Halaman

Minggu, 27 November 2016

MEMBELA HABAIB DAN NU (NAHDLATUL ULAMA)



Oleh: KH. Muhajir Madad Salim

A. Membela Habaib

Di sebuah dusun kecil, serombongan habaib muda ('alaihimussalam) sowan kepada seorang kiai sepuh. Dengan nada penuh kegelisahan cucu-cucu Baginda Nabi Saw. yang dimuliakan Tuhan itu berkata, "Kiai, bagaimana NU ini? Semuanya pada berangkat ke jakarta NU malah menahan diri. Malah kabarnya akan kirim Banser untuk Demo tandingan?"

Sesudah menghela nafasnya yang dalam Kiai menjawab, "Yiiik...", begitu biasanya beliau memanggil mereka. 'Antum di dusun ini jangan sekali-kali merendahkan NU nggih? Karena di dusun ini hanya orang-orang NU saja yang mau bershalawat kepada Kanjeng Nabi beserta Ahli Baitnya. Kalau antum memusuhi mereka, saya takut di dusun ini tidak akan ada lagi ada ummat Islam yang bershalawat untuk antum para Ahlul Bait."

Sebuah jawaban tidak terduga, yang sontak membuat para saadah muda itu tertegun. Bahkan tertegun cukup lama .

Kiai meneruskan, "Orang-orang dusun sini, adalah orang-orang awam yang tidak mengerti membalas kebaikan para Ahlul Bait kecuali dengan cara bershalawat untuk mereka. Janganlah antum berbuat sesuatu yang menyebabkan mereka meninggalkan satu-satunya kebaikan yang mereka punya!"

Sebuah kisah nyata, dari sebuah perkampungan kecil yang jauh dari hiruk-pikuk kita sekalian selama ini. Tetapi begitu mendengar kisah tersebut, saya berfikir ada banyak kata-kata yang mesti diungkapkan untuk dapat tetap "Mbelani NU" dan sekaligus tetap "Memuliakan Habaib".

Ketua Umum PBNU Kiai Said Aqil Siraj menyatakan bahwa memuliakan para habaib itu bagi kaum Nahdliyin adalah sebuah keyakinan agama mereka. Tetapi jauh sebelum Kiai Said berkata seperti itu, salah satu ulama kebanggaan kaum Nahdliyin yang merupakann mahaguru para kiai Jawa yang mayoritas kaum Nahdliyin banyak berhutang ilmu kepada beliau, yakni Syaikhul Haramain Syaikh Nawawi Banten, berkata dalam kitab kecil beliau Qami’ ath-Thughyan: “ …bahwa patut bagi setiap Muslim untuk berkeyakinan apa yang dilakukan oleh para Ahli Bait, Allah telah menganpuni mereka. Tidak boleh bagi kita merendahkan seseorang, terlebih merendahkan para Ahli Bait."

Mari berbicara tentang kemuliaan. Kemuliaan derajat seorang Muslim itu bisa disebabkan oleh banyak hal. Yang paling mudah menyebutkannya adalah kemuliaan karena "ketaqwaan". Jika seorang Muslim hidupnya penuh dengan ketaqwaan, maka dia akan mulia disisi Allah Ta’ala.

Selain ketaqwaan, ada juga sebab yang lainnya yaitu "kedekatan". Maksud kedekatan ini adalah kedekatan Muhammadiyyah. Seorang Muslim jika mempunyai kedekatan dengan Baginda Nabi Saw., maka dia akan mulia disisi Allah dibanding yang tidak.

Para sahabat Rasulullah Saw. memperoleh kemuliaan itu karena sebab ini. Mereka hidup sebagai sahabat Nabi, hidup bersama Nabi, ada dalam satu zaman dengan Nabi. Maka dikatakan: "Sebaik-baiknya tabi’in (setaqwa-taqwanya para tabi’in) tidak akan dapat mengungguli kemuliaan dari serendah-rendahnya seorang sahabat Nabi." Sebaik-baiknya tabi’in itu contohnya seperti Sayyidina Said bin Musayyib, Sayyidina Umar bin Abdul Aziz, Sayyidina Hasan al-Bashri, Sayyidina Abi Hanifah dan masih banyak yang lain. Mereka semua tingkat ketaqwaannya sudah sebegitu tingginya setaraf “Dewa”. Tetapi di sisi Allah mereka tidak mampu mengungguli kemuliaan golongan terendah dari para sahabat seperti Sayyidina Wahsyi.

Sayyidina Wahsyi ini sahabat Nabi Saw. Tetapi beliau adalah shahabiy yang tingkat ketaqwaannya ada pada level terendahnya. Selain ada “bayang-bayang” kelam dirinya yang sebelum Islam telah membunuh Sayyidina Hamzah, seorang paman yang sangat dicintai Baginda Nabi, beliau Sayyidina Wahsyi ini selama hidupnya tenggelam dalam pengaruh buruk alkohol. Bahkan beliau meninggal dunia dalam keadaan dihukum cambuk karena kebiasaan buruknya itu.

Meskipun demikian, sebagai seorang sahabat sebagaimana sahabat-sahabat Nabi yang lainnya, beliau itu "maghfurun lahum", orang-orang yang dosa-dosanya diampuni oleh Allah Ta’ala.

Jika diukur dengan ketaqwaan, para Sayyidut Tabi’in itu jauh mengungguli Sayyidina Wahsyi. Tidak selevel. Namun di akhirat, kedudukan Sayyidina Wahsyi lebih tinggi disisi Allah dibanding mereka. Bukan karena ketaqwaan Wahsyi mendapatkan keunggulannya itu, tetapi beliau mendapatkan keutamaannya karena sebab kedekatan Muhammadiyyahnya (keshahabiyannya).

Mulia karena dekat dengan seorang yang mulia, yakni Baginda Nabi al-Mushthafa. Dalam hal-hal serupa ini para ulama menerangkannya dalam sebuah analog ini:

"Seorang pelayan yang memijit tubuh seorang Raja, dia dimuliakan sehingga berdiri di tempat yang lebih tinggi dibanding para Mentri. Mereka para mentri duduk di bawah, sementara pelayan tersebut tempatnya di atas di samping Raja. Bukan berarti pelayan dimuliakan karena kepandaiannya sebagaimana para mentri. Para mentri jauh lebih pandai dan jauh lebih memahami dan berkhidmat kepada urusan rakyat dibanding dirinya. Tetapi pelayan itu dimuliakan tempatnya karena kedekatannya dengan Raja saja."

Para pemerhati sejarah Islam akan dengan mudah menempatkan Sayyidina Umar bin Abdul Aziz sebagai slah satu tokoh protagonis. Lalu dalam banyak hal mereka akan mudah menempatkan Sayyidina Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai tokoh antagonisnya.

Tetapi mereka akan terkesima jika menyimak apa keyakinan Sayyidina Umar bin Abdul Aziz sendiri dalam hal ini. Suatu saat, Sayyidina Umar bin Abdul Aziz ditanya seseorang, "Siapakah yang lebih mulia, diri Tuan ataukah Muawiyah?"

Dengan nada kesal beliau menjawab, "Sungguh, seonggok debu yang masuk di dalam rongga hidung kuda yang ditunggangi Muawiyyah saat dirinya berjihad di samping Rasulullah Saw. itu, jauh lebih mulia dibanding Umar bin Abdul Aziz!"

Kemuliaan Sayyidina Muawiyah tersebut bukan dari sebab ketaqwaannya, tetapi sebab kedekatan Muhammadiyyah yang dimilikinya. Sehingga seorang yang telah paripurna ketaqwaannya seperti Umar bin Abdul Aziz pun tidak dapat melampauinya.

Sampai di sini, sudah dapat ditarik natijah bahwa "ketaqwaan" itu tidak satu-satunya mizan/parameter kemuliaan seorang Muslim disisi Allah Ta’ala. Tetapi masih ada sebab yang lain yang dapat membuat seorang Muslim mulia disisi Allah, yaitu sebab "Anshoriyyah Nabawiyyah". Seseorang yang mempunyai unsur-unsur genetik Rasulullah, yang dalam dirinya mengalir darah dan daging Rasulullah Saw., yakni mereka adalah para anak-cucu Rasulullah. Mereka semua akan dimuliakan di sisi Allah Ta’ala karenanya. Kemuliaan yang Allah berikan melalui ayat Tath-hir (QS. al-Ahzab ayat 33):

 ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا

Kemuliaan yang membuat semua anak cucu keturunan Nabi Saw. adalah "maghfurun lahum", orang-orang yang diampuni dosa-dosanya oleh Allah Ta’ala persis kemuliaan serupa yang dimiliki oleh golongan shahabiy. Orang yang shaleh dari mereka ataupun orang yang thaleh (jahat) dari mereka, semuanya oleh Allah akan diampuni. Mereka diampuni bukan karena ketqwaan/amal mereka. Tetapi ampunan itu mereka dapatkan murni "pemberian" Allah belaka.

Berkata Syaikh an-Nabhaniy dalam sebuah kitabnya: "…Para Syarif itu termasuk juga sebagai anak cucu Sayyidah Fathimah, Radhiyallahu 'anhum, mereka semua sampai hari kiamat mendapatkan anugerah hukum ayat ini (yakni) mendapatkan ampunan Tuhan. Mereka adalah orang-orang yang disucikan (almuthahharun) yang khusus mereka terima dari Allah sebagai sebuah inayah untuk mereka dikarenakan (maziyyah) kemuliaan Baginda Nabi Muhammad Saw. Kekhususan ini juga merupakan inayah Allah untuk Baginda Nabi Muhammad Saw. pula."

Sampai di sini, natijah tersebut semakin menguat bahwa ketaqwaan bukan satu-satunya ukuran kemuliaan seseorang. Karena kedekatan zaman (seperti yang dimiliki oleh para Sahabat) dan kedekatan jasad (seperti yang dimiliki oleh para Ahlul Bait) juga dapat menjadi sebab sebuah kemuliaan disisi Tuhan.

Hal sedemikian ini yang mendasari pernyataan Kiai Said Aqil Siraj dan mahaguru para kiai Jawa, Syaikh Nawawi al-Bantani, tentang kedudukan Ahlul Bait di awal tulisan ini. Orang-orang NU yang mempunyai kecintaan kelas “Dewa” kepada para habaib ternyata bukan akal-akalan atau emosionalisme mereka belaka. Ternyata mereka mempunyai imam panutannya, dalam masalah ini yaitu Syaikh Nawawi al-Bantani .

Sehingga tidak perlu terjadi sesungguhnya, beberapa pemuda Nahdliyin dengan gaya ala Koboy menantang-nantang duel ala carok dengan para habaib. Jika belum dapat menghormati para sayyid, semestinya mereka menghormati keyakinan kiai-kiai mereka atau syaikh-syaikh mereka seperti Syaikh Nawawi ini.

Hanya saja saya memaklumi perbuatannya itu, karena saya husnudzan mereka melakukannya atas dasar ketidaktahuan mereka akan Rutbah (kedudukan tinggi) para Sayyid. Namanya saja tidak tahu, maklumi saja. Jikalau mereka sudah mengetahui, mereka tidak mungkin melakukannya.

Atau bisa saja mereka mengenal Rutbah para Sayyid itu dengan bahasa, ajaran serta stigma-stigma yang salah yang diajarkan oleh orang-orang “terpelajar” di sekitar mereka. Sehingga keyakinan yang tertanam dalam diri mereka berbeda dengan keyakinan ala Qami’ ath-Thughyan-nya Syaikh Nawawi Banten 

Tulisan berikut adalah bagian tentang yang ketidaktahuan/kesalahtahuan tersebut. Karena di bagian ini harus menjelentrehkant entang kewajiban membela NU-nya. Dan pengetahuan yang komprehensif atas serba-serbi kemuliaan seperti di atas akan menjauhkan seseorang bersikap berlebihan dalam mengungkapkan ketidaksukaannya terhadap perbuatan "oknum-oknum" dari para Sayyid yang dianggapnya keliru/jahat.

B. Membela NU

Sebagaimana membela Habaib itu diniati menjalankan perintah agama yaitu membela dan mencintai para Ahlul Bait Baginda Nabi, maka membela NU juga kudu diniati untuk membela para Ulama para pewaris Nabi. Ini perintah agama juga.

Ulama sebagai salah satu bentuk Sya’airillah (tanda-tanda kemuliaan Allah) di muka bumi, maka menghormatinya hukumnya wajib. Bahkan dihitung sebagai amal terbaik, ketaqwaan terbaik. Jika demikian, membela, memuliakan rumah-rumah para ahli ilmu ini seperti Nahdlatul Ulama, sama halnya memuliakan penghuninya yakni mereka para ulama. Tidak akan mengingkari hal-hal seperti ini kecuali orang-orang yang benar-benar tertutup mata hatinya.

Menghormati ulama bahkan tidak mesti melihat keshalehan atau tidaknya sang ulama itu sendiri. Disebabkan ilmu-ilmu yang ada dalam otak mereka, yang tersimpan di dalam dada mereka, adalah makhluk-makhluk Tuhan yang dzatiyahnya sudah mulia dan patut untuk dihormati .

Hal ini ditekankan betul oleh guru-guru kita, agar para pencari ilmu mesti memahami hakekat kemuliaan ilmu. Dia (ilmu itu sendiri) adalah mahluk yang mulia, dan manusia yang di dalam dirinya membawa ilmu-ilmu menjadi mulia karenanya. Jika manusia yang berilmu itu dapat mengamalkan ilmu-ilmunya, maka ini adalah "mulia di atas mulia".

Habib Salim bin Abdullah asy-Syathiriy pernah berkata, "Seorang alim seyogyanya dihormati meskipun engkau lihat dia tidak mengamalkan sendiri ilmunya, atau meskipun engkau lihat dia kurang mengamalkannya. Penghormatan ini dilakukan untuk menghormati ilmunya, yang mana ilmu itu sendiri adalah sesuatu yang mulia. Dalam Nadzam Zubad dikatakan:

العلم اسنى سـائر الاعمال ÷ وهو دليل الخير والافضـال 

"Dari sekalian amal, ilmu adalah yang terbaik. Dan ilmu itu pertanda sebuah kebaikan dan keutamaan." Seorang shalihin berkata:

انظر لعلمى ولا تنظر الى عملى ÷ ينفعك علمى ولا يضرّك تقصيرى 
ان العلوم كالاشجر على ثمر ÷ فشلّ الثمـار وخلّ العود للنار

"Lihatlah ilmuku, jangan lihat amalku. Niscaya ilmuku akan bermanfaat untukmu dan kekuranganku tidak akan merugikanmu. Sungguh ilmu-ilmu itu laksana pepohonan yang berbuah. Ambil buahnya dan biarkan kayunya terbakar di perapian." Sebuah syair dikatakan:

خذ العلوم ولا تنظر لقائلها ÷ حيث كانت فان العلم ممدوح
كمثل جوهرة وسط مزبلة ÷ اليت تأخذهـا والزبل مطروح ؟

"Ambil saja banyak ilmu bagaimanapun keadaannya, jangan perdulikan siapa yang menyampaikannya. Sesungguhnya ilmu itu sendiri sesuatu yang terpuji. Bagaikan mutiara yang terjatuh di kubangan kotoran. Bukankah engkau tetap ambil mutiaranya, sementara kotorannya engkau buang?" Dalam sebuah hadits, Nabi Saw. bersabda:

الحكمة ضـالّة المؤمن يأخذهـا اينمـا وجدهـا 

"Hikmah itu (laksana) harta yang hilang milik seorang mukmin, dimanapun ditemukan, diambillah ia."

Mutiara nasihat Habib Salim tersebut sudah cukup mewakili sebagai landasan untuk siapapun supaya tetap menghormati para ulama meskipun dalam beberapa hal mungkin tidak dalam satu pendapat yang sama atau dalam satu gerakan yang sama. 

Tidak patut bagi seorang yang terpelajar, secara terbuka menyudutkan dan merendahkan seorang ulama. Meskipun di dalam pandangan matanya ulama tersebut ia anggap bukan ulama yang baik. Beberapa waktu lalu, sangat disayangkan terjadi seorang terpelajar memperolok Kiai Mustofa Bisri (Gus Mus) melalui medsos miliknya, dengan bahasa yang jauh dari sopan santun.

Bukankah beliau adalah seorang ulama, bahkan salah satu pimpinan yang disepuhkan dalam Nahdlatul Ulama? Jika tidak ingin menghormati dirinya Gus Mus, bukankah mesti menghormati keulamaannya? Bahkan menghormati institusi besar yang ada dibelakangnya?

Kesimpulan yang paling sederhana dari uraian-uraian ini adalah: "Menjadi seorang Muhibbin harus tetap dapat memuliakan Ulama, menghormati Nahdlatul Ulama. Menjadi Nahdliyyin harus selalu memuliakan dan menghormati para Habaib."

Apalagi NU itu mengikat secara emosional ke dalam jiwa banyak orang. Sejarah panjang hidupnya, hidup orangtua serta kakek-kakeknya bersinggungan langsung dengannya. NU sudah menjadi bagian hidup yang tidak terpisahkan. Sehingga jika dimuliakan, rasanya seperti kehidupan dirinya yang dimuliakan. Sebaliknya jika direndahkan, rasa-rasanya seperti dirinyalah yang direndahkan. Sebuah ikatan emosional dan sentimental.

Nahdlatul Ulama bagi banyak orang (termasuk saya) adalah bagaikan benda keramat warisan keluarga. Warisan orang-orang tua terdahulu. NU itu laksana kanz/gudang kemuliaan yang banyak orang seperti saya berhutang banyak dengan "harta-harta" yang tersimpan didalamnya.

Saya ingat nasihat yang selalu diulang-ulang oleh salah satu Syaikh saya, KH. Aniq Muhammadun, "Hendaklah kalian sepulangnya dari belajar di pesantren, saat sudah berkecimpung di tengah-tengah masyarakat agar ikut memikirkan Aswaja melalui wadah Nahdlatul Ulama. Jamiyyah ini didirikan dengan penuh ketulusan oleh Kiai-kiai terdahulu, dan sampai sekarang terhitung yang masih memegang teguh ajaran-ajaran ulama salafus shalih terdahulu..."

Pesan-pesan semacam itulah yang membuat NU bagi banyak kalangan, terutama bagi para santri pesantren, melebur menjadi bagian kehidupan mereka. Mereka senantiasa mengingat-ingat janji Hadhratus Syaikh Kiai Hasyim Asy’ari: "Siapa yang mau ikut mengurusi NU, saya doakan ia masuk surga."

Soal perbedaan sikap antara NU dengan banyak kalangan habaib dalam kasus "Bela Agama" selama ini, menurut saya masuk di dalam tataran Ijtihadiyyah mereka masing-masing. Saya sangat yakin keduanya sama-sama membela agama, tetapi hasil ijtihad mereka membuat yang terlihat adalah sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang seperti tampak bertentangan di antara keduanya, dan sudah sedari dahulu perbedaan di antara ulama itu biasa.

Tetapi sikap NU yang berbeda itu jangan dijadikan jalan untuk merendahkan ulama dan institusinya. Perbedaan jika masih dalam satu koridor yang sama, aqidahnya masih sama, rujukan serta manhajnya masih sama, maka sikap yang diambil di dalam mengutarakan perbedaan tersebut adalah dalam bentuknya yang konstruktif dengan bahasa-bahasa yang santun serta tetap saling menta'dzimi antara satu dengan lainnya.

Jika diamati dengan rasa penuh inshaf (terbuka), dapat dilihat bahwa di sisi para habaib dan di sisi lain para kiai NU kedua-duanya masih; "Sama-sama Asy’ariyyin-Maturidiyyin. Sama-sama Syafi’iyyin. Sama-sama Shufiyyin Ghozaliyyin. Dan masih seabrek kesamaan-kesamaan yang lain".

Kalau benar begitu, mengapa harus ada rendah-merendahkan satu dengan yang lain? Tentu yang seperti ini tidak diharapkan terjadi. 

Anak-anak muda Nahdliyin haram hukumnya merendahkan para jamaah yang berangkat berdemo menyertai habaib mereka. Sementara para Muhibbin tidak sepatutnya menyudutkan atau merendahkan kaum Nahdliyin yang menahan dirinya tidak turut berdemo ke jalan sebagaimana mereka. Bukankah masing-masing mengikuti "perintah" pemimpinnya?

Para Muhibbin bergerak dengan komando pemimpinnya, yakni para habaib. Para Nahdliyin menahan diri juga atas perintah pemimpin mereka, yakni para Kiai. Dan Habaib serta Kiai sama-sama wajib dihormati. Keduanya mempunyai landasan terhadap manhaj gerakan yang dipilih. 

Boleh sekadar mengadu hujjah/dalil mereka, tetapi tidak sepatutnya saling merendahkan lawan hujjahnya. Syukur jika dapat ditarik satu kesimpulan yang sama, atau dicari solusi jalan tengahnya. Jika tidak dapat dijami’kan, maka tetap menghormati pilihannya masing-masing.

1 komentar:

  1. Mencerahkan dan menyejukkan....terimakasih Saudaraku.

    BalasHapus