Ulama yang satu
ini merupakan ulama yang produktif menulis. Tidak kurang hasil karya tulisnya
sejumlah 63 kitab. Selain itu beliau juga menjadi penggerak pejuang kemerdekaan
Indonesia bersama para santrinya, khususnya di tanah kelahirannya Bekasi.
a.
Masa
Kelahiran
Beliau
dilahirkan di Kampung Cibogo Bekasi pada hari Kamis bulan Jumadil Akhir 1334
H/1915 M. Ayahnya bernama KH. R. Anwar. Di usia 13 tahun beliau telah tamat sekolah
dengan hasil diploma satu.
b.
Masa
Belajar
Usia 15 tahun
beliau melanjutkan studinya ke pesantren yang diasuh oleh Tugabus Bakri bin
Seda (Mama Sempur) di Plered Sempur Bandung hingga 7 tahun. Setelah itu ia lanjutkan
studinya ke Mekkah selama 2 tahun.
Selama di
Mekkah beliau berguru pada lebih dari 13 muallif (pengarang kitab), diantaranya
adalah al-Muhaddits as-Sayyid Alawi al-Maliki dan Mama KH. Mukhtar Athorid al-Bogori.
Sekembalinya dari
Mekkah, saat itu usianya 24 tahun, beliau melanjutkan studinya atas saran sang ayah.
Sebagai orang yang berilmu dan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap
perkembangan Islam KH. Raden Anwar, sang ayah yang pernah menjadi murid KH.
Hasyim Asy’ari, mengutus putranya itu untuk belajar agama lagi di pesantren. Berbagai
pesantren pun disambanginya untuk digali ilmunya. Mulai dari Pesantren Tebuireng
Jombang di bawah asuhan Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, pesantrennya Syaikh
Ihsan Jampes Kediri.
Setelah itu,
beliau belajar lagi ke pesantren yang diasuh Syaikh KH. Manshur bin Abdul Hamid
al-Batawi, pengarang kitab Sullam an-Nayirain, di Jembatan Lima,
Jakarta. Kitab Sullam an-Nayirain berisi tentang ilmu falak. Oleh KH. Raden
Ma’mun Nawawi kitab ini mampu dipelajari dan dikuasainya selama 40 hari saja.
c.
Mendirikan
Pesantren
Setelah
dianggap bisa dan memadai beradaptasi untuk mengembangkan dakwah Islamiyah, KH.
Raden Ma’mun Nawawi diminta oleh mertuanya, Tubagus Bakri untuk mendirikan
pesantren di Pandeglang, Banten. Saat itu usianya 25 tahun.
Namun, sekitar
dua tahun kemudian beliau diminta oleh ayahnya, KH. Raden Anwar, untuk kembali ke
kampung halaman di Cibogo Cibarusah untuk mendirikan pesantren. Atas biaya sang
ayah, maka berdirilah Pesantren Al-Baqiyatus Sholihat pada bulan Rajab tahun 1359
H/1938 M. Seluruh santri di Pesantren Pandeglang pun ikut gabung ke Pesantren
Al-Baqiyatus Sholihat ini.
Pada masa
keemasannya, pesantren ini pernah menampung sekitar 1000 santri dalam satu
angkatan. Bahkan, pesantren ini sempat terkenal sebagai Pesantren Ilmu Falak. Karena
itu, ketika pemerintah Bekasi, Bogor, Jakarta dan sekitarnya membutuhkan
masalah perhitungan falakiyah, selalu merujuk ke pesantren ini. Sekarang
masalah falakiyah juga masih diajarkan di sini.
d.
Karya-karyanya
Beliau termasuk
ulama yang produktif menulis. Selama hidupnya beliau pernah menulis nadzaman
ilmu falak sebanyak 63 bait dan menghasilkan setidaknya 63 kitab. “Angka-angka
ini seperti kebetulan saja,” ujar KH. R. Jamaluddin yang merupakan
keturunan ke-11 dari Maulana Hasanuddin dan ke-24 dari Rasulullah Saw. ini. Diantara
hasil karya tulisnya adalah:
1.
At-Taisir fi ‘Ilm
al-Falak
2.
Bahjat al-Wudhuh
3.
Idha’ al-Mubhamat
4.
Hikayat al-Mutaqaddimin
5.
Manasik Haji
6.
Khutbah Jum’at
7.
Kasyf al-Humum wa
al-Ghumum
8.
Majmu’at Da’wat
9.
Risalah Zakat
10. Syair Qiyamat
11. Risalah Syurb ad-Dukhan
12. Dll.
Sebagian
kitabnya dijual di Toko Arafat Bogor, seperti
Kasyf al-Humum wa al-Ghumum (tentang doa), Hikayat al-Mutaqaddimin
(tentang kisah-kisah ulama dahulu), Idha’ al-Mubhamat (tentang rumus-rumus
akumulasi dari kitab-kitab yang mengandung akronim) dan sebagainya.
e.
Pejuang
Kemerdekaan
Pada masa
perang kemerdekaan KH. R. Ma’mun Nawawi pernah mengadakan pelatihan militer
santri Hizbullah di Cibarusah. Para santri itu kemudian dikirim ke Bekasi untuk
menghadapi tentara sekutu secara frontal di bawah komandan yang juga teman
seperjuangannya yang dikenal sebagai macan dari Bekasi, yaitu KH. Nur Ali.
f.
Laskar
Hizbullah
Pemimpin perjuangan
yang berlatih di camp Cibarusah saat itu, dimulai Pelatihan Perang Pertama pada 28 Februari 1945, dipimpin
beberapa tokoh seperti KH. Wahid Hasyim, yang mewakili ayahnya, KH. Hasyim
‘Asy’ari, KH. Zainul Arifin, bersama
sekitar 500 pemimpin Laskar Hizbullah Sabilillah, juga diantaranya ulama Bekasi
KH. Noer Alie (yang telah diangerahkan sebagai pahlawan nasional) dan KH. R. Ma’mun
Nawawi, Cibogo Cibarusah, Bintal Laskar Hizbullah pengasuh Pesantren
Al-Baqiyatus Sholihat Cibarusah. Usai pelatihan perang tersebut, 500 kader
kembali ke desa-desa dan memberikan latihan kepada para pemuda sehingga pada
saat Jepang menyerah, anggota Hizbullah berjumlah 50.000 orang.
Dalam catatan
sejarah di saat latihan perdana, pada 28 Februari 1945, yang dihadiri oleh
Gunseikan, para perwira Nippon, Pimpinan Pusat Masyumi, Pangreh Praja dan
lainnya, Guiseikan memberikan
sambutannya: “Berhubung dengan nasib Asia Timur Raya, maka semasa sekarang
adalah masa yang amat penting seperti yang belum pernah dialami atau terjadi di
dalam sejarah. Dalam saat yang demikian itu,
telah bangkit segenap umat Islam di Jawa serta berjanji akan berjuang
“luhur bersama dan lebur bersama”. Buktinya ialah pembentukan barisan muda
Islam yang bernama Hizbulloh. Dengan demikian lahirlah tujuan untuk
menghancurkan musuh yang dzalim dan perjuangan dengan segenap jiwa raga, maka
saya sangat gembira membuka latihan
pusat barisan Hizbullah ini.”
Saat itu, di
kamp militer Cibarusah, laskar tak murni berlatih soal perang. Di malam hari,
mereka mengaji dengan ulama seperti KH. Mustafa Kamil dari Singaparna, Jawa
Barat, dan belajar soal bahan peledak kepada KH. Abdul Halim. Setelah latihan
tiga bulan, opsir Hizbullah dipulangkan untuk melatih milisi di daerah asal
yang beranggotakan para santri.
Kuntowijoyo,
pakar sejarah, melihat laskar bentukan KH. Wahid Hasyim ini mengubah peta militer
di Indonesia. Tak terbayangkan sebelumnya santri bisa jadi petinggi tentara
republik. “Hizbullah membuat santri yang tidak mengenal ilmu kemiliteran
jadi bisa ikut aktif dalam revolusi fisik,” ujarnya dalam sebuah wawancara
dengan majalah Tebuireng.
Setelah Partai
Masyumi berdiri pada 7 November 1945, Hizbullah, juga laskar Sabilillah, masuk
jadi sayap militer partai Islam saat itu. Kedua laskar ini ikut bertempur
melawan tentara sekutu, diantaranya pada pertempuran 10 November 1945 di
Surabaya. Selepas agresi militer Belanda pertama pada 1947, Gerakan Pemuda
Islam Indonesia yang diprakarsai M. Natsir dan KH. Wahid Hasyim bergabung
dengan kedua laskar tersebut. Mereka membentuk Dewan Mobilisasi Pemuda Islam
Indonesia, yang menentang semua perundingan dengan Belanda.
Dalam pembukaan
latihan tersebut, Kiai Haji Zainul Arifin, Ketua Markas Tertinggi Hizbulloh,
dan KH. Wahid Hasyim, Ketua Muda Masjumi, mengingatkan akan pentingnya latihan
kemiliteran bagi para pemuda untuk membela agama Islam dan cita-cita perjuangan
bangsa. Salah satu yang menjadi tokoh utama adalah ulama kharismatik dari Ujung Harapan Bekasi yaitu Kiai Haji Noer
Ali. Atas jasa besar dan manfaat perjuangannya Bapak DR. H. Susilo Bambang
Yudhoyono, Presiden Republik Indonesia, telah menganugerahkan almarhum almaghfurlah KH. Noer Ali sebagai Pahlawan
Nasional.
Dengan adanya catatan sejarah, jejak dan fakta
tersebut, pada Agustus 2010, Markas Besar TNI Angkatan Darat,
ditandai dengan kehadiran dan penandatanganan Prasasati Monumen Bersejarah Perjuangan Umat Islam untuk Kemerdekaan
Republik Indonesia oleh Bapak Dandim Bekasi, telah meneguhkan posisi dan nilai
spirit perjuangan Masjid Al-Mujahidin dan area sekitarnya sebagai saksi dan sumber spirit dari jejak perjuangan
umat Islam dalam kecintaan memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia.
Majalah Tempo,
18 April 2011, menggambarkan adanya fakta perjuangan heroik Laskar Allah dari Cibarusah.
Sekitar lima ratus pemuda berkemeja dengan celana tanggung biru berbaris keluar
dari barak-barak anyaman bambu. Para calon opsir ini bersiap mengikuti upacara
pembukaan latihan Laskar Hizbullah di Desa Cibarusah, Bekasi. Suatu pagi pada
Februari 1945 itu, petinggi Jawa Gunseikan meresmikan pasukan sukarelawan
bentukan pemerintah militer Jepang. Bersama mereka, hadir pengurus Majelis
Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), termasuk Ketua II Muda, KH. Abdul Wahid
Hasyim.
Gus Wahid,
begitu ia disapa, memang salah satu penggagas pembentukan “Tentara Allah” itu.
Menurut dia, ulama dan santri harus angkat senjata melawan Belanda yang bakal
segera kembali ke Tanah Air. “Tiap-tiap muslim mesti merupakan nasionalis,”
ujarnya.
Dalam sebuah
konferensi pada 1949, Wahid menyampaikan unek-uneknya soal ulama yang lebih
berpengaruh ketimbang tokoh pergerakan sipil ataupun militer tapi sering
ditinggalkan dalam revolusi fisik. “Ulama adalah golongan yang paling
berkuasa di Indonesia, melebihi sipil dan militer,” ujarnya. “Pembesar
negeri minta petunjuk ulama dan perwira militer menanyakan siasat pertempuran.”
Ide membuat
laskar jihad mencuat kala Jepang mengubah strateginya setelah terdesak Sekutu.
Perdana Menteri Kuniaki Koiso pada September 1944 mengobral janji, termasuk
memberi kemerdekaan. Menurut sejarawan almarhum Kuntowijoyo, Hizbullah
merupakan gabungan keinginan pemerintah Jepang dan ulama.
Tak sulit bagi KH.
Wahid Hasyim menyampaikan usul membentuk laskar. Jabatan Wakil Ketua Shumubu, kantor
urusan agama bentukan Jepang, memudahkan pembicaraan. Sebenarnya yang jadi
ketua KH. Muhammad Hasyim Asy’ari, ayah KH. Wahid Hasyim. Tapi Hadhratus Syaikh
KH. Hasyim Asy’ari tak mau meninggalkan Pesantren Tebuireng.
g.
Kewafatan
KH. R. Ma’mun Nawawi
KH. R. Ma’mun
Nawawi wafat pada malam Jum’at 26 Muharram 1395 H pukul 01.15 WIB yang bertepatan
dengan tanggal 7 Februari 1975 M di Cibogo pada usia 63 tahun (1912-1975). Pondok
pesantrennya saat ini diteruskan oleh salah satu putranya, KH. Jamaluddin
Nawawi.
Makam KH. R.Ma’mun
Nawawi berada di sekitar pesantren dan banyak dikunjungi orang baik dari Banten
atau Bogor, khususnya pada bulan Maulid.
Sya’roni As-Samfuriy, Cikarang 17 Juni 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar