Dandanannya bergegas dibuat semenarik mungkin. Laiknya akan menghadapi seorang tamu dalam sebuah jamuan. Begitu makanan dihidangkan, tangannya siap menyuap dengan perlahan. Butir demi butir nasi dimasukkan ke dalam mulutnya penuh dengan perasaan.
Tatkala ada sebutir saja nasi yang jatuh, langsung diambilnya lalu dimakan tanpa sungkan. Jika tak memungkinkan, karena terlalu kotor, mungkin itu menjadi rizki bagi ayam yang harus ia beri makan. Sang murid kesayangan pun menjadi terheran-heran. Dengan sungkan, terpaksa murid itu (Habib Luthfi bin Yahya) mengutarakan: "Maaf Bah, kenapa setiap kali mau makan Abah selalu demikian?"
Sang guru diam sejenak, sembari tersenyum dijawab: "Kamu lihat di sebutir nasi ini? Ternyata untuk menjadi nasi tidak sesederhana ketika kita memakannya. Di dalamnya ada peluh keringat kerja keras para buruh tani, mulai dari yang membuat bibitnya, mencangkul tanahnya, membajak sawahnya, menanam benihnya, menyiraminya, merabuknya, merawatnya, memanennya, menjemurnya, menumbuknya, memasaknya, barulah menjadi sebutir nasi ini. Aku melakukan ini demi untuk menghormati mereka," pungkas Mbah Malik dengan air mata berlinangan.
Kita jadi mafhum, bagaimana Nabi Saw. dalam sabdanya dengan tegas berpesan: "Innama tunsharuna waturzaquna illa bidhu'afaikum", sungguh tidaklah kalian meraih pertolongan dan rizki terkecuali hanya karena para dhuafa (kaum lemah) diantara kalian. (Sya'roni As-Samfuriy, Cikarang).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar