Halaman

Selasa, 30 September 2014

Aurat Adalah Sau-ataini (Qubul dan Dubur)



Keyakinan saya bahwa aurat wanita hurriyyah (di luar shalat) adalah seluruh tubuhnya, sebagaimana nash dari Imam asy-Syafi’i . Tetapi terkadang saya dalam keadaan tertentu mesti mengenyampingkan keyakinan tersebut dan beralih mengikuti pendapat yang lebih longgar bahkan yang paling longgar. Yaitu bahwa aurat mereka adalah “qubul dan dubur saja”.

Keadaan tertentu yang saya maksudkan adalah saat berada di jalan raya. Menyetir kendaraan atau di dalam mobil yang sedang melaju di jalanan. Pada saat itulah saya harus beralih keyakinan bahwa aurat mereka adalah sau-atain (qubul dan dubur). Adapun alasannya adalah, jalanan negeri ini terlalu dipenuhi dengan wanita-wanita yang ‘telanjang’. Ke depan ada (maaf) pantat, samping kanan ada dada, samping kiri ada paha, belakang malah ada semuanya. Jika masih mengikuti pendapat madzhab maka saya harus memejamkan mata atau menundukkan kepala selama perjalanan dan saya bisa mati konyol menabrak sesuatu.

Lagi pula, jalan raya di negeri ini laksana rimba saja. Kalau di hutan sana banyak hewan-hewan buas yang bisa sewaktu-waktu menerkam Anda. Maka jalanan negeri ini tidak kalah kejamnya . Sewaktu-waktu bisa saja terjadi kecelakaan lalu lintas dan konon dalam satu jam ada satu orang yang mati karenanya.

Jika benar demikian maka dengan mengikuti pendapat yang longgar tersebut setiap saat jika mata melihat tubuh-tubuh wanita terbuka di jalan, tidak berdosa. Dan andaipun terkena nasib naas maka saya tidak dalam keadaan mata yang penuh dengan dosa. Dosa melihat aurat-aurat para wanita.

Tetapi ‘peralihan keyakinan’ terhadap aurat tersebut tidak dimaksudkan untuk ‘menikmatinya’, bersyahwat terhadapnya. Jadi jangan dibayangkan saya pergi ke Pantai Kute Bali yang penuh dengan turis-turis yang berbikini, lalu saya bilang: “Aurat wanita adalah depan sama pantatnya doang”, lalu saya ikut berjemur menikmati kemolekan tubuh bule-bule itu. Tidak. Peralihan hanya untuk menjaga agar mata tidak terjatuh dosa. Dan andai kecelakaan datang tiba-tiba, keadaan terakhir yang dibawa menghadap Allah tidak dalam sebuah kemaksiatan kepadaNya. (Oleh: KH. Muhajir Madad Salim).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar