Halaman

Selasa, 27 Oktober 2015

Tebuireng dan NU adalah Kunci Indonesia


Adalah KH. Shobari yang merupakan salah satu guru kesayangan Gus Dur di Pesantren Tebu Ireng. Perawakannya tinggi kurus dan murah senyum. Kalo ke Tebu Ireng dari rumahnya di Bogem, selalu naik sepeda onthel.

Melalui putranya, KH. Nasir Shobari, beliau pernah berpesan bahwa, "Kalau mau melihat Indonesia, lihatlah Tebu Ireng dan lebih luasnya lihatlah Nahdlatul Ulama, dan itulah Indonesia. Maka, bila kalian mau merusak Indonesia, rusaklah Tebu Ireng, karenanya akan rusak pula Nahdlatul Ulama. Maka, otomatis Indonesia akan hancur."

Saya mendengar ucapan KH. Shobari ini diucapkan kembali di ruang kamar pribadi Gus Dur menjelang Gus Dur diangkat menjadi Presiden RI ke 4, pada tahun 1999 silam. Saya mengingat betul peristiwa itu, karena setelah mendengar itu, Gus Dur duduk terdiam sambil mengusap pipinya yang basah karena air mata. Agak lama Gus Dur merenungi kata-kata yang disampaikan Gus Nasir tersebut. "Nggeh leres, Gus. Tebu Ireng itu miniatur Indonesia. Warna Tebu Ireng itu ya warna NU dan NU itu ya warna Indonesia," ujar Gus Dur yang mengatakan itu dengan semangat.

Pembicaraan antara Gus Dur dan Gus Nasir akhirnya dilanjutkan bagaimana Gus Dur sangat berhutang budi sama Mbah Yai Shobari. Pengalaman selama Gus Dur diasuh dan dididik oleh KH. Shobari diceritakan kembali oleh Gus Dur kepada kami bertiga, kala itu.

Tebu Ireng Miniatur Indonesia

Suasana hari ini, saya kembali teringat suasana di kamar pribadi Gus Dur 16 tahun silam, ucapan KH. Shobari yang disampaikan kembali oleh putranya ternyata begitu relevan dengan kondisi saat ini. Tulisan ini, sekedar berkaca pada realita Tebu Ireng, NU dan Indonesia, bukan untuk membuka malu pihak lain. Gambaran tentang keadaan Tebu Ireng secara politik dari tahun ke tahun akhirnya mendorong saya untuk mengkompilasikan dalam cerita yang pagi 25/10/15 ini, saya tulis di Bogor.

Sejak lama, memang susah menyatukan keluarga Tebu Ireng untuk bersatu di dalam garis politik yang sama. Gambaran itu terlihat ketika KH. A. Wahid Hasyim dan KH. Yusuf Hasyim (Pak Ud) aktif di Masyumi dan NU, itu tidak sejalan dengan KH. Kholik Hasyim (akrab dipanggil Pak Kholik). Pak Kholik kala itu tidak mau bergabung dengan Masyumi dan NU, beliau membangun partai sendiri bernama AKUI dan cukup diperhitungkan, khusunya di kawasan tapal kuda Jawa Timur dan Madura.

Tebu Ireng Jaman Orde Baru

Pada jaman Orde Baru, perbedaan politik dzuriyah Tebu Ireng tetap tidak segaris secara politik. Pak Ud dan Pak Karim (KH. Karim Hasyim) berbeda tajam, tidak pernah pula bisa menyatu. Pak Ud aktif di PPP dan Pak Karim di Golkar. 

Catatan sejarah beda politik di Tebu Ireng tidak pernah berakhir, selalu berevolusi. Setelah beda pendapat dengan Pak Karim, Pak Ud selanjutnya berbeda paham politik dengan Gus Dur. Perbedaan itu tidak hanya cukup di Tebu Ireng saja, dua tokoh ini tetap berbeda hingga ke jantung organisasi Nahdlatul Ulama.

Peristiwa Muktamar Jogya tahun 1989 contohnya, ketika itu Gus Dur dihalangi oleh pemerintah Orde Baru untuk kembali memimpin NU. Hingga menjelang pemilihan ketua, sekitar ba'da shalat Shubuh ibunda Gus Dur mendatangi kamar Pak Ud di Hotel Borobudur Jogya. Di dalam kamar itu ada Pak Ud, Bu Ud dan Mbak Yati (putri Pak Ud). Dari balik jendela saya mendengar ibunda Gus Dur bicara yang intinya, "Lhah yo, kamu kok tega sama keponakanmu sendiri," ucap Bu Nyai kepada Pak Ud.

Suasana di kamar itu terasa hening, sejenak kemudian terlihat Pak Ud membuka pintu kamar, " Riyadi mana, suruh siapin mobil, " ucap Pak Ud meminta tolong sopirnya. Dan saya bergegas mencari Riyadi.

Ketika saya dan Riyadi sudah menyiapkan mobil Toyota Corona 2000 warna biru pas di depan kamar, Pak Ud berjalan menuju mobil dan meminta saya untuk ikut mengantar beliau ke Hotel Garuda. Sepanjang perjalanan, Pak Ud terlihat santai tanpa beban, tidak terlihat raut muka kecewa. "Kondisi ini harus aku sampaikan kepada Pak Rudini, Pak Susilo Sudarman dan Pak Beny, mereka sudah menunggu di Hotel Garuda," ucap Pak Ud di tengah perjalanan menuju Hotel Garuda, jalan Malioboro Jogya.

Dan setelah Pak Ud menggelar rapat dengan para petinggi Orde Baru, akhirnya Gus Dur direstui kembali memimpin NU. Padahal sebelumnya, pemerintah Orde Baru menginginkan Pak Ud memimpin NU. Setelah urusan selesai, Pak Ud legowo dan tidak melakukan manuver. Padahal kalau saat itu beliau mau, pasti segalanya akan mudah. Hubungan politik antara paman dan keponakan ini, tetap panas dingin.

Tebu Ireng Jaman Reformasi

Dilanjut ketika jaman reformasi, kembali pemandangan beda politik keluarga Tebu Ireng semakin mencolok keluar, itu karena peran media yang sudah begitu bebas. Gus Dur yang digawangi tim 5 dan tim 9 dari PBNU akhirnya melahirkan partai yang bernama PKB dengan ketuanya Matori Abdul Jalil, sekjend Muhaimin Iskandar. Beda jalan politik kembali terjadi antara Gus Dur, Pak Ud dan Gus Solah. Setelah Gus Dur mendeklarasikan PKB, sejurus kemudian Pak Ud dan Gus Solah mendeklarasikan PKNU.

PKB dan PKNU ini seperti air dan minyak, tidak pernah bisa disatukan meski sama-sama lahir dari NU. "NU itu ibarat ayam. Dari (maaf) dubur ayam itu keluarnya 2. Satu telor, dan satunya tai. Nah kalo PKB itu telor dan PKNU itu tainya," kata Gus Dur kala itu. Sontak ucapan Gus Dur itu memancing reaksi kubu PKNU bahkan hingga dilaporkan pencemaran nama baik.

Secara politik antara Gus Dur dan Gus Solah ini tidak pernah sejalan, meskipun mereka lahir dari rahim yang sama. Termasuk adik Gus Dur lainya, yaitu Bu Aisyah juga lebih memilih Golkar sebagai kendaraan politiknya. Namun secara persaudaraan dan keluarga tetap baik.

Tebu Ireng 2015

Jadi jangan heran kalau hari ini terjadi gonjang-ganjing yang magnetnya berasal dari keluarga Tebu Ireng. Saat ini Gus Solah terlihat tidak sejalan dengan keluarga yang lain di dalam menyikapi hasil Muktamar 33 di Jombang.

Gus Solah yang merasa ada "kesalahan" di dalam penyelenggaraan Muktamar NU tempo hari, terus bergerilya menghimpun kekuatan agar diadakan Muktamar NU ulang. Berbeda dengan Gus Im (Hasyim Wahid) dan Gus Aiz (Aizudin), keluarga dari Bani Wahid dan Bani Khotijah ini lebih mendukung Kyai Said daripada bergabung dengan Gus Solah. Feeling politik saya, perseteruan ini semakin tidak mudah diselesaikan, dan bisa jadi butuh waktu lama untuk menyatukan para dzuriyah Tebu Ireng ini.

Bagi saya pribadi pengalaman hidup di Tebu Ireng, telah begitu banyak memberi pelajaran hidup. Bahkan boleh dibilang, saya mendapat pendidikan politik gratis dari guru-guru yang dinobatkan sebagai politisi hebat di Indonesia. Saya bersyukur lahir, besar dan bekerja di Tebu Ireng. Semoga terus bisa melihat dan menjaga warna pelangi garis politik Keluarga Tebu Ireng yang selalu berbeda.

Hari-hari ini terasa lebih seru dan mengkhawatirkan soal perbedaan di Tebu Ireng, Gus Solah yang pantang menyerah meski sendirian. Gus Solah terlihat akan terus berjuang bersama keyakinannya untuk meminta Muktamar NU diulang kembali.

Kenapa Gus Solah sendirian? Karena dzuriyah lain tidak ada yang secara terang-terangan mendukung langkah Gus Solah, ditambah lagi Ipang Wahid tidak mungkin berdiri bersama ayahandanya. Ipang yang sudah lama menjadi aktivis Partai Keadilan Sejahtera akan banyak dicurigai oleh pihak yang lain. Dan ini merugikan niat dan perjuangan Gus Solah. Blunder Ipang yang terjadi beberapa waktu lalu, semakin menambah beban dan mempertajam perbedaan politik di Tebu Ireng. Bisa jadi, keberadaan Ipang yang di PKS ini akan semakin sulit diterima oleh dzuriyah yang lain. Karena sudah rahasia umum, kalau di PKS itu sarangnya Wahabi. Akhirnya, dengan melihat kondisi ini saya hanya bisa berdoa semoga Gus Solah diberi hidayah dan panjang umur.

Secara pribadi, saya melihat beda politik di Tebu Ireng itu biasa. Seperti halnya Indonesia, Itu bagian dari dinamika demokrasi yang sehat. Namun bila beda pendapat itu kemudian diseret kepada pertentangan dan permusuhan, maka itu menjadi tidak sehat. Semoga pengalaman yang terjadi 2 hari belakangan ini tidak terulang lagi. Tidak ada caci maki, hujat menghujat yang melibatkan keluarga Tebu Ireng.

Nasehat KH. Shobari terbukti, bahwa gejolak di Tebu Ireng pada akhirnya membuat NU bergejolak, dan benar Indonesia juga ikut bergolak. Meski baru lewat sosmed, tetapi bahayanya ternyata lebih dasyat, maka waspadalah. Ini tidak bisa dipandang sebagai persoalan sepele. Mari jaga Tebu Ireng, mari jaga NU dan tentunya mari jaga Indonesia, agar tetap aman dan damai.

Ada pertanyaan dari Fauzan di Tebu Ireng, bagaimana cara menyatukan dan merukunkan dzuriyah Tebu Ireng? Saya bilang, "Gak usah dipikir Mas. Kecuali ada tokoh sekaliber Bu Nyai Sholihah (ibunda Gus Dur), pasti semuanya akan baik dan damai. Sekarang kita ikuti saja, seperti kita mengikuti air mengalir. Sebab ya begitulah wujud Tebu Ireng, seperti halnya NU dan Indonesia," ucapku kepada sahabatku itu. (Oleh: Masyamsul Huda).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar