1. Dalil Puasa Ramadhan
Puasa bulan suci Ramadhan
adalah fardhu ‘ain bagi setiap orang mukallaf (dewasa/baligh).
Perintah pengamalannya (kefardhuannya) turun pada tanggal 10 Sya’ban 18 bulan
setelah Nabi Saw. hijrah ke
Madinah. Adapun dalil-dalil yang menjadi dasar hukum puasa adalah firman Allah Swt. QS. al-Baqarah
ayat 183:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى
الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan (pula) kepada
orang-orang sebelum kalian, semoga kalian bertakwa.”
Hadits Nabi Muhammad Saw.:
بُنِيَ
اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَدَةٍ أَنْ لَاإِلَهَ إِلاَّاللهُ
وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيْتَاءِ
االزَّكَاةِ، وَ حِجِّ الْبَيْتِ، وَصِيَامِ رَمَضَا نَ
“Islam didirikan atas lima dasar;
Syahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu Rasulullah, mendirikan
shalat, membayar zakat, naik haji dan puasa bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari
dan Muslim dari Ibnu Umar Ra.).
Dan adanya ijma’ ulama, yaitu kesepakatan para
imam madzhab dimana para imam
telah sepakat mengenai kefardhuannya dan tidak ada seorang Muslim pun yang
mengingkarinya.
2. Penetapan Awal Bulan Ramadhan
صُوْمُوْأ
لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غَمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْلِمُوْا
ِعدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا
“Berpuasalah
kalian karena melihat hilal (bulan tanggal satu) dan berbukalah karena
melihatnya. Dan jikalau
tidak tampak lantaran langit tertutup awan maka sempurnakanlah bilangan bulan
Sya’ban genap 30 hari.” (HR. Imam Bukhari dari Abu Hurairah Ra.).
Dalam hadits ini jelas dalam
memberikan gambaran tentang cara menentukan awal bulan Ramadhan dan akhirnya.
Yaitu:
a. Ramadhan
ditentukan awalnya dengan Ru’yah (melihat bulan tanggal satu).
b. Jikalau hilal
tidak tampak diRu’yah karena langit berawan, maka awal Ramadhan
ditentukan dengan Ikmal, yaitu bulan Sya’ban di hitung sampai 30
hari kemudian hari berikutnya itulah tanggal satu Ramadhan.
Menurut rumusan hadits di atas, maka
dasar satu-satunya untuk menentukan awal Ramadhan adalah Ru’yah. Sedang Ikmal hanya
merupakan jalan keluar jika Ru’yah tidak dapat dilakukan
lantaran langit mendung.
Ru’yah dilakukan dengan melihat
langsung, sedang Ikmal dapat dilakukan dengan Hisab. Oleh
karena itu, maka Hisab hanya berperan sebagai petunjuk saja, tidak dapat
dipakai sebagai dasar penentuan awal bulan. Walaupun misalnya pada hari Ahad sudah
mulai masuk Ramadhan menurut Hisab, tetapi jika ternyata hilal belum
dapat diRu’yah maka Hisab tersebut tidak
dapat diikuti.
Demikianlah empat madzhab
sependapat bahwa dasar penentuan awal bulan Ramadhan adalah Ru’yah. Tentang
kedudukan hasil hisab adalah sebagai berikut:
a) Imam Hanafi, Imam Maliki dan Imam Hanbali berpendapat
bahwa hasil hisab tidak mengikat sama sekali, baik bagi ahli hisab yang
menghisab itu sendiri maupun bagi orang yang mempercayainya. Hal demikian
karena adanya ketetapan agama yang telah jelas dan tidak boleh dilanggar, bahwa
dasar penentuan awal bulan adalah Ru’yah atau Ikmal.
b) Ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa hasil hisab mengikat pada ahli hisab yang
bersangkutan dan orang-orang yang membenarkan hasil hisab tersebut,
sedangkan kaum Muslimin pada umumnya tidak terikat dengan hasil tersebut. Jadi
yang wajib berpuasa berdasarkan hisab tersebut adalah hanya orang yang
menghisab itu sendiri dan orang-orang yang membenarkannya. Orang selain mereka
tidak.
Masalah Ru’yah adalah
bukan masalah khilafiyah, tetapi hal itu merupakan ketentuan agama yang jelas
tegas (sharih) dan karenanya harus kita terima dan kita
ikuti secara mutlak. Tidak perlu dibanding-bandingkan atau di timbang-timbang
dengan hisab.
Ada sekelompok orang yang tidak mau
menerima Ru’yah tersebut, dan sebaliknya mempertahankan
peranan hisab secara mutlak. Mereka beralasan bahwa; Ru’yah itu
cocok pada zaman dahulu dimana belum banyak ahli hisab (termasuk Nabi
sendiri), Ru’yah itu menyulitkan sedangkan agama itu
menghendaki kemudahan, dan ada juga yang menta’wil kata Ru’yah dengan
makna pena (berarti hisab), dan masih banyak lagi alasan yang mereka kemukakan
yang berdasar buah rasio semata.
Kalau memang benar pendapat mereka
ini, berarti benar pula pemahaman dan penghayatan agama yang hanya dengan
rasio. Bila demikian, maka
rusaklah Islam. Dasar pokok yang tadinya al-Quran dan as-Sunnah Nabi
telah dirubah menjadi berdasarkan akal rasio. Na’udzu billah.
Kalau mereka menganggap kita yang
berdasar petunjuk Nabi ini Bid’ah, lalu mereka yang beragama berdasar akar
rasio itu apa namanya? Mungkinkah mereka telah membuat syari’at baru atau
memperbaharui (mentajdid) Syari’at Islam. Allah tidak mengangkat Nabi lagi
setelah Nabi Muhammad Saw. Sejuta alasan dapat mereka kemukakan. Dan sejuta
alasan juga dapat kita sampaikan untuk menolaknya. Yang jelas Allah Swt. telah berfirman dalam QS. al-Ahzab
ayat 36:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا
أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“Dan tidaklah
patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin,
apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi
mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai
Allah dan RasulNya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.”
3. Niat Puasa
Niat melakukan puasa adalah salah
satu rukun puasa. Niat puasa wajib dilaksanakan di malam hari sebelum terbit
fajar. Sabda Nabi Muhammad Saw.:
مَنْ لَمْ
يُبَيَّت الصِّيَامَ قَبْلَ اْلفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ
“Barangsiapa
tidak melakukan niat di malam hari, sebelum fajar, maka tidak sah puasanya.” (HR. Bukhari dan Muslim dll. dari Hafshah Ummil
Mu’minin Ra.)
Hadits tersebut jelas menyatakan
bahwa niat puasa harus dilakukan di malam hari. Kewajiban melakukannya di malam
hari ini adalah khusus untuk puasa wajib. Sedangkan untuk puasa sunnah berniat
disiang hari diperbolehkan.
Pendapat Imam Maliki dan sahabat-sahabatnya
memperbolehkan niat puasa sebulan Ramadhan dengan cukup sekali niat untuk
semuanya. Sedangkan setiap
malam disunnahkan untuk memperbaharuinya.
إِذَا نَوَى
أَوَّالَ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ صِيَامَ جَمِيْعِهِ كَفَاهُ وَلاَ يَحْتَاجُ
لِنِيَةٍ لِكُلِّ يَوْمٍ، وَيُسْتَحَبُّ تَجْدِيْدُ هَا فَقَطْ
“Apabila niat
berpuasa di malam pertama bulan Ramadhan untuk puasa 1 (satu) bulan, maka telah
cukup. Setiap harinya tidak perlu lagi berniat sendiri. Hanya disunnahkan memperbaharuinya
saja.”
Imam Syafi’i menyatakan sunnah
melafalkan niat tersebut, agar dengan cara begitu hatinya tertuntun dan lebih
dapat memusatkan perhatian pada niatnya itu.
وَيُسَنُّ
أَنْ يَنْطِقَ بِلِسَانِهِ بِالنِّيَّةِ ِلأَنَّهُ عَوْنٌ لِلْقَلْبِ
“Sunnah
lisannya melafalkan niat, karena hal itu dapat menolong niat dalam hatinya.”
Lafal niat puasa dapat berbentuk
sebagai berikut:
نَوَيْتُ
صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ شَهْرِ رَمَضَان هَذِهِ السَّنّةِ ِللهِ تَعَالَى
“Aku berniat
puasa esok hari untuk menunaikan kefardhuan bulan Ramadhan tahun ini,
sebagai fardhu karena Allah Ta’ala.”
Apabila kita telah niat puasa
sebulan pada malam pertama maka pada malam-malam berikutnya tidak perlu niat
lagi. Bila pada
malam berikutnya kita niat lagi hukumnya sunnah, tidak wajib.
4. Shalat Tarawih
Shalat Tarawih hukumnya Sunnah
Muakkad dan dalam menunaikannya disunnahkan dengan berjamaah. Waktunya
adalah setelah shalat Isya’ sampai terbit fajar. Dapat dilakukan sebelum shalat
Witir. Bahkan menurut para ulama Malikiyyah melakukan Tarawih setelah Witir itu
makruh.
a)
Jumlah Rakaat Shalat Tarawih
Jumlah rakaat shalat Tarawih adalah
20. Hal ini berdasar apa yang dilakukan oleh sahabat Nabi Umar bin Khathab Ra. dan seluruh
sahabat Nabi waktu itu. Mereka melakukan shalat Tarawih 20 rakaat disambung 3
rakaat witir. Jadi semuanya 23 rakaat. Disebutkan dalam suatu hadits:
كَانَ
النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ فِى زَمَانٍ عُمَرَبْنِ اْلحَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
بِثَلاَثٍ وَ عِسْرِيْنَ رَكَعَهً
“Orang-orang
di zaman Umar bin Khathab Ra. melakukannya
23 rakaat.” (HR. Imam Malik).
