspot.co.id/2015/12/blog-post_6.html).
[1] Panjang
angan-angan: menunda-nunda tobat karena merasa umurnya masih panjang,
terus-menerus terbuai dalam angan-angan meraih kemewahan dunia.
[2] Panjang
angan-angan: menunda-nunda tobat karena merasa umurnya masih panjang,
terus-menerus terbuai dalam angan-angan meraih kemewahan dunia. (Al-Habîb
‘Abdullâh al-Haddâd, Risâlah Âdâb Sulûk al-Murîd hal. 34)
[3]
Orang yang
memiliki nafsu muthmainnah merasa heran ketika melihat sebagian manusia durhaka
kepada Allâh Swt., padahal dalam ketaatan terdapat perasaan nyaman, kelapangan
dada dan kenikmatan. Orang-orang durhaka melakukan maksiat dan memperturutkan
syahwat, padahal dalam kemaksiatan itu tersembunyi perasaan sedih, duka dan
ketidaktentraman. Orang yang sudah
mencapai tingkat nafsu muthmainnah menyangka bahwa orang-orang lain tentu juga
telah mencapai dan merasakan apa-apa yang ia rasakan. Kemudian setelah ia mawas diri dengan
mengingat kembali segala yang pernah ia rasakan sebelumnya, yaitu ketika ia
mengecap berbagai kenikmatan dalam memperturutkan hawa nafsunya, yaitu ketika
ia merasakan pahit-getirnya ketaatan, maka barulah ia sadar, bahwa ia tidak
sampai ke tingkatnya sekarang ini melainkan setelah melalui perjuangan panjang
dan inayah yang banyak dari Allâh Swt. (Al-Habîb ‘Abdullâh al-Haddâd, Risâlah
Âdâb Sulûk al-Murîd hal. 35)
0 komentar:
Posting Komentar