Dalam riwayat lain disebutkan :
إِنَّهُمْ
يَقُوْ مُوْ نَ عَلَى عَهْدٍ عُمَرَ بْنِ اْلحَطَّا بِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِى شَهْرِرَمَضَانَ
بِعِشْرِيْنَ رَكَعَةً
“Bahwa
sesungguhnya para sahabat di masa Umar bin Khathab Ra. pada bulan
Ramadhan melakukan (Tarawih) 20 rakaat.” (HR. al-Baihaqi).
Dalam hal ini kita memang harus
mengikuti praktek yang dilakukan oleh sahabat Umar bin Khathab dan sahabat
lainnya, keterangannya sebagai berikut:
1.
Tidak ada hadits Nabi yang secara
langsung dan jelas menerangkan berapa jumlah rakaat shalat Tarawih Nabi.
Memang ada diketahui Nabi bersama para sahabat melakukan Tarawih di masjid 8
rakaat, kemudian mereka pulang dan pada penyempurnaan sendiri di rumah
masing-masing, hingga komplek perumahan mereka gemuruh (dari suara orang
shalat) bagaikan suara lebah. Kemudian sampai berapa rakaat mereka
menyempurnakan itu, inilah masalahnya. Yang menegaskan jawabannya adalah Umar
bin Khathab, yaitu 20 rakaat. Dan ternyata penegasan ini tidak diragukan oleh
sahabat-sahabat yang lain. Mereka semua menerima bahkan juga melakukan Tarawih
20 rakaat.
2.
Nabi sendiri memerintahkan agar kita
mengikuti jejak Abu Bakar dan Umar bin Khathab, yaitu dalam hadits:
إِقْتَدُوْا
بِالَّلذَيْنِ مِنْ بَعْدِى أَبِى بَكْرٍ وَ عُمَرَ
“Ikutilah
kalian sesudahku kepada dua orang; Abu Bakar dan Umar.” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi dan Ibn Majah).
b)
Ada yang Salah Paham
Sekelompok orang yang salah paham
menyatakan bahwa shalat Tarawih itu 8 rakaat, Witir 3 rakaat jumlah semua 11
rakaat. Kelompok
kecil ini beralasan dengan hadits riwayat Aisyah sebagai berikut:
قَالَتْ : مَاكَانَ يَزِيْدُفىِ رَمَضَانَ وَلاَفىِ غَيْرِهِ عَلىَ إِحْدَى
عَشْرَةَرَكْعَةً
Aisyah berkata: “Tidak pernah
Nabi menambah hingga melebihi 11 rakaat, baik dalam bulan Ramadhan maupun di
luar bulan Ramadhan.”
Hadits ini memang menyatakan bahwa
Nabi melakukan 11 rakaat, tidak pernah lebih dari itu. Shalat ini selalu Nabi lakukan dalam bulan
Ramadhan maupun di luar bulan Ramadhan. Lalu shalat apakah ini? Apakah
yang dimaksud di sini shalat Tarawih? Ini bukan shalat Tarawih. Sebab tidak
ada shalat Tarawih yang dilakukan di luar bulan Ramadhan. Awas jangan
salah paham!
Lalu shalat
apa? Ini adalah shalat Witir. Jumlah
maksimal rakaat shalat Witir adalah 11 rakaat. Di dalam bulan Ramadhan maupun
di luar bulan Ramadhan Witir paling banyak dapat dilakukan 11 rakaat. Oleh
karena itu Imam Bukhari mencantumkan hadits tersebut dalam bab shalat Witir,
bukan bab Tarawih.
Kesimpulannya, kelompok kecil tadi
salah paham. Mereka menerapkan dalil tidak tepat. Dalil haditsnya shahih,
bagus. Tetapi penerapannya tidak benar.
Memang tidak ada satupun ulama yang
menyatakan bahwa shalat Tarawih itu 8 rakaat. Madzhab empat sepakat 20 rakaat, di seluruh
dunia termasuk Makkah dan Madinah melaksanakan dengan 20 rakaat, dari dahulu sampai
sekarang. Sedang yang melakukan 8 rakaat hanyalah kita dapati di beberapa mushalla yang
ternyata jauh dari ulama. Kami menghimbau marilah kita bersama-sama mengkaji al-Quran
dan as-Sunnah
sekali lagi.
c)
Pelaksanaan Shalat Tarawih
Shalat Tarawih dilakukan sekali
salam setiap dua rakaat. Jadi untuk 20 rakaat itu dilakukan 10 salam. Hal ini berdasarkan hadits:
صَلاَةُ
الَّليْلِ مَثْنَى مَثْنَى
“Shalat
sunnah di malam hari adalah dua-dua.” (HR. Bukhari
dari Abdullah bin Umar Ra.).
Apabila dilakukan dengan sekali salam
dalam setiap 4 rakaat, maka:
1. Ulama Hanafiyah
menyatakan hanya dihitung dengan dua rakaat saja untuk 4 rakaat yang dilakukan
dengan sekali salam itu.
2. Ulama
Hambaliyah
menyatakan Tarawih tetap sah tetapi makruh.
3. Ulama Malikiyah
menyatakan sah tetapi makruh.
4. Ulama
Syafi’iyah menyatakan tidak sah, Tarawih harus dilakukan dengan sekali salam
setiap dua rakaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar